Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Februari 2014

Bukti-Bukti Cinta Kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam


1. Membenarkan kabar yang disampaikan dalam hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

Diantara keimanan yang sangat urgen adalah meyakini bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ma’sum (terjaga) dari kedustaan dan kebohongan, yang konsekuensi dari hari hal ini adalah pembenaran kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, baik khabar berita tentang masa silam, masa sekarang, ataupun berita di masa mendatang. Allah berfirman;

﴿وَالنَّجْمِ إِذَا هَوَىمَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى﴾ (لنجم:1-4)

Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak keliru, Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. 53:1-4)

﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ﴾ (الحشر: من الآية7)

Apa yang datang dari Rasul kepada kalian maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. 59:7)

Lihatlah kepada derajat yang sangat tinggi yang diraih oleh Abu Bakar As-Siddiq yang beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dengan keimanan yang sesungguhnya.Ia membenarkan seluruh perkataan dengan tanpa keraguan sedikitpun.

عن عائشة رضي الله عنها قالت ثم لما أسري بالنبي صلى الله عليه وسلم إلى المسجد الأقصى أصبح يتحدث الناس بذلك فارتد ناس ممن كان آمنوا به وصدقوه وسعى رجال من المشركين إلى أبي بكر رضي الله عنه فقالوا هل لك إلى صاحبك يزعم أنه أسري به الليلة إلى بيت المقدس قال أو قال ذلك قالوا نعم قال لئن قال ذلك لقد صدق قالوا أو تصدقه أنه ذهب الليلة إلى بيت المقدس وجاء قبل أن يصبح فقال نعم إني لأصدقه ما هو أبعد من ذلك أصدقه في خبر السماء في غدوة أو روحة فلذلك سمي أبا بكر الصديق رضي الله عنه

Dari ‘Aisyah, beliau berkata, “Tatkala Nabi shallallahu 'alihi wa sallam isro’ (dijalankan oleh Allah) menuju ke Masjdil Aqsho, maka dipagi harinya orang-orang membicarakan hal itu. Orang-orang yang tadinya beriman kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan membenarkannya murtad (keluar dari Islam). Beberapa orang dari kaum musyrikin menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah engkau menemui sahabatmu (yaitu Rasulullah), dia menyangka bahwa dirinya tadi malam dijalankan ke Baitul Maqdis (Masjidil Aqsho)?”. Abu Bakar berkata, “Apakah dia mengatakan demikian?”, mereka berkata, “Iya”. Abu Bakar berkata, “Jika ia memang mengatakan demikian maka dia telah jujur!”. Mereka berkata, “Apakah engkau membenarkan perkataannya bahwa dia tadi malam pergi ke Baitul Maqdis kemudian tiba kembali (ke Mekah) sebelum subuh?”, Abu Bakar berkata, “Iya, (bahkan) saya membenarkannya pada perkara yang lebih (aneh) dari pada perkara ini. Saya membenarkannya tentang berita yang ia terima dari langit di pagi hari atau di sore hari”. Oleh karena itu Abu Bakar dinamakan As-Siddhiq (yang selalu membenarkan)”[1]

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال صلى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاة الصبح ثم أقبل على الناس فقال بينا رجل يسوق بقرة إذ ركبها فضربها فقالت إنا لم نخلق لهذا إنما خلقنا للحرث فقال الناس سبحان الله بقرة تكلم فقال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثم وبينما رجل في غنمه إذ عدا الذئب فذهب منها بشاة فطلب حتى كأنه استنقذها منه فقال له الذئب هذا استنقذتها مني فمن لها يوم السَّبُعِ يوم لا راعيَ لها غيري فقال الناس سبحان الله ذئب يتكلم قال فإني أومن بهذا أنا وأبو بكر وعمر وما هما ثَمَّ

Dari Abu Hurairoh berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sholat subuh kemudian beliau menghadap para jemaah sholat lalu berkata, “Tatkala seseorang menggembala seekor sapi, kemudian diapun menunggangi sapi tersebut dan memukul sapi tersebut. Sapi itupun berkata, “Sesungguhnya aku tidaklah diciptakan untuk ini (untuk ditunggangi), namun aku hanyalah diciptakan untuk membajak.” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, sapi berbicara??”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman.” Berkata Abu Hurairah, “Dan tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak ada (tidak bersama mereka sholat subuh-pen)”. Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Dan tatkala seorang penggembala sedang menggembalakan kambing-kambingnya tiba-tiba datang serigala dan membawa lari seekor kambingnya. Maka sang penggembalapun mengejar serigala tersebut dan sepertinya dia berhasil membebaskan kambing tersebut dari cengkraman serigala. Sang serigala tersebut berkata kepada sipenggembala, “Engkau telah membebaskan kambing itu dariku, maka siapakah yang akan menunggui (memperhatikan) kambing ini selain aku pada hari dimana singa datang mengambil kambing ini?[2]” Orang-orangpun berkata, “Maha suci Allah, serigala berbicara?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya aku beriman terhadap hal ini, demikian juga Abu Bakar dan Umar beriman”. Berkata Abu Hurairah, “Tatkala itu Abu Bakar dan Umar sedang tidak hadir”[3]

Berkata Ibnu Hajar, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengatakan demikian (padahal Abu Bakar dan Umar tatkala itu tidak hadir-pen) karena Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam tahu akan besarnya keimanan mereka berdua dan kuatnya keyakinan mereka”[4]. Beliau juga berkata, “…Dan kemungkinan juga beliau berkata demikian karena mereka berdua akan membenarkan khabar tersebut jika mereka mendengarnya dengan tanpa keraguan”[5]

Coba seandainya kita sampaikan hadits ini kepada orang-orang yang mengagungkan akal mereka, tentu kita akan dapati banyak diantara mereka yang menolak hadits ini. Mungkin diantara mereka akan ada yang berkata “Bagaimana hewan bisa berbicara?, mana akalnya?”, ataupun diantara mereka ada yang mengatakan “Hadits ini lemah karena tidak masuk akal, meskipun dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhari!!.”[6]

Padahal Allah mampu untuk melakukan semuanya, jangankan hewan yang masih memiliki otak dan lisan bahkan tangan dan kakipun serta kulit yang tidak berotak dan tidak berlisan akan berbicara pada hari kiamat sebagaimana firman Allah:

﴿الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴾ (يّـس:65)

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” (QS. 36:65)

﴿وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴾ (فصلت:21)

Dan mereka berkata kepada kulit mereka:"Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami"

Kulit mereka menjawab:"Allah yang telah menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (QS. 41:21)

Apakah mereka menolak ayat-ayat ini karena menurut mereka tidak masuk akal??

Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka adab yang paling tertinggi terhadap Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam adalah pasrah menerima apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, mematuhi dan menjalankan perintahnya, menerima dan membenarkan berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tanpa mempertentangkannya dengan khayalan yang batil yang dinamakan “masuk akal” atau menolaknya karena syubhat atau ragu atau mendahulukan pendapat orang-orang dan kotoran-kotoran otak mereka diatas berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam…”[7]

Di zaman sekarang ini banyak orang yang menolak hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan alasan bertentangan dengan akal. Apakah mereka lupa bahwa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tidaklah berbicara kecuali dengan bimbingan Allah?? Apakah akal mereka yang lemah itu hendak mereka gunakan untuk menimbang kebenaran berita yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??.

Penolakan terhadap hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam semakin banyak jika hadits-hadits tersebut berkaitan dengan perkara-perkara goib. Mereka yang menentang hadits-hadits Nabi tersebut mengukur kebenaran hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal mereka yang lemah. Mereka mengqiaskan (mengukur) perkara yang ghoib dengan hal-hal yang mereka lihat di alam nyata. Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal karena akal yang sehatpun tidak menerima bahwa alam ghaib disamakan dengan alam nyata. Inilah yang telah menimpa para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang musyrik yang menolak dengan akal mereka berita isro’nya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho dalam satu malam. Demikianlah syaitan senantiasa menggelincirkan umat ini dari jalan kebenaran.

Lihatlah perkataan Umar bin Al-Khottob yang telah dijamin masuk surga, yang syaitan tidak berani bertemu dengannya, yang telah diberi oleh Allah kecerdasan dan ilmu yang tinggi, lihatlah perkataan beliau:

قال يا أيها الناس اتهموا الرأي على الدين فلقد رأيتني أرد أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم برأيي اجتهادا فوالله ما آلو عن الحق وذلك يوم أبي جندل والكتاب بين رسول الله صلى الله عليه وسلم وأهل مكة فقال اكتبوا بسم الله الرحمن الرحيم فقالوا ترانا قد صدقناك بما تقول ولكنك تكتب باسمك اللهم فرضي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبيت حتى قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم تراني أرضى وتأبى أنت قال فرضيت

“Wahai manusia sekalian, curigailah pemikiran kalian dalam permasalahan agama[8]. Sungguh aku telah membantah perintah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan pendapatku (pemikiranku) karena aku berijtihad. Demi Allah aku bersungguh-sungguh (berijtihad dengan pemikiranku itu) untuk menuju kepada kebenaran. Hal itu terjadi pada waktu kejadian Abu Jandal[9], tatkala buku di antara Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan penduduk Mekah (yaitu orang-orang musyrik), lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tulislah Bismillahirrohmanirrahim!”, mereka berkata, “Apakah engkau mengira kami telah membenarkan engkau (adalah utusan Allah)?, tapi engkau tulis saja “Bismikallahumma”. Lalu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam rela dengan hal itu, adapun aku tidak setuju, hingga Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata kepadaku “Engkau melihat aku telah ridha (setuju) lantas engkau enggan?”. Umar berkata, “Maka akupun rela”[10]

Ungkapan seperti ini juga diucapkan oleh para sahabat yang lain, diantaranya Sahl bin Hunaif, beliau berkata:

أيها الناس اتهموا أنفسكم فإنا كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم الحديبية ولو نرى قتالا لقاتلنا فجاء عمر بن الخطاب فقال يا رسول الله ألسنا على الحق وهم على الباطل فقال بلى فقال أليس قتلانا في الجنة وقتلاهم في النار قال بلى قال فعلام نعطي الدنية في ديننا أنرجع ولما يحكم الله بيننا وبينهم فقال يا بن الخطاب إني رسول الله ولن يضيعني الله أبدا فانطلق عمر إلى أبي بكر فقال له مثل ما قال للنبي صلى الله عليه وسلم فقال إنه رسول الله ولن يضيعه الله أبدا فنزلت سورة الفتح فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم على عمر إلى آخرها فقال عمر يا رسول الله أو فتح هو قال نعم

“Wahai manusia sekalian, curigailah diri kalian, sesungguhnya kami bersama Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pada waktu terjadi perjanjian Hudaibiyah[11] dan jika menurut kami adalah berperang maka kami akan berperang. Lalu datanglah Umar bin Al-Khottob dan berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di atas kebenaran dan mereka berada di atas kebatilan?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita (jika kita memerangi mereka) masuk surga dan orang-orang yang terbunuh dari mereka masuk neraka?”, Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Tentu saja”. Umar berkata, “Jika demikian, lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?, apakah kita kembali ke Madinah padahal Allah belum memutuskan perkara antara kita dengan mereka?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Wahai Ibnul Khottob, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan aku selamanya”. Lalu Umar pergi ke Abu Bakar dan ia berkata kepadanya apa yang telah dikatakannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, Abu Bakarpun berkata kepaanya, “Sesungguhnya ia adalah utusan Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakannya selamanya”. Lalu turunlah surat Al-Fath dan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam membacakannya kepada Umar hingga akhir surat, lalu berkata Umar, “Wahai Rasulullah, apa itu adalah Al-Fath (kemenangan kita di Mekah kelak)?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam menjawab, “Iya”[12]

Ali bin Abi Tholib berkata,

لو كان الدين بالرأي لكان أسفل الخف أولى بالمسح من أعلاه وقد رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يمسح على ظاهر خفيه

“Jika seandainya agama itu (hanya sekedar) bersandar dengan akal maka bagian bawah khuf lebih utama untuk diusap (tatkala wudlu-pen) daripada bagian atas khuf. Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam mengusap bagian atas kedua khufnya”[13]

Sungguh indah perkataan Ibnu Taimiyah[14],

فيا ليت شعرى بأي عقل يوزن الكتاب والسنة فرضى الله عن الإمام مالك بن أنس حيث قال أو كلما جاءنا رجل أجدل من رجل تركنا ما جاء به جبريل الى محمد لجدل هؤلاء

“Seandainya saya tahu dengan dengan akal siapakah hendak ditimbang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?, Semoga Allah meridhai Imam Malik bin Anas tatkala beliau berkata, “Apakah setiap datang orang yang lebih pandai bedebat daripada orang yang lain lantas kita tinggalkan apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam karena kepandaian debat mereka??”[15]



2. Mengagungkan hadits-hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan tidak menentangnya dengan pendapat sendiri

Diantara bukti yang paling kuat yang menunjukkan kecintaan seseorang kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yaitu pengagungan terhadap sabda-sabda dan wejangan-wejangan beliau dan tidak menentang keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Inilah yang telah direalisasikan oleh para sahabat dan para imam kaum muslimin sepeninggal para sahabat.

Allah berfirman:

﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)

﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً﴾ (الأحزاب:21)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)

﴿وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ الْمُبِينُ﴾ (النور: من الآية54)

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.Dan tiada lain kewajiban rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” (QS 24:54)

﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)

maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)

﴿أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ مَنْ يُحَادِدِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَأَنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِداً فِيهَا ذَلِكَ الْخِزْيُ الْعَظِيمُ﴾ (التوبة:63)

Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasannya barangsiapa menentang Allah dan Rasuil-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahannamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itulah adalah kehinaan yang besar. (QS. 9:63)

Berkata Al-Humaidi, “Kami sedang bersama Imam Asy-Syafi’i, lalu datanglah seseorang dan bertanya tentang suatu permasalahan. Maka As-Syafi’i berkata, “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam telah memutuskan permasalahan ini dengan hukum demikian dan demikian”. Orang itu berkata kepada Imam As-Syafi’i, “Bagaimana menurut pendapat Anda?”, maka Imam As-Syafii berkata,

سبحان الله!! تراني في كنيسة؟! تراني في بيعة؟! ترى على وسطي زُنَّارًا؟! أقول لك قضى فيها رسول الله وأنت تقول: ما تقول أنت؟!

“Maha suci Allah, apakah engkau sedang melihatku di gereja?!, apakah engkau sedang melihatku di tempat ibadah orang-orang yahudi?!, apakah engkau melihat di pinggangku ada zunnar (yaitu sabuk yang dipakai oleh orang-orang Nasrani)?!. Aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memutuskan perkara ini dengan hukuman demikian dan demikian lantas engkau berkata “Bagaimana menurut pendapatmu?”?![16]

عَنْ عَبْدِ الله بْنِ مُغَفَّلٍ : نَهَى النَّبِيُّ عَنِ الْخَذْفِ وَقَال((إِنَّهَا لاَتَصْطَادُ صَيْدًا وَلاَ تَنْكَأُ عَدُوًا وَلَكِنَّهَا تَفْقَأُ الْعَيْنَ وَتَكْسِرُ السِّنَّ)) فَقَالَ رَجُلٌ : وَمَا بَأْسُ هَذَا؟ فَقَالَ : إِنِّي أُحَدِّثُكَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ وَتَقُوْلَ هَذَا؟ وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا

Dari Abdullah bin Mugoffal bahwasanya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam melarang khadzf (mengutik dengan kerikil tatkala berburu untuk melukai hewan buruan-pen) dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya khadzf (kutikan) itu tidaklah menghasilkan hewan buruan, juga tidak mematikan musuh, namun hanya membutakan mata dan mematahkan gigi”. Orang itupun berkata kepada Abdullah, “Memangnya kenapa dengan khadzf?”, maka Abdullah berkata, “Saya menyampaikan kepada engkau hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lalu engkau berkata demikian?, demi Allah saya tidak akan berbicara denganmu selamanya!”.[17]

Imam An Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan pemboikotan terhadap ahlul bid’ah dan pelaku kefasikan dan penentang sunnah setelah dijelaskan kepadanya, dan boleh memboikotnya secara terus menerus. Adapun larangan dari memboikot seorang muslim lebih dari tiga hari hanyalah berlaku pada orang yang bersalah karena kepentingan pribadi atau karena persoalan kehidupan dunia. Adapun para ahlul bid’ah dan semisal mereka maka pemboikotan terhadap mereka dilakukan secara terus menerus.[18] Padahal disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa pria yang diboikot oleh Abdullah tersebut merupakan kerabat keluarga beliau.

Berkata Ibnu Hajar, “Hadits ini menunjukan akan bolehnya memboikot orang yang menyelisihi sunnah meninggalkan berbicara dengannya, dan hal ini tidak termasuk dalam larangan dari memboikot (saudara sesama muslim) lebih dari tiga hari, karena larangan tersebut hanyalah jika berkaitan dengan pemboikotan karena perkara pribadi”[19]

Dari Salim bin Abdillah, bahwasanya Abdullah bin Umar berkata:

سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ : ((لاَتَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأَنَّكُمْ إِلَيْهَا)). فَقَالَ بِلاَلُ بْنِ عَبْدِ الله : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ.

فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدِ الله فَسَبَّهُ سَبًّا شَدِيْدًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطٌ, وَقَالَ : أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُلِ اللهِ وَتَقُوْلُ : وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ

Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian pergi ke mesjid-mesjid jika mereka telah meminta idzin kepada kalian” Lalu berkatalah Bilal bin Abdullah bin Umar (yaitu putra Abdullah bin Umar-pen), “Demi Allah kami akan melarang mereka (ke mesjid)”. Maka Abdullah bin Umarpun menghadap kepadanya lalu mencelanya dengan celaan yang sangat keras yang saya sama sekali tidak pernah mendengar ia mencela seperti itu, lalu berkata, “Saya mengabarkan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas engkau berkata “Demi Allah kami akan melarang mereka”??”[20] Dalam satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Muslim فَضَرَبَ فِيْ صَدْرِهِ “Maka Abdullahpun memukul dadanya”

Imam Nawawi berkata, “Hadits ini menunjukan hukuman terhadap orang yang protes terhadap sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan yang membantah sunnah dengan pemikirannya. Hadits ini juga menunjukan (bolehnya) hukuman seorang bapak kepada anaknya walaupun sang anak telah dewasa”[21]

Berkata Ibnu Hajar[22], “Tidaklah Abdullah mengingkari putranya Bilal dengan pengingkaran yang sangat keras karena Bilal secara langsung menyelisihi hadits, namun kalau seandainya Bilal berkata misalnya “Sesungguhnya zaman sudah berubah, dan sebagian wanita terkadang nampak dari mereka keinginan pergi ke mesjid namun ternyata mereka punya maksud yang lain” maka yang nampak Abdullah bin Umar tidak akan mengingkarinya (sedemikian rupa) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Aisyah[23]”

Beliau juga berkata, “Dan diambil (faedah) dari pengingkaran Abdullah kepada putranya yaitu pemberian hukuman dan pelajaran kepada orang yang menentang sunnah Nabi dengan berlandaskan pikirannya dan kepada orang alim namun mengikuti hawa nafsunya, dan bolehnya seorang bapak memberi hukuman dan pelajaran kepada anaknya walaupun sang anak telah besar dan dewasa jika ia mengucapkan suatu perkataan yang tidak pantas, serta bolehnya memberi hukuman dengan menghajr (memutuskan hubungan). Telah datang riwayat dari jalan Ibnu Abi Najiih dari Mujahid pada Musnad Imam Ahmad فَمَا كَلَّمَهُ عَبْدُاللهِ حَتَى مَاتَ (Maka Abdullah bin Umar tidak pernah berbicara kepada anaknya (Bilal) hingga wafat)[24]. Jika riwayat ini shahih maka ada kemungkinan bahwa salah satu dari keduanya tidak lama kemudian meninggal setelah terjadinya kisah ini.”[25]

عن عطاء بن يسار : أن رجلا باع كِسرة من ذهب أو ورق بأكثر من وزنها، فقال له أبو درداء : سمعت رسول الله يقول: ((يُنْهَى عَنْ مِثْلِ هَذَا إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ)). فقال الرجل: ما أرى بمثل هذا بأسًا. فقال أبو درداء : من يعذرني من فلان؟، أحدثه عن رسول الله ويخبرني عن رأيه، لا أساكنه بأرض أنت بها

Dari ‘Ato bin Yasar, ada seseorang yang menjual sepotong (sebongkah) emas atau perak dengan harga yang lebih berat dari berat bongkahan tersebut. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata ((Dilarang dari yang seperti ini kecuali sama beratnya )antara emas atau perak yang di jual (di tukar) dengan perak atau emas yang di jadikan sebagai pembayar)). Orang tersebut berkata, “Menurut saya tidak mengapa”. Maka Abu Darda’pun berkata kepadanya, “Siapa yang menghalangiku dari orang ini?, aku sampaikan kepadanya hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam lantas dia menyampaikan kepadaku pendapatnya (yang menentang hadits). Saya tidak akan tinggal di tempat yang kamu berada di situ”[26]

عن الأعرج قال : سمعت أبا سعيد الخدري يقول لرجل: أتسمعني أحدث عن رسول الله أنه قال: ((لاَ تَبِيْعُوْا الدِّيْنَارَ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمَ بِالدِّرْهَمِ إِلاَّ مَثَلا بِمَثَلٍ، وَ لاَ تَبِيْعُوْا مِنْهَا عَاجِلاَ بِآجِلٍ)) ثم أنت تفتي بما تفتي؟، والله لايؤويني وإياك ما عشت إلا المسجد!"

Dari Al-A’roj berkata, “Saya mendengar Abu Said Al-Khudri berkata kepada seseorang, “Tidakkah engkau mendengarkan perkataanku?, aku sampaikan kepadamu hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya ia bersabda ((Janganlah kalian menjual dinar dengan dinar atau dirham dengan dirham kecuali jika sama sama berat timbangannya, dan janganlah kalian menjualnya dengan tidak kontan)), kemudian engkau berfatwa dengan fatwamu (yang menyelisihi hadits)??. Demi Allah kita tidak akan berada di bawah satu atap selama hidupku kecuali di mesjid”[27]

Berkata Al-Hakim, :”Saya mendengarnya –yaitu Abu Bakar As-Shibgi (wafat pada tahun 342 H)- tatkala dia sedang berbicara dengan seorang ahli fikih, dia berkata, “Sampaikanlah kepada kami riwayat hadits dari jalan Sulaiman bin Harb!”. Maka ahli fiqh itu berkata, حَدَّثَنَا دَعْنَا مِنْ “Tinggalkan kami dari perkataan حَدَّثَنَا (Telah menyampaikan kepada kami), إِلَى مَتَى حَدَّثَنَا وَ أَخْبَرَنَاsampai kapan terus (kita sibuk dengan) حَدَّثَنَا dan أَخْبَرَنَا (Telah mengabarkan kepada kami)??. Maka Abu Bakar As-Sibgi berkata, يا هذا لست أشُمُّ من كلامك رائحة الإِيْمَانِ، وَلاَ يَحِلُّ لَكَ أَنْ تدخل دَاري “Wahai fulan, saya tidak mencium dari perkataanmu bau kaimanan, dan tidak halal bagi engkau memasuki rumahku”. Kemudian diapun memboikot ahli fikh tersebut hingga dia wafat.[28]

Abul Husain At-Thobsi berkata, “Saya mendengar Abu Sa’id Al-Ashthikhri berkata –dan tatkala itu datang seseorang kepadanya dan bertanya kepadanya, “Apakah boleh beristinja’ dengan tulang?- maka ia (Abu Sa’id) menjawab, “Tidak boleh”. Orang itu berkata, “Kenapa tidak boleh?”, ia berkata, “Karena Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda ((هُوَ زَادُ إِخْوَانِكُمْ مِنَ الْجِنِّ)) “Dia adalah bekal (makanan) saudara-saudara kalian dari golongan jin”. Orang itu menimpali, “Bukankah manusia lebih mulia daripada jin?” ia berkata, “Tentu manusialah yang lebih mulia”. Orang itu berkata, “Jika demikian, lantas mengapa boleh beristinja’ dengan air, padahal air adalah minuman manusia?”, iapun menerjang orang itu dan memegang lehernya dan berkata “Wahai zindik (munafik), engkau menentang sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam??. Lalu ia (Abu Sa’id) mencekik orang itu, kalau tidak segera saya cegah mungkin ia telah membunuh orang itu”[29]

Ibnul Qoyyim berkata, “Apakah ada diantara para sahabat yang tatkala mendengar hadits Nabi lantas memabantahnya dengan qiyasnya?, atau dengan perasaannya?, atau dengan pendapatnya?, atau dengan akalnya?, atau dengan siasat politiknya???...apakah ada diantara mereka yang lebih mendahulukan akal atau qiyas atau perasaan atau politik atau taklid dari pada hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam ??... Sungguh Allah telah memuliakan dan mensucikan dan menjaga mata mereka dari melihat wajah orang yang demikian halnya (yang menentang hadits Nabi dengan akal atau perasaannya) atau membiarkan ada orang seperti ini dizaman mereka.

Umar bin Khottob telah memberi hukuman pedang kepada orang yang mendahulukan pendapatnya dari pada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan berkata, “ini adalah pendapatku”.

Ya Allah… bagaimana jika Umar melihat apa yang kita lihat sekarang ini?? Jika Umar menyaksikan musibah yang menimpa kita berupa sikap mengedepankan pendapat si fulan dan si fulan dari pada perkataan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang terjaga dari kesalahan?? Bagaimana jika Umar melihat penentangan orang-orang yang menampilkan pendapat-pendapat mereka dan lebih mengedepankan pendapat dan pemikiran mereka daripada perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam?? Hanyalah Allah tempat meminta pertolongan, Dari Dialah kita diciptakan dan kepadaNyalah kita kembali”.[30]

Allah berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لا تَشْعُرُونَ﴾ (الحجرات:2)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dam janganlah kamu berkata padanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. 49:2)

Berkata Ibnul Qoyyim mengomentari ayat ini, “Maka Allah memperingatkan orang-orang mukmin dari terhapusnya amalan mereka jika mereka mengeraskan suara mereka di hadapan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam sebagaimana mereka mengeraskan suara mereka diantara mereka.

Dan terhapusnya amalan dalam permasalahan ini bukanlah dikarenakan kemurtadan tetapi dikarenakan kemaksiatan yang bisa menghapuskan amal padahal pelakunya tidak merasa. Bagaimana pula dengan orang yang mengedapankan perkataan, petunjuk, dan jalan selain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam diatas perkataan, petunjuk, dan jalan Rasulullah??, bukankah orang seperti ini juga telah menghapus amalannya dan dia dalam keadaan tidak sadar??[31]



3. Tidak mengedapankan perkataan siapapun diatas perkataan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam

As-Sya’bi berkata kepada seseorang, مَا حدَّثُوك عن رسول الله فخذ به وما قالوه برأيهم فَأَلْقِهِ في الحُشِّ “Apa saja yang mereka sampaikan kepadamu dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan apa saja yang mereka katakan dari pendapat mereka maka buanglah di jamban (tempat buang air)[32]

Berkata Umar bin Abdilaziz, لارأْيَ لأَحَدٍ مع سنةٍ سنَّهَا رسولُ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[33]

Imam As-Syafi’I berkata, أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس “Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”. Dan telah sah bahwasanya beliau juga pernah berkata, لا قول لأَحَدٍ مع سنةِ رسولِ الله “Tidak dilihat pendapat siapapun jika telah ada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[34]

Berkata Ibnu Khuzaimah, , لا قول لأَحَدٍ مع رسولِ الله إِذَا صَحَّ الْخَبَرُ غنه “Tidak dipandang perkataan siapapun jika telah sah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[35]

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata, “Nabi berhaji tamattu’[36], maka Urwah bin Az-Zubair berkata, “Abu Bakar dan Umar melarang tamattu’”. Ibnu Abbas menimpali perkataannya, أُرَاهُم سَيَهْلَكُوْنَ، أَقُوْلُ قَالَ النَّبِيُّ وَيَقُوْلُوْنَ: نَهَى أَبُو بَكْرٍ وَ عُمَرُ “Aku melihat mereka akan binasa, aku menyampaikan kepada mereka “Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian”, namun mereka berkata “Abu Bakar dan Umar melarang.”[37]

Dalam riwayat yang lain beliau berkata, يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ حِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ، أَقُوْلُ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُونَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ؟؟! “Hampir saja menimpa kalian hujan batu dari langit, aku berkata “Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam berkata demikian” lantas kalian berkata, “Abu Bakar dan Umar berkata demikian dan demikian”[38]

Berkata Syaikh Ibnu Al-Utsaimin, “Abu Bakar dan Umar adalah orang yang paling terbaik dari umat ini, dan yang paling dekat kepada kebenaran. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam telah bersabda إِنْ يُطِيْعُوا أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ يَرْشُدُوا “Jika mereka patuh kepada Abu Bakar dan Umar maka mereka akan mendapat petunjuk”[39], dan diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda اِقْتَدَوْا بِالَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ “Teladanilah dua orang sepeninggalku yaitu Abu Bakar dan Umar!”[40]. Beliau shallallahu 'alihi wa sallam juga bersabda عَلَيْكُمْ بِسُنّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِي تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَجَذَِ “Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rosyidin yang mendapat petunjuk sepeninggalku. Berpegangteguhlah dengannya dan gigitlah dengan geraham-geraham kalian”[41]. Dan tidak pernah diketahui dari Abu Bakar dan Umar bahwasanya keduanya menyelisihi hadits yang sangat jelas dari Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan akal mereka berdua. Maka jika ada orang yang menghadapkan hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan perkataan Abu Bakar dan Umar maka dikawatirkan akan turun hujan batu dari langit bagaimana lagi dengan orang yang menentang hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dengan membawakan perkataan orang yang jauh di bawah derajat mereka berdua?? Padahal perbedaan antara orang tersebut dengan Abu Bakar dan Umar seperti bedanya langit dan bumi??, tentunya hukumannya lebih parah lagi.[42]”

Berkata Salim bin Abdillah,

إني لجَاَلِسٌ مع ابن عمر في المسجد إذ جاءه رجل من إهل الشام فسأله عن التمتع بالعمرة إلى الحج؟ فقال ابن عمر : حسن جميل. فقال: فإن أباك كان ينهى عن ذلك؟ فقال: ويلك! فإن كان أبي قد نهى عن ذلك وقد فعله رسول الله وأمر به، فبقول أبي تأخذ أم بأمر رسول الله؟ قال بأمر رسول الله. فقال : فقم عني

“Aku sedang duduk bersama Ibnu Umar di masjid tiba-tiba datang seseorang dari penduduk negeri Syam, lalu dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang umrah bersama haji?, maka Ibnu Umar berkata, “(Ini adalah perkara yang) baik dan bagus”. Orang itu berkata, “Tapi ayahmu (yaitu Umar bin Al-Khottob) dulu melarang perkara ini?”. Ibnu Umar berkata, “Celaka engkau, jika ayahku telah melarang perkara ini dan perkara ini telah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan telah memerintahkannya maka perkataan ayahku yang kau pegang ataukah perintah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam?!”. Orang itu berkata, “Perintah Nabi”. Ibnu Umar lalu berkata, “Menyingkirlah dariku!!”.[43]

Berkata Abu As-Saib, “Kami berada bersama Imam Waki’ lalu beliau berkata kepada seseorang yang termasuk ahlu ro’yi أَشْعَرَ رَسُوْلُ اللهِ “Rasulullah berbuat isy’ar[44]”. Orang itupun menimpali, “Tapi Abu Hanifah berpendapat bahwa isy’ar itu adalah mutslah (penyiksaan dengan mencincang)”. Kemudian orang itu melanjutkan perkataannya, “Telah datang dari Ibrahim An-Nakho’i bawhasanya dia berkata, “Isy’ar itu mutslah”. Maka akupun melihat Imam Waki’ marah besar dan berkata: أَقُوْلُ لَك ٌَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ؟؟ مَا أَحَقَّكَ بِأَنْ تُحْبَسَ ثُمَّ لاَتَخْرُجَ حَتَّى تَنْزِعَ عَن قَوْلِكَ “Aku berkata kepadamu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda demikian lantas engkau berkata Ibrahim berkata demikian..!!, engkau sungguh sangat pantas untuk dipenjara kemudian tidak keluar dari penjara tersebut hingga engkau mencabut perkataanmu ini!”[45]

Berkata Imam Ahmad:

عجِبتُ من قَومٍ عرَفوا الإسنادَ وَصِحَّتَهُ يذهبون إلى رَأْيِ سُفيانَ واللهُ يقول : ﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63). أتدري ما الفتنة؟ الفتنة شرك، لعله إذا ردَّ بعضَ قوله أَن يقعَ في قلبه شيء من الزيغ فَيهْلِك

“Aku heran terhadap sauatu kaum yang mereka mengetahui tentang isnad dan shohihnya isnad tersebut lantas mereka mengikuti pendapat Sufyan (At-Tsauri yang menyelisihi hadits Rasulullah-pen), padahal Allah telah berfirman: “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. 24:63). Tahukah engkau apa yang dimaksud dengan fitnah dalam ayat ini?, maksudnya adalah keyirikan, karena ia jika menolak sebagian hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka akan masuk dalam hatinya suatu penyimpangan lalu ia celaka”[46]

Namun yang sangat menyedihkan apa yang terjadi pada kaum muslimin, banyak dari mereka yang terlalu berlebihan dalam mengagungkan imam madzhab mereka, guru-guru mereka, kiyai-kiyai mereka sampai-sampai mereka lebih mendahulukan pendapat imam-imam mereka daripada hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam.

Ibnu Sirin menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam kepada seseorang lalu orang itu berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu..”, maka Ibnu Sirinpun berkata أُحَدِّثُكَ عَنِ النَّبِيِّ وَتَقُوْلُ قَالَ فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ كَذَا وَكَذَا؟، وَاللهِ لاَأُكَلِّمُكَ أَبَدًا “Aku menyampaikan kepadamu hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lantas engkau berkata, “Si fulan dan si fulan telah berkata ini dan itu”?, demi Allah aku tidak akan berbicara denganmu selamanya”[47]



4. Berhukum kepada sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam jika terjadi perselisihan dalam permasalahan apapun

Allah berfirman

﴿وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالاً مُبِيناً﴾ (الأحزاب:36)

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetappkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. 33:36)

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً﴾ (النساء:59)

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. 4:59)

Firman Allah شَيْءٍ “sesuatu”, dalam ayat ini mencakup seluruh perselisihan baik dalam masalah usul maupun masalah furu’[48]

﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)

Berkata Ibnu Taimiyah, “Semua yang keluar dari sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan syari’atnya (tidak berhukum dengan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam) maka Allah telah bersumpah dengan Dzatnya Yang Suci bahwasanya mereka tidaklah beriman hingga mereka ridha dengan hukum yang diputuskan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam di semua perkara yang mereka perselisihkan baik perkara agama maupun perkara dunia, dan hingga tidak tersisa dalam hati mereka rasa keberatan terhadap keputusan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[49]

﴿ألَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالاً بَعِيداً وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنْكَ صُدُوداً﴾ (النساء:60-61)

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul,” niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. (QS. 4:60-61)

Berkata Ibnul Qoyyim, “Maka Allah menjadikan sikap berpaling dari apa yang datang dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan sikap memandang kepada hukum selain hukum Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam merupakan hakikat dari kemunafikan, sebagaimana hakikat dari keimanan adalah menjadikan Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam pemutus perkara dan tidak adanya keberatan dalam dada dari keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam serta pasrah menerima dengan keputusan tersebut, ridha sesuai dengan kehendak sendiri karena kecintaan kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam. Inilah hakikat dari keimanan, dan sikap berpaling adalah hakikat dari kemunafikan”[50]

Dan hal inilah (kembali kepada sunnah Nabi tatkala terjadi perselisihan) yang diserukan oleh para Imam madzhab. Namun sungguh menyedihkan betapa banyak para pengikut madzhab yang fanatik dengan madzhab mereka. Mereka memegang teguh pendapat imam madzhab mereka, seakan-akan perkataan imam mereka turun dari langit[51], seakan-akan imam mereka ma’sum (terjaga dari kesalahan). Padahal ini menyelisihi wasiat dari para imam madzhab tersebut.[52]

a. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al-Kufi,

Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:

إذا صح الحديث فهو مذهبي

“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[53]

لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ما لم يعلم من أين أخذناه

“Tidak halal bagi seorangpun untuk mengambil pendapat kami jika dia tidak tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut”[54]

وفي رواية : ( حرام على من لم يعرف دليلي أن يفتي بكلامي )

Dalam riwayat yang lain, “Haram atas orang yang tidak mengetahui dalilku untuk berrfatwa dengan pendapatku”

زاد في رواية : ( فإننا بشر نقول القول اليوم ونرجع عنه غدا )

Dalam riwayat yang lain, “Sesungguhnya kami hanyalah manusia, kami menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya kami cabut pendapat tersebut”

وفي أخرى : ( ويحك يا يعقوب ( هو أبو يوسف ) لا تكتب كل ما تسمع مني فإني قد أرى الرأي اليوم وأتركه غدا وأرى الرأي غدا وأتركه بعد غد )

Dalam riwayat yang lain, “Celaka engkau wahai Ya’qub (yaitu Abu Yusuf), janganlah engkau menulis semua yang kau dengar dariku, karena aku terkadang menyatakan suatu pendapat pada hari ini kemudian esok harinya aku tinggalkan pendapatku tersebut, dan terkadang aku menyatakan suatu pendapat di esok hari kemudian lusanya aku tinggalkan pendapatku tersebut.”

Berkata Syaikh Al-Albani, “Hal ini terjadi karena Imam Abu Hanifah banyak membangun pendapat-pendapatnya di atas qias, lalu nampak baginya ada qias lain yang lebih kuat, atau sampai kepadanya hadits Nabi shallallahu 'alihi wa sallam (yang tadinya tidak diketahuinya) kemudian diapun mengambil hadits tersebut dan meninggalkan pendapatnya yang lalu”[55]

b. Imam Malik bin Anas


Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:

إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه

“Sesungguhnya aku hanyalah manusia berbuat benar dan bersalah, maka lihatlah kepada pendapatku, semua pendapatku yang sesuai denga Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka ambillah dan semua yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka tinggalkanlah”[56]

ليس أحد بعد النبي صلى الله عليه وسلم إلا ويؤخذ من قوله ويترك إلا النبي صلى الله عليه وسلم

Tidak seorangpun setelah sepeninggal Nabi shallallahu 'alihi wa sallamkecuali pendapatnya bisa diterima atau ditolak, kecuali Nabi shallallahu 'alihi wa sallam”[57]

قال ابن وهب : سمعت مالكا سئل عن تخليل أصابع الرجلين في الوضوء ؟ فقال : ليس ذلك على الناس، قال فتركته حتى خف الناس فقلت له : عندنا في ذلك سنة فقال : وما هي ؟ قلت : حدثنا الليث بن سعد وابن لهيعة وعمرو بن الحارث عن يزيد بن عمرو المعافري عن أبي عبد الرحمن الحنبلي عن المستورد بن شداد القرشي قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يدلك بخنصره ما بين أصابع رجليه . فقال : إن هذا الحديث حسن وما سمعت به قط إلا الساعة ثم سمعته بعد ذلك يسأل فيأمر بتخليل الأصابع

Berkata Ibnu Wahb, “Saya mendengar Malik ditanya tentang (hukum) menyela-nyela jari-jari kaki tatkala wudlu”, beliau berkata, “Hal itu tidak dilakukan oleh orang-orang”, maka akupun meninggalkannya hingga orang-orang sudah sepi lalu aku katakan kepadanya, “Kami mengetahui sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tentang hal itu”, Imam Malik berkata, “Sebutkan sunnah tersebut!”. Aku berkata, “Telah menyampaikan kepada kami Al-Laits bin Sa’ad dan Ibnu Lahi’ah dan ‘Amr bin Al-Harits dari Yazid bin ‘Amr Al-Ma’afiri dari Abi Abdirrahman Al-Habali dari Al-Mustaurod bin Syaddad Al-Qurosyi, ia berkatam “Saya melihat Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menggosok dengan jari keingkingnya sela-sela jari-jari kakinya”. Lalu berkata Imam Malik, “Hadits ini adalah hadits yang hasan, aku sama sekali tidak pernah mendengarnya kecuali sekarang.” Kemudian saya mendengar ia ditanya setelah itu maka iapun memerintahkan untuk menyela jari-jari kaki tatkala wudlu”[58]

c. Imam As-Syafi’i

Diantara wasiat-wasiat beliau adalah:

أَجْمعَ الناسُ على أنَّ من استبانتْ له سنةٌ عن رسول الله لم يكن له أنْ يَدَعَها لِقول أحد من النَّاس

“Manusia telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya suatu sunnah dari Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti perkataan (pendapat) seseorang”

)إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم فقولوا بسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ودعوا ما قلت(. وفي رواية ( فاتبعوها ولا تلتفتوا إلى قول أحد )

“Jika kalian mendapatkan dalam kitab-kitabku apa yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam maka bepandapatlah dengan sunnah Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam dan tinggalkanlah pendapatku”, dalam riwayat yang lain, “Ikutilah sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan janganlah kalian melihat pendapat siapapun”[59]

( إذا صح الحديث فهو مذهبي )

“Jika telah shahih suatu hadits maka itulah madzhabku”[60]

إذا رأيتموني أقول قولا وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم خلافه فاعلموا أن عقلي قد ذهب.

“Jika kalian mendapatiku menyatakan suatu pendapat padahal ada hadits yang shahih dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang menyelisihi pendapatku itu maka ketahuilah tatkala itu akalku sedang tidak ada”[61]

كل حديث عن النبي صلى الله عليه وسلم فهو قولي وإن لم تسمعوه مني

“Semua hadits dari Nabi shallallahu 'alihi wa sallam maka itulah pendapatku walaupun kalian tidak mendengar aku menyatakan pendapatku tersebut”[62]

d. Imam Ahmad bin Hanbal


Diantara wasiat-wasiat beliau:

لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا

“Janganlah kalian taklid kepadaku, dan jangan taklid kepada Malik, As-Syafi’i, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, namun ambillah dari mana mereka mengambil”[63]

رأي الأوزاعي ورأي مالك ورأي أبي حنيفة كله رأي وهو عندي سواء وإنما الحجة في الآثار

Beliau juga berkata, “Pendapat Al-Auza’i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah semuanya adalah pendapat, semuanya sama di sisiku. Hujjah (argumen) hanyalah pada atsar (hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam)”[64]

Syaikh Al-Albani berkata (setelah menyebutkan wasiat-wasiat empat imam madzhab di atas), “Inilah perkataan para Imam madzhab tentang perintah untuk berpegang teguh dengan hadits dan larangan untuk mentaklid mereka tanpa dalil. Perkataan-perkataan mereka ini sangat jelas, tidak bisa dipungkiri, dan tidak bisa ditarik ulur maknanya. Oleh karena itu barangsiapa yang berpegang teguh dengan semua yang shahih dari sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam walaupun menyelisihi sebagian pendapat para imam madzhab maka tidaklah dikatakan dia telah tampil beda (menyelisihi) atau telah keluar dari jalan para imam madzhab, bahkan dia adalah pengikut para imam madzhab tersebut dan telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Berbeda dengan orang yang meninggalkan sunnah Nabi shallallahu 'alihi wa sallam yang shahih hanya karena menyelisihi pendapat para imam madzhab, orang seperti ini pada hakekatnya telah menentang para imam madzhab dan menyelisihi perkataan dan wasiat mereka sebagaimana telah disebutkan disatas. Allah berfirman:

﴿فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيماً﴾ (النساء:65)

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS. 4:65)

﴿فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾ (النور: من الآية63)

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. 24:63)”[65]


Firanda Andirja
www.firanda.com

Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Al-Hakim 3/62 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih sesuai dengan kriteria persyaratan Imam Bukhari dan Muslim dan keduanya tidak mengeluarkan hadits ini (dalam kitab shahih mereka). Dan beliau disepakati oleh Ad-Dzahabi. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani karena syawahidnya (As-Shahihah no 306)

[2] Maksud dari perkataan serigala ini adalah “Engkau wahai penggembala kambing yang telah merebut kembali kambingmu dariku, sesungguhnya engkau suatu saat akan lari tatkala datang singa menerkam kambing ini dan engkau tidak bisa menyelamatkannya, lalu singa tersebut memakan kambing itu hingga puas kemudian akulah sendiri yang berada (menunggui/memperhatikan kambing itu) hingga selesai singa itu makan, lalu aku memakan kambing yang tersisa dari lahapan singa.” (Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663)

[3] HR Al-Bukhari no 3471, dan dalam tempat-tempat yang lain no 2324, 3663, dan 3690

[4] Fathul Bari 7/35 penjelasan hadits no 3663

[5] Fathul Bari 6/634, penjelasan hadits no 3471

[6] Jangankan hadits yang ini bahkan hadits yang tidak aneh saja mereka tolak sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dimana Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda :

قال النبي إذا وقع الذباب في شراب أحدكم فليغمسه ثم لينزعه فإن في إحدى جناحيه داء والأخرى شفاء

“Jika sesekor lalat jatuh di minuman salah seorang dari kalian maka hendaklah ia memebenamkan lalat tersebut (dalam minumannya) kemudia mengeluarkan lalat tersebut karena pada salah satu sayap lalat tersebut ada racun dan pada sayap yang lain ada obat”

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Abu Dawud no 3844, Ibnu Majah no 3503, Ahmad no 7353, 7562, 8642, 9024, 9157, 9719, 11205, Ibnu Hibban no 1246, 1247, 5250, Ibnu Khuzaimah no150 (1/56), An-Nasai (Al-Kubro) no 4588 (3/88), Al-Baihaqi no 1122, 1125. Hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Abu Sa’I Al-Kudri. Juga dirwayatkan dari Anas bin Malik sebagaimana dalam riwayat Al-Bazzar dengan para perawi yang tsiqoh sebagaimana perkataan Ibnu Hajar (Al-Fath 10/308 syarh hadtis no 5782) dari riwayat ‘Abdullah bin Al-Mutsanna dari paman beliau Tsumamah bahwasanya pamannya tersebut menyampaikan kepadanya seraya berkata,

كنا عند أنس فوقع ذباب في إناء فقال أنس بأصبعه فغمسه في ذلك الإناء ثلاثا ثم قال بسم الله وقال أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أمرهم أن يفعلوا ذلك

“Kami bersama Anas, lalu jatuh seeokr lalat di sebuah cangkir maka Anaspun mneclupkan lalat tersebut dengan jarinya dalam cangkir tersebut tiga kali kemudian ia berkata “Bismillah” dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) untuk melakukannya”

Sebagian mereka ada yang berkata mengomentari hadits ini, “Saya mengambil perkataan Dokter yang kafir dan saya tidak menerima perkataan Rasulullah !!!”

Oleh karena itu jangan tertipu dengan perkataan orang yang menolak hadits ini dengan dalih bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan riwayat-riwayat Abu Hurairah masih perlu diteliti dan dipertanyakan. Ketahuilah bahwa seandainya Abu Hurairah sendiri yang meriwayatkan hadits ini maka kita harus menerimanya karena dia adalah seorang sahabat yang pernah didoakan oleh Rasulullah agar kuat hapalannya. Apalagi jika hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik –semoga Allah meridhoi mereka-.

Berkata Al-Khottobi هذا مما ينكره من لم يشرح الله قلبه “Hadits ini diantara hadits-hadits yang diingkari oleh orang yang tidak dilapangkan dadanya oleh Allah” (Umdatul Qori 21/293)

[7] Madarijus Salikin 2/387

[8] Berkata Ibnu Hajar, “Yaitu janganlah kalian beramal dalam perkara agama dengan hanya sekedar mengandalkan otak dengan tanpa bersandar kepada dalil dari agama” (Fathul Bari 13/353, syarh hadits no7308)

[9] Maksudnya adalah tatkala terjadi perundingan Hudaibiyah. Berkata Ibnu Hajar, “Disebut kejadian Abu Jandal karena kejadian yang paling genting tatkala itu adalah kisah Abu Jandal” (Fathul Bari 6/338 syarah hadits no 3181). Lihat kisah Abu Jandal dan jalannya perundingan Hudaibiyah secara lengkap pada HR Al-Bukhari no 2731,2732, Kitab As-Syurut. Secara ringkas kejadiannya sebagai berikut:

Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersama para sahabatnya (diantaranya adalah Abu Bakar dan Umar) pergi dari Madinah pada hari senin bulan Dzul Qo’dah tahun ke enam Hijriah (Umdatul Qori 14/6), menuju Mekah untuk melaksanakan Umroh. Tatkala Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya sampai dan singgah di Hudaibiyah datanglah Budail bin Warqo’ mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bahwa orang-orang musyrik di Mekah telah siap siaga untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dan para sahabatnya dan akan mengahalangi mereka mengerjakan umroh. Nabi ÷pun berkata,

إنا لم نجئ لقتال أحد ولكنا جئنا معتمرين وإن قريشا قد نهكتهم الحرب وأضرت بهم فإن شاؤوا ماددتهم مدة ويخلوا بيني وبين الناس فإن أظهر فإن شاؤوا أن يدخلوا فيما دخل فيه الناس فعلوا وإلا فقد جموا وإن هم أبوا فوالذي نفسي بيده لأقاتلنهم على أمري هذا حتى تنفرد سالفتي ولينفذن الله أمره

“Sesungguhnya kami datang bukan untuk memerangi seorangpun, namun kami datang untuk mengerjakan umroh. Sesungguhnya peperangan (yang telah terjadi antara kaum muslimin dan kafir Quraisy secara berulang-ulang-pen) telah melemahkan kaum Quraisy dan telah memberi kemudhorotan kepada mereka. Jika mereka ingin maka aku akan memberikan waktu perdamaian (gencat senjata) antara aku dan orang-orang (yaitu orang-orang kafir Arab). Jika (di masa perdamaian tersebut) kaum selain mereka (yaitu orang-orang kafir dari selain kafir Quraisy kota Mekah) mengalahkan aku maka mereka tidak perlu memerangiku lagi (karena aku telah dikalahkan oleh selain mereka-pen). Dan jika aku mengalahkan kaum selain mereka, maka jika mereka ingin mentaatiku sehingga masuk dalam Islam sebagaimana orang-orang masuk dalam Islam maka silahkan. Dan jika mereka enggan masuk dalam Islam maka selepas masa gencatan senjata kekuatan mereka telah kembali. Namun jika mereka (sekarang) enggan untuk gencatan senjata maka demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, aku sungguh-sungguh akan memerangi mereka di atas agamaku hingga aku mati (dan aku bersendirian dalam kuburanku). Dan sesungguhnya Allah akan menolong agamaNya”.

Akhir cerita akhirnya orang-orang Quraisy setuju dengan gencatan senjata lalu mereka mengutus Suhail bin ‘Amr untuk menulis perjanjian damai dengan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam.

فجاء سهيل بن عمرو فقال هات اكتب بيننا وبينكم كتابا فدعا النبي صلى الله عليه وسلم الكاتب فقال النبي صلى الله عليه وسلم بسم الله الرحمن الرحيم قال سهيل أما الرحمن فوالله ما أدري ما هو ولكن اكتب باسمك اللهم كما كنت تكتب فقال المسلمون والله لا نكتبها إلا بسم الله الرحمن الرحيم فقال النبي صلى الله عليه وسلم اكتب باسمك اللهم ثم قال هذا ما قاضى عليه محمد رسول الله فقال سهيل والله لو كنا نعلم أنك رسول الله ما صددناك عن البيت ولا قاتلناك ولكن اكتب محمد بن عبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم والله إني لرسول الله وإن كذبتموني اكتب محمد بن عبد الله (وفي رواية: وكان لا يكتب، فقال لعلي: "امْحُ رسولَ الله"، فقال علي: "والله ر أمحاه أبداً". قال: "فأرِنِيه". فأراه إياه فمحاه النبي بيده) فقال له النبي صلى الله عليه وسلم على أن تخلوا بيننا وبين البيت فنطوف به فقال سهيل والله لا تتحدث العرب أنا أخذنا ضغطة ولكن ذلك من العام المقبل فكتب فقال سهيل وعلى أنه لا يأتيك منا رجل وإن كان على دينك إلا رددته إلينا قال المسلمون سبحان الله كيف يرد إلى المشركين وقد جاء مسلما فبينما هم كذلك إذ دخل أبو جندل بن سهيل بن عمرو يرسف في قيوده وقد خرج من أسفل مكة حتى رمى بنفسه بين أظهر المسلمين فقال سهيل هذا يا محمد أول ما أقاضيك عليه أن ترده إلي فقال النبي صلى الله عليه وسلم إنا لم نقض الكتاب بعد قال فوالله إذا لم أصالحك على شيء أبدا قال النبي صلى الله عليه وسلم فأجزه لي قال ما أنا بمجيزه لك قال بلى فافعل قال ما أنا بفاعل قال أبو جندل أي معشر المسلمين أرد إلى المشركين وقد جئت مسلما ألا ترون ما قد لقيت وكان قد عذب عذابا شديدا في الله

Lalu datanglah Suhail bin ‘Amr, lalu iapun berkata kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam “Tulislah suatu pernyataan antara kami dan kalian!”, maka Nabi shallallahu 'alihi wa sallam memanggil penulis (yaitu Ali bin Abi Tholib) dan menyuruhnya untuk menulis Bismillahirrohmanirrohim. Suhail berkata, “Adapun Ar-Rohim maka demi Allah, aku tidak tahu apa itu?, tapi tulislah saja bismikallahumma sebagaimana engkau pernah menulis demikian” (karena kebiasaan orang jahilah dahulu mereka menulis “bimikallahumma” dan mereka tidak mengenal bismillahirromanirrohim, lihat Umdatul Qori 14/13). Kaum muslimin (yaitu para sahabat Nabi shallallahu 'alihi wa sallam) berkata, “Demi Allah kami tidak akan menulis kecuali bimillahhirrohmanirrohim”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata kepada si penulis, “Tulilah bismikallahumma”, kemudian beliau shallallahu 'alihi wa sallam memerintahkan untuk menulis “Ini adalah keputusan Muhammad utusan Allah”. Suhail berkata, “Demi Allah kalau kami mengetahui bahwasanya engkau adalah utusan Allah maka kami tidak akan menghalangimu untuk umroh dan kami tidak akan memerangimu, tapi tulislah “Muhammad bin Abdillah”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Demi Allah aku adalah utusan Allah meskipun kalian mendustakan aku, tulislah “Muhammad bin Abdillah”. ((Dalam riwayat yang lain dari hadits Al-Baro’ –HR Al-Bukhari no 3184- Dan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam tidak (pandai) menulis maka iapun berkata kepada Ali, “Hapuslah tulisan “Utusan Allah!”. Ali berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya selamanya”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Perlihatkanlah kepadaku tulisan tersebut!”, maka Alipun memperlihatkannya kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun menghapusnya dengan tangannya)). Lalu Nabi berkata kepada Suhail, “Dengan syarat kalian membiarkan kami untuk ke baitullah melaksanakan towaf”. Suhail berkata, “Demi Allah tidak (bisa demikan) –Bangsa Arab akan mengatakan bahwa kami telah terpaksa (mengalah membiarkan kalian umroh-pen)-, tapi kalian bisa umroh tahun depan”, lalu hal itupun di catat (dalam pernyataan perdamaian), lalu Suhai berkata (menambah pernyataan), “Dengan syarat tidak ada seorangpun yang datang dari kami (dari Mekah) meskipun ia berada di atas agamamu (Islam) kecuali engkau mengembalikannya kepada kami”. Para sahabat berkata, “Subhanallah, bagaiamana dikembalikan kepada orang-orang musyrik padahal ia telah datang (kepada kami) dalam keadaan beragama Islam?”. Dan tatkala mereka masih berunding membuat pernyataan perdamaian, tiba-tiba datang Abu Jandal anak Suhai bin ‘Amr dalam keadaan berjalan tertatih-tatih karena ada belenggu yang membelenggunya, ia telah lari dari bawah kota Mekah dan melemparkan dirinya di tengah-tengah para sahabat. Berkata Suhai (ayah Abu Jandal), “Wahai Muhammad ini adalah orang pertama yang aku menuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku!”. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam berkata, “Kita sama sekali belum selesai membuat pernyataan!”. Suhail berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku sama sekali tidak mau mengadakan perundingan damai denganmu”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Biarkanlah ia (Abu Jandal) bersamaku!”, Suhail berkata, “Aku tidak akan membiarkannya bersamamu!”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tidak, tapi engakau akan membiarkannya bersamaku, lakukanlah!”. Suhail berkata, “Aku tidak akan melakukannya”. Berkata Abu Jandal, “Wahai kaum muslimin, apakah aku dikembalikan kepada orang-orang musyrik (Mekah) padahal telah datang dalam keadaan beragama Islam?, tidakkah kalian melihat apa yang telah menimpaku?”, dan ia telah disiksa oleh orang-orang musyrik dengan siksaan yang keras karena bertahan di jalan Allah.

فقال عمر بن الخطاب فأتيت نبي الله صلى الله عليه وسلم فقلت ألست نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال إني رسول الله ولست أعصيه وهو ناصري قلت أو ليس كنت تحدثنا أنا سنأتي البيت فنطوف به قال بلى فأخبرتك أنا نأتيه العام قال قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به قال فأتيت أبا بكر فقلت يا أبا بكر أليس هذا نبي الله حقا قال بلى قلت ألسنا على الحق وعدونا على الباطل قال بلى قلت فلم نعطي الدنية في ديننا إذا قال أيها الرجل إنه لرسول الله صلى الله عليه وسلم وليس يعصي ربه وهو ناصره فاستمسك بغرزه فوالله إنه على الحق قلت أليس كان يحدثنا أنا سنأتي البيت ونطوف به قال بلى أفأخبرك أنك تأتيه العام قلت لا قال فإنك آتيه ومطوف به

Umar berkata,”Akupun mendatangi Nabi shallallahu 'alihi wa sallam lalu aku berkata kepadanya, “Bukankah engkau adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada agama kita?”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Aku adalah Utusan Allah dan aku tidak bermaksiat kepadaNya, dan Dia adalah penolongku”. Aku (Umar) berkata, “Bukankah engkau perrnah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan bertowaf di ka’bah?”, Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Iya, namun apakah aku mengabarkan kepadamu bahwa kita akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Umar bekata, “Tidak”. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana”. Umar berkata, “Akupun mendatangi Abu Bakar, lalu aku katakana kepadanya, “Wahai Abu Bakar , bukankah Nabi Muhammad adalah benar seorang Nabi (utusan) Allah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Bukankah kita berada di atas kebenaran dan musuh kita berada di atas kebatilan?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja”, Aku berkata, “Lantas mengapa kita bersikap merendah pada dalam agama kita?”, Abu Bakar berkata, “Wahai Umar, sesungguhnya ia adalah utusan Allah, dan tidak akan bermaksiat kepada Tuhannya, dan Tuhannya akan menolongnya, maka berpegangteguhlah dengan perintahnya dan janganlah menyelisihinya!”. Aku berkata, “Bukankah ia pernah mengabarkan kepada kita bahwa kita akan mendatangi ka’bah dan berthowaf di ka’bah?”, Abu Bakar berkata, “Tentu saja, namun apakah ia mengabarkan kepadamu bahwa engkau akan mendatangi ka’bah tahun ini?”, Aku berkata, “Tidak”, Abu Bakar berkata, “Engkau akan mendatangi ka’bah dan akan thowaf di sana!”. (HR Al-Bukhari no 2731, 2732, Fathul Bari 5/408-425, Umdatul Qori 14/3-14)

Imam Nawawi berkata, “Para ulama berkata bahwa bukanlah pertanyaan-pertanyaan Umar kepada Nabi shallallahu 'alihi wa sallam di atas karena keraguan, namun karena karena beliau ingin mengungkap apa yang ia tidak pahami (kenapa Nabi shallallahu 'alihi wa sallam bisa memutuskan demikian –pen) dan untuk memotivasi (Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan Abu Bakar) untuk merendahkan orang-orang kafir dan memenangkan Islam sebagaimana hal ini merupakan akhlak beliau dan semangat dan kekuatan beliau dalam menolong agama dan menghinakan para pelaku kebatilan. Adapun jawaban Abu Bakar kepada Umar yang seperti jawaban Nabi shallallahu 'alihi wa sallam, hal ini merupakan tanda yang sangat jelas akan tingginya kemuliaan Abu Bakar dan dalamnya ilmu beliau serta menunjukan kelebihan beliau di atas para sahabat yang lain dalam pengetahuan dan kemantapan ilmu pada seluruh perkara tersebut” (Al-Minhaj 12/141, atau cetakan Al-Ma’arif 12/353)

[10] HR At-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 1/72 dan Al-Bazzar dalam musnadnya 1/254

[11] Berkata Al-Muhib At-Thobari, “Hudaibiyah adalah sebuah kampung yang letaknya dekat dengan Mekah, dan sebagian besar wilayah Hudaibiyah masuk dalam tanah suci haram” (Umdatul Qori 14/6)

[12] HR Al-Bukhari no 3182, Lihat Umdatul Qori 15/104

[13] HR Abu Dawud 1/42 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, dan dihasankan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Beliau juga menghasankannya dalam bulughul maram, namun beliau mengatakan dalam At-Talkhish “Isnadnya shahih”

[14] Majmu’ Fatawa 5/29

[15] Ad-Dzahabi menukil perkataan Imam Malik ini dala As-Siyar 8/99

[16] Siyar A’lam An-Nubala’ 10/34 dan Hilyatul Auliya’ 9/106

[17] HR Al-Bukhari no 5479 dan Muslim 1954, Ad-Darimi no 454 (1/407) dan lafal ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah hal 96 (lihat ta’dzimus sunnah hal 24)

[18] Al-Minhaj syarh shahih Muslim 13/106

[19] Fathul Bari 9/753

[20] HR Muslim no 442, Al-Bukhari no 865 namun tanpa ada kisah marahnya Abdullah bin Umar kepada anaknya Bilal

[21] Al-Minhaj syarh Shaihih Muslim 4/384

[22] Fathul Bari 2/450

[23] Yaitu perkataan Aisyah لَوْ أَدْرَكَ رَسُوْلُ اللهِ مَا أَحْدَثَ النِّسَاءُ لَمَنَعَهُنَّ كَمَا مُنِعَتْ نِسَاءُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ “Kalau seandainya Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam menjumpai apa yang diperbuat oleh para wanita (di zaman Aisyah sepeninggal Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam-pen) maka ia akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya para wanita dari bani Israil” (HR Al-Bukhari no 869)

[24] Lihat Musnad Imam Ahmad no 4933

[25] Fathul Bari 2/450

[26] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh di Al-Ibanah no 94

[27] Dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah no 95

[28] Siyar A’lam An-Nubala (15/485) dan Thobaqoot As-Syafi’iyah karya As-Subki (3/10)

[29] Madarijus Salikin 1/334

[30] Madarijus Salikin 1/334

[31] Al-Wabil As-Soyyib hal 24, dar Ibnul Jauzi

[32] HR Ad-Darimi no 206 (1/285). Berkata Pentahqiq, “Isnadnya shahih dan atsar ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Battoh dalam Al-Ibanah 2/517 no 607 dan Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Usulil Ahkam 6/1030 dari dua jalan keduanya dari Malik bin Migwal”

[33] HR Ad-Darimi no 446 (1/401), berkata pentahqiq :”Isnadnya shohih”

[34] I’lamul Muwaqqi’in 2/201

[35] I’lamul Muwaqqi’in 2/202

[36] Maksudnya adalah haji qiron. Haji qiron juga disebut tamattu’ karena digabungkannya umroh dan haji dalam satu amalan

[37] Jami’ bayan Al-‘Ilmi wa fadlihi 1/129 no 443, Musnad Ahmad no 3121

[38] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid.

[39] HR Muslim (Al-Masajid, bab qodho As-Sholat Al-Faitah)

[40] HR Ahmad dalam kitab fadhoil As-Shohabah 1/186, di Al-Musnad 5/399, Al-Bukhari di Al-Kuna hal 50 dan At-Thirmidzi dalam sunannya (Al-Manaqib, bab manaqib Abi Bakr wa Umar), beliau berkata, Hadits Hasan”

[41] HR Ahmad dalam Al-Musnad 4/126,127, Abu Dawud (As-Sunnah, bab luzumis Sunnah), At-Thirmidzi (Kitabul Ilmu, bab ما جاء في الأَخذ في السنة واجتناب البدعة)

[42] Al-Qaoul Al-Mufid, Syaikh Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi 2/152

[43] Berkata Syaikh Al-Albani; “Diriwayatkan oleh At-Thohawi dalam Syarh Ma’anil Atsar (1/372 fotokopian maktabah) dan Abu Ya’la pada musnadnya (3/1317) dengan isnad yang jayyid (baik), para perawinya tsiqoh” (Sifat sholat Nabi hal 54)

[44] Mengisy’ar yiatu memberi tanda kepada onta dengan menggores (melukai) salah satu sisi dari dua sisi punuk unta hingga mengalir darahnya, yang ini dijadikan sebagai tanda bahwa onta ini merupakan hewan hadyu haji. (Tuhfatul Ahwadzi 3/770)

[45] Atsar ini dibawakan oleh Imam At-Thirmidzi dalam sunan beliau di bawah hadits no 906.

[46] Sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam Kitabut Tauhid

[47] HR Ad-Darimi no 455 (1/401), berkata pentahqiq ,”Isnadnya hasan karena ada perowi yang bernamaSa’id bin Basyir”

[48] Karena kalimat شَيْءٍ adalah nakiroh dalam konteks kalimat syarat maka memberikan faedah keumuman (sebagaimana kaedah ini jelas dalam kitab-kitab ushul fiqh). Lihat Sittu Duror hal 74, dan Adhwaul Bayan 1/204

[49] Majmu’ Fatawa 28/471

[50] Mukhtashor Sowa’iq Al-Mursalah 2/353

[51] Sebagaimana perkataa Al-Kirkhi dalam bukunya Ar-Risalah fi ushulil hanafiyah hal 169-170 (dicetak bersama buku ta’sis an-nadzor, karya Ad-Dabbusi): “Semua ayat yang menyelesihi pendapat para sahabat kami (penganut madzhab Hanafi) maka ayat tersebut di ta’wil (dipalingkan maknanya dari makna yang dzhohir/nampak) atau ayat tersebut sudah mansukh. Dan demikian juga halnya dengan seluruh hadits maka dita’wil atau mansukh”

[52] Yang lebih menyedihkan lagi adalah kenyataan pahit yang nampak di sebagian pendok-pondok pesantren yang ada di Indonesia dimana murid-murid pndok pesantren menjadikan perkataan para kiyai mereka (yang jelas-jelas kedudukannya jauh di bawah kedudukan para imam madzhab) seperti perkataan Nabi. Apalagi jika kiyai tersebut telah mendapatkan predikat WALI, maka seluruh perkataannya dibenarkan oleh para pengikutnya. Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan “Seandainya wali fulan menyatakan bahwa langit warnanya merah maka akan saya benarkan”???

[53] Ibnu Abidin, dalam hasyiahnya (1/63) dan risalah beliau “Rosmul Mufti” (1/4 dari majmu’ah rosail Ibnu Abidin). Lihat Sifat sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)

[54] Ibnu Abdil Barr dalam bukunya “Al-Intiqo’ fi fadhoil Ats-Tsalatsah Al-Aimmah Al-Fuqoha’” hal 145, Ibnu Abidin dalam Hasyiahnya terhadap Al-Bahr Ar-Roiq (6/293) dan dalam Rosmul Mufti hal 29,32, lebih lengkapnya selanjutnya lihat Sifat Sholat Nabi hal 46 (catatan kaki)

[55] Sifat shalat Nabi hal 47

[56] Ibnu Abdilbar dalam Al-Jami’ (2/32)

[57] Lihat takhrij atsar ini dalam shifat sholat Nabi hal 49

[58] Muqoddimah Al-Jarh wa At-Ta’dil karya Ibnu Abi Hatim hal 31-32 dan diriwayatkan secara sempurna oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan (1/81)

[59] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)

[60] An-Nawawi dalam Majmu’ (1/63)

[61] Ibnu Asakir, dalam tarikh Dimasq dengan sanad yang shahih 15/10/1

[62] Ibnu Abi Hatim hal 93-94

[63] Ibnul Qoyyim, I’lamul Muwaqqi’in (2/302)

[64] Ibnu Abdilbar di “Al-Jami’” (2/149)

[65] Sifat shalat Nabi hal 53-54

Sumber: firanda.com

Jumat, 20 September 2013

Perintah Mengenakan Jilbab dan Menjaga Aurat

Perintah Mengenakan Jilbab dan Menjaga Aurat, Apakah Khusus Bagi Isteri Nabi?


Salah seorang perempuan cerdik & shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dgn mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan & kehancuran. Dan dgn hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab & rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91)
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)

Mulia Mengenakan Pakaian Takwa

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian utk menutup auratmu & pakaian indah utk perhiasan. & pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dgn sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu utk tak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] & selainnya dgn sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dgn ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dgn mendahulukan istri & anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, & juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain utk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dgn keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian & keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, & sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dlm hal menutup wajah & dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah Mengenakan Jilbab/Hijab Khusus utk Isteri Nabi?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan utk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dlm hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan utk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dlm perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dlm Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian & hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53)

Alasan hukum yang disebutkan Allah dlm menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki & perempuan dari godaan nafsu di dlm firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka & hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan & kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus utk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya.

 Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dlm ayat ini bersifat umum dgn adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat Jilbab

Di dlm kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh & juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang & semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dlm Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani & para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an & As-Sunnah sebagai berikut:
Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dlm hal menutup wajah & kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah & kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah & bukan sesuatu yang wajib.

Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dgn warna selain hitam & beliau tak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dgn pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak & semacamnya.

Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pakaian itu harus tebal, tak boleh tipis supaya tak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dlm Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh & tak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.

Harus longgar, tak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dlm riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.

Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud & Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dgn memakai wangi-wangian & bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan & kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari & lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan & perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud & Ahmad dgn sanad sahih)

Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i & Ahmad)

Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud utk mencari popularitas. Yang dimaksud dgn libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai utk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah dgn sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dgn sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Siapa Saja Yang Boleh Melepaskan Jilbab?

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid & mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dgn tak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, & berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dgn Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tak punya hasrat menikah utk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dgn perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tak lagi berhasrat utk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tak diizinkan-Nya kepada selain mereka.

Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dlm keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan utk ditutupi sebagaimana tercantum dlm firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab & sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh & melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tak menarik utk dinikmati & tak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah) Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah & Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya & tak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah).

Adapun yang dimaksud dgn pakaian yang boleh dilepas dlm ayat ini adalah kerudung, jubah, & semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tak melepas pakaian tersebut (kerudung & semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah).


Penulis: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi,
Artikel www.muslimah.or.id sumber: www.muslimah.or.id

Selasa, 17 September 2013

Bagaimana Kurban Bagi Orang Yang Sudah Meninggal?

BAGAIMANA KURBAN BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL?

Senin, 3 Desember 2007 06:14:14 WIB

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Menjawab pertanyaan diatas, berikut kami bawakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang kami ambil dari kitab Ahkam Al-Adhahi wal Dzakaah, dengan beberapa tambahan referensi lainnya.

Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya.

Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk.

1. Menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia.

Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi.

“Artinya : Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih) [1]. Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [2] Dasarnya ialah hadits Aisyah, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai , Aisyah, bawakan pisau”, kemudian beliau berkata : “Tajamkanlah (asahlah) dengan batu”. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : “Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad”, kemudian menyembelihnya” [Riwayat Muslim]

Sehingga seorang yang menyembelih kurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuk dalam ahli bait semua yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat mupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.

2. Menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah.

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Artinya : Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah : 181]

Dr Abdullah Ath-Thayaar berkata : “Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat” [3]

3. Menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan.

Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan” [4]

Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal dimasa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal.

Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah meninggal.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmdzi.
[2]. Majmu Al-Fatawa (23/164)
[3]. Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain wa Asyara Dzilhijjah, cetakan Pertama Tahun 1413H Daar Al-Ahimah, Riyadh KSA, hal. 72
[4]. Majmu Al-Fatawa (26/306)

Sumber

Sabtu, 14 September 2013

TAHLILAN ADALAH BID'AH MENURUT MADZHAB SYAFI'I


Kategori: Fiqh Diterbitkan pada 22 March 2013 Klik: 33725
Print
Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?

Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!

A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!".

          Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

          Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan??!!

Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!



B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

          Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)



C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara Tahlilan

Banyak hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya acara tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".

Al-Qoffaal  (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan !!!



KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut…

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan "duduk-duduk untuk ta'ziyah" adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis

(2) Hal ini hanya menambah biaya

(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)



KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah

Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)



D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya tahlilan adalah :

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika seseorang telah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana  beliau berkata, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban dengan tulisan dan dalil !!"

Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah di Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :

"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama….

Penulis Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"…

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim dst"…

Ditulis oleh pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…

Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)



Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)

Kedua :  Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

-         Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

-         Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.

Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.

Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:

-         Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat

-         Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

-         Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

-         Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!

-         Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 10-05-1434 H / 22 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Postingan Lama Beranda