Senin, 27 Januari 2014

Hukum Wudhu Sambil Bicara

Hukum Wudhu Sambil Bicara


Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum. Pak Ustadz, apakah boleh kita berwudhu sambil bicara? Jazakumullah khairan.
Ramadhany (rdhany**@***.**)

Jawaban:
Bismillah.
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
berbicara-ketika-berwudhu
Madzhab Malikiyah menegaskan dimakruhkannya berbicara tanpa dibutuhkan, yang isinya selain dzikir kepada Allah. Sementara menurut madzhab Syafi’iyah, Hanafiyah, dan Hambali, berbicara ketika wudhu di luar kebutuhan hukumnya kurang utama. Artinya lebih diutamakan diam.
Imam al-Buhuti Al-Hambali dalam Kasyaful Qana’ mengatakan:

ولا يسن الكلام على الوضوء، بل يكره؛ قاله جماعة، قال في الفروع: والمراد بغير ذكر الله، كما صرح به جماعة، والمراد بالكراهية ترك الأولى…مع أن ابن الجوزي وغيره لم يذكروه فيما يكره

“Tidak dianjurkan untuk berbicara ketika berwudhu, bahkan dimakruhkan. Ini adalah pendapat sekelompok ulama. Maksud makruhnya berbicara di sini adalah berbicara yang isinya bukan dzikir kepada Allah, sebagaimana keterangan sekelompok ulama. Dan makna makruh dalam masalah ini adalah: kurang afdhal… Sementara itu, Ibnul Jauzi dan beberapa ulama lainnya, menganggap berbicara ketika wudhu sebagai perbuatan yang tidak dimakruhkan. (Lihat  Kasyaful Qana’, 1:103)

Sebagai catatan penting, tidak ada satupun ulama yang mengharamkan berbicara ketika wudhu. Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ditegaskan:

ولم يحرم الحديث أثناء الوضوء أحد، فهو جائز مع الكراهة وتركه أولى

“Tidak ada satupun ulama yang mengharamkan berbicara ketika wudhu. Karena itu, berbicara pada saat wudhu dibolehkan, hanya saja hukumnya makruh, kurang utama.” (Fatawa Syabakah, no. 14793)
Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Rabu, 15 Januari 2014

KEMUNGKARAN ACARA MAULID YANG DIINGKARI OLEH PENDIRI NU KIYAI MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI RAHIMAHULLAH

KEMUNGKARAN ACARA MAULID YANG DIINGKARI OLEH PENDIRI NU KIYAI MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI RAHIMAHULLAH


Tidak diragukan lagi bahwa melaksanakan perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah perkara yang tidak dikenal oleh para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali bin Abi Tholib tidak pernah merayakannya, bahkan tidak seorang sahabatpun. Padahal kecintaan mereka kepada Nabi sangatlah besar…mereka rela mengorbankan harta bahkan nyawa mereka demi menunjukkan cinta mereka kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian pula tidak diragukan lagi bahwasanya para imam 4 madzhab (Al-Imam Abu Hanifah, Al-Imam Malik, Al-Imam As-Syafi'i, dan Al-Imam Ahmad) juga sama sekali tidak diriwayatkan bahwa mereka pernah sekalipun melakukan perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Karenanya sungguh aneh jika kemudian di zaman sekarang ini ada yang berani menyatakan bahwa maulid Nabi adalah sunnah, bahkan sunnah mu'akkadah??!! (Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang tokoh sufi Habib Ali Al-Jufri, ia berkata, "Maulid adalah sunnah mu'akkadah, kita tidak mengatakan mubah (boleh) bahkan sunnah mu'akkadah, silahkan lihat di https://www.youtube.com/watch?v=q8S5hoERnsc)

Tentu hal ini menunjukkan kejahilan Habib Al-Jufri, karena sunnah mu'akkadah menurut ahli fikih adalah : sunnah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan ditekankan oleh Nabi serta dikerjakan oleh Nabi secara kontinyu, seperti sholat witir dan sholat sunnah dua raka'at sebelum sholat subuh. Jangankan merayakan maulid berulang-ulang, sekali saja tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Pernyataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah sunnah mu'akkadah melazimkan kelaziman-kelaziman yang buruk, diantaranya :

Pertama : Perayaan maulid Nabi termasuk dari bagian agama yang dengan bagian tersebut maka Allah menyempurnakan agamaNya. Jika ternyata perayaan maulid Nabi baru muncul ratusan tahun setelah wafatnya Nabi, menunjukkan bahwa kesempurnaan agama baru sempurna ratusan tahun setelah wafatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

Kedua : Berarti Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dan para sahabatnya, bahkan para tabi'in dan juga para imam 4 madzhab semuanya telah meninggalkan sunnah mu'akkadah yang sangat penting ini !!!, padahal mereka begitu terkenal sangat bersemangat dalam beribadah !!?

Ketiga : Hal ini juga melazimkan bahwa orang-orang yang merayakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan amalan sunnah mu'akkadah dan juga telah meraih pahala yang terluputkan oleh Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab.

(silahkan baca kembali "DIALOG ASWAJA - SYIAH vs WAHABI tentang BID'AH HASANAH")  



Diantara perkara yang menunjukkan bid'ahnya perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah ternyata banyak kemungkaran-kemungkaran yang terjadi dalam perayaan maulid.

Karenanya tatkala ada sebagian ulama yang membolehkan perayaan maulid maka mereka menyebutkan cara perayaan yang benar, dan mereka mengingkari tata cara perayaan yang berisi banyak kemungkaran.

Diantara para ulama yang mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang terjadi di perayaan maulid adalah Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari rahimahullah pendiri N.U. Bahkan beliau rahimahullah telah menulis sebuah risalah yang berjudul

التَّنْبِيْهَاتُ الْوَاجِبَاتُ لِمَنْ يَصْنَعُ الْمَوْلِدَ بِالْمُنْكَرَاتِ

(Peringatan-peringatan yang wajib terhadap orang-orang yang merayakan maulid Nabi dengan kemungkaran)

Meskipun Kiyai Muhammad Hasyim al-Asy'ari membolehkan merayakan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi beliau meletakkan aturan-aturan dalam perayan maulid tersebut.

Beliau sungguh terkejut tatkala melihat orang-orang yang merayakan maulid Nabi telah melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam perayaan tersebut, sehingga mendorong beliau untuk menulis risalah ini sebagai bentuk bernahi mungkar.

Beliau berkata di awal risalah beliau ini :

"Pada senin malam tanggal 25 Robi'ul awwal 1355 Hijriyah, sungguh aku telah melihat sebagian dari kalangan para penuntut ilmu di sebagian pondok telah melakukan perkumpulan dengan nama "Perayaan Maulid". Mereka telah menghadirkan alat-alat musik lalu mereka membaca sedikit dari Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang datang tentang awal sirah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang tanda-tanda kebesaran Allah yang terjadi tatkala maulid (kelahiran) Nabi, demikian juga sejarah beliau yang penuh keberkahan setelah itu. Setelah itu merekapun mulai melakukan kemungkaran-kemungkaran seperti saling berkelahi dan saling mendorong yang mereka namakan dengan "Pencak silat" atau "Box", dan memukul-mukul rebana. 

Semua itu mereka lakukan dihadapan para wanita ajnabiah (bukan mahram mereka-pen) yang dekat posisinya dengan mereka sambil menonton mereka. Dan juga musik dan sandiwara cara kuno, dan juga permainan yang mirip dengan judi, serta bercampurnya (ikhtilatnya) para lelaki dan wanita. Juga nari-nari dan tenggelam dalam permainan dan tertawa, suara yang keras dan teriakan-teriakan di dalam mesjid dan sekitarnya. Maka akupun melarang mereka dan mengingkari perbuatan kemungkaran-kemungkaran tersebut, lalu mereka pun buyar dan pergi"

Setelah itu Kiyai Muhammad Hasyim berkata :

"Dan tatkala perkaranya sebagaimana yang aku sifatkan dan aku takut perbuatan yang menghinakan ini akan tersebar di banyak tempat, sehingga menjerumuskan orang-orang awam kepada kemaksiatan yang bermacam-macam, dan bisa jadi mengantarkan mereka kepada keluar dari agama Islam, maka aku menulis peringatan-peringatan ini sebagai bentuk nasehat untuk agama dan memberi pengarahan kepada kaum mulsimin. Aku berharap agar Allah menjadikan amalanku ini murni ikhlas untuk wajahNya yang mulia, sesungguhnya Ia adalah pemilik karunia yang besar" (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat  hal 10)



Tata Cara Perayaan Maulid :

Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari rahimahullah menyebutkan tentang tata cara perayaan maulid yang dianjurkan. Beliau berkata ;

"Dari perkataan para ulama… bahwasanya maulid yang dianjurkan oleh para ulama adalah berkumpulnya orang-orang dan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur'an dan riwayat khabar-khabar yang menjelaskan tentang permulaan sejarah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan peristiwa-peristiwa yang terjadi tatkala Nabi dalam kandungan dan kelahirannya, demikian juga setelahnya berupa sejarah/siroh beliau yang penuh keberkahan. Setelah itu diletakkan makanan lalu mereka memakannya lalu buyar. Jika mereka menambahkan dengan memukul rebana sambil memperhatikan kesopanan dan adab maka tidak mengapa" (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 10-11)



Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan Maulid yang disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari

Diantara kemungkaran-kemungkaran tersebut adalah :

Pertama : Bercampurnya (ikhtilath) antara laki-laki dan perempuan

Kedua : Diadakannya "strik" (semacam sandiwara cara kuno, wallahu a'lam, meskipun hingga saat ini penulis masih belum paham betul akan makna strik, jika ada diantara pembaca yang faham tolong memberi infonya kepada penulis)

Ketiga : Alat-alat musik, seperti seruling dan yang lainnya. Hanyalah  yang dibolehkan adalah rebana

Keempat : Mubadzir dalam mengeluarkan harta untuk perkara yang berlebih-lebihan dan tidak bermanfaat. (Lihat At-Tanbiihaat Al-Waajibaat 38-39)

Kelima : Joget atau tarian-tarian

Keenam : Nyanyian

Ketujuh :  Keasikan bermain sehingga lupa dengan hari kebangkitan. (Lihat At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 21)

Kedelapan : Jika tidak terjadi ikhtilat dan para wanita berkumpul sendirian maka ada kemungkaran-kemungkaran juga yang mereka lakukan seperti : Mengangkat suara keras-keras dalam mengucapkan selamat dan juga bergoyang-goyang dalam bernasyid, serta membaca al-Qur'an dan dzikir dengan cara membaca yang keluar dari syariat dan cara yang wajar. (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 22)



Demikianlah beberapa kemungkaran yang disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari dalam kitabnya tersebut. Setelah itu beliau mengingatkan akan beberapa perkara:

Pertama : Merayakan maulid dengan cara melakukan kemungkaran-kemungkaran di atas merupakan bentuk tidak beradab kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahkan merupakan bentuk perendahan dan menyakiti beliau. Orang-orang yang merayakan melakukan hal ini telah terjerumus dalam dosa yang besar yang dekat dengan kekufuran dan dikhawatirkan mereka terken suul khootimah (kematian yang buruk).

Kalau mereka melakukan kemungkaran tersebut dengan niat merendahkan Nabi dan menghinanya maka tidak diragukan lagi akan kekufurannya. (Lihat At-Tanbiihaat al-Waajibaat hal 44-45)

Kedua :  Karenanya tidak boleh merayakan maulid yang mengantarkan kepada kemaksiatan. Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari berkata :

فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ إِذَا أَدَّى إِلَى مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلِ الْمُنْكَرَاتِ وَجَبَ تَرْكُهُ وَحَرُمَ فِعْلُهُ

"Ketahuilah bahwasanya perayaan maulid jika mengantarkan kepada kemaksiatan yang jelas/kuat seperti kemungkaran-kemungkaran maka wajib untuk ditinggalkan dan haram perayaan tersebut" (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 19)

Ketiga : Bahkan tidak boleh membantu terselenggarakannya perayaan maulid yang modelnya seperti ini.

Kiyai Muhammad Hasyi Asy'ari berkata :

وَإِنَّمَا كَانَ إِعْطَاءُ الْمَالِ لِأَجْلِهِ حَرَامًا لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَةٍ، وَمَنْ أَعَانَ عَلَى مَعْصِيَةٍ كَانَ شَرِيْكاً فِيْهَا، وَكَذَلِكَ يَحْرُمُ التّفَرَجُّ ُعَلَيْهِ وَالْحُضُوْرُ فِيْهِ لِأَنَّ الْقَاعِدَةَ : أَنَّ كُلَّ مَا كَانَ حَرَامًا يَحْرُمُ التَّفَرُّجُ عَلَيْهِ وَالْحُضُوْرُ فِيْهِ

"Mengeluarkan uang untuk perayaan maulid (yang bercampur kemungkaran-kemungkaran) menjadi haram dikarenakan hal ini merupakan bentuk membantu pelaksanaan maksiat. Dan barang siapa yang membantu terselenggaranya kemaksiatan maka ia ikut serta di dalamnya. Demikian juga haram untuk menyaksikan dan hadir dalam acara tersebut, karena kaidah menyatakan : "Setiap yang haram maka haram pula menyaksikan dan hadir di dalamnya" (At-Tanbiihaat Al-Waajibaat hal 39)

Keempat :  Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari juga menyatakan bahwa seseorang yang melakukan perayaan maulid dengan melakukan kemungkaran-kemungkaran maka ia sedang bermuhaajaroh (menampakan terang-terangan) dengan kemaksiatan. (lihat At-Tanbiihaat hal 39-40)

Kelima : Beliau juga menyatakan bahwa orang yang melakukan maulid model demikian telah memiliki sifat orang munafiq. Beliau berkata ;

وَمِنْهَا أَنَّهُ اتِّصَافٌ بِصِفَةِ النِّفَاقِ وَهِيَ إِظْهَارُ خِلاَفِ مَا فِي الْبَاطِنِ إِذْ ظَاهِرُ حَالِهِ أَنَّهُ يَعْمَلُ الْمَوْلِدَ مَحَبَّةً وَتَكْرِيْمًا لِلرَّسُوْلِ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ وَباَطِنُهُ أَنَّهُ يَجْمَعُ بِهِ الْمَلَاهِي وَيَرْتَكِبُ الْمَعَاصِي

"Diantara kerusakan-kerusakan maulid model ini adalah pelakunya bersifat dengan sifat kemunafikan, yaitu memperlihatkan apa yang berbeda dengan di dalam hati. Karena lahiriahnya ia melaksanakan maulid karena mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam akan tetapi batinnya ia mengumpulkan perkara-perkara yang melalaikan dan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan" (At-Tanbiihaat hal 40)

Keenam : Wajib bagi seorang alim untuk mengingkari para penuntut ilmu yang melakukan kemungkaran-kemungkaran tersebut. Karena jika didiamkan maka orang awam akan menyangka bahwa cara merayakan maulid dengan kemungkaran-kemungkaran tersebut adalah merupakan bagian dari syari'at. Padahal perkaranya adalah sebaliknya, justru mengantarkan pada penyia-nyiaan syari'at dan meninggalkannya. (lihat At-Tanbiihaat al-Waajibaat hal 40-41).



Penutup :

          Para pembaca yang budiman, meskipun penulis memandang akan bid'ahnya maulid akan tetapi taruhlah jika penulis mengalah dan menyatakan bahwa perayaan maulid dianjurkan (sebagaimana pendapat kiyai pendiri NU) maka marilah kita melihat kenyataan yang ada…sungguh terlalu banyak perayaan maulid di negeri kita yang bercampur di dalamnya kemungkaran-kemungkaran yang telah diperingatkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari, seperti musik-musikan, nyanyian, ikhtilat lelaki dan wanita, mubadzir dalam makanan dan hias-hiasan. Lagu kasidahan yang disenandungkan oleh suaru biduan wanita disertai musik diputar bahkan di dalam mesjid??!!. Jika Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari mengingkari wanita mengangkat suaranya dalam rangka untuk mengucapkan selamat…bahkan dalam hal membaca al-Quran dengan cara yang tidak wajar, maka bagaimana lagi jika suara merdu biduan wanita lagi nyanyi kasidahan??!!

Belum lagi kemungkaran-kemungkaran yang lebih besar yang tidak disebutkan oleh Kiyai Muhammad Hasyim Asy'ari seperti

-         Banyak pelaku maksiat (baik yang tidak pernah sholat, koruptor, bahkan pemabuk dan pezina, para artis tukang umbar aurat) begitu antusias untuk ikut andil dalam melaksanakan perayaan maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menyangka bahwa perayaan inilah sarana yang benar untuk menyalurkan dan mengungkapkan kecintaaan mereka terhadap Nabi. Akan tetapi jika mereka diajak untuk melaksanakan sunnah Nabi yang sesungguhnya maka mereka akan lari sejauh-jauhnya. Ini merupakan salah satu dampak negatif dari perayaan maulid Nabi, karena sebagian orang menjadi tidak semangat bahkan menjauh dari sunnah yang sesungguhnya karena bersandar kepada perayaan-perayaan seperti ini yang dianggap sunnah.

-         Sebagian mereka meyakini bahwa ruh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ikut hadir dalam acara maulid mereka

-         Sebagian mereka mensenandungkan bait-bait sya'ir puji-pujian terhadap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah sebagian dari sya'ir-sya'ir tersebut ada yang mengandung makna berlebih-lebihan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana qosidah Burdah karya Al-Bushiri. Diantaranya perkataan Al-Bushiri:

 فَإِنَّ مِنْ جُوْدِكَ الدَّنُيْاَ وَضَرَّتَها             وَمِنْ عُلُوْمِكَ عِلْمَ اللَّوْحِ وَالْقَلَمِ
Sesungguhnya diantara kedermawananmu adalah dunia dan akhirat dan diantara ilmumu adalah ilmu lauhil mahfuz dan yang telah dicatat oleh pena (yang mencatat di lauhil mahfuz apa yang akan terjadi hingga hari kiamat)

Hal ini jelas merupakan kesyirikan dan menyamakan kedudukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Allah. Karena hanya Allahlah yang mengetahui ilmu lauhil mahfuz, pengucap syair ini telah mengangkat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga pada derajat ketuhanan dan ini merupakan kekufuran yang nyata (lihat kembali "Berlebih-lebihan Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Hingga Mengangkat Beliau pada Derajat Ketuhanan")

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-05-1434 H / 16 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari Kelahiranku

Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari Kelahiranku…”

Terdapat hadits yang tersebar yang dianggap sebagai dalil untuk merayakan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu hadits,

من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة. ومن انفق درحمـا فى مولدى فكانما انفق جبلا من ذهب فى سبيل الله

“Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat, dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di dalam perjuangan fi sabilillah”

Mengenai hadits ini, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Prof. Abdullah bin Jibrin rahimahullah. Beliau ditanya, “diantara para mubalig dan khatib ada yang mengatakan di atas mimbar mengenai perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat”. Mereka menganggap ini termasuk hadits dan tidak mengingkari riwayatnya. Apakah hadits ini termasuk hadits Nabi yang shahih? Apakah terdapat di Shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan atau kitab hadits lainnya?

Dijawab oleh Syaikh Ibnu Jibrin menjawab:

“Hadits ini tidak shahih, tidak ada dalam riwayat kitab shahih (Shahih Bukhari atau Muslim) atau kitab sunan. Ini adalah hadits dusta (palsu). Perayaan maulid adalah bid’ah yang diingkari. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat beliau”.

(Sumber: http://www.ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-6019-.html)



Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.Or.Id

Kekeliruan Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

[VIDEO] Kekeliruan Peringatan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam

Apa hukum memperingati kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam atau yang disebut dengan Maulid Nabi? Apakah benar beliau dilahirkan tanggal 12 Rabi’ul Awwal?

Dijawab oleh Syaikh Utsman Al Khamis hafizhahullah


Download Disini

Kamis, 09 Januari 2014

Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

# Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

Salah satu keanehan dari para pro maulid, mereka Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.

Ulama Syafi’iyyah memiliki kaedah,

اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”

Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”.

Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,

إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ

“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).

Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?

Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan Mukhtashor An Nawawi, hal. 72)

Jadi, peringatan maulid adalah ibadah. Jika termasuk ibadah haruslah butuh dalil. Jadi kami bertanya sebaliknya, mana dalil yang menyatakan bahwa para sahabat atau generasi pertama umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi. Adakah bukti Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali merayakan Maulid Nabi? Padahal Imam Malik pernah berkata,

ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

“Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama”

Terus siapa yang diikuti dan diambil petunjuknya? Apakah Nabi Muhammad? Apakah para sahabat? Atau kyai? Atau karena tradisi yang diikuti?

Kalau ada yang mengatakan perayaan Maulid Nabi bukanlah ibadah, itu hanyalah omong kosong. Masa’ membaca shalawat, mengekspresikan cinta pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan ingin meraih pahala? Yang namanya ingin meraih pahala tentu saja termasuk ibadah.

Salah satu tulisan yang mesti dibaca: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/beda-antara-adat-dan-ibadah-3121

Hanya Allah yang memberi taufik.

—

Disusun di Makkah, 6 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

----------------
Admin: Sobat apakah kamu tahu sejarah maulid Nabi ternyata dari orang-orang Syi'ah? Baca artikelnya disini ...

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-227

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-2-868# Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

Salah satu keanehan dari para pro maulid, mereka Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan maulid? 
 
Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.

Ulama Syafi’iyyah memiliki kaedah,

اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”

Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”.

Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,

إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ

“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).

Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?

Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan Mukhtashor An Nawawi, hal. 72)

Jadi, peringatan maulid adalah ibadah. Jika termasuk ibadah haruslah butuh dalil. Jadi kami bertanya sebaliknya, mana dalil yang menyatakan bahwa para sahabat atau generasi pertama umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi. Adakah bukti Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali merayakan Maulid Nabi? Padahal Imam Malik pernah berkata,

ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

“Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama”

Terus siapa yang diikuti dan diambil petunjuknya? Apakah Nabi Muhammad? Apakah para sahabat? Atau kyai? Atau karena tradisi yang diikuti?

Kalau ada yang mengatakan perayaan Maulid Nabi bukanlah ibadah, itu hanyalah omong kosong. Masa’ membaca shalawat, mengekspresikan cinta pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan ingin meraih pahala? Yang namanya ingin meraih pahala tentu saja termasuk ibadah.

Salah satu tulisan yang mesti dibaca: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/beda-antara-adat-dan-ibadah-3121

Hanya Allah yang memberi taufik.



Disusun di Makkah, 6 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

----------------
Admin: Sobat apakah kamu tahu sejarah maulid Nabi ternyata dari orang-orang Syi'ah? Baca artikelnya disini ...

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-227

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-2-868

Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

# Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

Sebagian yang merayakan Maulid Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal beralasan bahwa perayaan tersebut dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah alasan ini bisa melegalkan perayaan Maulid Nabi?

Berikut beberapa alasan kenapa peringatan kelahiran nabi tidak perlu dirayakan:

Pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).

Kedua:

Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).

Ketiga:

Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ ” شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Keempat:

Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima:

Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Dikembangkan dari Rasa-il Hukmu Al Ihtifal bi Maulid An Nabawi, 1: 137-142, terbitan Darul Ifta’]

Silakan renungkan dan cermati. Itulah 5 alasan kenapa kita selaku umat Islam tidak perlu memperingati kelahiran Nabi. Cukup suri tauladan beliau dan warisan ilmu dari beliau yang kita ambil karena itulah jalan selamat.

—-

@ Masjid Nabawi, 5 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id# Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

Sebagian yang merayakan Maulid Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal beralasan bahwa perayaan tersebut dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah alasan ini bisa melegalkan perayaan Maulid Nabi?

Berikut beberapa alasan kenapa peringatan kelahiran nabi tidak perlu dirayakan:

Pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).

Kedua:

Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).

Ketiga:

Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ ” شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Keempat:

Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima:

Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Dikembangkan dari Rasa-il Hukmu Al Ihtifal bi Maulid An Nabawi, 1: 137-142, terbitan Darul Ifta’]

Silakan renungkan dan cermati. Itulah 5 alasan kenapa kita selaku umat Islam tidak perlu memperingati kelahiran Nabi. Cukup suri tauladan beliau dan warisan ilmu dari beliau yang kita ambil karena itulah jalan selamat.

—-

@ Masjid Nabawi, 5 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Sabtu, 04 Januari 2014

Fatwa Ulama: Mencium Hajar Aswad = Menyembah Berhala?


Fatwa Ulama: Mencium Hajar Aswad = Menyembah Berhala?

Soal:

Sebagian orang barat menyatakan bahwa dalam ajaran Islam masih terdapat ajaran-ajaran watsani (penyembahan berhala). Misalnya anjuran mencium hajar aswad. Bagaimana menjawab pernyataan mereka ini?

Jawab:

Ini bukanlah ajaran penyembahan berhala. Hal tersebut adalah perintah yang Allah tetapkan bagi kita yang memiliki hikmah yang besar, dan sama sekali bukan meniru kebiasaan kaum Jahiliyah, bukan juga meniru ibadahnya orang Jahiliyah terdahulu.

Allah tentu berhak memerintahkan hambanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Ketika Allah memerintahkannya, maka hal tersebut menjadi bagian dari syariat Islam tersendiri, bukan bagian dari ajaran Jahiliyah.

Selain itu, ada sebagian perkara dari kaum Jahiliyah yang termasuk perkara baik dan kemudian ditetapkan dalam syariat Islam. Diantaranya membayar diyat dengan 100 ekor unta. Dahulu ini merupakan kebiasaan orang Jahiliyah, namun ditetapkan oleh Islam. Demikian juga halnya mencium hajar aswad dan menyentuhnya. Di dalam perbuatan ini terkandung penghormatan kepada Allah dan pengharapan ridha-Nya. Dan bukan maksudnya bertabarruk (ngalap berkah) kepada batu atau berdoa kepada batu, melainkan hal itu dilakukan dalam rangka mentaati perintah Allah yaitu menyentuh hajar aswad dan rukun yamani.

Dan Allah menguji hamba-Nya dengan perintah ini, apakah sang hamba mau taat ataukah tidak? Dan ketika Allah memerintahkan seseatu maka hendaknya hamba-Nya menaatinya. Menyentuh hajar aswad dan rukun yamani itu telah ditetapkan oleh Allah kepada para hamba-Nya, sebagai cobaan dan ujian apakah sang hamba mau taat ataukah tidak dengan syariat yang Allah tetapkan?

Oleh karena itulah ketika Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mencium hajar aswad beliau berkata:

إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم قبّلك ما قبلتك.

“sungguh aku tahu benar bahwa engkau adalah sekedar batu, tidak memberi mudharat maupun manfaat. kalau bukan karena aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”

Sebagaimana juga, diantara perilaku orang Jahiliyyah adalah mereka senantiasa memuliakan tamu. Dan hal ini tetap ada dalam syariat Islam. Hal ini dan yang lainnya termasuk akhlak yang mulia yang Allah cintai dan telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan demikian juga perilaku yang baik lainnya dari kaum Jahiliyah yang tetap ada dalam Islam dan ditetapkan dalam syariat Islam.

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4182

—

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel @[122498487804318:274:Muslim.Or.Id]Fatwa Ulama: Mencium Hajar Aswad = Menyembah Berhala?

Soal:

Sebagian orang barat menyatakan bahwa dalam ajaran Islam masih terdapat ajaran-ajaran watsani (penyembahan berhala). Misalnya anjuran mencium hajar aswad. Bagaimana menjawab pernyataan mereka ini?

Jawab:

Ini bukanlah ajaran penyembahan berhala. Hal tersebut adalah perintah yang Allah tetapkan bagi kita yang memiliki hikmah yang besar, dan sama sekali bukan meniru kebiasaan kaum Jahiliyah, bukan juga meniru ibadahnya orang Jahiliyah terdahulu.

Allah tentu berhak memerintahkan hambanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Ketika Allah memerintahkannya, maka hal tersebut menjadi bagian dari syariat Islam tersendiri, bukan bagian dari ajaran Jahiliyah.

Selain itu, ada sebagian perkara dari kaum Jahiliyah yang termasuk perkara baik dan kemudian ditetapkan dalam syariat Islam. Diantaranya membayar diyat dengan 100 ekor unta. Dahulu ini merupakan kebiasaan orang Jahiliyah, namun ditetapkan oleh Islam. Demikian juga halnya mencium hajar aswad dan menyentuhnya. Di dalam perbuatan ini terkandung penghormatan kepada Allah dan pengharapan ridha-Nya. Dan bukan maksudnya bertabarruk (ngalap berkah) kepada batu atau berdoa kepada batu, melainkan hal itu dilakukan dalam rangka mentaati perintah Allah yaitu menyentuh hajar aswad dan rukun yamani.

Dan Allah menguji hamba-Nya dengan perintah ini, apakah sang hamba mau taat ataukah tidak? Dan ketika Allah memerintahkan seseatu maka hendaknya hamba-Nya menaatinya. Menyentuh hajar aswad dan rukun yamani itu telah ditetapkan oleh Allah kepada para hamba-Nya, sebagai cobaan dan ujian apakah sang hamba mau taat ataukah tidak dengan syariat yang Allah tetapkan?

Oleh karena itulah ketika Umar bin Khathab radhiallahu’anhu mencium hajar aswad beliau berkata:

إني أعلم أنك حجر لا تضر ولا تنفع ولولا أني رأيت النبي صلى الله عليه وسلم قبّلك ما قبلتك.

“sungguh aku tahu benar bahwa engkau adalah sekedar batu, tidak memberi mudharat maupun manfaat. kalau bukan karena aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”

Sebagaimana juga, diantara perilaku orang Jahiliyyah adalah mereka senantiasa memuliakan tamu. Dan hal ini tetap ada dalam syariat Islam. Hal ini dan yang lainnya termasuk akhlak yang mulia yang Allah cintai dan telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan demikian juga perilaku yang baik lainnya dari kaum Jahiliyah yang tetap ada dalam Islam dan ditetapkan dalam syariat Islam.

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz
Sumber: http://www.binbaz.org.sa/mat/4182



Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Meniti Ilmu di Atas Manhaj Salaf

Meniti Ilmu di Atas Manhaj Salaf

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أجمعين، أما بعد،
Muqaddimah
Manhaj salaf (metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah dan para ulama Ahlus Sunnah yang mengukuti petunjuk mereka) adalah satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan agama islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah dan Rasul-Nya . Oleh karena itu, jaminan mendapatkan keridhaan Allah hanya Allah berikan kepada para sahabat Rasulullah dan orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan), sebagaimana yang Alah nyatakan dalam firman-Nya:

{والسابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان رضي الله عنهم ورضوا عنه، وأعدّ لهم جنات تجري تحتَها الأنهار خالدين فيها أبداً، ذلك الفوز العظيم}

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar (para sahabat ) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar” (QS At Taubah:100).


Dalam ayat ini Allah menyebutkan jaminan mendapatkan keridhaan-Nya bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat , dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan), yang artinya adalah mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan), ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi agama lainnya, atau ringkasnya: mengikuti petunjuk mereka dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini secara keseluruhan.

Dalam menafsirkan ayat di atas Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan adalah orang-orang yang mengikuti jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji, serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun terang-terangan”([1]).

Manhaj Salaf: Manhaj Ilmu dan Amal

Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf , karena manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan pengamalan yang baik, sehingga orang yang benar-benar mengikuti manhaj ini akan terbimbing dalam pemahaman agamanya sehingga terhindar dari segala macam bentuk syubhat([2]), sekaligus terbimbing dalam pengamalan dari ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala macam bentuk syahwat([3]).

Dengan keistimewaan ini pulalah Allah menyifati petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah dalam firman-Nya:

{ما ضل صاحبكم وما غوى}

“Kawanmu (Nabi Muhammad ) tidak sesat (dalam ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal)” (QS An Najm:2).

Dalam ayat ini Allah menyucikan petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah dari dua macam kerusakan yaitu: adh dhalaal (kesesatan/kerusakan dalam ilmu dan pemahaman), dan al ghawaayah/al ghayy (penyimpangan/kerusakan dalam amal). Ini berarti dalam petunjuk Rasulullah tedapat dua bimbingan sekaligus: al huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan al rusyd (bimbingan dalam amal), dan Rasulullah adalah orang yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini([4]).
Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa oleh Al khulafa’ ar raasyidiin (para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan Rasulullah setelah beliau wafat), sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan petunjuk Al khulafa’ ar raasyidiin al mahdiyyin …([5])”.

Dalam hadits ini Rasulullah menyifati para sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau setelah beliau wafat sebagai Al khulafa’ ar raasyidiin al mahdiyyin, artinya para khalifah yang memiliki al rusyd yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari al ghawaayah), dan memiliki al huda yaitu bimbingan dalam ilmu dan pemahaman (lawan dari adh dhalaal). Maka ini menunjukkan bahwa orang yang benar-benar mengikuti petunjuk Al khulafa’ ar raasyidiin dan termasuk para sahabat Nabi secara keseluruhan akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan mengamalkan agama islam ini.

Oleh karena itulah, kita dapati para ulama Ahlus sunnah wal jama’ah dari kalangan At Tabi’in yang langsung menimba ilmu dari para sahabat Rasulullah , mereka tidak hanya mempelajari dari para sahabat ilmu secara teori, akan tetapi mereka juga mempelajari bagaimana mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.
Imam Abu Abdirrahman Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah As Sulami Al Kuufi([6]) berkata: “Kami mempelajari Al Qur-an dari suatu kaum (para Sahabat ) yang menyampaikan kepada kami bahwa dulunya mereka ketika mempelajari sepuluh ayat (Al Qur-an dari Rasulullah ) mereka tidak akan berpindah ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami kandungan ayat-ayat tersebut, maka kamipun mempelajari Al Qur-an sekaligus (bagaimana) mengamalkannya, dan setelah kami nanti akan datang suatu kaum yang mereka mempelajari Al Qur-an seperti meminum air, Al Qur-an tersebut tidak melampui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)”([7]).

Ulama Salaf Imam dalam Ilmu dan Amal

Keterangan dan nukilan yang kami sampaikan di atas akan semakin terbukti kalau kita mencermati dengan sekasama biografi para Imam besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang mana kita akan dapati bahwa mereka tidak hanya disifati sebagai orang-orang yang memiliki ilmu agama yang dalam, akan tetapi mereka juga adalah orang-orang yang merupakan teladan dalam ibadah dan amal shaleh.
Sebut saja misalnya Rabii’ bin Khutsaim Al kuufi (wafat tahun 65 H)([8]), salah seorang Imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits dan termasuk murid Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud , yang karena ketekunan ibadah dan ketakwaan beliau sampai-sampai guru beliau sendiri, Abdullah bin Mas’ud memuji beliau dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah melihatmu maka sungguh beliau akan mencintaimu, setiap kali aku melihatmu aku mengingat orang-orang yang selalu menundukkan diri (kepada Allah )”([9]).

Muhammad bin Sirin Al Bashri (wafat tahun 110 H)([10]), seorang Imam besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits, dalam biografi beliau diterangkan bahwa beliau adalah orang yang sangat wara’ (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan tekun beribadah, sehingga Abu ‘Awaanah Al Yasykuri berkata: “Aku melihat Muhammad bin sirin di pasar, tidaklah seorangpun melihat dia kecuali orang itu akan mengingat Allah”([11]).

Tsabit bin Aslam Al Bunaani Al Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H)([12]), juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits dan termasuk murid ‘senior’ Sahabat yang mulia Anas bin Malik , beliau sangat tekun dalam beribadah bahkan disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah di jamannya, sehingga guru beliau sendiri, Anas bin Malik memuji beliau dengan mengatakan: “Sesungguhnya Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu kebaikan”([13]). Anas bin Malik dalam pujian ini mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”([14]).

Abdullah bin Al Mubarak Al Marwazi (wafat tahun 181 H)([15]), Imam besar yang ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in) yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits, beliau disifati sebagai orang yang terkumpul padanya semua sifat-sifat baik, sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memuji beliau dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para Sahabat dan sifat-sifat Abdullah bin Al Mubarak, maka aku tidak melihat para Sahabat melebihi keutamaan beliau kecuali karena mereka menyertai Rasulullah dan berjihad bersama beliau([16]).

Ibnu Hajar dalam “Taqriibut tahdziib” (hal. 271) berkata: “Beliau adalah seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di jalan Allah ), terkumpul padanya (semua) sifat-sifat baik”.

Kemudian sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang disebutkan oleh Al Khathib Al Baghdaadi dalam kitab beliau “Tarikh Baghdad” (9/58) dan Adz Dzahabi dalam “Siyaru a’laamin nubala’” (13/203) dalam biografi Imam besar penghafal hadits yang ternama, Abu Dawud Sulaiman bin Al Asy’ats As Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab “Sunan Abi Dawud”. Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam mempelajari ilmu hadits sampai kepada Rasulullah .

Mereka adalah Imam Ahmad bin Hambal: guru utama Imam Abu Dawud, kemudian Waqi’ bin Al Jarrah Ar Ruaasi: termasuk guru utama Imam Ahmad, lalu Sufyan bin Sa’id Ats Tsauri: guru utama Imam Waqi’ bin Al Jarrah, selanjutnya Manshur bin Al Mu’tamir: termasuk guru utama Sufyan Ats Tsauri, seterusnya Ibrahim bin Yazid An Nakha-i: termasuk guru utama Manshur bin Al Mu’tamir, kemudian ‘Alqamah bin Qais An Nakha-i: guru utama Ibrahim An Nakha-i dan termasuk murid ‘senior’ Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud , selanjutnya Abdullah bin Mas’ud yang langsung menimba ilmu dari Rasulullah . Mereka ini semua adalah Imam-imam besar Ahlul Hadits yang sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab hadits yang ternama, seperti “Shahih Al Bukhari”, “Shahih Muslim” dan lain-lain.

Yang menarik dari nukilan tersebut adalah semua Imam-imam besar tersebut disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk dan tingkah lakunya”, mulai dari sahabat Abdullah bin Mas’ud , beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad dalam petunjuk dan tingkah laku beliau, kemudian ‘Alqamah diserupakan dengan Abdullah bin Mas’ud dalam petunjuk dan tingkah laku beliau, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah laku beliau.

Dalam nukilan tersebut kita dapati bahwa para ulama Ahlus Sunnah dalam menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara teori belaka, akan tetapi mereka juga mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah melalui teladan yang beliau ambil dari guru-guru beliau padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah sangat jauh sekali.

Nasehat untuk para pengikut manhaj Salaf

Dari keterangan di atas, jelaslah bagi kita bahwa diantara keistimewaan terbesar yang ada pada manhaj salaf adalah perhatian dan semangat besar mereka dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah , maka seharusnya kita yang menisbatkan diri kepada manhaj ini berusaha untuk mengikuti petunjuk mereka ini, agar kita termasuk ke dalam golongan “orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan mendapatkan ridha Allah . Karena kalau bukan kita – terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al Qur-an dan Sunnah Rasulullah , maka siapa lagi?

Marilah kita camkan bersama nasehat Imam Al Khatiib Al Baghdadi([17]) tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu, beliau berkata: “seyogyanya para penuntut ilmu hadits (berusaha) membedakan dirinya dari kebiasaan orang-orang awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha) mengamalkan petunjuk Rasulullah semaksimal mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena sesungguhnya Allah berfirman :

{لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة}

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS Al Ahzaab: 21)”.

Kemudian Al Khatiib Al Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari ulama Salaf, diantaranya ucapan Imam Al Hasan Al Bashri: “Dulu jika seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat (pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah), tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.

Juga Atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka beliau berkata: “Subhanallah (maha suci allah)! Seorang penuntut ilmu tidak melakukan wirid (zikir dan shalat) di malam hari?!!”

Inilah petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini, yang kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka ini dalam diri kita?
Maka semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat([18]) dan berusaha melatih diri mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdo’a kepada Allah agar kita dimudahkan menempuh manhaj yang lurus ini.

Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdo’a kepada Allah semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya kepada kita semua agar kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan kita tetap istiqamah di atas manhaj tersebut sampai akhir hayat kita nantinya, aamin.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi , 16 Rabi’ul awwal 1429 H
Abdullah bin Taslim Al Buthoni


([1]) Tafsir Ibnu Katsir 4/432).
([2]) Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama islam, yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang batil (salah), lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Igaatsatul lahafaan” (hal. 40- mawaaridul amaan).
([3]) Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan mendahulukannya di atas petunjuk Allah I dan Rasul-Nya , ibid.
([4]) Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “Miftahu daaris sa’aadah” (1/40).
([5]) HR Abu Dawud (no. 4607), At Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42 dan 43) dan Al Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia Al ‘Irbaadh bin Saariyah t, dinyatakan shahih oleh At Tirmidzi, Al Hakim dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syakh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no. 937).
([6]) Beliau adalah seorang Tabi’in ‘senior’ yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits Rasulullah , sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para Imam ahli hadits dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’i dan lain-lain, beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau 74 H, biogarafi beliau dalam kitab “Tahdziibul kamala” (14/408), “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/267) dan “Taqriibut tahdziib” (hal. 250).
([7]) Atsar ini dinukil oleh Imam Adz Dzahabi dalam “Siyaru a’laamin nubalaa’” (4/269), dalam sanadnya ada seorang perawi yang bernama ‘Atha’ bin As Saaib Al Kuufi, berkata Ibnu Hajar dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 250): “Dia adalah seorang yang sangat jujur akan tetapi (hafalannya) tercampur”. Meskipun demikian perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini adalah Hammaad bin Zaid Al Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin Al Madiini dan Al ‘Uqaili (lihat kitab “Tahdziibul Kamaal” 7/185). Riwayat ini juga dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud t, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam “Tafsir” beliau (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan tetapi Sulaiman bin Mihraan Al A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah sedangkan dia adalah mudallis.
([8]) Biografi beliau dalam “Tahdzibul kamal” (9/70) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/258).
([9]) Siyaru a’laamin nubalaa’ (4/258), juga dinukil oleh Al Miizi dalam “Tahdziibul kamaal” (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 157).
([10]) Biografi beliau dalam “Tahdzibul kamal” (25/344) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (4/606).
([11]) Siyaru a’laamin nubalaa’ (4/610), sifat beliau ini menunjukkan bahwa beliau adalah wali (kekasih) Allah I, karena Rasululah bersabda: “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah”, HR Ath Thabrani dalam “Al mu’jamul kabiir” (no. 12325), Dhiya’uddin Al Maqdisi dalam “Al Ahaaditsul mukhtaarah” (2/212) dan lain-lain, hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling menguatkan.
([12]) Biografi beliau dalam “Tahdzibul kamal” (4/342) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (5/220).
([13]) Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam “Al Mushannaf” (no 35679), perawinya semua terpercaya kecuali Zaid bin Dirham Al Bashri tidak ada seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab “Ats Tsiqaat” (4/247).
([14]) HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab “As Sunnah” (no. 251), dinyatakan hasan (baik) oleh syaikh Al Albani dalam “Ash Shahihah” (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain yang saling menguatkan.
([15]) Biografi beliau dalam “Tahdzibul kamal” (16/5) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/378).
([16]) Tahdzibul kamal (16/16) dan “Siyaru a’laamin nubala’” (8/390).
([17]) Dalam kitab beliau “Al Jaami’ li akhlaaqir raawi wa aadaabis saami’” (1/215).
([18]) Mengenai ilmu yang bermanfaat dan syarat-syarat untuk mendapatkannya, silahkan baca tulisan kami yang berjudul “Ilmu Yang Bermanfaat”.

Sumber: 

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda