Para ulama berbeda pendapat dalam
hukum shalat berjamaah di tempat selain masjid dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama:
Boleh dilakukan di tempat selain masjid.
Ini pendapat Malik, Syafi’i dan
riwayat dari Imam Ahmad, ia juga madzhab Hanifiyyah.
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Ibnul Qasim berkata, “Aku bertanya kepada Malik tentang orang yang shalat fardhu dengan istrinya di rumahnya?” ia menjawab, “Tidak apa-apa hal itu”[1]
Imam Syafi’i –rahimahullah- berkata, “Setiap jamaah yang padanya shalat seseorang di rumahnya atau di masjid, kecil atau besar, sedikit atau banyak, maka ia sah. Dan masjid yang terbesar serta banyak jamaahnya lebih aku sukai.”[2]
Al-Rafi’i dari kalangan Syafi’iyyah berkata, “Berjamaah di rumah lebih baik dari pada sendirian di masjid.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni[3] berkata, “Dan boleh melakukannya (shalat berjamaah) di rumah atau di padang pasir”
Dalil-dalilnya
Mereka berdalil dengan hadis-hadis
berikut:
1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
1. Hadis Jabir Radhiyallahu ‘anhu secara marfu, “Dan aku diberi lima perkara … “ lalu disebutkan, “Dan dijadikan bagiku bumi/tanah sebagai masjid dan tempat yang suci. Siapapun yang dari umatku yang mendapati waktu shalat maka shalatlah.”[4]
2. Dari Anas, ia berkata, “Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya. Terkadang saat waktu shalat datang beliau sedang berada di rumah kami. Kemudian beliau memerintahkan untuk hamparan di bawahnya, lalu beliau menyapunya dan memercikan air, dan Rasulullah shalat bersama kami menjadi imam sementara kami berdiri di belakang beliau.”[5]
3. Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Rasulullah shalat di rumahnya dalam keadaan sakit. Beliau shalat dengan duduk sementara sekelompok orang shalat dengan berdiri di belakangnya, lalu beliau memberi isyarat agar mereka duduk.”[6]
Mereka juga berdalil dengan hadis-hadis lain, yang tidak cukup untuk disebutkan dalam kesempatan ini.
Pendapat kedua:
Tidak boleh dilakukan oleh seorang laki-laki kecuali di masjid.
Pendapat ini merupakan riwayat lain
dari Imam Ahmad dan Ibnul Qayyim merajihkan pendapat ini, ia berkata dalam
“Kitab Shalat”, “Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas
baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada
halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat
berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan
shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis
dan ayat-ayat.”[7]
Beliau juga berkata, “Dan yang kami yakin adalah tidak boleh bagi seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali karena uzur, wallahu a’lam bish shawab.”[8]
Sebagian mereka membatalkan shalat orang yang berjamaah di rumahnya. Abul Barakat (dari kalangan madzhab hambali) berkata, “Jika ia menyelisihi kemudian shalat berjamah di rumahnya, maka tidak sah, kecuali ada uzur, sesuai dengan pendapat yang dipilih bahwa meninggalkan jamaah berarti melakukan larangan.”[9]
Dalam Syarh Fathul Qadir, “Dan al-Hulwani ditanya tentang orang yang mengumpulkan anggota keluarganya kadang-kadang, apakah mendapatkan pahala berjamaah?” ia menjawab, “Tidak, ia menjadi bid’ah dan dibenci tanpa uzur.”
Dalil-dalilnya
Ulama yang berpendapat dengan
pendapat ini berdalil dengan hadis-hadis yang menunjukkan wajibnya berjamaah
dan bahwa ia hukumnya fardhu ain. Kemudian ulama madzhab Syafi’i berselisih
pendapat dalam masalah mendirikan shalat berjamaah di selain masjid, apakah
menggugurkan fardhu kifayahnya atau tidak? Mereka berbeda pendapat ke dalam dua
pendapat: Pertama, tidak cukup mendirikannya di selain masjid untuk menegakkan
perbuatan yang fardhu. Kedua, cukup jika tempatnya ramai, seperti shalat
berjamah di pasar misalnya.
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah- berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”
Ibnu Daqiq al-Ied –rahimahullah- berkata, “Yang pertama menurutku adalah yang lebih shahih. Karena asal pensyariatannya adalah shalat berjamaah di masjid. Ia adalah pensifatan yang muktabar yang tidak bisa dihilangkan.”
Pendapat ketiga:
dibedakan antara yang mendengar azan, maka ia tidak sah kecuali di masjid. Dan
orang yang tidak mendengar azan, maka tidak sah shalatnya kecuali dengan
berjamaah.
Ini pendapat Ibnu Hazm Adz-Dzahiri.
Ia berkata dalam “Al-Muhalla”, “Dan tidak sah salah fardhu seseorang ketika
mendengar azan untuk mengerjakannya kecuali di masjid bersama imam. Jika ia
sengaja meninggalkan tanpa uzur, maka shalatnya batal. Jika ia tidak mendengar
azan, maka wajib baginya shalat berjamaah dengan satu orang atau lebih. Jika ia
tidak mengerjakannya, maka tidak ada shalat baginya, kecuali jika ia tidak
menemukan seorang pun untuk shalat bersamanya, maka ia sah, kecuali bagi yang
memiliki uzur, maka juga sah jika ia meninggalkan jamaah.”[10]
Ibnu Taimiyyah berkata dalam “Al-Fatawa Al-Mishriyyah”, “Apakah orang yang shalat berjamaah di rumahnya, gugur darinya kewajiban datang ke masjid? Dalam masalah ini terdapat perselisihan, dan hendaknya tidak meniggalkan jamaah di masjid kecuali ada uzur.”[11]
Penutup
Alangkah baiknya jika kita tutup
pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim –rahimahullah- dalam “Kitab
Shalat”:
“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”
“Siapapun yang memperhatikan sunnah dengan baik, akan jelas baginya bahwa mengerjakannya di masjid hukumnya fardhu ain. Kecuali jika ada halangan yang membolehkannya untuk meninggalkan shalat jumat dan shalat berjamaah. Maka tidak datang ke masjid tanpa uzur, sama dengan meninggalkan shalat berjamaah tanpa uzur. Dengan demikian saling bersepakatlah hadis-hadis dan ayat-ayat.”
Dan ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat dan sampai kabarnya kepada penduduk Mekah, Suhail bin Amr berkhutbah –ketika itu Itab bin Usaid menjadikannya gubernur di Mekkah, ia sembunyi dari mereka karena takut. Kemudain Suhail mengeluarkannya saat penduduk Mekah telah kuat dalam Islam- kemudian Itab bin Usaid berkhutbah, “Wahai penduduk Mekah, tidak sampai kepadaku salah seorang diantara kalian yang meninggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali akan dipukul lehernya.” Para sahabat Nabi pun berterima kasih kepadanya atas perbuatan ini dan semakin menambah derajatnya di mata mereka. Dan yang aku yang yakini, tidak boleh seorang pun meninggalkan jamaah di masjid kecuali kerena uzur, wallahu ‘alam bish-shawab.”
Catatan
Setelah tetap bahwa tidak boleh
meniggalkan shalat berjamaah di masjid kecuali bagi yang memiliki uzur, maka
kemudian hendaknya diperhatikan tiga perkara berikut:
- Orang yang ketinggalan shalat berjamaah di masjid dan ia memperkirakan tidak ada yang dapat shalat bersamanya di masjid, maka yang lebih baik baginya adalah kembali ke rumah dan shalat berjamaah beserta keluarganya.
- Dalam kondisi safar dan bepergian bersama keluarga, maka ia hendaknya shalat berjamaah bersama keluarganya.
- Jika tertinggal shalat berjamaah di masjid yang dekat, maka hendaknya ia shalat di masjid yang lain dengan tanpa memberatkan dan ia yakin akan mendapatinya.
[Diterjemahkan dari kitab “Shalat
al-Jama’ah, Hikamuha wa Ahkamuha”, Syaikh Dr. Shaleh bin Ghanim As-Sadlan,
hal. 52-26]
—
Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id
—
Penulis: Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa, Lc
Artikel Muslim.Or.Id