Cara Duduk Tasyahhud Terakhir Sholat Subuh
Pertanyaan :
"Manakah yang benar tatkala duduk
tasyahhud terakhir sholat subuh, apakah dengan duduk tawarruk (yaitu
duduk dengan mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan
tidak menduduki kaki kirinya) ataukah dengan duduk iftirosy(duduk dengan
menghamparkan kaki kirinya dan duduk diatasnya serta menegakkan kaki
kanan)?. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawab :
Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) klasik. Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang
kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya
masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya
tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat
dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah
ini-.
Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan
terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan
ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang
budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang
berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini",
karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam
memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf
klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para
ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.
Catatan
: Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat
yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy
dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara
kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu
tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk
iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.
Pendapat Madzhab As-Syafi'iMadzhab Syafi'i
berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat
yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan
isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat
subuh, sholat jum'at, sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat
sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi
أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا
كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ
يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ
اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ
يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ
أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ
جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي
الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى
وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
”Aku adalah orang yang paling
menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu
‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua
tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau
menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan
punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri
tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan
jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa
menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada
lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua,
maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk
iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau
mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk
diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR
Al-Bukhari no 828).
Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ :
فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ
التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا
عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي
التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ
اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ
الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ
عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ
أَعْلَمُ.
”Hadits Abu Humaid dan para
shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan
hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib
untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang
siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud
adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy ,
yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk
menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu
Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar
shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”. (Al-Majmu’ Syarhul
Muhadzdzab, 3/413)
Hadits Abu Humaid ini juga datang
dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i.
Diantara lafal-lafal tersebut adalah:
حتى إذا كانت السَّجْدَةُ التي فيها التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا على شِقِّهِ الْأَيْسَرِ
"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnya maka
Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas
sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)
Diantaranya juga
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي
تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ
رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ
"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat,
maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan
mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu
Hibbaan no 1870)
Diantaranya juga
إذا كان في الرَّكْعَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى
وَقَعَدَ على شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ
"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)
Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti "
dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir", "sujud yang terakhir yang
ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua
rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini
umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan
penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah
sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan
sholat jum'at.
Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu
Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada
sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua"
(al-Mughni 2/227)
Dalil Madzhab Hanbali adalah
Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata
وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
.
“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”
(HR. Muslim no 498).
Hadits Abdullah bin Az-Zubair
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى
“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban no 1943).
Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ
اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى
“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)
Dalam lafal yang lain
فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ
افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى
فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Maka tatkala beliau duduk untuk
tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan
kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy,
pent).” (HR. Tirmidzi no 292).
Dalam lafal yang lain :
وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)
Sisi pendalilan madzhab Hanbali
Sisi pendalilan mereka adalah
keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk
lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"
Catatan
Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i –yaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika
merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah
kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat
tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak
sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh
karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah
keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki
dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.
Sebagai pendekatan logika:
Misalnya penulis berkata kepada para
pembaca sekalian tentang sholatnya Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad,
lantas penulis berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu tentang cara
sholatnya Syaikh Abdul Muhsin, tatkala beliau duduk di rakaat kedua maka
beliau duduk iftirosy. Dan tatkala beliau duduk di rakaat yang terakhir
yaitu rakaat penutup sholat, yang ada salamnya maka beliau duduk
tawarruk".
Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan
penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk
seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?,
ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir"
maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh
Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?
Tentunya yang dipahami
adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang
terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk
membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan
penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.
Kedua : Dalil yang
digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits
Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua
rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat
dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair
semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari
lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ
افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy".
Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua
rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu
tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua
tasyahhud-.
Peringatan 1:
Sisi pendalilan
yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan
dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan
sebagian orang.
(lihat :
http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/
dan
http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)
Oleh karenanya madzhab Hanbali yang
berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang
mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama
ahli ushul.
Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum
al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum
al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat).
Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki
kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah
manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu
makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki
kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh
lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan
ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua
kullah maka ternajisi"
Adapun mafhhum al-'adad yang
merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah
:تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu
(Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah
Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua
raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan
(duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu :
"Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk
iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum
al-mukhoolafah. Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits
Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan
mafhuumul 'adad.
Peringatan 2:
Sebagian
orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah
yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Maka jika engkau duduk di
pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha
kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah
tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan
Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah,
Al-Albani: 3/831-832).
Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :
- Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
-
Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan
keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin
dengan panjang lebar. Sebagai contoh : jika Pak Dosen berkata,
"Muliakanlah semua mahasiswa", ini merupakan lafal umum. Kemudian ia
berkata lagi, "Muliakanlah mahasiswa yang bernama Muhammad". Dan
Muhammad adalah salah satu anggota dari keumuman lafal "semua
mahasiswa". Maka tidaklah dipahami dari perkataan pak dosen bahwasanya
keumuman tersebut dikhususkan sehingga yang dimuliakan hanyalah si
Muhammad. Hal ini juga sebagaimana dalam permasalahan ini. Jika
disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi asalnya duduk dalam
sholat dengan cara iftirosy, lantas datang dalam hadits yang lain
–seperti hadits Rifa'ah- bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa untuk duduk
iftirosy di tengah sholat (tasyahhud awal) maka hal ini tidak
melazimkan kalau di akhir sholat maka tidak iftirosy
- Pendalilan
seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan
dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
-
Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang
sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal
dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir.
Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf,
karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab
Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.
Ketiga :
Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah,
ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ
اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى
“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)
Dalam lafal yang lain
فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ
افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى
فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Maka tatkala beliau duduk untuk
tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan
kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy,
pent).” (HR. Tirmidzi no 292).
Dalam lafal yang lain :
وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)
Penulis katakan bahwasanya hadits
Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk
dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk,
apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk
tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Keempat :
keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits
Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh
madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun
hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada
setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan
dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua
tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh
karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal
ini.
Adapun sholat yang memiliki hanya
satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak
dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal
keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat
beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh
Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.
Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"
فأجاب فضيلته بقوله: الإنسان في صلاة
الوتر يجلس مفترشاً؛ لأن الأصل في جلسات الصلاة الافتراش، إلا إذا قام دليل
على خلاف ذلك، وعلى هذا فنقول يجلس للتشهد في الوتر مفترشاً، ولا تورك إلا
في صلاة يكون لها تشهدان فيكون التورك في التشهد الأخير للفرق بينه وبين
التشهد الأول هكذا جاءت السنة، والله أعلم
Beliau menjawab, "Seseorang
tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam
sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang
lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat
witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua
tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena
adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah
sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh
Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)
Syaikh Al-Albani berkata,
والصواب الذي تدل عليه الأحاديث
الصحيحة : أن الافتراش هو الأصل و السنة ؛ على حديث ابن عمر المخرج في «
الإرواء » ( 317 ) ، ونحوه حديث عائشة الذي قبله ( 316 ) ؛ فيفترش في كل
جلسة وفي كل تشهد ؛ إلا التشهد الأخير الذي يليه السلام ؛ كما جاء مفصلاً
في حديث أبي حميد الساعدي
"Yang benar sebagaimana
ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirosy
adalah asal (duduk dalam sholat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan
hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga
semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka
seseorang duduk iftirosy di setiap duduk (dalam sholat) dan di setiap
tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam,
sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid
As-Saa'idi" (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dlo'iifah 12/268)
Dialog
Jika
pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk
iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits
Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan
tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir
shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata
إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى
"Sesungguhnya sunnahnya sholat
(ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat
kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan
bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu
Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan
tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik
dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah
dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)
Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :
Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya
أَنَّ الْقَاسِمَ بن مُحَمَّدٍ
أَرَاهُمُ الْجُلُوسَ في التَّشَهُّدِ فَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وثني
رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ على وَرِكِهِ الأَيْسَرِ ولم يَجْلِسْ على
قَدَمِهِ ثُمَّ قال أَرَانِي هذا عبد الله بن عبد الله بن عُمَرَ
وَحَدَّثَنِي أَنَّ أَبَاهُ كان يَفْعَلُ ذلك
Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan
kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki
kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan
tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin
‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa
ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu"
(Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)
Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas
kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga
kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada
sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat
http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/
dan
http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html
Jawab:
Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya
sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat
yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab
Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas
adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata
لِأَنَّ فِي الموطأ أَيْضًا عن عبد
الله بن دينار التَّصْرِيْحُ بِأَنَّ جُلُوْسَ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُوْرَ
كَانَ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيْرِ
"Karena di dalam kitab Muwatto'
juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang
disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir"
(Fathul Baari 2/306)
Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:
عن مَالِكٍ عن عبد الله بن دِينَارٍ *
أَنَّهُ سمع عَبْدَ الله بن عُمَرَ وَصَلَّى إلى جَنْبِهِ رَجُلٌ فلما
جَلَسَ الرَّجُلُ في أَرْبَعٍ تَرَبَّعَ وثني رِجْلَيْهِ فلما انْصَرَفَ
عبد الله عَابَ ذلك عليه فقال الرَّجُلُ فَإِنَّكَ تَفْعَلُ ذلك فقال عبد
الله بن عُمَرَ فَإِنِّي أَشْتَكِي
Dari Imam Malik, dari
Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada
seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka
diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar
selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun
berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku
sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)
Selain itu Ibnu Hajar juga
menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya
sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata
وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيْقِ
عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أن القاسم حدثه عن عبد
الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ
يَنْصِبَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسَ عَلَى الْيُسْرَى فإذا حملت هذه الرواية
على التشهد الأول ورواية مالك على التشهد الأخير انتفى عنهما التعارض
"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan
'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim
mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya
(Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan
dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada
tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir
maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306,
adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya
al-mujtabaa no 1158 dengan lafal من سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ
الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ
وَالْجُلُوسُ على الْيُسْرَ tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat
tasyahhud awal)
Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits
Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya
sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke
berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan
keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits
Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk
ketika shalat"
Catatan sangat penting:
Para pembaca yang budiman, lihatlah
bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas.
Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu
Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari
jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar
jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang
menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah
kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar
membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu
bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah
maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.
Cara inilah yang sedang penulis
tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah
sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak
sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman
lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki
dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah
berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas
ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu
إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى
"Sesungguhnya sunnahnya sholat
(ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat
kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).
Tanpa ada penjelasan tentang
bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan
tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas
kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah
tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy,
karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?
Jawabannya tidak. Sebagaimana yang
dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang
mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang
terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu
Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan,
dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum
kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat
yang memiliki dua tasyahhud.
Kesimpulan
Dari pemaparan sederhana di atas
maka penulis lebih condong pada pendapat madzhab Hanabilah, bahwasanya
sholat yang memiliki satu tasyahhud saja maka duduknya adalah iftirosy
karena keumuman hadits Wail bin Hujr. Dan inilah pendapat yang dikuatkan
oleh Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no
2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul
Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail
Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784).
Bagaiamanapun ini adalah
permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap
orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk
memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak
pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Syawal 1431 H / 24September 2010 M
Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja
Artikel: www.firanda.com