بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Ketika Sholat Tak Mampu Mencegah Kemungkaran
Alhamdulillah wa sholatu wa salamu ‘alaa Rosulillah wa ‘alaa ashabihi wa maa walaah.
Ada sebuah ayat sangat familiar di tengah-tengah kita. Ayat tersebut adalah firman Allah
Subhana wa Ta’ala,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
“Sesungguhnya sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar”.(QS. Al ‘Ankabut [29] : 45)
Pertanyaannya, ‘Bagaimana jika sudah sholat namun tetap saja tidak mampu mencegah perbuatan keji dan mungkar ?’
Sebelum menyebutkan jawaban pertanyaan ini mari simak perkataan ulama tafsir tentang ayat ini.
Ibnu Katsir Rohimahullah mengatakan,
“Maksudnya bahwa sesungguhnya sholat tercakup padanya dua perkata
yaitu meninggalkan perbuatan keji dan kemungkaran. Artinya bahwa
sesungguhnya merutinkannya mampu menggiring untuk meninggalkan perkara
tersebut”
[1].
“
Abul ‘Aliyah mengatakan tentang firman Allah
Ta’ala (
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ) sesungguhnya pada sholat terdapat 3 unsur.
Setiap sholat yang tidak terdapat hal ini maka
tidak ternilai sebagai sholat. Yaitu
ikhlas, khosyah dan berdzikir kepada Allah.
Ikhlas akan memerintahkan anda untuk berbuat kebaikan, khosyah mampu mencegah anda dari kemungkaran dan dzikir/ingat kepada Allah akan memerintahkan dan melarang anda”[2].
‘
Ibnu ‘Aun Al Ansori berkata, “
Jika anda sedang sholat maka anda sedang berada dalam perbuatan ma’ruf.
(Sholat -pen) telah mampu mencegah anda dari perbuatan keji dan mungkar. Sesungguhnya yang sedang anda lakukan (sholat –pen) merupakan dzikir kepada Allah yang paling besar”
[3].
“Hamaad bin Abu Sulaiman berkata tentang firman Allah
Ta’ala (
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ) maksudnya
selama anda berada dalam sholat”
[4].
Syaikh ‘Abdur Rohman As Sa’diy Rohimahullah mengatakan,
“Sisi dimana dimana sholat mampu mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar adalah sesungguhnya selama seorang hamba mendirikan sholat
dengan
menyempurnakan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, kekhusyu’annya maka
hatinya akan bercahaya dan menjadi suci, menambah keimananan, menguatkan
rasa ingin mendapatkan kebaikan, meminimalisir atau meniadakan keinginannya untuk berbuat keburukan. Oleh karena secara otomatis selama dia melaksanakan itu semua, menjaganya
dengan keadaan seperti hal di atas maka sholatnya akan mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Inilah maksud dan buah yang paling agung dari sholat”
[5].
Kesimpulan ringkas tafsir ayat ini adalah :
- Ketika kita mampu melaksanakan sholat dengan menyempurnakan syarat,
rukun, keikhlasan, khosyah, muroqobah dalam rangka mengingat Allah maka
sholat tersebut akan mampu menghasilkan buah iman, yaitu mencegah diri
kita dari perbuatan keji dan mungkar. Karena Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ الْإِيْمَان
“Karena susungguhnya malu merupakan bagian dari iman”
[6].
Ibnu Hajar Rohimahullah mengatakan,
“
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Maknanya sesungguhnya
rasa malu akan mampu mencegah pemiliknya melakukan kemaksiatan
sebagaimana iman juga mampu mencegahnya”
[7].
- Minimalnya ketika anda sholat, anda sudah tercegah dari perbuatan keji dan mungkar pada saat itu.
Lantas jawaban dari pertanyaan di awal apa ?
Sebenarnya jawabannya sudah ada di atas. Namun kalau belum jelas mari kita nukil ucapan
Syaikh Husain bin ‘Uudah Al ‘Uwaisyah Hafizhahullah.
“Allah
Subhana wa Ta’ala menjelaskan pada ayat ini bahwa sesungguhnya
sholat yang khusyu’ dan
benar seyogyanya/seharusnya
mampu mencegah orang yang melaksanakannya dari perbuatan keji dan
mungkar, mampu menuntunnya untuk berbuat ma’ruf dan kebaikan”
[8].
Beliau juga mengatakan,
“
Jika sholatnya belum mampu mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar maka sudah
seharusnya dia terus menerus mencari kekurangan dan berusaha memperbaiki sholatnya. Dia harus
memperbaiki sholatnya terutama kekhusyu’annya.
Hendaklah dia memperhatikan sebab-sebabnya. Kemudian bersungguh-sungguh
mencari obatnya sebagaimana kesungguhannya mencari obat untuk anggota
tubuhnya. Karena
obat untuk jiwa/hati itu lebih harus diperhatikan dan lebih utama. Inilah yang dapat membantu kita memahami sabda Nabi
Shollallahu ‘alaihi wa Sallam,
أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ
الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمُ الصَّلاَةُ فَإِنْ
صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ
“Amal seorang hamba (muslim) yang pertama kali dihisab adalah sholat. Jika sholatnya baik maka baik pula seluruh amalnya”
[9].
Maka baiknya sholat berpengaruh pada baiknya seluruh amalan badan lainnya. Sehingga laksana kepala bagi badan”
[10].
Beliau melanjutkan,
“
Sesungguhnya sholat tidak akan bagus/baik/benar kecuali dengan benarnya aqidah, muroqobah terhadap Allah, takut pada Nya, menggantungkan ganjarannya kepada Allah dan takut dari neraka Nya.
Sehingga jika dia telah selesai dari sholatnya maka dia akan dihadapkan
pada cobaan namun di hatinya telah terdapat kekuatan untuk menolak dan
menghindari/melawan cobaan tersebut. Karena dia tidak akan memandang
kelezatan semu yang bakal hilang. Namun tinjauannya adalah kenikmatan
yang tidak akan habis, kebahagiaan yang tidak akan putus. Dia adalah
orang yang
mengedepankan kebaikan yang kekal di atas yang fana”
[11].
Kami akhiri dengan sebuah kalimat beliau
Hafizhahullah yang sangat layak kita cetak tebal di hati kita masing-masing.
إِنَّمَا تُفْسِدُ صَلَاةُ المَرْءِ لِقِلَّةِ مُرَاقَبَةِ اللَّهِ تَعَلَى وَ ضَعْفِ التَّقْوَى
“Sesungguhnya sholat seseorang
rusak (tidak khusyu’ -pen)
disebabkan karena sedikitnya muroqobatullah (senantiasa merasa diawasi Allah -pen) dan
lemahnya ketaqwaan”
[12].
Mari bersama kita perbaiki sholat kita.
Ya Allah, anugrahkanlah kepada kami sholat yang khusyu’.
29 Muharrom 1437 H, 11 Nopember 2015 M
Aditya Budiman bin Usman bin Zubir
[1] Lihat Tafsir Al Qur’anil ‘Azhim hal. 280/ VI, terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[2] Idem hal. 282/VI.
[3] Idem.
[4] Idem.
[5] Lihat Taisri Karimir Rohman hal. 1317/VI terbitan Dar Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA.
[6] HR. Bukhori no. 24, Muslim no. 36.
[7] Lihat Fathul Bari hal. 141/I terbitan Dar Thoyyibah, Riyadh, KSA.
[8] Lihat Ash Sholat Atsaruha fii Ziyaadatil Imaan wa Tahdzibun Nafsi hal. 42 terbitan Maktabah Islamiyah, Kairo, Mesir.
[9] HR. Abu Dawud no. 864 dan lain-lain. Syaikh Al Albani
Rohimahullah menilai hadits ini shohih dengan banyaknya jalur periwayatannya (Ash Shohihah no. 1358).
[10] Lihat Ash Sholat Atsaruha fii Ziyaadatil Imaan wa Tahdzibun Nafsi hal. 43.
[11] idem hal 43-44.
[12] idem.
Sumber web kang Aditya