Selasa, 31 Desember 2013

Bolehkah Jima’ Saat Malam atau Siang Hari Raya?

Bolehkah Jima’ Saat Malam atau Siang Hari Raya?

Pertanyaan:
Apa hukum jima’ di malam atau siang hari raya? Karena ada teman yang mengatakan bahwa hal itu tidak boleh.

Jawaban:
Pendapat teman saudara itu tidak benar. Jima’ di siang atau malam hari raya dibolehkan. Dan melakukan hubungan badan itu tidak haram, kecuali dalam keadaan berikut: siang hari bulan Ramadhan, ketika ihram (haji atau umrah), ketika istri sedang haid atau nifas.

(Fatwa al-Islam: Tanya-Jawab no. 38224)
Diterjemahkan oleh Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Wudhu saat Puasa

   Wudhu Saat Puaasa
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum, Ustadz. Saya mau bertanya tentang wudhu. Saya pernah mendengar seseorang mengatakan, “Berkumur-kumur pada saat berwudhu dalam keadaan berpuasa itu tidak boleh karena memasukkan sesuatu ke lubang bisa membatalkan puasa.” Apakah itu benar? Yang kedua, apakah benar bahwa mengusap kepala saat berwudhu yang lebih benar itu cuma sekali?
Fadly (fadly.**@***.com)
wudhu-saat-puasa
Jawaban:
Wa’alaikumussalam.
Setiap mukmin dituntut untuk menyempurnakan wudhunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan melalui sabdanya, “Sempurnakanlah wudhu, sela-selai jari, dan bersungguh-sungguhlah dalam mengirup air ke dalam hidung, kecuali jika engkau puasa.” (H.r. Turmudzi dan Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)

Dalam hadis di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar tidak terlalu keras ketika mengirup air ke dalam hidung pada saat puasa, agar tidak menjadi penyebab terjadinya hal yang dilarang, yaitu memasukkan air ke perut. Adapun sebatas berkumur ketika puasa maka ini diperbolehkan, selama tidak ada air yang masuk ke perut.

Oleh karena itu, disebutkan dalam hadis yang sahih bahwa Umar bin Khattab pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu, “Syahwatku naik, kemudian aku mencumbu istriku sementara aku sedang puasa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya, “Apa pendapatmu ketika kamu berkumur ketika kamu puasa?” Umar menjawab, “Tidak masalah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, apa yang perlu dikhawatirkan?” (H.r. Abu Daud; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Penulis Syarh Sunan Abi Daud mengatakan, “Pada pertanyaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘Apa pendapatmu ketika kamu berkumur ketika kamu puasa?’ terdapat isyarat untuk pemahaman yang mendalam bahwa berkumur tidaklah membatalkan puasa, padahal berkumur merupakan pengantar minum ….” (Aunul Ma’bud Syarh Abi Daud, 7:9)

Sumber: www.islamqa.com
**
Syekh Ibnu Baz pernah ditanya tentang hukum mengirup air ketika wudhu pada saat puasa. Beliau menjawab, “Terdapat hadis sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada Laqith bin Shabrah, ‘Sempurnakanlah wudhu, sela-selai jari, dan bersungguh-sungguhlah dalam menghirup air ke dalam hidung, kecuali jika engkau puasa.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyempurnakan wudhu, kemudian beliau perintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam istinsyaq (mengirup air ke dalam hidung), kecuali ketika puasa. Ini menunjukkan bahwa orang yang berpuasa boleh berkumur dan mengirup air ke dalam hidung, namun tidak boleh terlalu keras karena dikhawatirkan air masuk ke kerongkongannya.

Adapun hukum berkumur dan istinsyaq maka ini harus dilakukan ketika wudhu dan mandi (mandi junub dan mandi suci dari haid, ed.), karena keduanya wajib dilakukan ketika wudhu dan mandi (mandi junub dan mandi suci dari haid, ed.), baik untuk orang puasa maupun lainnya.” (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 15:280)
Sumber: www.binbaz.org
**
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah.com).
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah yang Benar

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah yang Benar

nikah siri

Lafal Ijab Kabul Akad Nikah

Assalamu’alaikum.
Ustadz, bagaimanakah ucapan atau lafal ijab kabul pernikahan yang benar menurut islam?
Mohon penjelasan.
Donar

Jawaban:
Wa’alaikum salam.

Di antara rukun nikah adalah adanya ijab kabul. Ijab adalah perkataan wali pengantin wanita kepada pengantin pria: Zawwajtuka ibnatii…, saya nikahkan kamu dengan putriku…. Sedangkan kabul adalah ucapan pengantin pria: Saya terima…

Jika sudah dilakukan ijab kabul dan dihadiri dua saksi laki-laki atau diumumkan (diketahui halayak), maka nikahnya sah.
Dalam pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul akad nikah maka status nikahnya sah.
Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab,

Semua kalimat yang menunjukkan ijab kabul maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: ‘zawwajtuka’ dan ‘ankahtuka’ (aku nikahkan kamu), kemudian ‘mallaktuka’ (aku serahkan padamu).
Fatawa Lajnah Daimah (17:82).
Demikian penjelasan di: http://www.islamqa.com/ar/ref/155354

Bolehkah akad nikah (ijab kabul) dengan selain bahasa Arab?

Pendapat yang lebih kuat, bahwa akad nikah sah dengan selain bahasa Arab, meskipun dia bisa bahasa Arab. Disebutkan dalam Mausu’ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah:
Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang yang tidak bisa bahasa Arab boleh melakukan akad nikah dengan bahasa kesehariannya. Karena dia tidak mampu berbahasa Arab, sehingga tidak harus menggunakan bahasa arab. Sebagaimana orang bisu.
Kemudian disebutkan perselisihan ulama tentang akad nikah dengan selain bahasa Arab, yang kesimpulannya:
  • Akad nikah sah dengan bahasa apapun, meskipun orangnya bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Syafi’iyah – menurut keterangan yang lebih kuat –, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Qudamah. Dalam hal ini kedudukan bahasa non-Arab dengan bahasa Arab sama saja. Karena Orang yang menggunakan bahasa selain Arab, memiliki maksud yang sama dengan orang yang berbahasa Arab.
  • Akad nikah tidak sah dengan selain bahasa Arab. Meskipun dia tidak bisa bahasa Arab. Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. Mereka beralasan bahwa lafadz ijab kabul akad nikah statusnya sebagaimana takbir ketika salat yang hanya boleh diucapkan dengan bahasa Arab.
  • Akad nikah sah menggunakan selain bahasa Arab, dengan syarat pelakunya tidak bisa bahasa Arab. Jika pelakunya bisa bahasa Arab maka harus menggunakan bahasa Arab. Ini adalah pendapat ketiga dalam madzhab syafii.
(Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaitiyah: 11:174).

Apakah harus disebutkan nama pengantin wanita?

Diantara syarat sahnya nikah adalah adanya kejelasan masing-masing pengantin. Seperti menyebut nama pengantin wanita atau dengan isyarat tunjuk, jika pengantin ada di tempat akad. Misalnya, seorang wali pengantin wanita berkata kepada pengantin lelaki “Aku nikahkan kamu dengan anak ini, kemudian si wali menunjuk putrinya yang berada di sebelahnya.” hukum akad nikahnya sah.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Diantara syarat nikah adalah adanya kejelasan pengantin. Karena orang yang melakukan akad dan yang diakadkan harus jelas. Kemudian dilihat, jika pengantin wanita ada di tempat akad, kemudian wali mengatakan, ‘saya nikahkan anda dengan anak ini’ maka akad nikahnya sah. Karena isyarat sudah dianggap penjelasan. Jika ditambahi, misalnya dengan mengatakan, ‘saya nikahkan kamu dengan anakku yang ini’ atau ‘…dengan anakku yang bernama fulanah’ maka ini sifatnya hanya menguatkan makna.
Jika pengantin wanita tidak ada di tempat akad maka ada dua keadaan:
  • Wali hanya memiliki satu anak perempuan. Maka dia boleh mengatakan, “Saya nikahkan anda dengan putriku” Jika disebutkan namanya maka statusnya hanya menguatkan.
  • Wali nikah memiliki anak perempuan lebih dari satu. Wali ini tidak boleh menggunakan kalimat umum, misalnya mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku” Dalam keadaan ini akad nikahnya tidak sah, sampai si wali menyebutkan ciri khas salah satu putrinya yang hendak dia nikahkan, baik dengan menyebut nama atau sifatnya. Misalnya dia mengatakan, “Saya nikahkan kamu dengan putriku yang pertama atau yang bernama…” (Al-Mughni, 7:444).
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Shalat Sunah Malam Pertama

Shalat Sunah Malam Pertama

adab malam pertama

Adab Malam Pertama

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum
Apakah ada salat sunah dua rakaat setelah proses akad nikah? Jika ada minta dalilnya
Terima kasih Ustadz
Faisal (ivXXXXXX@gmail.com)

Jawaban:
Wa’alaikumussalam

Dianjurkan bagi penganti baru, untuk memulai malam pertama-nya dengan salat dua rakaat berjamaah. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah:
Dalil pertama
Dari Abu Said beliau mengatakan,

Saya menikahi seorang wanita, ketika saya masih sebagai budak. Kemudian saya mengundang beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara mereka ada Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, dan Hudzifah radhiallahu’anhum. Lalu tibalah waktu salat, Abu Dzar bergegas untuk mengimami salat. Tetapi mereka mengatakan ‘Kamulah (Abu Sa’id) yang berhak!’ Ia (Abu Dzar) berkata, ‘Apakah benar demikian?’ ‘Benar!’ jawab mereka. Aku pun maju mengimami mereka salat. Ketika itu aku masih seorang budak. Selanjutnya mereka mengajariku

إذا دخل عليك أهلك فصل ركعتين ثم سل الله من خير ما دخل عليك وتعوذ به من شره ثم شأنك وشأن أهلك

“Jika isterimu nanti datang menemuimu, hendaklah kalian berdua salat dua rakaat. Lalu mintalah kepada Allah kebaikan isterimu itu dan mintalah perlindungan kepada-Nya dari keburukannya. Selanjutnya terserah kalian berdua.” (HR. Ibnu Abi Syaibah Al-Mushannaf no. 29733 dan dishahihkan Al-Albani)
Dalil kedua,

Dari Syaqiq, beliau mengatakan:

Ada seseorang yang bernama Abu Hariz mengatakan, “Saya menikahi seorang perawan yang masih muda, dan saya khawatir dia akan membenciku. Kemudian Ibnu Mas’ud memberi nasihat,

إن الإلف من الله والفرك من الشيطان يريد أن يكره إليكم ما أحل الله لكم فإذا أتتك فأمرها أن تصلي وراءك ركعتين

“Sesungguhnya kasih sayang itu dari Allah dan kebencian itu dari setan untuk membenci sesuatu yang dihalalkan Allah kepadamu. Jika isterimu datang kepadamu, perintahkanlah istrimu untuk melaksanakan salat dua rakaat di belakangmu. Lalu ucapkanlah,

اللَّهُمَّ بَارِكْ لِي فِي أَهْلِي وَبَارِكْ لَهُمْ فِيَّ اَللَّهُمَّ اجْمَعْ بَيْنَنَا مَا جَمَعْتَ بِخَيْرٍ وَفَرِّقْ بَيْنَنَا إِذَا فَرَّقْتَ إِلَى خَيْرٍ

“Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku dan isteriku, serta berkahilah mereka dengan sebab aku. Ya Allah, berikanlah rezeki kepadaku lantaran mereka, dan berikanlah rezeki kepada mereka lantaran aku. Ya Allah, satukanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan dan pisahkanlah antara kami (berdua) dalam kebaikan.”(Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 17156 dan dishahihkan Al-Albani).

Tata caranya shalat sebelum malam pertama:

  1. Tata cara salat dua rakaat ketika malam pertama sama dengan tata cara salat biasa.
  2. Suami menjadi imam bagi istrinya.
  3. Bacaan salat boleh dikeraskan.
  4. Tidak ada anjuran untuk membaca surat atau ayat tertentu.
  5. Tidak ada doa khusus, selain doa di atas dan dibaca setelah salat.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Kamis, 26 Desember 2013

13 Waktu dan Tempat untuk Bershalawat

13 Waktu dan Tempat untuk Bershalawat

bershalawat kepad anabi

Waktu dan Tempat Bershalawat

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum, mohon diperjelas mengenai waktu kapan shalawat itu dilakukan.
Terima kasih
Dari: Hajar

Wa alaikumus salam

13 Waktu untuk Bershalawat

Bismillah,
Secara umum, shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada dua,
Pertama, shalawat mutlak
Itulah shalawat yang dikerjakan di setiap kesempatan, tanpa batas waktu dan tempat tertentu. Kita dianjurkan untuk banyak membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang Allah firmankan,

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيماً

“Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada nabi, wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan juga ucapkanlah salam untuknya.” (Qs. Al- Ahzab: 56).
Semakin banyak shalawat yang kita lantunkan, sebakin besar peluang untuk mendapat keistimewaan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda,

أولَى الناسِ بِيْ يوم القيامة أكثرُهم عليَّ صلاةً

“Orang yang paling dekat dariku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, dan dihasankan Al-Albani)

Kedua, shalawat muqayad

Itulah shalawat yang dikerjakan pada kesempatan khusus, baik dikerjakan pada waktu tertentu atau ketika melakukan amal tertentu. Ada sekitar 15 keadaan, dimana kita dianjurkan untuk membaca shalawat:
  • Ketika tasyahud awal atau akhir
Shalawat pada saat tasyahud awal hukumnya dianjurkan, sedangkan ketika tasyahud akhir hukumnya wajib. Dari Ka’ab bin Ujrah, bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara shalawat ketika shalat. Beliau menjawab, ‘Ucapkanlah:

اللَّهُّم صلِّ على محمدٍ وعلى آل محمد كما صلَّيْتَ على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللَّهُّم بارِكْ على محمدٍ وعلى آل محمد كما باركتَ على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميدٌ مجيد

“Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Luas, Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Luas.” (Muttafaqun ‘alaihi)
  • Ketika selesai adzan
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوامِثْلَ مَا يَقُولُ ، ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“Apabila kalian mendengar muadzin, jawablah adzannya. Kemduian bacalah shalawat untukku. Karena orang yang membaca shalawat untukku sekali maka Allah akan memberikan shalawat untuknya 10 kali.” (HR. Muslim)
  • Ketika hari jumat
Sejak malam hari jumat, sampai selesai siang hari jumat, kita dianjurkan memperbanyak membaca shalawat.
Dari Aus bin Aus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ عَلَيْهِ السَّلَامُ …. فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ

“Sesungguhnya hari yang paling mulia adalah hari jumat. Pada hari ini, Adam diciptakan… karena itu, perbanyaklah membaca shalawat untukku. Karena shalawat kalian ditunjukkan kepadaku.” (HR. Nasa’I, Abu Daud, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani)
  • Setiap pagi dan sore
Setiap pagi dan sore, kita dianjurkan membaca shalawat minimal 10 kali.
Dari Abu Darda’ radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

من صلى على حين يصبح عشرًا و حين يمسي عشرًا ، أدركته شفاعتي يوم القيامة

“Barangsiapa yang memberikan shalawat kepadaku ketika subuh 10 kali dan ketika sore 10 kali maka dia akan mendapat syafaatku pada hari qiyamat.” (HR. At Thabrani dan dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al-Jami’).
  • Ketika di Majlis
Ketika kita kumpul bersama banyak orang untuk memperbincangkan sesuatu, jangan lupa diselai dengan shalawat. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا جَلَسَ قَوْمٌ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللَّهَ فِيهِ، وَلَمْ يُصَلُّوا عَلَى نَبِيِّهِمْ، إِلَّا كَانَ عَلَيْهِمْ تِرَةً، فَإِنْ شَاءَ عَذَّبَهُمْ وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُمْ

“Jika ada sekelompok kaum yang duduk bersama dan tidak mengingat Allah serta tidak memberi shalawat kepada nabi mereka maka itu akan menjadi bahan penyesalan baginya. Jika Allah berkehendak, Allah akan menghukum mereka, dan jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni mereka.” (HR. Ahmad, Turmudzi, dan dishahih Syuaib Al-Arnauth).
  • Ketika menyebut Nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Ketika menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mendengar nama atau gelar beliau disebut, kita dianjurkan untuk membaca shalawat. Dari Abu hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Celakalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. turmudzi, dan dinilai hasan sahih oleh Al-Albani)
Dari Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَخِيلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ، ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ

“Orang yang bakhil adalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bersjalawat untukku.” (HR. Ahmad dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib Al-Arnauth).
  • Ketika berdoa
Mulailah doa anda dengan memuji Allah dan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan harapan, doa anda bisa mustajab.
Umar bin Khattab mengatakan,

إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ لا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
“Sesungguhnya doa itu terkatung-katung antara langit dan bumi, dan tidak bisa naik, sampai dibacakan shalawat untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Turmudzi dan dihasankan Al-Albani).

Dari Ahmad bin Abi Hawari, bahwa beliau mendengnar Abu Sulaiman Ad-Darani menasehatkan,

من أراد أن يسأل الله حاجته فليبدأ بالصلاة على النبي وليسأل حاجته وليختم بالصلاة على النبي فإن الصلاة على النبي مقبولة والله أكرم أن يرد ما بينهما

Siapa yang ingin memohon kepada Allah sesuatu, hendaknya dia mulai dengan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baru mengajukan doanya. Dan akhiri juga dengan shalawat untuk beliau. Karena shalawat untuk nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam statusnya maqbul, dan Allah Maha Pemurah, sehingga tidak akan menolak doa yang dibaca di antara dua shalawat.
  • Ketika masuk dan keluar masjid
Doa ini dibaca bersamaan dengan doa masuk masjid.
Dari Abu Usaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ ، فَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ

“Apabila kalian masuk masjid maka berilah salam untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baca: Allahummaf-tahlii abwaaba rahmatik. Dan ketika dia keluar, hendaknya dia membaca: Allahumma inni as-aluka min fadhlik.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani).

Dari Fatimah radhiyallahu ‘anha, beliau menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ المَسْجِدَ صَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ وَسَلَّمَ، وَقَالَ: «رَبِّ اغْفِرْ لِي ذُنُوبِي

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk masjid, beliau membaca shalawat dan salam untuk Muhammad, kemudian beliau berdoa: Rabbigh fir-lii dzunuubi…” (HR. Turmudzi dan dishahihkan Al-Albani).
  • Takbir kedua ketika shalat jenazah
Shalawat disyariatkan untuk dibaca ketka takbir kedua shalat jenazah. Imam As-Sya’bi mengatakan,
أول تكبيرة من الصلاة على الجنازة ثناء على الله عز وجل والثانية صلاة على النبي صلى الله عليه وسلم والثالثة دعاء للميت والرابعة 
السلام

“Takbir pertama shalat jenazah adalah memuji Allah. Takbir kedua bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. takbir ketiga doa untuk jenazah, dan takbir keempat salam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf).
  • Ketika berada di Makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Abdullah bin Dinar mengatakan,

رأيت عبدالله بن عمر يقف على قبر النبي صلى الله عليه وسلم ويصلي على النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر رضي الله عنهما

“Saya melihat Abdullah bin Umar berdiri di dekat kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mendoakan Abu Bakr, dan Umar.” (HR. Malik dalam Al-Muwattha’ dan Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro).
  • Ketika setelah usai membaca qunut, disyariatkan diakhiri dengan membaca shalawat.
Dari Abdullah bin Harits, beliau mengatakan,

أن أبا حليمة معاذ بن الحارث كان يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم في القنوت

“Bahwa Abu Halimah, Muadz bin Harits, membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika qunut.” (Fadhl As-Shalah ‘ala An-Nabi, Ismail bin Ishaq).
  • Ketika shalat Id
Shalawat ini dibaca di setiap takbir shalat id.
Dari Alqamah, beliau mengatakan,

أن ابن مسعود وأبا موسى وحذيفة خرج عليهم الوليد بن عقبة قبل العيد يوما فقال لهم إن هذا العيد قد دنا فكيف التكبير فيه قال عبد الله تبدأ فتكبر تكبيرة تفتتح بها الصلاة وتحمد ربك وتصلي على النبي ثم تدعو وتكبر وتفعل مثل ذلك….

Beberapa sahabat, diantaranya Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan Hudzaifah didatangi oleh Al-Wald bin Uqbah (penguasa setempat ketika itu) sehari sebelum shalat hari raya. Al-Walid bertanya, “Hari id sudah dekat, bagaimana cara takbir di dalamnya.” Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Anda awali dengan takbiratul ihram sebagai pembuka shalat, anda puji Allah dan membaca shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdoa. Lalu bertakbir lagi, dan anda lakukan seperti di atas…dst”
Hudzaifah dan Abu Musa mengatkan, “Ibnu Masud benar.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf).
  • Ketika meninggalkan majlis
Pada saat anda meninggalkan majlis perbincangan anda, bacalah shalawat.
Dari Utsman bin Umar, beliau mengatakan,

سمعت سفيان بن سعيد ما لا احصي إذا اراد القيام يقول صلى الله وملائكته على محمد وعلى انبياء الله وملائكته

Aku mendengar Sufyan bin Said berkali-kali sampai tidak bisa kuhitung, setiap beliau hendak meninggalkan majlis, beliau membaca: “Semoga shalawat Allah dan para malaikatnya tercurah untuk Muhammad dan kepada para nabi Allah dan malaikatnya.”

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Bait (Dewan Syariah www.KonsultasiSyariah.com)

Siapa Bilang Salafi Pelit Bershalawat,.

Siapa Bilang Salafi Pelit Bershalawat

Terdapat perkataan miring dari sebagian orang yang membenci dakwah sunnah, bahwa salafiyyin, atau orang yang meneladani generasi salafush shalih dalam beragama, enggan bershalawat kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam atau bahkan dituduh anti-shalawat. Padahal salafiyyin, yang senantiasa berpegang-teguh pada dalil-dalil shahih, bershalawat ratusan kali setiap harinya. Hal ini merupakan konsekuensi dari mengikuti dalil-dalil shahih, karena banyak dalil-dalil shahih yang menganjurkan amalan tersebut. Berikut ini beberapa kesempatan dalam satu hari yang dianjurkan untuk bershalawat, berdasarkan dalil-dalil shahih:

1. Ketika Masuk Masjid

Sebagaimana hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا دخل المسجد صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي ، وافتح لي أبواب رحمتك
Biasanya, ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke dalam masjid beliau bershalawat kemudian mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi Waftahli Abwaaba Rahmatik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu Rahmat-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).
Dan seorang salafi, masuk ke masjid minimal 5 kali dalam sehari.

2. Ketika Keluar Masjid

Sebagaimana kelanjutan hadits dari Fathimah Radhiallahu’anha:
وإذا خرج صلى على محمد وسلم ، وقال : رب اغفر لي ذنوبي وافتح لي أبواب فضلك
Dan ketika beliau keluar dari masjid, beliau bershalawat lalu mengucapkan: Rabbighfirli Dzunubi, Waftahlii Abwaaba Fadhlik (Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku, dan bukalah untukku pintu-pintu keutamaan-Mu)” (HR. At Tirmidzi, 314. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi).
Dan seorang salafi, keluar dari masjid minimal 5 kali dalam sehari.

3. Ketika Tasyahud

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم رجلا يدعو في صلاته لم يمجد الله تعالى ولم يصل على النبي صلى الله عليه وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم عجل هذا ثم دعاه فقال له أو لغيره إذا صلى أحدكم فليبدأ بتمجيد ربه جل وعز والثناء عليه ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعو بعد بما شاء
 “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendengar seorang lelaki yang berdoa dalam shalatnya tanpa mengagungkan Allah dan tanpa bershalawat. Beliau pun berkata: ‘Orang ini terlalu tergesa-gesa’. Rasulullah lalu memanggil lelaki tersebut lalu menasehatinya: ‘Jika salah seorang diantara kalian berdoa mulailah dengan mengagungkanlah Allah, lalu memuji Allah, kemudian bershalawatlah, barulah setelah itu berdoa apa yang ia inginkan‘” (HR. Abu Daud, 1481. Dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud).

Pada ulama mengatakan bahwa tempat shalawat kepada Nabi di dalam shalat adalah setelah tasyahud awal dan akhir. Bahkan sebagian ulama menggolongkan shalawat setelah tasyahud akhir sebagai rukun shalat.
Dan seorang salafi, minimal ber-tasyahud 10 (5 x 2) kali dalam sehari.

4. Ketika disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اَلْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang pelit itu adalah orang yang ketika disebut namaku ia enggan bershalawat” (HR. At Tirmidzi no.3546, ia berkata: “Hasan Shahih Gharib”).

Seorang salafi, yang senantiasa bersemangat menuntut ilmu syar’i, ia membaca kitab para ulama, menghafal hadits, duduk di majlis-majlis ilmu, puluhan kali nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam disebut di sana sehingga ia pun puluhan kali bershalawat.

5. Ketika selesai mendengar adzan

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إذا سمعتم المؤذن فقولوا مثل ما يقول . ثم صلوا علي . فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا
Jika kalian mendengarkan muadzin mengumandangkan adzan, ucapkanlah apa yang ia ucapkan. Kemudian bershalawatlah kepadaku. Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, no. 384)
Dan adzan, minimal 5 kali berkumandang setiap harinya.

6. Dalam rangkaian dzikir pagi

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
من صلى علي حين يصبح عشرا وحين يمسي عشرا أدركته شفاعتي يوم القيامة

Barangsiapa bershalawat kepadaku ketika pagi dan ketika sore masing-masing 10 kali, ia akan mendapatkan syafa’atku kelak di hari kiamat” (Dihasankan oleh Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib, 1/314, juga oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid, 10/123. Sebagian ulama melemahkan hadits ini, semisal Al Albani dalam Adh Dha’ifah, 5788 )

Dan seorang salafi bersemangat menjaga dzikir pagi setiap harinya. Dalam rangkaian dzikir pagi juga banyak disebut nama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sehingga ketika mengamalkan dzikir pagi, puluhan kali shalawat diucapkan.

7. Dalam rangkaian dzikir sore

Sebagaimana hadits pada poin sebelumnya. Seperti paparan sebelumnya, ketika mengamalkan dzikir sore pun, puluhan kali shalawat diucapkan.

8. Ketika hendak berdoa

Sebagaimana hadits pada poin 3. Dan seorang salafi bersemangat memperbanyak doa, dalam rangka mengamalkan firman Allah:

ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

Berdoalah kepada-Ku, akan Aku kabulkan doa kalian. Sungguh orang-orang yang sombong, enggan beribadah kepada-Ku, akan Aku masukkan mereka ke neraka Jahannam yang pedih” (QS. Al-Mu’min: 60)

Terutama pada waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Dan dalam 1 hari ada puluhan waktu mustajab untuk berdoa. Sehingga seorang salafi, puluhan kali bershalawat sebelum berdoa dalam sehari.

9. Pada waktu-waktu bebas yang tidak ditentukan

Seorang salafi senantiasa menggunakan waktunya agar tidak tersia-sia. Salah satu caranya dengan banyak berdzikir, dan diantara dzikir yang dianjurkan adalah bacaan shalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Dianjurkan untuk memperbanyak shalawat kapan saja tanpa terikat kesempatan tertentu. Berdasarkan firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan para Malaikatnya bershalawat kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kepadanya dan doakanlah keselamatan atasnya” (QS. Al Ahzab: 56)

Juga keumuman sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

فإنه من صلى علي صلاة صلى الله عليه بها عشرا

Karena setiap seseorang bershalawat kepadaku, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Muslim, 384)

Di perjalanan, ketika menunggu, ketika istirahat, ketika berjalan, ketika dalam majelis, dan waktu-waktu lain kapan saja dan di mana saja.

10. Pada hari dan malam Jum’at

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إن من أفضل أيامكم يوم الجمعة فأكثروا علي من الصلاة فيه فإن صلاتكم معروضة علي قال فقالوا يا رسول الله وكيف تعرض صلاتنا عليك وقد أرمت قال يقولون بليت قال إن الله تبارك وتعالى حرم على الأرض أجساد الأنبياء صلى الله عليهم

Hari jumat adalah hari yang paling utama. Oleh karena itu perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu. Karena sesungguhnya shalawat kalian itu sampai kepadaku”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin shalawat kami sampai kepadamu, sementara kelak engkau dikebumikan?”. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengharamkan bumi untuk menghancurkan jasad para Nabi shallallahu ‘alaihim” (HR. Abu Daud no. 1047. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami, 2212)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

أكثروا الصلاة علي يوم الجمعة و ليلة الجمعة ، فمن صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا

Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari dan malam Jumat. Karena orang yang bershalawat kepadaku satu kali, Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” (HR. Al-Baihaqi, 3/249. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 1407)

Jelaslah sudah bahwa salafiyyin, orang-orang yang berpegang-teguh pada dalil Qur’an dan sunnah yang shahih, akan mengamalkan shalawat ratusan kali dalam sehari, bahkan lebih. Tentu saja dengan suara lirih, sendiri-sendiri, tidak dikeraskan dan tidak pula beramai-ramai. Namun perlu dicatat, bahwa setiap orang tentu memiliki juhud yang berbeda-beda dalam ibadahnya.

Adapun shalawat yang diingkari oleh salafiyyin adalah shalawat yang dikarang-karang serta dibuat-buat oleh orang, dan tidak pernah diajarkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam maupun para shahabat serta generasi salafus shalih. Dikarang-karang lafadznya, juga tata-caranya. Para sahabat Nabi, orang yang paling mencintai beliau jauh lebih cinta dari kita semua, mereka tidak pernah mengarang-ngarang shalawat. Mereka bahkan bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam cara bershalawat:

يا رسول الله ، أما السلام عليك فقد عرفناه ، فكيف الصلاة ؟ قال : ( قولوا :اللهم صل على محمد وعلى آل محمد ، كما صليت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد ، اللهم بارك على محمد وعلى آل محمد ، كما باركت على إبراهيم ، إنك حميد مجيد )

 “Wahai Rasulullah, tata cara salam terhadapmu, kami sudah tahu. Namun bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam bersabda: ‘Ucapkanlah: Allahumma Shalli ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Shallaita ‘ala Ibrahim Innaka Hamiidum Majid. Allahumma Baarik ‘ala Muhammad Wa ‘ala Aali Muhammad, Kamaa Baarakta ‘ala Ibraahim, Innaka Hamiidum Majid‘”. (HR. Bukhari 4797)

Apalagi shalawat-shalawat yang dikarang-karang oleh sebagian orang, dibumbui dengan khasiat-khasiat tertentu tanpa dalil. Diperparah lagi jika shalawat-shalawat buatan tersebut dilantunkan beramai-ramai menggunakan pengeras suara. Padahal Allah Ta’ala memerintahkan kita berdzikir dengan rendah diri, penuh takut dan bersuara lirih:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ

Berdzikirlah kepada Rabb-mu dengan penuh kerendahan diri, rasa takut serta tanpa suara yang dikeraskan” (QS. Al A’raf: 205)

Renungkanlah, dari apa yang kita paparkan di atas, andai kita mau mengamalkan shalawat berdasarkan dalil yang shahih, hari-hari kita akan sangat sibuk sekali. Maka, untuk apa kita masih mencari-cari atau mengarang-ngarang shalawat sendiri? Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiallahu’anhu berkata:

اتَّبِعُوا وَلاَ تَبْتَدِعُوا ، فَقَد كُفِيتُم
Ikutilah saja (sunnah Nabi) dan jangan berbuat bid’ah. Sesungguhnya sunnah Nabi telah mencukupi kalian


Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id

Kamis, 19 Desember 2013

Apa dan Bagaimana kita bersikap dengan Perayaan Non Muslim

Pertanyaan dari Ikhwan Witno Gattuso@ 

Tanya : 

Assalamu'alaikum warrahmatullohi wabbarrakatuh.
Semoga Ustadz Hasan sekeluarga dalam keadaan sehat wal afiat.

Afwan pak Ustad...ana bkrja dengan orang nasrani.
Ana sudah berusaha untuk mengingkari cara-cara mereka..
Misal ulang tahun ana sdh tidak mengucapkan.
Natal juga ana ga mengucapkan...

Justru ana bingungnya kalau hari raya china.
Karena kebiasaan bos ana pas hari raya china nanti kira-kira jam 10 an pagi dia sekeluarga turun dan memanggil semua pembantu/pekerjanya yg di rumah.
Satu per satu menemui bos skeluarga bukan bersalaman tp yang kaya orang china yang di tivi itu,sambil mengucap gong xi fa cai..lalu bos atau istri ngasih angpao/amplop duit.

Ana makan dan tidur di rmh bos.otomatis ana ga bisa menghjindar ...
Tahun kemarin wkt acara salam-salaman ana paling akhir ana ga mengangkat tangan dan ga mengucapkan gong xi fa cai tp ana mendo'akan pakai bahasa indonesia sambil berjabat tangan..

Ana mohon pencerahan ustad..

(Dari Witno Gattuso@) 


Jawaban : 

Bismillaah'Wa alaikumus salam warahmatullahi wa Barakaatuh...

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,Saudaraku Witno Gattuso@ Syukron doanya smoga Allah mengabulkan.....

Pertama, islam tidak melarang kita untuk bersikap baik terhadap orang non muslim yang tidak mengganggu. Salah satunya adalah dengan menerima hadiah dari orang kafir. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab:

بَابُ قَبُولِ الهَدِيَّةِ مِنَ المُشْرِكِينَ

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Riwayat dari Abu Huamid,

قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

Abu Humaid mengatakan, “Raja Ailah menghadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor bighal putih, beliau diberi selendang, dan kekuasaan daerah pesisir laut.

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Keterangan dari Anas bin Malik,

أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya..

Semua riwayat di atas, yang disebutkan Imam bukhari dalam shahihnya, menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari orang kafir.Insya Allah Ba'da' Shalat dzuhur kita lanjutkan sebab di tempat ana sudah masuk wktu untuk shalat dzuhur.
Kedua, hukum menerima hadiah pada hari raya orang kafir

Angpao dibagikan dalam rangka memeriahkan hari raya imlek. Dengan demikian, angpao merupakan hadiah hari raya orang kafir, sebagaimana hadiah natal.

Untuk mendapatkan kesimpulan hukum tentang hadiah yang diberikan pada saat hari raya mereka, mari kita simak beberapa keterangan ulama berikut,

Syaikhul Islam mengatakan,

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها .

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

وروى ابن أبي شيبة .. أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم .
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

و.. عن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان ، فكان يقول لأهله : ما كان من فاكهة فكلوه ، وما كان من غير ذلك فردوه .

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم … “.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5).Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan ahli kitab, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih karena hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau menyatakan,

وأما ما ذبحه أهل الكتاب لأعيادهم وما يتقربون بذبحه إلى غير الله نظير ما يذبح المسلمون هداياهم وضحاياهم متقربين بها إلى الله تعالى ، وذلك مثل ما يذبحون للمسيح والزهرة ، فعن أحمد فيها روايتان أشهرهما في نصوصه أنه لا يباح أكله وإن لم يسم عليه غير الله تعالى ، ونقل النهي عن ذلك عن عائشة وعبد الله بن عمر.

Sembelihan ahli kitab untuk hari raya mereka dan sembelihan yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan kaum muslimin ketika berqurban atau menyembelih hewan hadyu, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan dalam rangka hari raya ahli kitab, seperti mennyembelih untuk Al-Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat yang lebih banyak dari beliau adalah tidak boleh dimakan. Meskipun ketika menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan terdapat riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A’isyah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:6).Orang Muslim Tidak Boleh Meniru

Syaikhul islam menegaskan, seorang muslim tidak boleh memberikan hadiah kepada muslim yang lain pada hari raya orang kafir. Beliau mengatakan,

ومن أهدى من المسلمين هدية في هذه الأعياد ، مخالفة للعادة في سائر الأوقات غير هذا العيد ، لم تقبل هديته ، خصوصا إن كانت الهدية مما يستعان بها على التشبه بهم ، مثل : إهداء الشمع ونحوه في الميلاد أو إهداء البيض واللبن والغنم في الخميس الصغير الذي في آخر صومهم ، وكذلك أيضا لا يهدى لأحد من المسلمين في هذه الأعياد هدية لأجل العيد ، لا سيما إذا كان مما يستعان بها على التشبه بهم  كما ذكرناه

Seorang muslim yang memberikan hadiah ketika hari raya orang kafir, padahal itu tidak pernah dia lakukan di luar hari raya tersebut maka hadiahnya tidak boleh diterima. Terlebih jika hadiah tersebut membantu untuk ikut meniru kebiasaan orang kafir, seperti menghadiahkan lilin atau semacamnya ketika natal, atau menghadiahkan telur, susu, dan daging kambing ketika hari kamis di tanggal terakhir puasa mereka. Demikian pula, tidak boleh memberi hadiah kepada orang muslim pada hari raya non mulim, dalam rangka memeriahkan hari tersebut. Terlebih jika benda itu mendukung untuk meniru kebiasaan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 1:461)
Tidak berlaku sebaliknya

Penjelasan di atas, terkait hukum menerima hadiah dari orang kafir. Namun hukum ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya, memberikan hadiah kepada orang kafir ketika hari raya mereka. Ulama Hanafi menegaskan, memberi hadiah dari orang kafir dalam rangka memeriahkan hari raya mereka, hukumnya terlarang, dan bahkan mereka anggap sebagai pembatal islam. Az-Zaila’i (ulama hanafi) mengatakan,


(والإعطاء باسم النيروز والمهرجان لا يجوز) أي الهدايا باسم هذين اليومين حرام بل كفر , وقال أبو حفص الكبير رحمه الله لو أن رجلا عبد الله خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز , وأهدى لبعض المشركين بيضة ، يريد به تعظيم ذلك اليوم ، فقد كفر , وحبط عمله .

“(Hadiah dengan nama Nairuz dan Mihrajan, hukumnya tidak boleh). Maksudany, hadiah dalam rangka memeriahkan dua hari ini hukumnya haram bahkan kekafiran. Abu Hafs Al-Kabir mengatakan, ‘Jika ada orang yang beribadah kepada Allah selama 50 tahun. Kemudian dia datang pada hari Nairuz, dan memberikan hadiah telur kepada orang musyrik, dalang rangka memeriahkan dan mengagungkan hari raya itu maka dia telah murtad dan amalnya terhapus.” (Tabyin Al-Haqaiq, 6/228).

Kesimpulan yang bisa kita catat dari penjelasan di atas, bahwa kita dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, dengan syarat,

Hadiah itu bukan termasuk sembelihan mereka
Hadiah itu bukan termasuk benda yang memfasilitasi orang untuk meniru ciri khas mareka saat hari raya.
Menerima hadiah itu sama sekali tidak dikesankan mendukung acara mereka.
Menerima hadiah itu dalam rangka mengambil hati mereka, dengan harapan, mereka bisa simpati kepada islam.
Dengan demikian, jika menerima hadiah angpao memenuhi beberapa persyaratan di atas, hukumnya dibolehkan.

Kemudian kita sebagai seorang Muslim di Haramkan mendoakan kebaikan bagi orang Kafir dan pada artikel kemarin sudah kami bahas tentang Hukum mendoakan orang kafir,akan tetapi kita dibolehkan mendoakan mereka agar mendapat Hidayah dan selainnya Hukumnya adalah Haram. Wallahu Ta'ala a'lam 


[Abu Hasan]Pertanyaan dari Ikhwan Witno Gattuso@

Tanya :

Assalamu'alaikum warrahmatullohi wabbarrakatuh.
Semoga Ustadz Hasan sekeluarga dalam keadaan sehat wal afiat.

Afwan pak Ustad...ana bkrja dengan orang nasrani.
Ana sudah berusaha untuk mengingkari cara-cara mereka..
Misal ulang tahun ana sdh tidak mengucapkan.
Natal juga ana ga mengucapkan...

Justru ana bingungnya kalau hari raya china.
Karena kebiasaan bos ana pas hari raya china nanti kira-kira jam 10 an pagi dia sekeluarga turun dan memanggil semua pembantu/pekerjanya yg di rumah.
Satu per satu menemui bos skeluarga bukan bersalaman tp yang kaya orang china yang di tivi itu,sambil mengucap gong xi fa cai..lalu bos atau istri ngasih angpao/amplop duit.

Ana makan dan tidur di rmh bos.otomatis ana ga bisa menghjindar ...
Tahun kemarin wkt acara salam-salaman ana paling akhir ana ga mengangkat tangan dan ga mengucapkan gong xi fa cai tp ana mendo'akan pakai bahasa indonesia sambil berjabat tangan..

Ana mohon pencerahan ustad..

(Dari Witno Gattuso@)


Jawaban :

Bismillaah'Wa alaikumus salam warahmatullahi wa Barakaatuh...

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,Saudaraku Witno Gattuso@ Syukron doanya smoga Allah mengabulkan.....

Pertama, islam tidak melarang kita untuk bersikap baik terhadap orang non muslim yang tidak mengganggu. Salah satunya adalah dengan menerima hadiah dari orang kafir. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan:

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab:

بَابُ قَبُولِ الهَدِيَّةِ مِنَ المُشْرِكِينَ

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Riwayat dari Abu Huamid,

قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

Abu Humaid mengatakan, “Raja Ailah menghadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor bighal putih, beliau diberi selendang, dan kekuasaan daerah pesisir laut.

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Keterangan dari Anas bin Malik,

أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya..

Semua riwayat di atas, yang disebutkan Imam bukhari dalam shahihnya, menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari orang kafir.Insya Allah Ba'da' Shalat dzuhur kita lanjutkan sebab di tempat ana sudah masuk wktu untuk shalat dzuhur.
Kedua, hukum menerima hadiah pada hari raya orang kafir

Angpao dibagikan dalam rangka memeriahkan hari raya imlek. Dengan demikian, angpao merupakan hadiah hari raya orang kafir, sebagaimana hadiah natal.

Untuk mendapatkan kesimpulan hukum tentang hadiah yang diberikan pada saat hari raya mereka, mari kita simak beberapa keterangan ulama berikut,

Syaikhul Islam mengatakan,

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها .

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

وروى ابن أبي شيبة .. أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم .
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

و.. عن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان ، فكان يقول لأهله : ما كان من فاكهة فكلوه ، وما كان من غير ذلك فردوه .

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم … “.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5).Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan ahli kitab, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih karena hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau menyatakan,

وأما ما ذبحه أهل الكتاب لأعيادهم وما يتقربون بذبحه إلى غير الله نظير ما يذبح المسلمون هداياهم وضحاياهم متقربين بها إلى الله تعالى ، وذلك مثل ما يذبحون للمسيح والزهرة ، فعن أحمد فيها روايتان أشهرهما في نصوصه أنه لا يباح أكله وإن لم يسم عليه غير الله تعالى ، ونقل النهي عن ذلك عن عائشة وعبد الله بن عمر.

Sembelihan ahli kitab untuk hari raya mereka dan sembelihan yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan kaum muslimin ketika berqurban atau menyembelih hewan hadyu, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan dalam rangka hari raya ahli kitab, seperti mennyembelih untuk Al-Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat yang lebih banyak dari beliau adalah tidak boleh dimakan. Meskipun ketika menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan terdapat riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A’isyah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:6).Orang Muslim Tidak Boleh Meniru

Syaikhul islam menegaskan, seorang muslim tidak boleh memberikan hadiah kepada muslim yang lain pada hari raya orang kafir. Beliau mengatakan,

ومن أهدى من المسلمين هدية في هذه الأعياد ، مخالفة للعادة في سائر الأوقات غير هذا العيد ، لم تقبل هديته ، خصوصا إن كانت الهدية مما يستعان بها على التشبه بهم ، مثل : إهداء الشمع ونحوه في الميلاد أو إهداء البيض واللبن والغنم في الخميس الصغير الذي في آخر صومهم ، وكذلك أيضا لا يهدى لأحد من المسلمين في هذه الأعياد هدية لأجل العيد ، لا سيما إذا كان مما يستعان بها على التشبه بهم كما ذكرناه

Seorang muslim yang memberikan hadiah ketika hari raya orang kafir, padahal itu tidak pernah dia lakukan di luar hari raya tersebut maka hadiahnya tidak boleh diterima. Terlebih jika hadiah tersebut membantu untuk ikut meniru kebiasaan orang kafir, seperti menghadiahkan lilin atau semacamnya ketika natal, atau menghadiahkan telur, susu, dan daging kambing ketika hari kamis di tanggal terakhir puasa mereka. Demikian pula, tidak boleh memberi hadiah kepada orang muslim pada hari raya non mulim, dalam rangka memeriahkan hari tersebut. Terlebih jika benda itu mendukung untuk meniru kebiasaan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 1:461)
Tidak berlaku sebaliknya

Penjelasan di atas, terkait hukum menerima hadiah dari orang kafir. Namun hukum ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya, memberikan hadiah kepada orang kafir ketika hari raya mereka. Ulama Hanafi menegaskan, memberi hadiah dari orang kafir dalam rangka memeriahkan hari raya mereka, hukumnya terlarang, dan bahkan mereka anggap sebagai pembatal islam. Az-Zaila’i (ulama hanafi) mengatakan,


(والإعطاء باسم النيروز والمهرجان لا يجوز) أي الهدايا باسم هذين اليومين حرام بل كفر , وقال أبو حفص الكبير رحمه الله لو أن رجلا عبد الله خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز , وأهدى لبعض المشركين بيضة ، يريد به تعظيم ذلك اليوم ، فقد كفر , وحبط عمله .

“(Hadiah dengan nama Nairuz dan Mihrajan, hukumnya tidak boleh). Maksudany, hadiah dalam rangka memeriahkan dua hari ini hukumnya haram bahkan kekafiran. Abu Hafs Al-Kabir mengatakan, ‘Jika ada orang yang beribadah kepada Allah selama 50 tahun. Kemudian dia datang pada hari Nairuz, dan memberikan hadiah telur kepada orang musyrik, dalang rangka memeriahkan dan mengagungkan hari raya itu maka dia telah murtad dan amalnya terhapus.” (Tabyin Al-Haqaiq, 6/228).

Kesimpulan yang bisa kita catat dari penjelasan di atas, bahwa kita dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, dengan syarat,

Hadiah itu bukan termasuk sembelihan mereka
Hadiah itu bukan termasuk benda yang memfasilitasi orang untuk meniru ciri khas mareka saat hari raya.
Menerima hadiah itu sama sekali tidak dikesankan mendukung acara mereka.
Menerima hadiah itu dalam rangka mengambil hati mereka, dengan harapan, mereka bisa simpati kepada islam.
Dengan demikian, jika menerima hadiah angpao memenuhi beberapa persyaratan di atas, hukumnya dibolehkan.

Kemudian kita sebagai seorang Muslim di Haramkan mendoakan kebaikan bagi orang Kafir dan pada artikel kemarin sudah kami bahas tentang Hukum mendoakan orang kafir,akan tetapi kita dibolehkan mendoakan mereka agar mendapat Hidayah dan selainnya Hukumnya adalah Haram. Wallahu Ta'ala a'lam


[Abu Hasan]

Senin, 16 Desember 2013

Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak

Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan
menggembirakan hati anak dan keluarganya ?

Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".

Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.

Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.

Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".

Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".

Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]

[Fatawa Manarul Islam 1/43]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

Sumber

Sabtu, 14 Desember 2013

Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Assalamu’alaikum. Redaksi As-Sunnah yang saya hormati, ana ingin bertanya bagaimana hukum shalat di masjid yang ada kuburan di sekitarnya tapi waktu itu saya tidak tahu kalau dalam masjid itu ada kuburannya. Bagaimana hukum shalat saya dalam masjid tersebut ?
Aji, Depok (089883xxxxx)
 
Jawaban:
Jika kuburan itu berada di luar masjid, maka shalatnya sah, apalagi jika ada tembok/dinding yang memisahkan kubur dengan masjid.
 
Syaikh Al-Albâni –rahimahullâh– menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullâh– (dari kitab al- Ikhtiyârât al-‘Ilmiyyah, hlm: 25) yang mengatakan: “Tidak sah shalat di kuburan, dan juga tidak sah shalat menghadap kuburan. Sesungguhnya larangan ini untuk menutup sarana kesyirikan. Sekelompok sahabat kami (maksudnya adalah ulama Hanabilah -pent) menyebutkan bahwa “satu kubur atau dua kubur tidak menghalangi shalat (yakni boleh shalat di dekat satu atau dua kubur-pen), karena itu tidak terkena istilah maqbarah (kuburan), maqbarah adalah tiga kubur atau lebih”. (Perkataan mereka itu tidak benar) karena pembedaan ini tidak ada dalam perkataan Imam Ahmad dan kebanyakan sahabat-sahabat beliau –rahimahullâh–! Bahkan dari perkataan mereka secara umum, penjelasan mereka tentang alasan serta pengambilan dalil mereka tersirat larangan shalat di dekat satu kubur. Inilah pendapat yang benar. Maqbarah adalah tempat pemakaman. Maqbarah bukan (bentuk) jama’ (plural) dari kubur. 
 
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan : “Setiap tempat yang masuk dalam nama kuburan maksudnya daerah sekitar kubur, maka tidak boleh shalat ditempat itu. Ini menunjukkan bahwa larangan itu mencakup satu kuburan dan tempat yang disatukan dengannya."
Al-Amidi dan lainnya menyebutkan bahwa tidak boleh shalat di dalamnya, yaitu (didalam) masjid yang kiblatnya menghadap kubur, sehingga ada penghalang yang lain antara tembok (masjid) dengan kuburan. Dan sebagian mereka menyebutkan bahwa ini yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. (Ahkâmul Janâiz, hlm: 274).
 
Syaikh Muqbil bin Hadi Al- Wadi’i –rahimahullâh– berkata : “Shalat di masjid yang di depannya ada kuburan diluar masjid, maka (shalatnya) sah. Karena yang terlarang adalah shalat di masjid yang didalamnya ada kuburan, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallâhu 'anhu– dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
 
Bumi semuanya adalah masjid (tempat shalat) kecuali pemandian dan kuburan.
Dan di dalam Shahih Muslim (no: 532-pen) dari hadits Jundub dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
 
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
 
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dahulu menjadikan kubur-kubur Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kamu menjadikan kubur-kubur sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kamu dari itu!”.
Sedangkan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam:
 
لاَ تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
 
Janganlah kamu duduk di atas kubur dan janganlah kamu shalat menghadapnya.[1]
Maka ini jika shalat menghadapnya tanpa pagar atau dinding. Adapun jika ada dinding atau pagar, sedangkan kubur itu di luar masjid, maka shalat itu sah, Insya Allah”.[2]
 
Demikian juga keterangan ini bisa didapatkan dari penjelasan Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah. beliau mengatakan, jika masjid itu benar-benar terpisah dari kuburan, baik dipisah dengan pagar ataupun jalanan, maka shalat di masjid tersebut sah.[3]
 
Kesimpulannya, shalat di kuburan hukumnya terlarang, baik kuburan itu di depan orang shalat, di 
belakangnya, atau di sampingnya. Demikian juga shalat di masjid yang di dalamnya ada kuburan. Adapun jika kubur itu di luar masjid, dan ada dinding yang membatasinya, maka shalat itu sah. wallâhu a’lam.
 
[1] HR. Muslim, no: 972 -pen
[2] Tuhfatul Mujib ‘ala Asilatil Hadhir wal Gharib, hlm: 83-84, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I, penerbit Darul Atsâr, cet. 3, 1425 H/2004 M
[3] Lihat al Muntaqa, Syaikh Shalih Fauzan, 2/171-172

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII)
 

Apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim?

Photo: ‎Pertanyaan dari Ikhwan Ulay Ajje@ 

Tanya :

Assalamualaikum'ustadz ana mo tny apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim? 

(Dari Ulay Ajje@)


Jawaban :


Bismillaah'Wa'alaykumussalam warahmatullaah....Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,Saudaraku Ulay Ajja@ semoga Allah memuliaknmu diatas Sunnah ala fahmi salaf.

Allah berfirman, 

يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13).

Ada dua hal yang perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:

Pertama, berbuat baik dan bersikap adil 

Sikap semacam ini diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 

Kedua, memberikan loyalitas 

Sikap yang kedua ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Para ulama menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.


Ketika Abu Talib meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk mennguburkannya. Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib. Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika pamannya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ

“Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ

“Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).

Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ، ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه

“Seorang muslim tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah, 1:261).

Dalam Syarah Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,

ولا يغسّل مسلم كافرا  للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه

“Orang muslim tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya, karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).

Dalam Kasyaful Qana’ dinyatakan,

ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ، وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم )

“Seorang muslim  diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat. Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful Qana’, 2:123).
Allahu a’lam 


[Abu Hasan]‎Pertanyaan dari Ikhwan Ulay Ajje@

Tanya :

Assalamualaikum'ustadz ana mo tny apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim?

(Dari Ulay Ajje@)


Jawaban :


Bismillaah'Wa'alaykumussalam warahmatullaah....Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,Saudaraku Ulay Ajja@ semoga Allah memuliaknmu diatas Sunnah ala fahmi salaf.

Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13).

Ada dua hal yang perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:

Pertama, berbuat baik dan bersikap adil

Sikap semacam ini diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:

Kedua, memberikan loyalitas

Sikap yang kedua ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Para ulama menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.


Ketika Abu Talib meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk mennguburkannya. Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib. Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika pamannya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ

“Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ

“Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).

Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ، ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه

“Seorang muslim tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah, 1:261).

Dalam Syarah Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,

ولا يغسّل مسلم كافرا للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه

“Orang muslim tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya, karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).

Dalam Kasyaful Qana’ dinyatakan,

ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ، وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم )

“Seorang muslim diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat. Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful Qana’, 2:123).
Allahu a’lam


[Abu Hasan]

Jumat, 13 Desember 2013

Cara Duduk Tasyahhud Terakhir Sholat Subuh


Cara Duduk Tasyahhud Terakhir Sholat Subuh

 Pertanyaan :

"Manakah yang benar tatkala duduk tasyahhud terakhir sholat subuh, apakah dengan duduk tawarruk (yaitu duduk dengan mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan tidak menduduki kaki kirinya) ataukah dengan duduk iftirosy(duduk dengan menghamparkan kaki kirinya dan duduk diatasnya serta menegakkan kaki kanan)?. Mohon penjelasannya ustadz.
Jawab :
Permasalahan ini adalah permasalahan khilaf (perbedaan pendapat) klasik. Namun pada kesempatan kali ini penulis mencoba untuk menjelaskan khilaf yang kuat antara madzhab Imam Ahmad dan madzhab Syafi'i. Tentunya masing-masing madzhab sama-sama memiliki dalil yang kuat. Oleh karenanya tulisan ini hanya usaha kecil dari penulis untuk memandang yang terkuat dari dua pendapat tersebut -tentunya menurut hemat penulis yang lemah ini-. 

Dan tulisan berikut ini tidak pantas dikatakan sebagai bantahan terhadap tulisan-tulisan yang bagus yang telah ada tentang permasalahan ini, akan tetapi hanya sebagai tambahan wacana bagi para pembaca yang budiman. Oleh karenanya tidak pantas jika kita menuduh bahwa orang yang berselisih dengan kita dalam permasalahan ini bahwa ia "pada hakekatnya tidak memberikan hak yang semestinya terhadap pembahasan ini", karena masing-masing telah berusaha berdalil dan berijtihad dalam memahami dalil, dan toh permasalahan ini adalah permasalahan khilaf klasik yang sejak dulu telah ada. Semoga Allah senantiasa merahmati para ulama yang berusaha memudahkan pemahaman agama kepada masyarakat.

Catatan : Madzhab As-Syafi'i dan madzhab Hanbali bersepakat bahwa untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka tasyahhud awal dengan duduk iftirosy dan tasyahhud kedua dengan duduk tawarruk. Khilaf yang terjadi diantara kedua madzhab ini adalah pada sholat-sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at, apakah dengan duduk iftirosy ataukah dengan duduk tawarruk.

Pendapat Madzhab As-Syafi'i
Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa duduk pada setiap rakaat yang terakhir baik sholat yang memiliki dua tasyahhud (seperti sholat dhuhur, ashar, magrib, dan isyaa') maupun sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud (seperti sholat subuh, sholat jum'at,  sholat witir satu rakaat, atau sholat-sholat sunnah 2 rakaat) maka semuanya dilakukan dengan duduk tawarruk.
Dalil yang dikemukakan oleh madzhab As-Syafi'i adalah hadits Abu Humaid As-Sa'idi


أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

”Aku adalah orang yang paling menghafal diantara kalian tentang shalatnya Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam -. Aku melihatnya tatkala bertakbir , menjadikan kedua tangannya sejajar dengan kedua pundaknya, dan jika ruku’, beliau menetapkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu meluruskan punggungnya. Dan jika beliau mengangkat kepalanya , maka ia berdiri tegak hingga kembali setiap dari tulang belakangnya ke tempatnya. Dan jika beliau sujud, maka beliau meletakkan kedua tangannya tanpa menidurkan kedua lengannya dan tidak pula melekatkannya (pada lambungnya), dan menghadapkan jari-jari kakinya kearah kiblat. Dan jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk diatas tempat duduknya – bukan di atas kaki kiri- (duduk tawarruk). (HR Al-Bukhari no 828).

Al-Imam An-Nawawi berkata, "Imam As-Syafi'i dan para sahabat kami (dari madzhab As-Syafi'i) berkata:

قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالأَصْحَابُ : فَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَأَصْحَابِهِ صَرِيْحٌ فِي اْلفَرْقِ بَيْنَ التَّشَهُّدَيْنِ. وَبَاقِيَ اْلأَحَادِيْثُ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ حَمَلَهَا عَلَى مُوَافَقَتِهِ, فَمَنْ رَوَى التَّوَرُّكَ أَرَادَ اْلجُلُوْسَ فِي التَّشَهُّدِ اْلأَخِيْرِ, وَمَنْ رَوَى اْلاِفْتِرَاشَ أَرَادَ اْلأَوَّلَ. وَهذَا مُتَعَيِّنٌ لِلْجَمْعِ بَيْنَ اْلأَحَادِيْثِ الصَّحِيْحَةِ لاَ سِيَمَا وَحَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ وَافَقَهُ عَلَيْهِ عَشَرَةٌ مِنْ كِبَارِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ. وَاللهُ أَعْلَمُ.

”Hadits Abu Humaid dan para shahabatnya jelas membedakan antara dua duduk tasyahhud, sedangkan hadits-hadits yang lainnya adalah hadits yang mutlak, sehingga wajib untuk dibawakan sesuai dengan hadits ini (hadits Abu Humaid-pen). Barang siapa yang meriwayatkan hadits duduk tawarruk, maka yang dimaksud adalah duduk pada tasyahhud akhir, dan yang meriwayatkan duduk iftirasy , yang dimaksud adalah tasyahhud awal. dan harus dilakukan untuk menggabungkan antara hadits-hadits yang shahih, terlebih lagi hadits Abu Humaid As-Sa’idi telah disetujui oleh sepuluh orang dari para pembesar shahabat radhiallahu anhum. Wallahu a’lam”. (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 3/413)

Hadits Abu Humaid ini juga datang dalam lafal-lafal yang lain yang semakin memperkuat madzhab As-Syafi'i. Diantara lafal-lafal tersebut adalah:

حتى إذا كانت السَّجْدَةُ التي فيها التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا على شِقِّهِ الْأَيْسَرِ

"Hingga tatkala sampai sujud yang terakhir yang ada salamnya maka Nabi mengeluarkan kaki kirinya dan beliau duduk dengan tawaruuk di atas sisi kiri beliau" (HR Abu Dawud no 963 dan Ibnu Maajah no 1061)

Diantaranya juga
حَتَّى إِذَا كَانَتِ السَّجْدَةُ الَّتِي تَكُوْنُ خَاتِمَةَ الصَّلاَةِ رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْهُمَا وَأَخَّرَ رِجْلَهُ وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى رِجْلِهِ

"Hingga tatkala sampai pada sujud yang merupakan penutup sholat, maka beliau mengangkat kepala beliau dari dua sujud tersebut dan mengeluarkan kaki beliau dan duduk tawarruk di atas kakinya" (HR Ibnu Hibbaan no 1870)

Diantaranya juga

إذا كان في الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ على شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ

"Jika Nabi berada pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat maka Nabi mengakhirkan kaki kirinya dan duduk tawaruuk di atas sisi beliau kemudian beliau salam" (HR An-Nasaai no 1262)

Sisi pendalilan madzhab As-Syafi'i:
Sisi pendalilan mereka adalah keumumann dari lafal-lafal yang datang dalam hadits Abu Humaid As-Sa'idi diatas seperti " dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir", "sujud yang terakhir yang ada salamnya", "sujud yang merupakan penutup sholat" dan "pada dua rakaat yang pada keduanya berakhir sholat". Lafal-lafal ini umum mencakup seluruh tasyahhud di rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat, apakah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud ataukah sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud seperti sholat subuh dan sholat jum'at.


Pendapat Madzhab Hanbali
Untuk sholat yang hanya ada satu tasyahhud (seperti sholat subuh dan sholat jum'at) maka duduknya adalah duduk iftirosy.
Ibnu Qudaamah berkata, "Dan tidaklah dilakukan duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud yaitu pada tasyahhud yang dedua" (al-Mughni 2/227)

Dalil Madzhab Hanbali adalah

Hadits Aisyah –radhiyallahu 'anhaa-, beliau berkata

وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
.
“Adalah beliau (Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ) mengucapkan tahiyyat pada setiap dua raka’at, dan beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).”
(HR. Muslim no 498).

Hadits Abdullah bin Az-Zubair

كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ اْليُسْرَى، وَنَصَبَ اْليُمْنَى

“Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Hibban no 1943).

Hadits Wail bin Hujr – radhiyallahu ‘anhu – bahwa beliau berkata:

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ

Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)


Sisi pendalilan madzhab Hanbali

Sisi pendalilan mereka adalah keumuman lafal-lafal hadits ini, dan semua lafal-lafal di atas termasuk lafal-lafal umum, seperti, "Ketika duduk", "Jika duduk", "Tatkala beliau duduk"

Catatan

Pertama : Apakah hadits yang dijadikan dalil oleh madzhab Asy-Syafi'i –yaitu hadits Abu Hamid As-Sa'idi- memberi faedah keumuman?
Jika merenungkan dan mengamati hadits ini, ternyata hadits ini adalah sebuah kisah yang disampaikan oleh Abu Humadi As-Sa'idi tentang jenis sholat tertentu, yaitu sholat yang memiliki dua tasyahhud. Hal ini Nampak sangat jelas jika kita kembali melihat lafal-lafal hadits ini. Oleh karenanya lafal-lafal yang datang yang seakan-akan memberi faedah keumuman pada hakekatnya adalah penjelas tentang sholat yang memiliki dua tasyahhud tersebut, dan tidak mencakup seluruh sholat.

Sebagai pendekatan logika:

Misalnya penulis berkata kepada para pembaca sekalian tentang sholatnya Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad, lantas penulis berkata; "Aku adalah orang yang paling tahu tentang cara sholatnya Syaikh Abdul Muhsin, tatkala beliau duduk di rakaat kedua maka beliau duduk iftirosy. Dan tatkala beliau duduk di rakaat yang terakhir yaitu rakaat penutup sholat, yang ada salamnya maka beliau duduk tawarruk".

Coba para pembaca yang budiman renungkan, apakah perkataan penulis "Pada rakaat terakhir" dipahami bahwasanya maksud penulis untuk seluruh sholat secara umum, baik sholat subuh dan sholat jum'at?, ataukah dipahami dari perkataan penulis "Pada rakaat yang terakhir" maksudnya adalah rakaat yang keempat yang berkaitan dengan sholat Syaikh Abdul Muhsin yang sedang penulis ceritakan?

Tentunya yang dipahami adalah yang kedua. Dan tidaklah penulis mengatakan "Pada rakaat yang terakhir yang merupakan penutup sholat yang ada salamnya" kecuali untuk membedakan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir yang merupakan penutup sholat.
Maka demikian pula perihalnya hadits Abu Humaid As-Saa'idi.

Kedua : Dalil yang digunakan oleh madhab Hanbali keumumannya lebih kuat. Adapun hadits Aisyah keumumannya dari sisi فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ "Pada setiap dua rakaat". Disini ada lafal "كُلِّ", dan ini merupakan lafal yang kuat dalam menunjukan keumuman .
Demikian juga hadits Abdullah bin Zubair semakna dengan hadits Aisyah, hanya saja kemumumannya diambil dari lafal إِذَا "Jika" yaitu dalam lafal إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ افْتَرَشَ "Nabi jika duduk di dua rakaat maka beliau duduk iftirosy". Hal ini menunjukan bahwa beliau duduk dengan iftirosy di setiap dua rakaat -secara umum baik pada sholat dua rakaat yang hanya memiliki satu tasyahhud atau pada sholat 3 atau 4 rakaat yang memiliki dua tasyahhud-.

Peringatan 1:
Sisi pendalilan yang digunakan oleh madzhab Hanabilah dari hadits Aisyah ini bukan dengan mafhuum al-'adad (mafhuum bilangan) sebagaimana persangkaan sebagian orang.
(lihat : http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html)

Oleh karenanya madzhab Hanbali yang berdalil dengan hadits ini sama sekali tidak pernah menyebutkan tentang mafhuumul 'adad, karena memang mafhuumul 'adad lemah menurut para ulama ahli ushul.

Maksud dari mafhuum al-'adad:
Mafhuum al-'adad adalah salah satu jenis dari jenis-jenis mafhuum al-mukhoolafah (yaitu kebalikan dari suatu manthuuq/teks kalimat). Sebagai ceontoh misalnya hadits Nabi :"Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah akan pahamkan agama baginya". Ini adalah manthuuq hadits, adapun mafhuum al-mukhoolafah dari hadits ini (yaitu makna kebalikannya) adalah ; Barang siapa yang tidak Allah kehendaki kebaikan baginya maka Allah tidak akan memahamkan agama baginya.
Contoh lain sabda Nabi :"Jika air telah mencapai dua kullah maka tidak akan ternajisi". Mafhuum al-mukhoolafahnya adalah : Jika air kurang dari dua kullah maka ternajisi"

Adapun mafhhum al-'adad yang merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah definisinya adalah :تعليق الحكم بعدد مخصوص Pengkaitan suatu hukum dengan bilangan tertentu (Ma'aalim ushuul al-fiqh hal 461)
Maka jika Aisyah berkata : “Adalah Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – jika duduk pada dua raka’at, beliau menghamparkan yang kiri, dan menegakkan yang kanan (duduk iftirasy, pent).”
Maka mafhuumul 'adad dari hadits ini yaitu : "Jika Rasulullah tidak duduk pada dua rakaat maka beliau tidak duduk iftirosy". Karena mafhuumul 'adad merupakan salah satu bentuk mafhuum al-mukhoolafah.  Dan tidak ada seorangpun yang berdalil dengan hadits Aisyah ini –sepanjang penelitian penulis yang terbatas ini- dengan mafhuumul 'adad.

Peringatan 2:

Sebagian orang mengkhususkan keumuman hadits Aisyah diatas dengan hadits Rifa'ah yaitu sabda Nabi – shallallahu ‘alaihi wa sallam

فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat, maka lakukanlah thuma’ninah, dan hamparkan paha kirimu – agar engkau duduk diatasnya – (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud”
(HR. Abu Dawud dari Rifa’ah bin Rafi’, dan Al-Albani berkata: sanadnya hasan. Lihat kitab: Aslu Shifatis Shalaah, Al-Albani: 3/831-832).

Pengkhususan ini kuranglah tepat, karena tiga hal :

-    Kedua hadits ini adalah dua hadits yang berbeda
-    Penyebutan sebagian anggota dari keumuman tidaklah mengkhususkan keumuman tersebut. Kaedah ini telah dijelaskan oleh Syaikh Al-Utsaimin dengan panjang lebar. Sebagai contoh : jika Pak Dosen berkata, "Muliakanlah semua mahasiswa", ini merupakan lafal umum. Kemudian ia berkata lagi, "Muliakanlah mahasiswa yang bernama Muhammad". Dan Muhammad adalah salah satu anggota dari keumuman lafal "semua mahasiswa". Maka tidaklah dipahami dari perkataan pak dosen bahwasanya keumuman tersebut dikhususkan sehingga yang dimuliakan hanyalah si Muhammad. Hal ini juga sebagaimana dalam permasalahan ini. Jika disebutkan dalam sebuah hadits bahwasanya Nabi asalnya duduk dalam sholat dengan cara iftirosy, lantas datang dalam hadits yang lain –seperti hadits Rifa'ah- bahwasanya Nabi memerintahkan bahwa untuk duduk iftirosy di tengah sholat (tasyahhud awal) maka hal ini tidak melazimkan kalau di akhir sholat maka tidak iftirosy
-    Pendalilan seperti ini (pengkhususan dengan hadits Rifa'ah) merupakan pendalilan dengan mafhuum al-mukhoolafah, sejenis dengan mafhuumul 'adad
-    Justru dzohir dari hadits Rifa'ah yaitu Nabi sedang berbicara tentang sholat yang ada dua tasyahhudnya, karena Nabi mensifati tasyahhud awal dengan di tengah sholat, berarti di akhir sholat adalah tasyahhud akhir. Dan ini semakna dengan hadits Abu Humaid, dan keluar dari medan khilaf, karena khilaf yang sedang kita bahas antara madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali adalah pada sholat yang hanya memiliki satu tasyahhud.

Ketiga : Dalil yang dikemukakan oleh Madzhab Hanbali bukan hanya hadits Aisyah, ada hadits yang lainnya yang lebih umum lagi yaitu hadits Wail bin Hujr.

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى

“Aku melihat Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wa sallam – ketika duduk dalam shalat, beliau menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Ibnu Khuzaimah no 691)

Dalam lafal yang lain

فَلَمَّا جَلَسَ يَعْنِي لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِي عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى

“Maka tatkala beliau duduk untuk tasyahhud, beliau menghamparkan kaki kirinya dan meletakkan tangan kirinya di atas pahanya , dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy, pent).” (HR. Tirmidzi  no 292).

Dalam lafal yang lain :

وإذا جَلَسَ افْتَرَشَ
Dan jika Nabi duduk (dalam sholat-pent) beliau beriftirosy. (HR At-Thobrooni dalam Al-Mu'jam Al-Kabiir 22/33 no 78)

Penulis katakan bahwasanya hadits Wail bin Hujr lebih umum karena menjelaskan bahwasanya Nabi setiap duduk dalam sholat beliau duduk iftirosy. Mencakup segala bentuk duduk, apakah duduk diantara dua sujud, ataukah duduk istirohah, ataukah duduk tatkala sholat dua rakaat, ataukah duduk tatkala sholat satu rakaat.
Keempat : keumuman dalil-dalil yang digunakan oleh Hanabilah (seperti hadits Aisyah, Abdullah bin Az-Zubair dan Wail Bin Hujr) dikhususkan oleh madzhab Hanabilah dengan hadits Abu Humaid. Oleh karenanya meskipun hadits-hadits tersebut menjelaskan bahwasanya Nabi duduk iftirossy pada setiap duduk beliau dalam sholat akan tetapi hadits tersebut dikhususkan dengan hadits Abu Humaid, sehingga untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud maka pada tasyahhud yang kedua dengan duduk tawarruk. Oleh karenanya Madzhab Hanabilah dan madzhab As-Syafi'i bersepakat dalam hal ini.

Adapun sholat yang memiliki hanya satu tasyahhud –baik sholat dua rakaat atau satu rakaat- maka tidak dikhususkan oleh hadits Abu Humaid, jadi kita kembalikan kepada asal keumuman hadits Wail bin Hujr bahwasanya Nabi jika duduk dalam sholat beliau duduk dengan duduk iftirosy. Inilah yang dipahami oleh Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh Al-Albani rahimahumallah.

Syaikh Al-'Utsaimin pernah ditanya ما كيفية الجلسة للتشهد في صلاة الوتر؟ "Bagaiamanakah cara duduk tasyahhud pada sholat witir?"

فأجاب فضيلته بقوله: الإنسان في صلاة الوتر يجلس مفترشاً؛ لأن الأصل في جلسات الصلاة الافتراش، إلا إذا قام دليل على خلاف ذلك، وعلى هذا فنقول يجلس للتشهد في الوتر مفترشاً، ولا تورك إلا في صلاة يكون لها تشهدان فيكون التورك في التشهد الأخير للفرق بينه وبين التشهد الأول هكذا جاءت السنة، والله أعلم

Beliau menjawab, "Seseorang tatkala sholat witir duduk iftirosy, karena asal dalam duduk dalam sholat adalah iftirosy. Kecuali jika ada dalil yang menunjukan yang lain. Oleh karenanya kami katakan : ia duduk iftirosy tatkala sholat witir, dan ia tidak duduk tawarruk kecuali pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, maka duduk tawarruk dilakukan tatkala tasyahhud akhir karena adanya perbedaan antara tasyahhud akhir dan tasyahhud awal. Demikianlah sunnah. Wallahu A'lam" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784)

Syaikh Al-Albani berkata,

والصواب الذي تدل عليه الأحاديث الصحيحة : أن الافتراش هو الأصل و السنة ؛ على حديث ابن عمر المخرج في « الإرواء » ( 317 ) ، ونحوه حديث عائشة الذي قبله ( 316 ) ؛ فيفترش في كل جلسة وفي كل تشهد ؛ إلا التشهد الأخير الذي يليه السلام ؛ كما جاء مفصلاً في حديث أبي حميد الساعدي

"Yang benar sebagaimana ditunjukan oleh hadits-hadits yang shahih bahwasanya duduk iftirosy adalah asal (duduk dalam sholat-pen) dan merupakan sunnah berdasarkan hadits Ibnu Umar yang telah ditakhrij di kitab Al-Irwaa no 317, dan juga semisalnya hadits Aisyah sebagaimana ditakhrij sebelumnya no 316. Maka seseorang duduk iftirosy di setiap duduk (dalam sholat) dan di setiap tasyahhud, kecuali tasyahhud akhir yang diikuti dengan salam, sebagaimana telah datang secara terperinci dalam hadits Abu Humaid As-Saa'idi" (Silsilah Al-Ahaadits Ad-Dlo'iifah 12/268)



Dialog

Jika pengkritik berkata, "Jika kita beramal berdasarkan keumuman duduk iftirasy dalam hadits tersebut, lalu bagaimana dengan keumuman hadits Abdullah bin ‘Umar yang menyebutkan duduk tawarruk dalam shalat dan tidak merinci apakah duduk dipertengahan shalat ataukah di akhir shalat?,
Bukankah Ibnu Umar berkata

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu" (HR Al-Bukhari no 793).
Ibnu Hajar telah menjelaskan bahwasanya meskipun hadits ini belum jelas tentang bagaimana cara Ibnu Umar melipat kaki kirinya, apakah dengan duduk iftirosy atauhkah dengan tawaruuk. Akan tetapi dalam riwayat yang lain dalam Muwatto' Imam Malik dijelaskan bahwasanya maksud cara melipatan kaki kiri tersebut adalah dengan duduk tawarruk (lihat Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat tersebut adalah sebagai berikut :

Dari Yahya bin Sa’id bahwasanya

أَنَّ الْقَاسِمَ بن مُحَمَّدٍ أَرَاهُمُ الْجُلُوسَ في التَّشَهُّدِ فَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وثني رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَجَلَسَ على وَرِكِهِ الأَيْسَرِ ولم يَجْلِسْ على قَدَمِهِ ثُمَّ قال أَرَانِي هذا عبد الله بن عبد الله بن عُمَرَ وَحَدَّثَنِي أَنَّ أَبَاهُ كان يَفْعَلُ ذلك
Al-Qasim bin Muhammad memperlihatkan kepada mereka cara duduk ketika tasyahhud, lalu beliau menegakkan kaki kanannya dan melipat kaki kirinya, dan duduk di atas pantat kirinya dan tidak duduk di atas kakinya. Lalu dia berkata: Abdullah bin Abdullah bin ‘Umar telah memperlihatkan kepadaku demikian, dan mengabariku bahwa ayahnya (Abdullah bin ‘Umar) melakukan yang demikian itu" (Al-Muwaththa”, dalam Bab: Al-’Amal Fil Juluus Fis Shalaah 1/90 no 202)
Jadi tidak diragukan lagi bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits diatas adalah duduk tawaruuk.
Lantas kenapa kalian tidak mengamalkan keumuman hadits Ibnu Umar ini sehingga kalian duduk tawaruuk pada setiap tasyahhud dalam sholat, termasuk pada sholat yang tasyahhudnya hanya satu?" (lihat http://jalansunnah.wordpress.com/2009/12/07/cara-duduk-tasyahhud-akhir-dalam-setiap-sholat/ dan http://www.rumaysho.com/hukum-islam/shalat/3191-cara-duduk-tasyahud-iftirosy-atau-tawarruk.html

Jawab:

Apakah hadits Ibnu Umar ini bersifat umum?
Jawabannya sebagaimana telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwasanya ada dua riwayat yang lain yang menjelaskan akan hal ini. Satu riwayat dalam kitab Al-Muwatto menjelaskan bahwa maksud Ibnu Umar dalam hadits di atas adalah cara duduk tatkala tasyahhud terakhir. Beliau berkata

لِأَنَّ فِي الموطأ أَيْضًا عن عبد الله بن دينار التَّصْرِيْحُ بِأَنَّ جُلُوْسَ ابْنِ عُمَرَ الْمَذْكُوْرَ كَانَ فِي التَّشَهُّدِ الأَخِيْرِ

"Karena di dalam kitab Muwatto' juga dari Abdullah bin Diinaar menegaskan bahwa duduknya Ibnu Umar yang disebutkan dalam hadits di atas adalah pada tasyahhud yang terakhir" (Fathul Baari 2/306)

Adapun riwayat yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar adalah sbb:

عن مَالِكٍ عن عبد الله بن دِينَارٍ * أَنَّهُ سمع عَبْدَ الله بن عُمَرَ وَصَلَّى إلى جَنْبِهِ رَجُلٌ فلما جَلَسَ الرَّجُلُ في أَرْبَعٍ تَرَبَّعَ وثني رِجْلَيْهِ فلما انْصَرَفَ عبد الله عَابَ ذلك عليه فقال الرَّجُلُ فَإِنَّكَ تَفْعَلُ ذلك فقال عبد الله بن عُمَرَ فَإِنِّي أَشْتَكِي

Dari Imam Malik, dari Abdullah bin Diinaar bahwasanya ia mendengar Ibnu Umar, dan ada seseorang yang sholat di sisinya. Tatkala orang tersebut duduk di raka'at yang keempat maka diapun duduk bersila dan melipat kedua kakinya. Tatkala Ibnu Umar selesai sholat maka diapun menegur orang tersebut. Maka orang itupun berkata, "Engkau juga melakukan hal itu". Maka Ibnu Umar berkata, "Aku sedang sakit" (Al-Muwattho' 1/88 no 199)

Selain itu Ibnu Hajar juga menjelaskan ternyata ada riwayat yang lain dari Ibnu Umar yang maknanya sebaliknya, yaitu Nabi selalu duduk iftirosy. Beliau berkata

وَرَوَى النَّسَائِيُّ مِنْ طَرِيْقِ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيْدٍ أن القاسم حدثه عن عبد الله بن عبد الله بن عمر عن أبيه قال مِنْ سُنَّةِ الصَّلاَةِ أَنْ يَنْصِبَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسَ عَلَى الْيُسْرَى فإذا حملت هذه الرواية على التشهد الأول ورواية مالك على التشهد الأخير انتفى عنهما التعارض
"Dan An-Nasaai meriwayatkan dari jalan 'Amr bin Al-Haarits dari Yahyaa bin Sa'iid bahwasanya Al-Qoosim mengabarkan kepadanya dari Abdullah bin Abdullah bin Umar dari ayahnya (Ibnu Umar) berkata, "Termasuk sunnahnya sholat menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri". Maka jika riwayat ini dibawakan pada tasyahhud awal dan riwayat Imam Malik dibawakan pada tasyahhud akhir maka hilanglah pertentangan dari dua riwayat ini" (Fathul Baari 2/306, adapun riwayat tersebut diriwayatkan oleh Al-Nasaai dalam sunannya al-mujtabaa no 1158 dengan lafal من سُنَّةِ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ الْقَدَمَ الْيُمْنَى وَاسْتِقْبَالُهُ بِأَصَابِعِهَا الْقِبْلَةَ وَالْجُلُوسُ على الْيُسْرَ tatkala An-Nasaai menjelaskan tentang sifat tasyahhud awal)

Dari penjelasan Ibnu Hajar diatas jelaslah kurang tepatnya orang yang berkata "Hadits Ibnu ‘Umar lebih umum lagi, dimana Ibnu ‘Umar mengatakan “sesungguhnya sunnahnya shalat (ketika duduk)” dan beliau tidak menyebutkan raka’at ke berapa, dan shalatnya berapa raka’at. Maka jika anda beramal dengan keumuman hadits Wail dan yang semisalnya, maka amalkan pula hadits Abdullah bin ‘Umar secara umum,dengan duduk tawarruk pada setiap duduk ketika shalat"

Catatan sangat penting:

Para pembaca yang budiman, lihatlah bagaimana Ibnu Hajar bermu'amalah (mensikapi) hadits Ibnu Umar di atas. Beliau tidak langsung menilai bahwa lafal yang datang dalam hadits Ibnu Umar tersebut bersifat umum. Akan tetapi beliau berusaha mencari jalan-jalan dan riwayat-riwayat yang lain dari hadits Ibnu Umar ini agar jelas maksud hadits Ibnu Umar. Setelah beliau menemukan riwayat yang menjelaskan bahwa perkataan Ibnu Umar tersebut berkaitan dengan sebuah kejadian dimana Ibnu Umar duduk di raka'at yang keempat maka Ibnu Hajar membawa hadits tersebut dalam kondisi tasyahhud yang terakhir, yaitu bahwasanya duduk tawarruk yang disebutkan oleh Ibnu Umar adalah maksudnya pada duduk tasyahhud akhir.

Cara inilah yang sedang penulis tempuh. Karena hadits Abu Humaid As-Saa'idi menjelaskan tentang sebuah sholat tertentu yaitu yang memiliki dua tasyahhud dan beliau tidak sedang berbicara tentang semua jenis sholat, maka kita bawakan keumuman lafal yang disebutkan oleh Abu Humaid adalah pada sholat yang memiliki dua tasyahhud, sehingga duduk tawarruk dalam hadits Abu Humaid hanyalah berlaku pada tasyahhud kedua. Dan inilah yang dilakukan oleh mayoritas ulama sunnah abad ini, seperti Syaikh Al-Albani dan Syaikh Bin Baaz.
Kemudian bukankah lafal hadits Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari yaitu

إنما سُنَّةُ الصَّلَاةِ أَنْ تَنْصِبَ رِجْلَكَ الْيُمْنَى وَتَثْنِيَ الْيُسْرَى

"Sesungguhnya sunnahnya sholat (ketika duduk-pent) adalah engkau menegakkan kaki kananmu dan melipat kaki kirimu " (HR Al-Bukhari no 793).

Tanpa ada penjelasan tentang bagaimana cara duduknya, apakah dengan iftirosy ataukah dengan tawarruk?. Apakah hanya dengan berpegang dengan lafal Bukhari ini lantas kita katakana bahwa bebas bagi seseorang untuk dalam sholat apakah tasyahhud awal atau tasyahhud akhir dengan duduk tawarruk atau iftirosy, karena lafal Bukhari tersebut yang tidak jelas?

Jawabannya tidak. Sebagaimana yang dilakukan oleh pengkritik, ternyata ia membawa lafal Bukhari ini, yang mana lafal tersebut masih umum untuk dikhususkan dengan lafal yang terdapat di Muwathho' yang menjelaskan bahwa duduk yang dimaksud Ibnu Umar adalah duduk tawaruuk.
Maka demikian pula yang penulis lakukan, dengan membawa seluruh lafal-lafal hadits Abu Humaid yang bersifat umum kepada lafal yang menunjukan bahwa maksud Abu Humaid adalah untuk sholat yang memiliki dua tasyahhud.

Kesimpulan

Dari pemaparan sederhana di atas maka penulis lebih condong pada pendapat madzhab Hanabilah, bahwasanya sholat yang memiliki satu tasyahhud saja maka duduknya adalah iftirosy karena keumuman hadits Wail bin Hujr. Dan inilah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784).

Bagaiamanapun ini adalah permasalahan khilafiyah ijtihadiah yang kita harus toleransi terhadap orang yang menyelisihi kita. Dan bagaimanapun penulis berusaha untuk memaparkan permasalahan ini toh penulis tidak mampu untuk memenuhi hak pembahasan permasalahan ini dengan sempurna.



Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 15 Syawal 1431 H / 24September 2010 M

Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda