Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 April 2014

Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan

Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.

Jawab:
Ada beberapa hal yang ditanyakan:
Pertama, masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.

1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.

2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.

3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).

Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.

Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا
Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.

Sumber

Jumat, 04 April 2014

Banyak Siksa Kubur Disebabkan Kencing yang Tidak Bersih

Kebanyakan yang disiksa di dalam kubur karena kencing yang tidak bersih dan tidak beres. Hal ini pun menunujukkan keyakinan seorang muslim akan adanya siksa kubur.

Hadits berikut disebutkan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Bulughul Marom saat membahas bab “Buang Hajat”.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – - اِسْتَنْزِهُوا مِنْ اَلْبَوْلِ, فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْهُ – رَوَاهُ اَلدَّارَقُطْنِيّ
وَلِلْحَاكِمِ: – أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ اَلْبَوْلِ – وَهُوَ صَحِيحُ اَلْإِسْنَاد ِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersihkanlah diri dari kencing. Karena kebanyakan siksa kubur berasal dari bekas kencing tersebut.” Diriwayatkan oleh Ad Daruquthni.
Diriwayatkan pula oleh Al Hakim, “Kebanyakan siksa kubur gara-gara (bekas) kencing.” Sanad hadits ini shahih.

Ad Daruquthni mengatakan bahwa yang benar hadits ini mursal. Sanad hadits ini tsiqoh selain Muhammad bin Ash Shobah. Imam Adz Dzahabi berkata dalam Al Mizan bahwa hadits dari Muhammad bin Ash Shobah ini munkar. Seakan-akan beliau merujuk pada hadits ini.

Sedangkan lafazh kedua dikeluarkan oleh Ahmad, Ad Daruquthni, dan Al Hakim dari jalur Abu ‘Awanah, dari Al A’masy, dari Abu Sholih, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kebanyakan siksa kubur karena kencing.”

Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim dan ia katakan bahwa hadits tersebut tidak diketahui memiliki ‘illah (cacat). Namun hadits ini tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim. Hadits ini memiliki penguat dari hadits Abu Yahya Al Qotton.
At Tirmidzi dan Bukhari ditanya mengenai hadits ini, mereka katakan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula Ad Daruquthni mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Wajibnya membersihkan diri dari bekas kencing. Hendaknya kencing tersebut benar-benar dibersihkan dari badan, pakaian atau tempat shalat. Tidak boleh gampang-gampang dalam hal pembersihan ini. Karena terlalu bergampang-gampangan sebab datangnya siksa kubur. Jadi, jika ingin kencing hendaklah mencari tempat yang membuat kita tidak mudah kena cipratan kencing.

2- Tidak membersihkan diri dari kencing ketika buang hajat termasuk dosa besar, termasuk pula orang yang tidak menutupi diri saat buang hajat sebagaimana disebutkan dalam riwayat lainnya. Baca di Rumaysho.Com: 10 Adab Ketika Buang Hajat.

3- Dalil ini menunjukkan adanya siksa kubur. Akidah ini didasari pada dalil Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan para ulama).
Allah Ta’ala berfirman,

وَحَاقَ بِآَلِ فِرْعَوْنَ سُوءُ الْعَذَابِ (45) النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ أَدْخِلُوا آَلَ فِرْعَوْنَ أَشَدَّ الْعَذَابِ (46

Dan Fir’aun beserta kaumnya dikepung oleh azab yang amat buruk. Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang , dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat): “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras”.” (QS. Al Mu’min: 45-46)

Ibnu Katsir mengatakan mengenai ayat ini, “Ayat ini adalah pokok aqidah terbesar yang menjadi dalil bagi Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai adanya adzab (siksa) kubur yaitu firman Allah Ta’ala,

النَّارُ يُعْرَضُونَ عَلَيْهَا غُدُوًّا وَعَشِيًّا

Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 6: 497)
Ya Allah, selamatkanlah kami dari siksa kubur. Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H, juz keenam.
Minhatul ‘Allam fii Syarh Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan keempat, tahun 1433 H, 1: 408-411.

Akhukum fillah,
Muhammad Abduh Tuasikal (Rumaysho.Com)

Shalat di Masjid Nabawi yang Ada Kubur Nabi

Kita sudah tahu bahwa terlarang shalat di masjid yang ada kubur. Namun masih ada yang bersihkeras, tetap menganggap tidak terlarangnya hal itu. Mereka beralasan bahwa masjid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri (Masjid Nabawi) di dalamnya terdapat kubur Nabi. Lantas kenapa masalah?
Di antara hadits yang menunjukkan larangan shalat di kubur adalah:
Dari Abu Martsad Al Ghonawi, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُصَلُّوا إِلَى الْقُبُورِ وَلاَ تَجْلِسُوا عَلَيْهَا
Janganlah shalat menghadap kubur dan janganlah duduk di atasnya” (HR. Muslim no. 972).
Dari Jundab, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّى أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Ingatlah bahwa orang sebelum kalian, mereka telah menjadikan kubur nabi dan orang sholeh mereka sebagai masjid. Ingatlah, janganlah jadikan kubur menjadi masjid. Sungguh aku benar-benar melarang dari yang demikian” (HR. Muslim no. 532).

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak boleh membangun masjid di atas kubur karena seperti itu adalah wasilah (perantara) menuju kesyirikan dan dapat mengantarkan pada ibadah kepada penghuni kubur. Dan tidak boleh pula kubur dijadikan tujuan (maksud) untuk shalat. Perbuatan ini termasuk dalam menjadikan kuburan sebagai masjid. Karena alasan menjadikan kubur sebagai masjid ada dalam shalat di sisi kubur.  
Jika seseorang pergi ke pekuburan lalu ia shalat di sisi kubur wali –menurut sangkaannya-, maka ini termasuk menjadikan kubur sebagai masjid. Perbuatan semacam ini terlaknat sebagaimana laknat yang ditimpakan pada Yahudi dan Nashrani yang menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid” (Al Qoulul Mufid, 1: 404).

Cukup, syubhat di atas dijawab dengan penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin berikut ini:
  1. Masjid Nabawi tidaklah dibangun di atas kubur. Bahkan yang benar, masjid Nabawi dibangun di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hidup.
  2. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di kubur di masjid sehingga bisa disebut dengan orang sholeh yang di kubur di masjid. Yang benar, beliau dikubur di rumah beliau.
  3. Pelebaran masjid Nabawi hingga sampai pada rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rumah ‘Aisyah bukanlah hal yang disepakati oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Perluasan itu terjadi ketika sebagian besar sahabat telah meninggal dunia dan hanya tersisa sebagian kecil dari mereka. Perluasan tersebut terjadi sekitar tahun 94 H, di mana hal itu tidak disetujui dan disepakati oleh para sahabat. Bahkan ada sebagian mereka yang mengingkari perluasan tersebut, di antaranya adalah seorang tabi’in, yaitu Sa’id bin Al Musayyib. Beliau sangat tidak ridho dengan hal itu.
  4. Kubur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah di masjid, walaupun sampai dilebarkan. Karena kubur beliau di ruangan tersendiri, terpisah jelas dari masjid. Masjid Nabawi tidaklah dibangun dengan kubur beliau. Oleh karena itu, kubur beliau dijaga dan ditutupi dengan tiga dinding. Dinding tersebut akan memalingkan orang yang shalat di sana menjauh dari kiblat karena bentuknya segitiga dan tiang yang satu berada di sebelah utara (arah berlawanan dari kiblat).  Hal ini membuat seseorang yang shalat di sana akan bergeser dari arah kiblat. (Al Qoulul Mufid, 1: 398-399)
Semoga bermanfaat yang singkat ini. Baca pula artikel: Larangan Shalat Di Masjid yang Ada Kubur.
Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:

Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, 1424 H.


Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com

Sabtu, 14 Desember 2013

Apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim?

Photo: ‎Pertanyaan dari Ikhwan Ulay Ajje@ 

Tanya :

Assalamualaikum'ustadz ana mo tny apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim? 

(Dari Ulay Ajje@)


Jawaban :


Bismillaah'Wa'alaykumussalam warahmatullaah....Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,Saudaraku Ulay Ajja@ semoga Allah memuliaknmu diatas Sunnah ala fahmi salaf.

Allah berfirman, 

يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13).

Ada dua hal yang perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:

Pertama, berbuat baik dan bersikap adil 

Sikap semacam ini diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 

Kedua, memberikan loyalitas 

Sikap yang kedua ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Para ulama menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.


Ketika Abu Talib meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk mennguburkannya. Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib. Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika pamannya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ

“Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ

“Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).

Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ، ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه

“Seorang muslim tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah, 1:261).

Dalam Syarah Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,

ولا يغسّل مسلم كافرا  للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه

“Orang muslim tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya, karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).

Dalam Kasyaful Qana’ dinyatakan,

ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ، وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم )

“Seorang muslim  diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat. Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful Qana’, 2:123).
Allahu a’lam 


[Abu Hasan]‎Pertanyaan dari Ikhwan Ulay Ajje@

Tanya :

Assalamualaikum'ustadz ana mo tny apa hukumnya menghadiri acara kematian agama non muslim?

(Dari Ulay Ajje@)


Jawaban :


Bismillaah'Wa'alaykumussalam warahmatullaah....Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du,Saudaraku Ulay Ajja@ semoga Allah memuliaknmu diatas Sunnah ala fahmi salaf.

Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13).

Ada dua hal yang perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:

Pertama, berbuat baik dan bersikap adil

Sikap semacam ini diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah:

Kedua, memberikan loyalitas

Sikap yang kedua ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).
Para ulama menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.


Ketika Abu Talib meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk mennguburkannya. Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib. Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika pamannya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ

“Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,

اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ

“Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).

Imam Malik rahimahullah mengatakan:

لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ، ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه

“Seorang muslim tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah, 1:261).

Dalam Syarah Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,

ولا يغسّل مسلم كافرا للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه

“Orang muslim tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya, karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).

Dalam Kasyaful Qana’ dinyatakan,

ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ، وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم )

“Seorang muslim diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat. Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful Qana’, 2:123).
Allahu a’lam


[Abu Hasan]

Selasa, 23 Juli 2013

Hukum Bekerja di bank Syariah

Hukum Bekerja di bank Syariah

Pertanyaan:
Bagaimana hukum kerja di bank syariah?? haram atau halal...? Mohon petunjuknya.. Jazakallahu khaira..

Jawaban:

بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين, أما بعد:

Hukumnya tergantung di dalam bank syariah tersebut apakah benar-benar syari’at atau tidak, jika tidak ada praktek riba dengan segala macam jenisnya maka halal hukumnya bekerja di Bank Syari’ah tersebut.
 

Tetapi jika di dalam bank tersebut masih terdapat praktek Riba meskipun diganti dengan nama-nama yang mungkin kelihatan syar’ie terutama bagi orang awam, tetapi sebenarnya di dalamnya masih terdapat prkatek RIba maka haram hukumnya bekerja di Bank Syari’ah tersebut.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Artinya: “Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat pemakan harta riba, pemberi, penulis dan kedua saksinya”, beliau bersabda: “Mereka sama (di dalam dosa).” HR. Muslim.
 

Pertanyaan:
Bagaimana pembagian harta peninggalan ayahnya yang murtad dia meninggalkan anak 3 dan istri?

Jawaban:
Jika bapaknya seorang murtad dan berarti dia kafir dan jika  tiga anaknya dan istrinya dari kaum muslim, maka mereka (tiga anaknya dan istrinya) tidak boleh mewarisi harta bapaknya dan suaminya yang kafir tadi. Hal ini berdasarkan sebuah hadits:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ تَنْزِلُ غَداً إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَذَلِكَ زَمَنَ الْفَتْحِ فَقَالَ «هَلْ تَرَكَ لَنَا عَقِيلٌ مِنْ مَنْزِلٍ» ثُمَّ قَالَ «لاَ يَرِثُ الْكَافِرُ الْمُؤْمِنَ وَلاَ الْمُؤْمِنُ الْكَافِرَ»

Artinya: “Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Seorang kafir tidak mewarisi seorang mukmin dan seorang mukimin tidak mewarisi seorang kafir.” HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Shahih Al Jami’, no. 7685.Wallahu a’alam.



Pertanyaan:
Sehubungan ada hadits yangg menerangkan tentang besarnya pahala bagi orang yang menyolati sampai menguburkan mayyit,,, pertanyaannya; apakah hukum menyolatkan mayyit bagi seorang perempuan,,jazakalloh khoir sebelumnya

Jawaban:
Boleh seorang wanita menshalati seorang  jenazah, karena tidak ada nash yang mengkhususkan shalat jeazah hanya untuk lelaki, maka dikembalikan kepada keumuman syari’at yaitu syari’at Islam umum untuk lelaki dan perempuan kecuali jika ada dalil pengkhususan.

Tetapi perlu diingat seorang perempuan dimakruhkan untuk mengikuti jenazah, berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha:

 (نُهِينَا عن اتِّبَاعِ الجنائز، ولَمْ يُعْزَمْ علينا)

Artinya: “Kami dilarang untuk mengikuti jenazah akan tetapi tidak ditekankan kepada kami (larang tersebut).” HR. Bukhari dan Muslim.

Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

أي ولم يؤكد علينا في المنع كما أكد علينا في غيره من المنهيات، فكأنها قالت: كره لنا اتباع الجنائز من غير تحريم, وقال القرطبي ظاهر سياق أم عطية أن النهي نهي تنزيه وبه قال جمهور أهل العلم ومال مالك إلى الجواز وهو قول أهل المدينة ويدل على الجواز ما رواه بن أبي شيبة من طريق محمد بن عمرو بن عطاء عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان في جنازة فرأى عمر امرأة فصاح بها فقال دعها يا عمر الحديث وأخرجه بن ماجة والنسائي

Artinya: “Maksudnya adalah tidak ditekankan atas kita larangannya sebagaimana ditekankan atas kita dalam larang-larangan lainnya, seakan-akan beliau (Ummu Athiyyah) berkata: “Dimakruhkan bagi kita untuk mengikuti jenazah tanpa pengharaman”, berkata Al Qurthuby: “Terlihat jelas redaksi lafazh Ummu ‘Athiyyah bahwa larangan adalah larangan anjuran dan ini adalah pendapatnya kebanyakan para ulama. Dan Imam Malik condong kepada pendapat boleh (wanita mengikuti jenazah) dan ini adalah pendapat penduduk kota Madinah, dalil yang menunjukkan akan kebolehan adalah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Muhammad bin ‘Amr bin ‘Atha dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika pada seorang jenazah, lalu umar melihat seorang perempuan, maka beliau meneriaki perempuan tersebut, kemudian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Biarkan dia, wahai Umar.” Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan An Nasai tetapi hadits ini adalah hadits lemah dilemahkan oleh Al ALbani di dalam Dha’if Al Jami’, no. 2987.

Wallahu a’lam.

*) Dijawab oleh Ahmad Zainuddin, 22 Rabi’ul Awwal 1433H, Dammam KSA

Rabu, 03 Juli 2013

Hukum Bermain catur dalam Islam

 Hukum Bermain catur dalam Islam

Permainan catur telah dikenal lama oleh umat Islam, sejak masa para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama sepakat bahwa permainan catur yang disertai taruhan, yang kalah membayar kepada yang menang berupa materil ataupun immateril hukumnya adalah haram dan termasuk qimar (perjudian).

Para ulama juga sepakat bahwa permainan catur yang melalaikan dari melaksanakan kewajiban terhadap Allah, serta kewajiban terhadap manusia hukumnya juga haram.
Dan para ulama juga sepakat bahwa permainan catur yang pemenangnya mendapatkan hadiah dari panitia penyelenggara hukumnya juga haram, karena tidak termasuk tiga permainan yang diperbolehkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak mengandung makna ketangkasan jihad [Dr. Sulaiman Al-Mulhim, Al-Qimar; haqiqatuhu wa Akhkamuhu, hal. 254].
Adapun permainan catur yang tidak disertai taruhan, tidak melalaikan pelaksanaan kewajiban dan tidak mendapat hadiah dari pihak manapun, maka hukumnya diperselisihkan oleh para ulama mazhab.

Pendapat pertama: Para ulama mazhab maliki dan hanbali mengharamkan permainan catur [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXV, hal. 269].
Yang menjadi dalil pendapat ini:

1. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu saat melewati orang yang sedang bermain catur, ia berkata,

مَا هَذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
Patung-patung apakah ini yang kalian tekun berdiam dihadapannya?” (HR. Ibnu Abi Syaibah. Atsar ini dinyatakan shahih oleh Imam Ahmad).

Tanggapan: Dalil ini tidak kuat menujukkan larangan permainan catur, karena bisa jadi Ali radhiyallahu ‘anhu melarang mereka bermain catur disebabkan bidak permainan catur berupa patung kuda, atau dia melarang karena mereka bermainan terlalu lama, karena Ali mengatakan, “Kalian tekun berdiam di hadapannya.”

Jadi, larangan tersebut bukan karena materi permainannya. Jika bidaknya tidak terdapat salib dan tidak menyerupai patung orang, ataupun hewan, maka main catur boleh [Dr. Sa’ad Asy-Syatsri, Al-Musabaqat wa Ahkamuha fisy Syariah Al Islamiyah, hal. 228].
2. Dalil yang juga mengharamkan permainan catur bahwa permainan ini sama dengan permainan dadu, yaitu dapat melalaikan dari melakukan kewajiban shalat [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid XXXV, hal. 270].

Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat, karena terdapat perbedaan antara permainan catur dengan dadu. Permainan dadu asasnya adalah untung-untungan berbeda dengan catur di mana terdapat unsur berpikir dan perhitungan untuk memenangkan sebuah permainan [Dr. Sa’ad Asy-Syatsri, hal. 228].

Pendapat kedua: Para ulama mazhab hanafi dan syafi’i tidak mengharamkan permainan catur.
Para ulama ini berdalil bahwa tidak ada dalil yang melarang permainan catur, maka permainan catur boleh karena berguna untuk mengasah otak dalam strategi perang yang diajarkan dalam permainan catur. Maka dari sisi ini, permainan catur bias diqiyaskan dengan permainan yang melatih keterampilan dalam berjihad.

Wallahu a’lam, pendapat yang membolehkan permainan catur lebih kuat, jika larangan-larangan yang dijelaskan di atas dihindari.
Penulis: Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi, M.A.
Disalin dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Dr. Erwandi Tarmizi, halaman 269-270, Penerbit P.T. Berkat Insan Mulia, Cetakan Kedua April 2012

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Kamis, 03 Juli 2008

Apakah Infus Membatalkan Puasa ?



Pada tulisan yang lalu, dijelaskan terdapat 3 jenis suntikan yang tidak membatalkan puasa. Kali ini kita akan membahas mengenai jenis suntik yang di suntikan ke pembuluh darah yang berisi cairan nutrisi.

Suntikan nutrisi yang lebih dikenal dengan infus merupakan larutan steril yang mengandung bahan nutrisi yang dibutuhkan agar pasien tetap hidup, dengan menyuntikkannya melalui selang yang disambung dengan jarum, kemudian disuntikkan di pembuluh darah pada pasien.

Untuk lebih mengetahui pentingnya air bagi tubuh, perlu diketahui sesungguhnya tubuh terdiri 70%  cairan dari total berat badan. Tubuh akan kehilangan air dan garam ketika muntah, diare, sering buang air kecil, saat cuaca yang sangat panas seperti yang terjadi ketika haji, atau saat demam. Ketika dehidrasi atau sebelum operasi -baik menggunakan bius total maupun lokal- pasien dilarang makan beberapa saat namun ia membutuhkan garam, maka kebutuhan ini diberikan secara infus.

Infus mengandung cairan steril dengan sedikit natrium klorida (garam), dekstrosa (gula) yang disimpan dalam paket kaca atau kantong plastik yang dapat digantung di tempat tidur pasien. Larutan gula dan garam dapat mencukupi cairan dan kalori yang dibutuhkan orang sakit untuk jangka waktu yang pendek. Setiap 50mg gula setara dengan 200kalori.

Suntikan nutrisi membatalkan puasa sekalipun ia tidak masuk melalui kerongkongan namun ia berfungsi seperti makanan dan minuman. Hal ini sangat jelas karena suntikan nutrisi diberikan pada pasien yang tidak mampu untuk memakan makanan,  atau yang tidak diizinkan untuk memakan makanan karena sakitnya, atau karena membahayakan penyakitnya, agar dapat bertahan hidup melalui penyuntikan nutrisi untuk waktu yang lama walaupun hanya sedikit yang dimasukkan.

Apabila para ulama fiqih menghukumi batalnya puasa dengan memakan batu atau kerikil padahal ia bukanlah nutrisi dan tidak bermanfaat bagi tubuh, maka hukum dengan batalnya puasa disebabkan infus ini lebih utama, karana peranannya yang sangat jelas sekalipun berbuka dengan suntikan ini tidak sama secara sepenuhnya dengan memakan melalui mulut yang bisa merasakan lezat dan kenyang dan terisinya lambung akan tetapi ia hampir mencukupinya sehingga tidak butuh makan.

Menyuntikkan nutrisi berbeda dengan menyuntikkan obat pada tubuh, karena menyuntikkan obat sekalipun tubuh mengambil manfaat darinya namun  sangat sedikit untuk nutrisi. Tidak mungkin dikatakan bahwa orang yang sakit dapat hidup dengan suntikan tersebut tanpa makan. Adapun suntikan nutrisi dia menghilangkan hikmah dari puasa, karena ia memberikan nutrisi pada tubuh dan melapangkan aliran darah dalam pembuluh darah. Dan diketahui bahwa disyariatkannya puasa untuk menyempitkan aliran darah yang merupakan tempat jalannya syetan.

Telah disahkan dalam keputusan Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi OKI) dalam rapat ke-sepuluh no.93 menyebutkan hal-hal yang tidak membatalkan puasa : (8. Menyuntikkan obat di kulit atau otot atau pembuluh darah, yang bukan cairan nutrisi.)

Disarikan dari : Ahkamun Nawazil Fish Shiyaam (Dr Muhammad Al Madhaghi)


Sumber

Hukum Menghirup Minyak Wangi Saat Berpuasa

 Hukum Menghirup Minyak Wangi Saat Berpuasa
 
Menghirup minyak wangi tidak membatalkan puasa, karena ia dibutuhkan oleh banyak orang. Seandainya membatalkan puasa, pastilah Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskannya, sebagaimana beliau menjelaskan hukum yang dibutuhkan masyarakat secara umum lainnya.  Tidak ada satu hadispun yang disandarkan pada beliau dalam masalah ini, menunjukkan bolehnya menghirup minyak wangi bagi orang puasa.

Asal hukum segala sesuatu adalah boleh. Sebagaimana mencium bau tidak bisa di hindari setiap orang, dan juga tidak masuk ke kerongkongan.  Mencium parfum tidak menghilangkan hakikat puasa, karena bukan makan dan minum, menghirupnya bukan berarti memasukkan makanan atau minuman, tetapi ia seperti bernafas, telah dimaklumi bahwa bernafas bukanlah hal yang membatalkan puasa.

Tetapi ulama mazhab Maliki dan Syafi’i memakruhkan memakai minyak wangi bagi orang berpuasa. Dikarenakan menghindari memakai minyak wangi dapat mencegah anggota badan untuk tidak melakukan hal yang diinginkan yang dapat melemahkan jiwa terhadap nafsu dan menguatkan jiwa untuk melakukan ketaatan.

Namun menurut mazhab Hanafi dan Hanbali, dan merupakan pendapat yang lebih kuat adalah menggunakan minyak wangi saat berpuasa tidak makruh. Karena sesungguhnya lemahnya jiwa terhadap nafsu, serta kuat untuk melakukan ketaatan, adalah dengan menghindari apa-apa yang membatalkan puasa -yang nampak maupun yang tidak tampak- yang telah diterangkan Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadist-hadistnya.

Disarikan dari : Ahkamun Nawazil Fis Shiyaam (Dr Muhammad Al Madhaghi)



Postingan Lama Beranda