Jumat, 27 September 2013

Hukum puasa sunnah pada hari sabtu

Hukum Puasa Sunnah pada Hari Sabtu


Sebagaian kalangan ada yang mempermasalahkan berpuasa pada hari Sabtu. Terutama jika puasa Arofah, puasa Asyuro atau puasa Syawal bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah boleh berpuasa ketika itu? Semoga pembahasan berikut bisa menjawab keraguan yang ada.

Larangan Puasa Hari Sabtu
Mengenai larangan berpuasa pada hari Sabtu disebutkan dalam hadits,

لاَ تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلاَّ فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ

“Janganlah engkau berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan bagi kalian.”[1] Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini mansukh (telah dihapus). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Beberapa Puasa Ada yang Dilakukan pada Hari Sabtu
Pertama: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering melakukan puasa pada hari Sabtu dan Ahad.
Dari Ummu Salamah, ia berkata,

كان أكثر صومه السبت و الأحد و يقول : هما يوما عيد المشركين فأحب أن أخالفهم

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak berpuasa pada hari Sabtu dan Ahad.” Beliau pun berkata, “Kedua hari tersebut adalah hari raya orang musyrik, sehingga aku pun senang menyelisihi mereka.”[2]

Kedua: Boleh berpuasa pada Hari Jum’at dan Sabtu.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[3]

Ketiga: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan berpuasa pada hari Jum’at asalkan diikuti puasa pada hari sesudahnya (hari Sabtu).Dari Abu Hurairah, ia mengatakan,

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن صوم يوم الجمعة إلا بيوم قبله أو يوم بعده .

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berpuasa pada hari Jum’at kecuali apabila seseorang berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.”[4] Dan hari sesudah Jum’at adalah hari Sabtu.

Keempat: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak melakukan puasa di bulan Sya’ban dan pasti akan bertemu dengan hari Sabtu.

Kelima: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melakukan puasa Muharram dan kadangkala bertemu dengan hari Sabtu.

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan. Ini juga bisa bertemu dengan hari Sabtu.

Ketujuh: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, dan 15 Hijriyah) setiap bulannya dan kadangkala juga akan bertemu dengan hari Sabtu.

Dan masih banyak hadits yang menceritakan puasa pada hari Sabtu.[5]
Dari hadits yang begitu banyak (mutawatir), Al Atsrom membolehkan berpuasa pada hari Sabtu. Pakar ‘ilal hadits (yang mengetahui seluk beluk cacat hadits), yaitu Yahya bin Sa’id enggan memakai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu dan beliau enggan meriwayatkan hadits itu. Ha ini menunjukkan lemahnya (dho’ifnya) hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu.[6]

Murid Imam Ahmad –Al Atsrom dan Abu Daud- menyatakan bahwa pendapat tersebut dimansukh (dihapus). Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa hadits ini syadz, yaitu menyelisihi hadits yang lebih kuat.[7]
Namun kebanyakan pengikut Imam Ahmad memahami bahwa Imam Ahmad mengambil dan mengamalkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu, kemudian mereka pahami bahwa larangan yang dimaksudkan adalah jika puasa hari Sabtu tersebut bersendirian. Imam Ahmad ditanya mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Beliau pun menjawab bahwa boleh berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikutkan dengan hari sebelumnya.[8]

Kesimpulan:
Ada ulama yang menilai hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah lemah (dho’if) dan hadits tersebut tidak diamalkan. Dari sini, boleh berpuasa pada hari Sabtu.
Sebagian ulama lainnya menilai bahwa hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu adalah jayid (boleh jadi shahih atau hasan). Namun yang mereka pahami, puasa hari Sabtu hanya terlarang jika bersendirian. Bila diikuti dengan puasa sebelumnya pada hari Jum’at, maka itu dibolehkan.[9]

Rincian Berpuasa pada Hari Sabtu

Dari penjelasan di atas, kesimpulan yang paling bagus jika kita mengatakan bahwa puasa hari Sabtu diperbolehkan jika tidak bersendirian. Sangat bagus sekali jika hal ini lebih dirinci lagi. Rincian yang sangat bagus mengenai hal ini telah dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin sebagai berikut.

Keadaan pertama: Puasa pada hari Sabtu dihukumi wajib seperti berpuasa pada hari Sabtu di bulan Ramadhan, mengqodho’ puasa pada hari Sabtu, membayar kafaroh (tebusan), atau mengganti hadyu tamattu’ dan semacamnya. Puasa seperti ini tidaklah mengapa selama tidak meyakini adanya keistimewaan berpuasa pada hari tersebut.

Keadaan kedua: Jika berpuasa sehari sebelum hari Sabtu, maka ini tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan kepada salah satu istrinya yang berpuasa pada hari Jum’at,

« أَصُمْتِ أَمْسِ » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِى غَدًا » . قَالَتْ لاَ . قَالَ « فَأَفْطِرِى »

“Apakah kemarin (Kamis) engkau berpuasa?” Istrinya mengatakan, “Tidak.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi, “Apakah engkau ingin berpuasa besok (Sabtu)?” Istrinya mengatakan, “Tidak.” “Kalau begitu hendaklah engkau membatalkan puasamu”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.[10]

Perkataan beliau “Apakah engkau berpuasa besok (Sabtu)?”, ini menunjukkan bolehnya berpuasa pada hari Sabtu asalkan diikuti dengan berpuasa pada hari Jum’at.

Keadaan ketiga: Berpuasa pada hari Sabtu karena hari tersebut adalah hari yang disyari’atkan untuk berpuasa. Seperti berpuasa pada ayyamul bid (13, 14, 15 setiap bulan Hijriyah), berpuasa pada hari Arofah, berpuasa ‘Asyuro (10 Muharram), berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah sebelumnya berpuasa Ramadhan, dan berpuasa selama sembilan hari di bulan Dzulhijah. Ini semua dibolehkan. Alasannya, karena puasa yang dilakukan bukanlah diniatkan berpuasa pada hari Sabtu. Namun puasa yang dilakukan diniatkan karena pada hari tersebut adalah hari disyari’atkan untuk berpuasa.

Keadaan keempat: Berpuasa pada hari sabtu karena berpuasa ketika itu bertepatan dengan kebiasaan puasa yang dilakukan, semacam berpapasan dengan puasa Daud –sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa-, lalu ternyata bertemu dengan hari Sabtu, maka itu tidaklah mengapa. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai puasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan dan tidak terlarang berpuasa ketika itu jika memang bertepatan dengan kebiasaan berpuasanya .

Keadaan kelima: Mengkhususkan berpuasa sunnah pada hari Sabtu dan tidak diikuti berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Inilah yang dimaksudkan larangan berpuasa pada hari Sabtu, jika memang hadits yang membicarakan tentang hal ini shahih. –Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin-[11]

Keterangan Al Lajnah Ad Da-imah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) Mengenai Puasa pada Hari Sabtu

Berikut Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’.

Soal:

Kebanyakan orang di negeri kami berselisih pendapat tentang puasa di hari Arofah yang jatuh pada hari Sabtu untuk tahun ini. Di antara kami ada yang berpendapat bahwa ini adalah hari Arofah dan kami berpuasa karena bertemu hari Arofah bukan karena hari Sabtu yang terdapat larangan berpuasa ketika itu. Ada pula sebagian kami yang enggan berpuasa ketika itu karena hari Sabtu adalah hari yang terlarang untuk diagungkan untuk menyelisihi kaum Yahudi. Aku sendiri tidak berpuasa ketika itu karena pilihanku sendiri. Aku pun tidak mengetahui hukum syar’i mengenai hari tersebut. Aku pun belum menemukan hukum yang jelas mengenai hal ini. Mohon penjelasannya.

Jawab:
Boleh berpuasa Arofah pada hari Sabtu atau hari lainnya, walaupun tidak ada puasa pada hari sebelum atau sesudahnya, karena tidak ada beda dengan hari-hari lainnya. Alasannya karena puasa Arofah adalah puasa yang berdiri sendiri. Sedangkan hadits yang melarang puasa pada hari Sabtu adalah hadits yang lemah karena mudhtorib dan menyelisihi hadits yang lebih shahih.

Hanya Allah yang memberi taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Yang menandatangani fatwa ini: ‘Abdullah bin Ghodyan sebagai anggota, ‘Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai Wakil Ketua, ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz sebagai Ketua.[12]

Demikian pembahasan kami yang singkat ini. Semoga dengan pembahasan ini dapat menghilangkan keraguan yang selama ini ada mengenai berpuasa pada hari Sabtu. Semoga bisa menjadi ilmu yang bermanfaat.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

---------------------------------------------------------
[1] HR. Abu Daud no. 2421, At Tirmidzi no. 744, Ibnu Majah no. 1726. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 960. Mengenai perselisihan pendapat mengenai hadits ini akan kami singgung insya Allah.

[2] Shahih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir, no. 8934. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.

[3] HR. Bukhari no. 1986.

[4] HR. Ibnu Majah no. 1723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[5] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 2/73-75, ta’liq: Dr. Nashir bin ‘Abdul Karim Al ‘Aql.

[6] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/75.

[7] Idem

[8] Lihat Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, 2/76.

[9] Ini kesimpulan yang kami ambil dari penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim, 2/75-76.

[10] HR. Bukhari no. 1986.

[11] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/57-58, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.

[12] Fatwa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 11747, juz 10, hal. 397, Mawqi’ Al Ifta’

Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Larangan Puasa pada Hari Jum’at

Ada larangan berpuasa pada hari Jum’at jika hari Jum’at tersebut dikhususkan untuk berpuasa. Namun tidak ada masalah jika bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpapasan dengan puasa Daud atau puasa ayyamul bidh. Juga tidak ada masalah berpuasa pada hari Jum’at jika diikuti dengan berpuasa pada hari sebelum atau sesudahnya.

Dalam hadits Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ

“Janganlah salah seorang di antara kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali jika ia berpuasa pula pada hari sebelum atau sesudahnya.” (HR. Bukhari no. 1849 dan Muslim no. 1929).

Juga terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

“Janganlah khususkan malam Jum’at dengan shalat malam tertentu yang tidak dilakukan pada malam-malam lainnya. Janganlah pula khususkan hari Jum’at dengan puasa tertentu yang tidak dilakukan pada hari-hari lainnya kecuali jika ada puasa yang dilakukan karena sebab ketika itu.” (HR. Muslim no. 1144).

Dari Juwairiyah binti Al Harits radhiyallahu ‘anha,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فَقَالَ أَصُمْتِ أَمْسِ قَالَتْ لا قَالَ تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا قَالَتْ لا قَالَ فَأَفْطِرِي

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemuinya pada hari Jum’at dan ia dalam keadaan berpuasa, lalu beliau bersabda, “Apakah engkau berpuasa kemarin?” “Tidak”, jawabnya. “Apakah engkau ingin berpuasa besok?”, tanya beliau lagi. “Tidak”, jawabnya lagi. “Batalkanlah puasamu”, kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 1986).

Apa Maksud Larangan Puasa pada Hari Jum’at?

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa dimakruhkan berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian. Namun jika diikuti puasa sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasa seperti berpuasa nadzar karena sembuh dari sakit dan bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidaklah makruh.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, 6: 309).

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika seseorang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian bukan maksud untuk pengkhususan karena hari tersebut adalah hari Jum’at namun karena itu adalah waktu longgarnya saat itu, maka pendapat yang tepat, itu masih dibolehkan.” (Syarhul Mumthi’, 6: 477).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah berkata, “Larangan mengkhususkan puasa pada hari Jum’at dimaksudkan karena sebagian orang menyangka ada keutamaan disunnahkannya puasa pada hari tersebut. Dijelaskan di sini bahwa puasa pada hari Jum’at itu dilarang. Sebagaimana berpuasa pada hari ‘ied juga juga terlarang dan hari Jum’at juga adalah hari ‘ied pekanan.

Adapun perintah agar tidak puasa ketika itu adalah supaya kita kuat menjalani ibadah saat itu dan ada berbagai hikmah lainnya. Sebab larangan (‘illah) ini jadi hilang jika hari Jum’at tidak dikhususkan untuk puasa seperti dengan menambah puasa pada hari sebelum atau sesudahnya. Atau dibolehkan juga jika berpapasan dengan kebiasaan puasa seperti bagi orang yang sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa (puasa Daud) atau bertepatan dengan puasa ayamul bidh (13, 14, 15 Hijriyah) dan semacamnya.” (Syarh ‘Umdatil Ahkam, hal. 366).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Referensi:
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab lisy Syairozi, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad Najib Al Muthi’i, cetakan Dar Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.
Syarhul Mumthi’ ‘ala Zaadil Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1424 H.
Syarh ‘Umdatil Ahkam, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Darut Tauhid, cetakan pertama, tahun 1431 H.


Disusun @ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, di siang hari selepas shalat Zhuhur, 10 Syawal 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal​
Artikel Muslim.Or.Id

Jumat, 20 September 2013

Perintah Mengenakan Jilbab dan Menjaga Aurat

Perintah Mengenakan Jilbab dan Menjaga Aurat, Apakah Khusus Bagi Isteri Nabi?


Salah seorang perempuan cerdik & shalihah Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Sungguh, musuh-musuh Islam telah mengetahui bahwa keluarnya kaum perempuan dgn mempertontonkan aurat adalah sebuah gerbang diantara gerbang-gerbang menuju kejelekan & kehancuran. Dan dgn hancurnya mereka maka hancurlah masyarakat. Oleh karena itulah mereka sangat bersemangat mengajak kaum perempuan supaya rela menanggalkan jilbab & rasa malunya…” (Nasihati li Nisaa’, hal. 91)
Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya persoalan tabarruj (mempertontonkan aurat) bukan masalah ringan karena hal itu tergolong perbuatan dosa besar.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 95)

Mulia Mengenakan Pakaian Takwa

Allah ta’ala berfirman,

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian utk menutup auratmu & pakaian indah utk perhiasan. & pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.” (QS. Al-A’raaf: 26)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang aurat, maka beliau bersabda, “Jagalah auratmu, kecuali dari (penglihatan) suamimu atau budak yang kau punya.” Kemudian beliau ditanya, “Bagaimana apabila seorang perempuan bersama dgn sesama kaum perempuan ?” Maka beliau menjawab, “Apabila engkau mampu utk tak menampakkan aurat kepada siapapun maka janganlah kau tampakkan kepada siapapun.” Lalu beliau ditanya, “Lalu bagaimana apabila salah seorang dari kami (kaum perempuan) sedang bersendirian ?” Maka beliau menjawab, “Engkau lebih harus merasa malu kepada Allah daripada kepada sesama manusia.” (HR. Abu Dawud [4017] & selainnya dgn sanad hasan, lihat Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 381)

Perintah Berjilbab

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu & isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah utk dikenal, karena itu mereka tak di ganggu. & Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 59)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Ayat yang disebut dgn ayat hijab ini memuat perintah Allah kepada Nabi-Nya agar menyuruh kaum perempuan secara umum dgn mendahulukan istri & anak-anak perempuan beliau karena mereka menempati posisi yang lebih penting daripada perempuan yang lainnya, & juga karena sudah semestinya orang yang menyuruh orang lain utk mengerjakan suatu (kebaikan) mengawalinya dgn keluarganya sendiri sebelum menyuruh orang lain. Hal itu sebagaimana difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian & keluarga kalian dari api neraka.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Abu Malik berkata: “Ketahuilah wahai saudariku muslimah, bahwa para ulama telah sepakat wajibnya kaum perempuan menutup seluruh bagian tubuhnya, & sesungguhnya terjadinya perbedaan pendapat –yang teranggap- hanyalah dlm hal menutup wajah & dua telapak tangan.” (Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382)

Perintah Mengenakan Jilbab/Hijab Khusus utk Isteri Nabi?

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Ada segolongan orang yang mengatakan bahwa hijab (jilbab) adalah dikhususkan utk para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebab Allah berfirman (yang artinya): “Wahai para isteri Nabi, kalian tidaklah seperti perempuan lain, jika kalian bertakwa. Maka janganlah kalian melembutkan suara karena akan membangkitkan syahwat orang yang di dlm hatinya tersimpan penyakit. Katakanlah perkataan yang baik-baik saja.” (QS. Al-Ahzab: 32) Maka jawabannya adalah: Sesungguhnya kaum perempuan dari umat ini diharuskan utk mengikuti isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam kecuali dlm perkara yang dikhususkan oleh dalil. Syaikh Asy-Syinqithi mengatakan di dlm Adhwa’ul Bayan (6/584) tatkala menjelaskan firman Allah: “Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka (isteri Nabi) maka mintalah dari balik hijab, yang demikian itu akan lebih membersihkan hati kalian & hati mereka…” (QS. Al-Ahzab: 53)

Alasan hukum yang disebutkan Allah dlm menetapkan ketentuan ini yaitu mewajibkan penggunaan hijab karena hal itu lebih membersihkan hati kaum lelaki & perempuan dari godaan nafsu di dlm firman-Nya, “yang demikian itu lebih membersihkan hati mereka & hati kalian.” merupakan suatu indikasi yang sangat jelas yang menunjukkan maksud keumuman hukum. Dengan begitu tak akan ada seorangpun diantara seluruh umat Islam ini yang berani mengatakan bahwa selain isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam tak membutuhkan kebersihan hati kaum perempuan & kaum lelaki dari godaan nafsu dari lawan jenisnya…” “Beliau berkata: “Dengan keterangan yang sudah kami sebutkan ini maka anda mengetahui bahwa ayat yang mulia ini menjadi dalil yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa wajibnya berhijab adalah hukum umum yang berlaku bagi seluruh kaum perempuan, tak khusus berlaku bagi para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa ‘ala aalihi wa sallam saja, meskipun lafal asalnya memang khusus utk mereka, karena keumuman sebab penetapan hukumnya menjadi dalil atas keumuman hukum yang terkandung di dalamnya.

 Dengan itu maka anda mengetahui bahwa ayat hijab itu berlaku umum karena keumuman sebabnya. Dan apabila hukum yang tersimpan dlm ayat ini bersifat umum dgn adanya indikasi ayat Al-Qur’an maka ketahuilah bahwa hijab itu wajib bagi seluruh perempuan berdasarkan penunjukan Al Qur’an.” (Nasihati li Nisaa’, hal. 94-95)

Hakikat Jilbab

Di dlm kamus dijelaskan bahwa jilbab adalah gamis (baju kurung panjang, sejenis jubah) yaitu baju yang bisa menutup seluruh tubuh & juga mencakup kerudung serta kain yang melapisi di luar baju seperti halnya kain selimut/mantel (lihat Mu’jamul Wasith, juz 1, hal. 128, Al Munawwir, cet ke-14 hal.199)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berkata: “Yang dimaksud jilbab adalah pakaian yang berada di luar lapisan baju yaitu berupa kain semacam selimut, kerudung, selendang & semacamnya.” (Taisir Karimir Rahman, hal. 272)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Jilbab adalah selendang yang dipakai di luar kerudung. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu Mas’ud, Abu ‘Ubaidah (di dlm Maktabah Syamilah tertulis ‘Ubaidah, saya kira ini adalah kekeliruan, -pent), Qatadah, Hasan Al Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An-Nakha’i, Atha’ Al Khurasani & para ulama yang lain. Jilbab itu berfungsi sebagaimana pakaian yang biasa dikenakan pada masa kini (di masa beliau, pent). Sedangkan Al Jauhari berpendapat bahwa jilbab adalah kain sejenis selimut.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah)

Syarat-Syarat Busana Muslimah

Para ulama mempersyaratkan busana muslimah berdasarkan penelitian dalil Al-Qur’an & As-Sunnah sebagai berikut:
Harus menutupi seluruh tubuh, hanya saja ada perbedaan pendapat dlm hal menutup wajah & kedua telapak tangan. Dalilnya adalah QS. An-Nuur : 31 serta QS. Al-Ahzab : 59. Sebagian ulama memfatwakan bahwa diperbolehkan membuka wajah & kedua telapak tangan, hanya saja menutupnya adalah sunnah & bukan sesuatu yang wajib.

Pakaian itu pada hakikatnya bukan dirancang sebagai perhiasan. Dalilnya adalah ayat yang artinya, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang bisa tampak.” (QS. An-Nuur : 31) Sebagian perempuan yang komitmen terhadap syari’at mengira bahwa semua jilbab selain warna hitam adalah perhiasan. Penilaian itu adalah salah karena di masa Nabi sebagian sahabiyah pernah memakai jilbab dgn warna selain hitam & beliau tak menyalahkan mereka. Yang dimaksud dgn pakaian perhiasan adalah yang memiliki berbagai macam corak warna atau terdapat unsur dari bahan emas, perak & semacamnya.

Meskipun begitu penulis Fiqhu Sunnah li Nisaa’ berpendapat bahwa mengenakan jilbab yang berwarna hitam itu memang lebih utama karena itu merupakan kebiasaan para isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pakaian itu harus tebal, tak boleh tipis supaya tak menggambarkan apa yang ada di baliknya. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan dua golongan penghuni neraka yang salah satunya adalah para perempuan yang berpakaian tapi telanjang (sebagiamana tercantum dlm Shahih Muslim) Maksud dari hadits itu adalah para perempuan yang mengenakan pakaian yang tipis sehingga justru dapat menggambarkan lekuk tubuh & tak menutupinya. Walaupun mereka masih disebut orang yang berpakaian, namun pada hakikatnya mereka itu telanjang.

Harus longgar, tak boleh sempit atau ketat karena akan menampakkan bentuk atau sebagian dari bagian tubuhnya. Dalilnya adalah hadits Usamah bin Zaid yang menceritakan bahwa pada suatu saat beliau mendapat hadiah baju yang tebal dari Nabi. Kemudian dia memberikan baju tebal itu kepada isterinya. Namun karena baju itu agak sempit maka Nabi menyuruh Usamah agar isterinya mengenakan pelapis di luarnya (HR. Ahmad, memiliki penguat dlm riwayat Abu Dawud) Oleh sebab itu hendaknya para perempuan masa kini yang gemar memakai busana ketat segera bertaubat.

Tidak perlu diberi wangi-wangian. Dalilnya adalah sabda Nabi: “Perempuan manapun yang memakai wangi-wangian kemudian berjalan melewati sekelompok orang agar mereka mencium keharumannya maka dia adalah perempuan pezina.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud & Tirmidzi dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari) Bahkan Al-Haitsami menyebutkan bahwa keluarnya perempuan dari rumahnya dgn memakai wangi-wangian & bersolek adalah tergolong dosa besar, meskipun dia diizinkan oleh suaminya.

Tidak boleh menyerupai pakaian kaum lelaki. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat kaum laki-laki yang sengaja menyerupai kaum perempuan & kaum perempuan yang sengaja menyerupai kaum laki-laki.” (HR. Bukhari & lain-lain) Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat lelaki yang mengenakan pakaian perempuan & perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki.” (HR. Abu Dawud & Ahmad dgn sanad sahih)

Tidak boleh menyerupai pakaian khas perempuan kafir. Ketentuan ini berlaku juga bagi kaum lelaki. Dalilnya banyak sekali, diantaranya adalah kejadian yang menimpa Ali. Ketika itu Ali memakai dua lembar baju mu’ashfar. Melihat hal itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah pakaian kaum kafir. Jangan kau kenakan pakaian itu.” (HR. Muslim, Nasa’i & Ahmad)

Bukan pakaian yang menunjukkan ada maksud utk mencari popularitas. Yang dimaksud dgn libas syuhrah (pakaian popularitas) adalah: Segala jenis pakaian yang dipakai utk mencari ketenaran di hadapan orang-orang, baik pakaian itu sangat mahal harganya –untuk memamerkan kakayaannya- atau sangat murah harganya –untuk menampakkan kezuhudan dirinya- Ibnu ‘Umar radhiyallahu’anhuma mengatakan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai busana popularitas di dunia maka Allah akan mengenakan busana kehinaan pada hari kiamat, kemudian dia dibakar api di dalamnya.” (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah dgn sanad hasan lighairihi) (syarat-syarat ini diringkas dgn sedikit perubahan dari Fiqhu Sunnah li Nisaa’, hal. 382-391)

Siapa Saja Yang Boleh Melepaskan Jilbab?

Allah ta’ala berfirman,

وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللاتِي لا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid & mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dgn tak (bermaksud) Menampakkan perhiasan, & berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nuur: 60)

Ummu Abdillah Al-Wadi’iyah berkata: “Yang dimaksud dgn Al-Qawa’id adalah perempuan-perempuan tua, maka kandungan ayat ini menunjukkan bolehnya perempuan tua yang sudah tak punya hasrat menikah utk melepaskan pakaian mereka.”

Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Yang dimaksud dgn perempuan yang duduk (Al-Qawa’id) adalah kaum perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan (menopause). Akan tetapi pengertian ini tak sepenuhnya tepat. Karena terkadang ada perempuan yang sudah terhenti dari melahirkan sementara pada dirinya masih cukup menyimpan daya tarik.” … … … “Sesungguhnya mereka (perempuan tua) itu diizinkan melepasnya karena kebanyakan lelaki sudah tak lagi menaruh perhatian kepada mereka. Sehingga hal itu menyebabkan kaum lelaki tak lagi berhasrat utk mengawini mereka maka faktor inilah yang mendorong Allah Yang Maha Suci membolehkan bagi mereka (perempuan tua) sesuatu yang tak diizinkan-Nya kepada selain mereka.

Kemudian setelah itu Allah masih memberikan pengecualian pula kepada mereka. Allah berfirman: “dan bukan dlm keadaan mempertontonkan perhiasan.” Artinya: tak menampakkan perhiasan yang telah diperintahkan utk ditutupi sebagaimana tercantum dlm firman-Nya, “Dan hendaknya mereka tak menampakkan perhiasan mereka.” Ini berarti: mereka tak boleh sengaja memperlihatkan perhiasan mereka ketika melepas jilbab & sengaja mempertontonkan keindahan atau kecantikan diri supaya kaum lelaki memandangi mereka…” (dinukil dari Nasihati li Nisaa’, hal. 87-88)

Syaikh Abu Bakar Al-Jaza’iri berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ artinya: kaum perempuan yang terhenti haidh & melahirkan karena usia mereka yang sudah lanjut.” (Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Syaikh As-Sa’di berkata: “Al-Qawa’idu minan nisaa’ adalah para perempuan yang sudah tak menarik utk dinikmati & tak menggugah syahwat.” (Taisir Karimir Rahman, Makbatah Syamilah) Imam Ibnu Katsir menukil penjelasan Sa’id bin Jubair, Muqatil bin Hayan, Qatadah & Adh-Dhahaak bahwa makna Al-Qawa’idu minan Nisaa’ adalah: perempuan yang sudah terhenti haidnya & tak bisa diharapkan melahirkan anak.” (Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah Syamilah).

Adapun yang dimaksud dgn pakaian yang boleh dilepas dlm ayat ini adalah kerudung, jubah, & semacamnya (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah)
Meskipun demikian Allah menyatakan: “dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (QS. An-Nuur: 60) Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri menjelaskan: Artinya tak melepas pakaian tersebut (kerudung & semacamnya) adalah lebih baik bagi mereka daripada mengambil keringanan.” (lihat Aisarut Tafasir, Maktabah Syamilah).


Penulis: Ust. Abu Mushlih Ari Wahyudi,
Artikel www.muslimah.or.id sumber: www.muslimah.or.id

Hukum membaca Al-Qur'an tanpa berwudhu

Hukum membaca Al-Qur'an tanpa berwudhu

Pertanyaan:
Apakah hukum orang yang membaca al-Qur’an sementara dia dalam kondisi tidak berwudhu, baik dibaca secara hafalan maupun dibaca dari mushaf?


Jawaban oleh Syaikh Shalih al-Fauzan :
Seseorang boleh membaca al-Qur’an tanpa wudhu bila bacaannya secara hafalan sebab tidak ada yang mencegah Rasulullah shallallahu ‘alaihii wa sallam membaca al-Qur’an selain kondisi junub. Beliau pernah membaca al-Qur’an dalam kondisi berwudhu dan tidak berwudhu.
Sedangkan terkait dengan mushaf, maka tidak boleh bagi orang yang dalam kondisi berhadats untuk menyentuhnya, baik hadats kecil maupun hadats besar.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ

Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.“(Al-Wa-qi’ah: 79). Yakni orang-orang yang suci dari semua hadats, najis dan syirik.

Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihii wa sallam yang dimuat di dalam surat beliau kepada pegawainya yang bernama Amru bin Hizam, beliau menyebutkan,

لاَ يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلاَّ طَاهِرًا

Tidak boleh menyentuh al-Qur’an kecuali orang yang dalam kondisi suci.” (Muwaththa’ Imam Malik, kitab al-Qur’an, Hal. 199; Sunan ad-Darimi, kitab ath-Thalaq (2183)).

Hal ini merupakan kesepakatan para imam kaum muslimin bahwa orang yang dalam kondisi berhadats kecil ataupun besar tidak boleh menyentuh mushaf kecuali ditutup dengan pelapis, seperti mushaf tersebut berada di dalam kotak atau kantong, atau dia menyentuhnya dilapisi baju atau lengan baju.


Artikel Muslimah.or.id
Rujukan:
Kumpulan Fatwa-Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan, Dalam Kitab Tadabbur al-Qur’an, hal. 44.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Selasa, 17 September 2013

Bagaimana Kurban Bagi Orang Yang Sudah Meninggal?

BAGAIMANA KURBAN BAGI ORANG YANG SUDAH MENINGGAL?

Senin, 3 Desember 2007 06:14:14 WIB

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Menjawab pertanyaan diatas, berikut kami bawakan pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang kami ambil dari kitab Ahkam Al-Adhahi wal Dzakaah, dengan beberapa tambahan referensi lainnya.

Pada asalnya, kurban disyari’atkan bagi orang yang masih hidup, sebagaimana Rasulullah dan para shahabat telah menyembelih kurban untuk dirinya dan keluarganya. Adapun persangkaan orang awam adanya kekhususan kurban untuk orang yang telah meninggal, maka hal itu tidak ada dasarnya.

Kurban bagi orang yang sudah meninggal, ada tiga bentuk.

1. Menyembelih kurban bagi orang yang telah meninggal, namun yang masih hidup disertakan. Contohnya, seorang menyembelih seekor kurban untuk dirinya dan ahli baitnya, baik yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia.

Demikian ini boleh, dengan dasar sembelihan kurban Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dirinya dan ahli baitnya, dan diantara mereka ada yang telah meninggal sebelumnya. Sebagaimana tersebut dalam hadits shahih yang berbunyi.

“Artinya : Aku menyaksikan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Id Al-Adha di musholla (tanah lapang). Ketika selesai khutbahnya, beliau turun dari mimbarnya. Lalu dibawakan seekor kambing dan Rasulullah menyembelihnya dengan tangannya langsung dan berkata : “Bismillah wa Allahu Akbar hadza anni wa amman lam yudhahi min ummati” (Bismillah Allahu Akbar, ini dariku dan dari umatku yang belum menyembelih) [1]. Ini meliputi yang masih hidup atau telah mati dari umatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban seekor kambing bagi ahli bait, isteri-isterinya, anak-anaknya dan orang yang bersama mereka, sebagaimana dilakukan para sahabat” [2] Dasarnya ialah hadits Aisyah, beliau berkata.

“Artinya : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta seekor domba bertanduk, lalu dibawakan untuk disembelih sebagai kurban. Lalu beliau berkata kepadanya (Aisyah), “Wahai , Aisyah, bawakan pisau”, kemudian beliau berkata : “Tajamkanlah (asahlah) dengan batu”. Lalu ia melakukannya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabil pisau tersebut dan mengambil domba, lalu menidurkannya dan menyembelihnya dengan mengatakan : “Bismillah, wahai Allah! Terimalah dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari umat Muhammad”, kemudian menyembelihnya” [Riwayat Muslim]

Sehingga seorang yang menyembelih kurban seekor domba atau kambing untuk dirinya dan ahli baitnya, maka pahalanya dapat diperoleh juga oleh ahli bait yang dia niatkan tersebut, baik yang masih hidup atau yang telah meninggal dunia. Jika tidak berniat baik secara khusus atau umum, maka masuk dalam ahli bait semua yang termaktub dalam ahli bait tersebut, baik secara adat mupun bahasa. Ahli bait dalam istilah adat, yaitu seluruh orang yang di bawah naungannya, baik isteri, anak-anak atau kerabat. Adapun menurut bahasa, yaitu seluruh kerabat dan anak turunan kakeknya, serta anak keturunan kakek bapaknya.

2. Menyembelih kurban untuk orang yang sudah meninggal, disebabkan tuntunan wasiat yang disampaikannya. Jika demikian, maka wajib dilaksanakan sebagai wujud dari pengamalan firman Allah.

فَمَنْ بَدَّلَهُ بَعْدَمَا سَمِعَهُ فَإِنَّمَا إِثْمُهُ عَلَى الَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

“Artinya : Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [Al-Baqarah : 181]

Dr Abdullah Ath-Thayaar berkata : “Adapun kurban bagi mayit yang merupakan wasiat darinya, maka ini wajib dilaksanakan walaupun ia (yang diwasiati) belum menyembelih kurban bagi dirinya sendiri, karena perintah menunaikan wasiat” [3]

3. Menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagai shadaqah terpisah dari yang hidup (bukan wasiat dan tidak ikut yang hidup) maka inipun dibolehkan.

Para ulama Hambaliyah (yang mengikuti madzhab Imam Ahmad) menegaskan bahwa pahalanya sampai ke mayit dan bermanfaat baginya dengan menganalogikannya kepada shadaqah. Ibnu Taimiyyah berkata : “Diperbolehkan menyembelih kurban bagi orang yang sudah meninggal sebagaimana diperolehkan haji dan shadaqah untuk orang yang sudah meninggal. Menyembelihnya di rumah dan tidak disembelih kurban dan yang lainnya di kuburan” [4]

Akan tetapi, kami tidak memandang benarnya pengkhususan kurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai sunnah, sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi was al sallam tidak pernah mengkhususkan menyembelih untuk seorang yang telah meninggal. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyembelih kurban untuk Hamzah, pamannya, padahal Hamzah merupakan kerabatnya yang paling dekat dan dicintainya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pula menyembelih kurban untuk anak-anaknya yang meninggal dimasa hidup beliau, yaitu tiga wanita yang telah bersuami dan tiga putra yang masih kecil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak menyembelih kurban untuk istrinya, Khadijah, padahal ia merupakan istri tercintanya. Demikian juga, tidak ada berita jika para sahabat menyembelih kurban bagi salah seorang yang telah meninggal.

Demikian sedikit ulasan berkenaan dengan kurban bagi orang yang telah meninggal.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004M, Penulis Ustadz Kholid Syamhudi Lc. Penebit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km 8 Selokaton Gondangrejo – Solo 57183]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmdzi.
[2]. Majmu Al-Fatawa (23/164)
[3]. Dr Abdullah bin Muhammad Ath-Thayar, Ahkam Al-Idain wa Asyara Dzilhijjah, cetakan Pertama Tahun 1413H Daar Al-Ahimah, Riyadh KSA, hal. 72
[4]. Majmu Al-Fatawa (26/306)

Sumber

Bagaimana Sikap Terhadap Istri Yang Selingkuh?

Bagaimana Sikap Terhadap Istri Yang Selingkuh?

Assalamualaikum Ustadz, Ana mau tanya apakah tindakan yang paling tepat sesuai dengan tuntunan Islam jika seorang suami mengetahui istrinya selingkuh dengan laki-laki lain, dan sudah sangat diduga pernah berzina dengan laki-laki itu. Apakah suami tersebut wajib menceraikan istrinya, sementara dia masih menyayangi isterinya dan isterinya juga tidak mau sekali kalau diceraikan. Syukron ya Ustadz. Wassalam

Hamba Allah
Polewali Mandar Sulawesi Barat

Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. menjawab:


Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh

Kebebasan bergaul yang berkembang dan sudah menjadi adat yang mendarah daging dalam sebagian kaum muslimin adalah satu musibah besar dan berimplikasi sangat buruk. Implikasi buruk ini tidak hanya mengenai sang wanita atau pria saja namun juga berakibat buruk bagi tatanan keluarga dan masyarakat. Karena itulah Islam memberikan batasan pergaulan antara lawan jenis dengan demikian indah dan kuatnya, sehingga kemungkinan muncul perselingkuhan, pacaran dengan cinta monyet serta perzinahan dapat dicegah dan diputus sejak awal. Ditambah lagi dengan hukuman keras bagi pezina baik yang belum pernah menikah maupun yang pernah menikah. Sayang masyarakat enggan menerapkannya sehingga terjadilah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan seperti ini. Dalam rumah tangga seorang suami haruslah menjadi pemimpin yang menampakkan kebijakan dan kemampuannya mengatur biduk rumah tangga.


Perselingkuhan disamping akibat kebebasan pergaulan yang ada dimasyarakat dan diperkenankan sang suami juga terkadang disebabkan karena sikap suami yang tidak mengetahui kebutuhan istri. Penampilan suami ketika menjumpai istri, cara bergaul dan bersikap sampai cara memberikan nafkah batin terkadang dapat memicu hal tersebut. Yang jelas pergaulan wanita dengan lelaki lain secara bebas akan memberikan opini kepada wanita tipe lelaki yang lain lalu bisa jadi ia banding-bandingkan dengan suaminya. Rasa bosan dengan suami dan mulut buaya dan sikap lelaki lain pun tidak kalah berbahayanya. Oleh karena itu Syari'at islam sangat menekankan seorang wanita membatasi pergaulannya dengan lelaki asing (bukan suami dan mahramnya) dan tidak bersinggungan kecuali karena kebutuhan dan sebatas kebutuhannya saja.


Lalu bagaimana sikap suami bila sudah mendapatkan musibah demikian. Orang yang ia cintai ternyata berselingkuh dengan lelaki lain. Maaf sebelumnya, dugaan berzina yang anda sampaikan memiliki hukum sendiri. Syari'at islam sangat menjaga kehormatan wanita dan mengancam penuduh wanita berzina dengan ancaman berat. Lihat saja firman Allah:


وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ إِلا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ


“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang-orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima keksaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Isterinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta, dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” (QS. An-Nuur/24: 4-9)


Dalam ayat ini Allah membagi penuduh wanita mu'minah berzina dalam dua kategori:
Orang yang menuduh bukan suaminya, maka wajib menghadirkan empat saksi yang melihat langsung kejadiannya atau wanita itu mangakuinya. Apabila terjadi demikian maka wanita itu dihukum dengan hukuman pezina. Namun bila tidak mangakui dan tidak dapat menghadirkkan empat saksi maka penuduh didera (cambuk) delapan puluh kali dan tidak diterima persaksiannya selama-lamanya kecuali bila bertaubat.
Suami wanita tersebut, dalam hal ini sama dengan diatas, hanya saja bila wanita tidak mengakui dan ia tidak mampu menghadirkan saksi ia tidak dikenakan hukuman dera. Akan tetapi ia harus melakukan mula'anah (saling melaknat) seperti dalam ayat diatas.

Kembali ke kasus yang anda ceritakan, bila sang istri terbukti selingkuh -walaupun tidak sampai berzina- maka tindakan yang paling tepat -menurut saya- adalah wajib menceraikannya dan tidak sepantasnya seorang suami mempertahankan istri yang telah mencederai kesetiaannya dengan berbuat serong (dengan maknanya yang luas). Sebab, istri telah melakukan kesalahan yang tidak bisa dipandang remeh. Menjalin hubungan asmara terlarang dengan lelaki lain, siapapun dia.

Syaikh Prof. DR. Shalih Fauzan Al-Fauzan Hafizhahullah (seorang anggota majelis ulama besar kerajaan saudi Arabia dan anggota Islamic Fiqh Academy (IFQ) Liga Muslim Dunia (Rabithoh al-'Alam al-Islami)) memaparkan: “Apabila keadaan istri tidak lurus agamanya, seperti meninggalkan shalat atau suka mengakhirkan pelaksanaannya di akhir waktu, sementara suami tidak mampu memperbaikinya, atau bila tidak memelihara kehormatannya, maka menurut pendapat yang rajih, suami dalam kondisi ini wajib untuk menceraikan istrinya.” (Al-Mulakhas Al-Fiqhi, 2/305)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Raahimahullahu Ta'ala berkata: “Jika istri berzina, maka suami tidak boleh tetap mempertahankannya dalam kondisi ini. Kalau tidak, ia menjadi dayyuuts (suami yang membiarkan maksiat terjadi di dalam rumah)”.


Adapun bila ia tidak mau bercerai dan mengaku masih mencintai suaminya, maka ini bohong. Bila ia cinta sama suaminya kenapa harus selingkuh. Wanita yang baik dan normal tidak akan berselingkuh dengan lelaki lain, sebab ia memiliki rasa malu yang jauh lebih besar dari lelaki. Bila ia telah selingkuh dengan lelaki lain maka rasa malu tersebut tentunya hilang dan kemungkinan berselingkuh lagi sangat besar sekali. Bagaimana tidak? Ia tidak puas dengan suaminya yang ada dan telah merasakan keindahan semu selingkuhnya dengan PIL (pria Idaman Lain). Wanita yang secara umum perasaannya lebih menguasai dari akal sehatnya tentu kemungkinan mengulanginya lagi itu sangat mungkin. Apalagi PIL nya tersebut masih membuka pintu baginya.

Karena itu nasehat saya kepada suami, ceraikan saja wanita tersebut dan berilah ia kemudahan untuk mendapatkan yang ia angan-angankan. Dengan bertawakkal kepada Allah dan mengikhlaskan perceraian tersebut kepada Allah maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih daik darinya.

Mudah-mudahan jawaban ini memberikan pencerahan yang gamblang terhadap para suami yang tertimpa musibah memiliki istri tidak setia dan pelajaran bagi kita semua untuk berhati-hati dalam memilih pendamping kita. Lihat agamanya dan akhlaknya nanti kamu akan beruntung, seperti disabdakan Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam.



Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc
Artikel UstadzKholid.Com

Sabtu, 14 September 2013

TAHLILAN ADALAH BID'AH MENURUT MADZHAB SYAFI'I


Kategori: Fiqh Diterbitkan pada 22 March 2013 Klik: 33725
Print
Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah "Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum wahabi !!?

Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!. Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh. Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan yang lainnya adalah wahabi??!!

A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!".

          Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau. Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum) meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan kucing??.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

          Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan bukan merupakan syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah celaan??!!

Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

"Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!



B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

          Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu, ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata :

اِصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَإِنَّهُ قَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)



C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara Tahlilan

Banyak hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya acara tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah dimakruhkan berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100, dan bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat) setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".

Al-Qoffaal  (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah tiga hari maka ia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan !!!



KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan) dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan makruhnya hal tersebut…

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan "duduk-duduk untuk ta'ziyah" adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat) pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen) meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada 3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun mereka tidak menangis

(2) Hal ini hanya menambah biaya

(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)



KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah

Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أو ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ في يَوْمِ يَمُوتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ فإن ذلك سُنَّةٌ وَذِكْرٌ كَرِيمٌ وهو من فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا لِأَنَّهُ لَمَّا جاء نَعْيُ جَعْفَرٍ قال رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فإنه قد جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat. Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar, karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/290)



D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya tahlilan adalah :

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus orang-orang yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika seseorang telah berpindah ke daarul jazaa' (akhirat) dan orang-orang kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat) maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka merekapun bersusah payah untuk menyiapkan berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan makanan tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dimana  beliau berkata, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban dengan tulisan dan dalil !!"

Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini, padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab Syafi'iyah di Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :

"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama….

Penulis Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"…

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga, dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim dst"…

Ditulis oleh pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…

Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)



Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-pandangan-nu.html)

Kedua :  Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah, selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

-         Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

-         Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat dalam rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat gerhana, sholat 'ied maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.

Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah. Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.

Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah membuat makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:

-         Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat

-         Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk niyaahah yang dilarang.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan dan mengumrohkan sang mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka hendaknya dihindari karena :

-         Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

-         Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat??!!

-         Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 10-05-1434 H / 22 Maret 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Jumat, 06 September 2013

Adab Jimak (berhubungan badan)

Suami Sejati ( bag 17) "Adab Jimak (Berhubungan Badan)"


 
Berikut ini penulis nukilkan beberapa perkara yang penting yang berkaitan dengan adab tatkala berjimak yang penulis ringkas dari beberapa fatwa ulama dengan menyebutkan sumber fatwa-fatwa tersebut

- Hendaknya membaca doa sebelum berhubungan dengan istri.

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang kau anugrahkan kepada kami” [HR Al-Bukhari I/65 no 141 dan Muslim II/1058 no 1434]

Doa ini disunnahkan bagi sang lelaki adapaun sang wanita jika hendak membaca doa ini maka tidak mengapa karena asal dalam hukum adalah tidak adanya pengkhususan hukum terhadap lelaki atau wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/357 no 17998).

Syaikh utsaimin berkata, ((Karena terkadang syaitan ikut serta bersama seseorang tatkala menjimaki istrinya sehingga ikut menikmati istrinya. Oleh karena itu Allah berfirman


وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ (الإسراء : 64 )

Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak (QS. 17:64)

Berkata sebagian Ulama, “Ikut sertanya syaitan dalam anak-anak adalah jika seseorang tidak menyebut nama Allah tatkala hendak menjimaki istrinya maka terkadang syaitan ikut serta menikmati istrinya”)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/416]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, "Hadits ini merupakan dalil bahwa syaitan tidak meninggalkan seorang bani Adam. Ia selalu menyertainya dan mengikuti gerak-geriknya untuk mendapatkan kesempatan untuk menggoda dan menyesatkannya semaksimal mungkin. Akan tetapi seorang yang cerdik adalah yang tidak memberikan peluang kepada syaitan yaitu dengan berdzikir kepada Allah." [Taudhihul Ahkaam IV/458]

- Boleh bagi keduanya untuk bertelanjang karena boleh bagi keduanya untuk melihat dan menyentuh seluruh tubuh pasangannya, namun sebaiknya untuk menutup tubuh mereka berdua (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/359 no 2892 dan XIX/361 no 4250 dan XIX/361 no 4624, Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

- Hendaknya sang suami sebelum menjimaki istrinya melakukan pemanasan untuk menggairahkan syahwat istrinya seperti ciuman, sentuhan, dan yang lainnya, sehingga keduanya sama-sama bangkit syahwatnya. Karena hal ini akan menambah keledzatan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/415)

- Boleh bagi keduanya untuk berbicara sedikit tatkala sedang berjimak terutama perkataan-perkataan yang menggairahkan syahwat. Bahkan terkadang perkataan-perkataan yang seperti ini dituntut. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

- Terlarang bagi sang suami untuk mencabut dzakarnya dari vagina istrinya sebelum istrinya mencapai kepuasan (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/417)

- Boleh bagi sang suami untuk menikmati (meletakkan dzakarnya) ke seluruh bagian tubuh sang istri, baik dari depan maupun dari belakang, bahkan boleh baginya untuk meletakkan dzakarnya diantara belahan dua pantat istrinya selama tidak masuk dalam lingkaran dubur. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6905 dan XIX/352 no 7310)

- Boleh bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya lebih dari sekali dalam satu malam tanpa mandi atau wudhu, namun sebaiknya berwudhu sebelum mengulangi jimaknya karena akan menjadikannya lebih bersemangat. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/349 no 13748). Namun disunnahkannya wudhu ini hanya berlaku bagi sang lelaki karena dialah yang diperintahkan untuk melakukannya dan bukan sang wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/350 no 18911)

- Boleh (dan tidak makruh) bagi sang suami untuk mengisap payudara istrinya, dan jika air susu istrinya sampai masuk ke lambungnya maka tidak menjadikannya haram (anak persusuan). (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6657)

- Boleh bagi suami untuk menjimaki istrinya yang sedang hamil kapan saja waktu kehamilannya selama tidak menimbulkan bahaya. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/353 no 18371)

- Tidak mengapa bagi suami dan istri untuk berjimak dihadapan bayi yang masih dalam persusuan karena ia tidak mengerti, adapun anak kecil yang sudah berumur tiga tahun atau empat tahun yang bisa mengungkapkan apa yang dilihatnya maka hal ini dilarang. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/418)

- Tidak boleh menjimaki sang istri di kemaluannya tatkala ia sedang haid dan nifas

Sebagaimana firman Allah

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة : 222 )

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222)

(Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/396)

- Namun boleh mencumbui atau menjimaki istri yang sedang haid dibagian mana saja dari tubuh sang istri yang penting bukan dikemaluan atau dubur. Karena hukum asal dalam berjimak adalah halal. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلاَّ النِّكَاح

“Lakukanlah segala perkara kecuali nikah (yaitu kecuali menjimaki kemaluan istri yang sedang hadih)” [ HR Muslim I/246 no 302](Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/397)

- Disunnahkan bagi sang istri yang sedang haid untuk memakai sarung untuk menutup kemualuannya tatkala sang suami sedang mencumbuinya. Dan diantara hikmahnya adalah bisa jadi sang suami melihat darah haid atau mencium bau yang kurang sedap sehingga mempengaruhi perasaannya. (Atau bisa jadi syahwatnya terlalu tinggi hingga akhirnya nekat untuk menjimaki kemaluan istrinya yang sedang haidh-pen) (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/398)

- Diharamkan untuk menjimaki istri melalui duburnya

Allah berfirman

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة : 223 )

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223)

Dan dubur bukanlah tempat bercocok tanam bagi sang suami. Dan banyak hadits yang menyatakan keharaman menjimaki istri di dubur.

Selain itu qiyas juga menunjukan akan haramnya menjimaki istri di duburnya. Tai itu lebih kotor dan lebih menjijikan daripada darah haid, maka jika jimak ditempat keluarnya darah haid diharamkan karena ada darah haidh maka jimak ditempat keluarnya tai lebih diharamkan lagi. (Kemudian juga bahwa diharamkan jimak di tempat haidh padahal itu hukumnya sementara saja hingga berhenti darah haidh maka terlebih lagi diharamkan jimak di dubur karena dubur senantiasa dan selalu merupakan tempat kotoran-pen). Selain itu jimak di dubur seperti homoseksual, oleh karena itu sebagian ulama menamakan jimak di dubur dengan nama homoseksual kecil. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/399)

Faedah:

Syaikh Alu Bassaam berkata, "Pada ayat di atas (QS. 2:223) terdapat dorongan dan motivasi untuk melakukan jimak karena Allah menyebutnya sebagai "bercocok tanam". Karena berocok tanam akan membuahkan hasil yang bermanfaat serta buah-buahan yang baik. Maka demikianlah juga dengan jimak yang menyebabkan banyaknya keturunan dan memperbanyak barisan kaum muslimin dan mewujudkan bangganya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam akan banyaknya pengikutnya di hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat kelak" [Taudhihul Ahkaam IV/456]

- Dilarang bagi keduanya untuk menceritakan kepada orang lain tentang jimak yang telah mereka lakukan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/419)

- Dilarang bagi keduanya untuk memotret jimak yang mereka lakukan meskipun dijaga dan tidak diperlihatkan kepada orang lain (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/367 no 22959)



Bersambung ...




Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Hadits dari Shahih Muslim - Kitab SHOLAT

Terjemahan Hadits dari Shahih Muslim - Kitab SHOLAT

1. Permulaan azan

• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu sholat. Tidak ada seorang pun yang menyeru untuk sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata: Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen. Sebagian yang lain berkata: Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi. Kemudian Umar berkata: Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk sholat? Rasulullah saw. bersabda: Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat. (Shahih Muslim No.568)

2. Perintah menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Bilal diperintahkan agar menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat. (Shahih Muslim No.569)

3. Sunat menunjuk dua orang muazin untuk satu masjid

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:

Rasulullah saw. mempunyai dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta. (Shahih Muslim No.573)

4. Sunat membaca seperti yang dikumandangkan muazin bagi yang mendengar azan kemudian membaca selawat untuk Nabi saw. dan memohon wasilah untuknya

• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila engkau mendengar azan, maka bacalah seperti yang dikumandangkan muazin. (Shahih Muslim No.576)



5. Keutamaan azan dan larinya setan ketika mendengar azan

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Nabi saw., Beliau bersabda: Sesungguhnya setan, apabila mendengar azan untuk sholat, ia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengarnya lagi. Ketika azan telah berhenti, ia kembali menghasut. Apabila mendengar iqamat, ia pergi sampai tidak mendengarnya. Ketika iqamat telah berhenti, ia kembali menghasut lagi. (Shahih Muslim No.582)



6. Sunat mengangkat dua tangan sejajar pundak ketika takbiratul ihram, akan rukuk dan bangun dari rukuk serta tidak mengangkat tangan ketika bangun dari sujud

• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangan hingga sejajar pundak ketika memulai sholat, sebelum rukuk dan ketika bangun dari rukuk. Beliau tidak mengangkatnya di antara dua sujud. (Shahih Muslim No.586)

• Hadis riwayat Malik bin Huwairits ra.:

Dari Abu Qilaabah, bahwa ia melihat Malik bin Huwairits ketika ia sholat, ia bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya. Ketika ingin rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ketika mengangkat kepala dari rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. dahulu berbuat seperti itu. (Shahih Muslim No.588)



7. Menetapkan takbir tiap kali turun dan bangun dalam sholat, kecuali bangun dari rukuk membaca: "Allah mendengar orang yang memuji-Nya"

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah sholat mengimami para sahabat. Ia bertakbir tiap kali turun dan bangun. Ketika selesai ia berkata: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan sholat Rasulullah saw.. (Shahih Muslim No.590)

• Hadis riwayat Imran bin Hushein ra.:

Dari Mutharrif bin Abdullah, ia berkata: Aku dan Imran bin Hushein sholat di belakang Ali bin Abu Thalib. Saat sujud beliau bertakbir. Saat mengangkat kepalanya beliau bertakbir. Saat bangun dari dua rakaat beliau bertakbir. Selesai sholat Imran memegang tanganku dan berkata: Sesungguhnya Ali telah mengimami sholat kita dengan sholat seperti sholat Muhammad saw. atau katanya: Sesungguhnya Ali telah mengingatkan aku dengan sholat Muhammad saw.. (Shahih Muslim No.594)



8. Wajib membaca surat Al-Fatihah setiap rakaat dan bagi orang yang tidak bisa dan belum mempelajarinya disarankan membaca surat lain, selain surat Fatihah

• Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah, tidak sah sholatnya. (Shahih Muslim No.595)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada sholat kecuali dengan bacaan surat Al-Fatihah. (Shahih Muslim No.599)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. masuk masjid. Lalu seorang lelaki masuk dan melakukan sholat. Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab salamnya lalu bersabda: Ulangilah sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat. Lelaki itu kembali sholat seperti sholat sebelumnya. Setelah sholatnya yang kedua ia mendatangi Nabi saw. dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab: Wa'alaikas salam. Kemudian beliau bersabda lagi: Ulangilah sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat. Sehingga orang itu mengulangi sholatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu berkata: Demi Zat yang mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat mengerjakan yang lebih baik daripada ini semua. Ajarilah saya. Beliau bersabda: Bila engkau melakukan sholat, bertakbirlah. Bacalah bacaan dari Alquran yang engkau hafal. Setelah itu rukuk hingga engkau tenang dalam rukukmu. Bangunlah hingga berdiri tegak. Lalu bersujudlah hingga engkau tenang dalam sujudmu. Bangunlah hingga engkau tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam seluruh sholatmu. (Shahih Muslim No.602)


9. Dalil tidak boleh mengeraskan bacaan basmalah

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:
Aku pernah sholat bersama Rasulullah saw., bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman dan aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Shahih Muslim No.605)


10. Dalil bahwa basmalah adalah awal ayat tiap surat kecuali surat At-Taubah

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Ketika Rasulullah saw. bersama kami, tiba-tiba beliau terlena sesaat, kemudian mengangkat kepala beliau sambil tersenyum. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang membuat Anda tertawa? Beliau menjawab: Baru saja satu surat diturunkan kepadaku. Lalu beliau membaca: Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar "nikmat yang banyak". Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus. Kemudian beliau bertanya: Tahukah kalian, apakah Kautsar itu? Kami menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau bersabda: Itu adalah sungai yang dijanjikan Tuhanku. Sungai yang menyimpan banyak kebaikan dan merupakan telaga yang didatangi umatku pada hari kiamat. Wadahnya sebanyak bilangan bintang. Ada seorang hamba yang ditarik dari kumpulan mereka. Aku berkata: Ya Tuhanku, dia termasuk umatku. Allah berfirman: Engkau tidak tahu, dia telah membuat suatu bid`ah sepeninggalmu. (Shahih Muslim No.607)

11. Tasyahhud dalam sholat

• Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra. dia berkata:

Ketika kami bermakmum di belakang Rasulullah saw., kami membaca: "Keselamatan tetap pada Allah, keselamatan tetap pada si fulan". Suatu hari Rasulullah saw. bersabda kepada kami: Sesungguhnya Allah adalah keselamatan itu sendiri. Jadi, apabila salah seorang di antara engkau duduk (membaca tasyahud) hendaknya membaca: "Segala kehormatan, semua rahmat dan semua yang baik itu milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkat-Nya dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada para hamba-Nya yang saleh. Apabila dia telah membacanya, maka keselamatan itu akan menyebar kepada semua hamba Allah yang saleh", baik yang di langit maupun yang di bumi. "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah", kemudian berdoalah sesukanya. (Shahih Muslim No.609)



12. Selawat kepada Nabi saw. sesudah tasyahhud

• Hadis riwayat Kaab bin Ujrah ra.:

Dari Abdullah bin Abu Laila, dia berkata: Kaab bin Ujrah menemuiku dan berkata: Maukah engkau aku berikan hadiah? Rasulullah saw. pernah menemui kami, lalu kami berkata: Kami telah mengetahui cara membaca salam untuk Baginda, lalu bagaimana kami membaca selawat untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli `alaa Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik `alaa Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa aali Ibrahim Innaka hamiidum majiid". (Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad dan keluarga nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.614)

• Hadis riwayat Abu Humaid As-Saidi ra.:

Bahwa para sahabat berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami membaca selawat untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa shallaita ‘alaa aali Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum majiid." (Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad dan istri-istrinya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji dan mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan istri-istrinya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.615)


13. Membaca "sami`allahu liman hamidah" dan "aamiin"

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila imam membaca "sami`allahu liman hamidah", hendaklah kalian membaca "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", (Ya Allah, Tuhan kami, hanya milik-Mu-lah segala pujian), karena barang siapa yang ucapannya bertepatan dengan bacaan malaikat, maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.617)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila Imam membaca: Amin, hendaklah kalian membaca: "Aamiin". Karena sesungguhnya barang siapa yang bacaan aminnya bertepatan dengan bacaan amin malaikat maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.618)


14. Makmum harus mengikuti imam

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra. dia berkata:

Nabi saw. pernah jatuh dari kuda sehingga lambung kanan beliau robek. Kami datang menjenguk. Saat tiba waktu sholat, beliau sholat bersama kami dengan duduk dan kami pun sholat di belakang beliau dengan duduk. Usai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Jadi, apabila dia bertakbir, bertakbirlah. Bila dia sujud, sujudlah. Bila ia bangun, bangunlah. Bila ia membaca "sami`allahu liman hamidah", bacalah "rabbanaa lakal hamdu" dan bila ia sholat dengan duduk, sholatlah dengan duduk pula. (Shahih Muslim No.622)

• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah sakit. Para sahabat datang menjenguk beliau. Kemudian beliau sholat dengan duduk. Para sahabat bermakmum pada beliau dengan berdiri. Beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk, maka mereka pun duduk. Selesai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam hanyalah untuk diikuti. Jadi apabila ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia bangun, maka bangunlah kalian dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.623)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Karena itu, maka janganlah kalian menyalahinya. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, bila ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia membaca "sami`allahu liman hamidah", maka bacalah "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", bila ia sujud, maka sujudlah dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.625)


15. Imam mengangkat seseorang untuk menggantikannya apabila ia uzur, seperti sakit, bepergian atau lainnya, makmum harus berdiri di belakang imam yang duduk selama ia mampu, penghapusan hukum duduk di belakang imam yang duduk bagi makmum yang mampu berdiri

• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Dari Ubaidillah bin Abdullah, ia berkata: Aku menemui Aisyah dan berkata: Maukah Anda menceritakan kepadaku tentang sakit Rasulullah saw? Ia berkata: Nabi saw. menderita lemah sekali, beliau bersabda: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami pun melakukannya lalu beliau mandi. Setelah itu, saat ingin bangkit beliau pingsan. Ketika siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum. Mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Saat akan berdiri beliau pingsan lagi. Setelah siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Ketika akan bangun beliau pingsan lagi untuk yang ketiga kalinya. Pada waktu siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum. Mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Para sahabat telah berkumpul di masjid menunggu Rasulullah saw. untuk sholat Isyak.
Beliau memerintahkan seseorang menemui Abu Bakar agar ia mengimami sholat. Tiba di hadapan Abu Bakar, ia berkata: Rasulullah saw. memerintahkan Anda untuk mengimamai sholat sahabat lainnya. Abu Bakar adalah seorang yang lembut hati, ia berkata: Wahai Umar, imamilah mereka itu! Umar berkata: Anda lebih menjadi imam mereka. Akhirnya Abu Bakar mengimami sholat mereka selama beberapa hari. Ketika sakit Rasulullah saw. agak ringan, beliau keluar untuk sholat Zuhur, dibantu oleh dua orang, salah satunya adalah Abbas. Saat itu Abu Bakar akan mengimami sahabat. Ketika ia melihat Rasulullah saw. datang, ia mundur untuk menunda (sholat). Nabi saw. memberi isyarat kepadanya agar jangan ditunda. Kemudian beliau memerintahkan kedua orang yang memapah beliau: Dudukkan aku di sampingnya. Mereka mendudukkan beliau di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar sholat berdiri bermakmum kepada Rasulullah saw., para sahabat yang lain bermakmum kepada Abu Bakar dan Rasulullah saw. saat itu sholat sambil duduk. (Shahih Muslim No.629)



• Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:

Bahwa Abu Bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah saw. sakit yang membuatnya wafat, pada hari Senin, ketika berbaris dalam sholat, Rasulullah saw. menyingkap tirai kamar dan memandang kami dengan berdiri. Wajah beliau putih seperti kertas, beliau tersenyum. Kami yang sedang sholat terpukau karena gembira dengan keluarnya Rasulullah saw. Kemudian Abu Bakar mundur untuk ke barisan pertama. Ia mengira bahwa Rasulullah saw. keluar untuk sholat. Rasulullah saw. memberi isyarat tangan kepada mereka agar terus menyempurnakan sholat. Lalu beliau masuk lagi dan menurunkan tirai kamar. Pada hari itu Rasulullah saw. wafat. (Shahih Muslim No.636)



• Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:

Rasulullah saw. sakit dan semakin bertambah parah. Beliau bersabda: Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin. Aisyah berkata: Wahai Rasulullah, Abu Bakar adalah seorang yang berhati halus. Kalau ia menempati tempat baginda, ia tidak akan mampu mengimami sholat Kaum muslimin. Beliau bersabda: Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin. Kalian ini seperti teman-teman Yusuf (dalam berdebat). Abu Musa berkata: Kemudian Abu Bakar mengimami sholat mereka ketika Rasulullah saw. masih hidup. (Shahih Muslim No.638)



16. Jamaah menunjuk seseorang untuk mengimami mereka bila imam yang tetap terlambat datang dan mereka tidak khawatir akan timbul masalah akibat penunjukan tersebut

• Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra.:

Bahwa ketika Rasulullah saw. pergi ke Bani Amru bin Auf untuk mendamaikan pertikaian di antara mereka, maka ketika tiba waktu sholat, seorang muazin datang kepada Abu Bakar lalu berkata: Maukah engkau mengimami sholat orang-orang. Lalu saya mengiqamati? Abu Bakar menjawab: Ya. Kemudian Abu Bakar sholat. Ketika orang-orang sedang sholat, Rasulullah saw. datang. Beliau maju perlahan hingga sampai barisan awal. Melihat itu orang-orang bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak menoleh. Ketika tepuk tangan semakin riuh ia menoleh dan melihat Rasulullah saw. Beliau mengisyaratkan Abu Bakar agar tetap di tempatnya. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya seraya memuji Allah 'azza wa jalla sesuai dengan yang diperintahkan Rasulullah saw, lalu mundur sehingga sejajar dengan barisan awal. Setelah itu Nabi saw. maju dan sholat. Usai sholat, beliau bersabda: Hai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu ketika aku suruh? Abu Bakar menjawab: Tidak layak bagi anak Abu Quhafah sholat di hadapan Rasulullah saw. Beliau bersabda lagi: Mengapa kalian bertepuk tangan? Barang siapa yang ingin mengingatkan sesuatu di dalam sholat, hendaknya ia bertasbih, karena bila ia bertasbih, ia akan ditoleh. Tepuk tangan hanya untuk wanita. (Shahih Muslim No.639)



17. Bertasbih bagi lelaki dan tepuk tangan bagi wanita jika ingin mengingatkan sesuatu di dalam sholat

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah bersabda: Bertasbih untuk lelaki dan tepuk tangan untuk wanita. (Shahih Muslim No.641)



18. Perintah membaguskan, menyempurnakan dan khusyuk dalam sholat

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Suatu hari Rasulullah saw. mengimami sholat kami. Usai sholat beliau bersabda: Hai fulan, mengapa engkau tidak membaguskan sholatmu? Tidakkah orang yang sholat merenungkan bagaimana sholatnya? Sesungguhnya ia sholat untuk dirinya sendiri. Demi Allah, sungguh aku dapat melihat belakangku, sebagaimana aku melihat depanku. (Shahih Muslim No.642)

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sempurnakanlah rukuk dan sujud, demi Allah, sesungguhnya aku dapat melihat engkau di belakangku (kemungkinan bersabda: yang di belakang punggungku) saat engkau rukuk atau sujud. (Shahih Muslim No.644)



19. Larangan mendahului imam dalam rukuk, sujud atau lainnya

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Muhammad saw. pernah bersabda: Apakah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, tidak takut kepalanya diganti oleh Allah dengan kepala keledai. (Shahih Muslim No.647)



20. Meluruskan barisan dan merapikannya, berdesakan dalam barisan pertama dan berlomba mendapatkannya, mendahulukan orang-orang yang punya keutamaan dan mendekatkan mereka kepada imam

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Luruskanlah barisan kalian. Sesungguhnya kelurusan barisan sholat termasuk bagian dari kesempurnaan sholat. (Shahih Muslim No.656)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Sempurnakanlah barisan, karena sesungguhnya aku dapat melihat engkau yang ada di belakangku. (Shahih Muslim No.657)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Luruskanlah barisan dalam sholat, karena lurusnya barisan itu termasuk kebaikan sholat. (Shahih Muslim No.658)



• Hadis riwayat Nukman bin Basyir ra., ia berkata:

Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sebaiknya engkau mau meluruskan barisanmu atau Allah akan menancapkan rasa permusuhan di antara engkau. (Shahih Muslim No.659)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seandainya manusia tahu apa (keutamaan) yang terdapat dalam azan dan barisan pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, pasti mereka akan mengundinya. Seandainya mereka tahu apa (keutamaan) yang terdapat dalam bersegera (datang sedini mungkin) melakukan sholat, pasti mereka berlomba-lomba melakukannya. Seandainya mereka tahu apa yang terdapat dalam sholat Isyak dan sholat Subuh, pasti mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. (Shahih Muslim No.661)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seandainya kalian (atau mereka) tahu apa yang ada dalam barisan depan, tentu akan diadakan undian. (Shahih Muslim No.663)



21. Perintah agar para wanita yang sholat di belakang laki-laki untuk tidak mengangkat kepala mereka dari sujud sebelum laki-laki mengangkat kepalanya

• Hadis riwayat Sahal bin Saad ra., ia berkata:

Aku melihat orang-orang lelaki yang sholat di belakang Nabi saw. mengikatkan kain mereka pada leher seperti anak kecil karena sempitnya kain mereka. Seseorang berkata: Hai para wanita, janganlah kalian mengangkat kepala kalian sebelum orang-orang lelaki mengangkat kepala mereka. (Shahih Muslim No.665)



22. Wanita boleh ke masjid apabila tidak menimbulkan hal-hal yang negatif dan tanpa memakai wangi-wangian

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Jika istri salah seorang dari kalian minta izin pergi ke masjid, maka janganlah mencegahnya. (Shahih Muslim No.666)

• Hadis riwayat Aisyah ra., istri Nabi saw. ia berkata:

Seandainya Rasulullah saw. melihat apa yang diperbuat wanita saat ini, tentu beliau melarang mereka pergi ke masjid, seperti dilarangnya wanita Bani Israel. Yahya berkata: Aku bertanya kepada Amrah: Apakah wanita Bani Israel dilarang pergi ke masjid (tempat ibadah mereka)? Ia menjawab: Ya. (Shahih Muslim No.676)



23. Membaca bacaan dalam sholat jahriyah (sholat yang bacaannya dikeraskan) dengan suara antara keras dan pelan, apabila khawatir akan timbul hal yang tidak baik jika dikeraskan

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:

Tentang firman Allah Taala: Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholatmu dan jangan pula memelankannya. Ia berkata ayat ini turun ketika Rasulullah saw. sedang bersembunyi di Mekah. Ketika beliau sholat bersama para sahabat, beliau mengeraskan suaranya dalam membaca Alquran. Orang-orang musyrik yang mendengarnya menjelek-jelekan Alquran, Allah yang menurunkannya dan Nabi yang membawanya. Maka Allah Taala berfirman: Janganlah engkau mengeraskan suaramu di dalam sholatmu, sehingga orang-orang musyrik mendengar bacaanmu: Dan janganlah engkau memelankannya sehingga sahabatmu tidak mendengarnya. Carilah cara di antara kedua hal itu. Akhirnya beliau membaca antara keras dan pelan. (Shahih Muslim No.677)



• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Tentang firman Allah: Dan janganlah mengeraskan suaramu di dalam sholatmu dan jangan pula memelankannya. Ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan doa. (Shahih Muslim No.678)



24. Mendengarkan bacaan Alquran

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:

Tentang firman Allah: Janganlah engkau gerakkan lidahmu tergesa-gesa untuk membaca Alquran. Ia berkata: Dulu ketika malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu, Nabi saw. sering menggerakkan lidah dan bibir beliau (untuk mengulang-ulang agar tidak lupa). Hal itu membuat beliau merasa berat. Keadaan beliau seperti itu dapat dilihat. Lalu Allah berfirman: Janganlah engkau gerakkan lidahmu terburu-buru untuk membacanya dan ingin cepat "menguasainya". Sesungguhnya atas tanggungan Kami mengumpulkan di dadamu dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya, ikutilah bacaan itu. Kami menurunkannya, maka dengarkanlah baik-baik. Firman-Nya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya "Kami menjelaskannya melalui lidahmu". Ketika malaikat Jibril mendatangi beliau (untuk memberi wahyu), maka beliau diam mendengarkan. Setelah Jibril pergi, beliau membacanya, sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah pada beliau. (Shahih Muslim No.679)



25. Mengeraskan bacaan dalam sholat subuh dan membacakan Alquran untuk Jin

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. tidak membacakan kepada jin dan tidak pula melihat mereka. Beliau pergi bersama para sahabat menuju pasar Ukaz. Saat itu antara setan dan berita langit telah terhalang. Mereka dilempari panah api. Setan-setan itu kembali kepada kaum mereka dan berkata: Antara kami dan berita langit telah terhalang dan kami pun dilempari panah api. Ini tidak lain pasti karena sesuatu telah terjadi. Pergilah ke belahan bumi bagian timur dan barat, telitilah apa yang menghalangi kita dengan berita langit. Mereka pun pergi ke belahan bumi bagian timur dan barat. Sebagian mengambil arah Tihamah dengan tujuan pasar Ukaz (Nabi berada di Nakhl). Saat itu beliau sedang sholat Subuh dengan para sahabat. Mereka mendengar Alquran yang dibaca beliau dan memperhatikannya. Lalu kata mereka: Inilah yang membuat kita terhalang dengan berita langit. Mereka kembali kepada kaum mereka dan berkata: Hai kaumku, Sesungguhnya kami telah mendengar bacaan yang mengagumkan, yang dapat mengantarkan kita kepada kebenaran. Maka aku beriman kepadanya, dan tidak akan menyekutukan Tuhanku dengan siapapun. Maka Allah Taala menurunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. Katakanlah, telah diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok jin telah mendengarkan bacaan Alquran. (Shahih Muslim No.681)



26. Bacaan dalam sholat Zuhur dan Asar

• Hadis riwayat Abu Qatadah ra., ia berkata:

Kami pernah sholat berjamaah dengan Rasulullah saw. Dalam dua rakaat pertama sholat Zuhur dan Asar, beliau membaca Fatihah dan dua buah surat, kadang-kadang memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau memanjangkan rakaat pertama sholat Zuhur dan memperpendek rakaat kedua. Demikian pula dalam sholat Subuh. (Shahih Muslim No.685)



27. Bacaan dalam sholat Subuh

• Hadis riwayat Abu Barzah ra.: ia berkata:

Rasulullah saw. dalam sholat Subuh membaca enam puluh sampai seratus ayat. (Shahih Muslim No.702)



28. Bacaan dalam sholat Isyak

• Hadis riwayat Barra' ra.:

Dari Nabi saw. bahwa dalam suatu perjalanan beliau mengerjakan sholat Isyak. Dalam salah satu dari dua rakaatnya beliau membaca Wat tiini waz zaitun. (Shahih Muslim No.706)

• Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

Muaz pernah sholat bersama Nabi saw. lalu pulang mengimami kaumnya. Pada suatu malam ia sholat Isyak bersama Nabi saw. lalu pulang mengimami kaumnya. Ketika ia mulai dengan membaca surat Al-Baqarah, ada seorang lelaki yang memisahkan diri dari sholat berjamaah sampai salam, selanjutnya mengerjakan sholat sendiri dan pergi. Orang-orang menegurnya: Hai fulan, apakah engkau telah munafik? Ia menjawab: Tidak, demi Allah. Sungguh, aku akan menemui Rasulullah saw. dan memberitahukan hal ini. Setelah bertemu dengan Rasulullah saw., ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah pemilik unta penyiram tanaman, bekerja di siang hari. Sesungguhnya Muaz setelah mengerjakan sholat Isyak bersama Anda lalu pulang dan (sholat bersama kami) mulai dengan bacaan surat Al-Baqarah. Rasulullah saw. menghadap ke arah Muaz dan bersabda: Wahai Muaz, apakah engkau ingin menimbulkan fitnah (kesulitan)? Bacalah (surat) ini dan itu. Sufyan berkata: Aku berkata kepada Amru bahwa Abu Zubair menceritakan kepada kami dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bacalah Was Syamsi wa Dhuhaaha (surat As-Syams), Wadh Dhuhaa (surat Ad-Dhuhaa), Wal laili idza Yaghsyaa (surat Al-Lail) dan Sabbihisma rabbikal a`laa (sutat Al-A`laa), maka Amru menanggapi: Ya, seperti itu. (Shahih Muslim No.709)



29. Perintah kepada imam agar mempercepat sholat sambil menjaga kesempurnaan

• Hadis riwayat Abu Masud Al-Anshari ra., ia berkata:

Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata: Saya terlambat sholat Subuh karena si fulan memperlambat sholatnya saat mengimami kami. Kemudian aku belum pernah melihat Nabi saw. marah dalam memberikan nasehat seperti marahnya beliau (memberikan nasehat) pada hari itu. Beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya di antara engkau ada yang membuat orang lari (jera). Barang siapa di antara kalian menjadi imam, maka hendaklah ia meringkas, sebab di belakangnya ada orang tua, orang lemah dan orang yang punya keperluan. (Shahih Muslim No.713)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam, maka hendaknya ia memperingan sholatnya, karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit. Bila sholat sendirian, maka sholatlah sekehendak hatinya. (Shahih Muslim No.714)

• Hadis riwayat Anas ra.:

Bahwa Nabi saw. meringkas (bacaan) sholat dan menyempurnakannya. (Shahih Muslim No.719)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah mendengar tangis anak kecil bersama ibunya ketika sedang sholat. Maka beliau membaca surat yang ringan atau surat yang pendek. (Shahih Muslim No.722)



30. Keselarasan antara rukun-rukun sholat dan memperingan dengan tetap sempurna

• Hadis riwayat Barra' bin Azib ra., ia berkata:

Aku mengamati sholat Muhammad saw. Aku perhatikan berdirinya, rukuknya, iktidal setelah rukuk, sujudnya, duduk antara dua sujud, sujud kedua, duduk antara salam dan selesai sholat, (aku perhatikan) satu dengan lainnya saling sama. (Shahih Muslim No.724)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Sungguh, aku tidak akan menambah-nambah, aku akan mengimami sholat kalian seperti aku melihat Rasulullah saw. mengimami sholat kami. Tsabit (salah seorang perawi) berkata: Anas telah melakukan sesuatu yang tidak seperti yang kalian lakukan. Ketika ia bangun dari rukuk, ia berdiri tegak hingga orang berkata: Anas telah lupa, dan ketika bangun dari sujud, ia diam (tidak bergerak) sehingga orang bilang: Anas telah lupa. (Shahih Muslim No.726)



31. Mengikuti imam dan bergerak setelah gerakan imam

• Hadis riwayat Barra' ra.:

Bahwa mereka (para sahabat) sholat di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau bangun dari rukuk (dan ingin sujud). aku tidak melihat seorang pun membungkukkan badannya hingga Rasulullah saw. meletakkan dahinya di tanah. Setelah itu para sahabat yang di belakang beliau ikut bersungkur sujud. (Shahih Muslim No.728)



32. Bacaan ketika rukuk dan sujud

• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Adalah Rasulullah saw. dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca: "Subhaanaka allahumma rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfir li" (Maha suci Allah, ya Allah, ya Tuhan kami, dengan segala puji-Mu, ampunilah aku). Beliau menafsirkan perintah Alquran. (Shahih Muslim No.746)



33. Menjelaskan anggota tubuh untuk bersujud, larangan menahan rambut dan pakaian (saat sujud), menjalin rambut ketika sholat

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Nabi saw. diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota badan dan dilarang menutup dahinya dengan rambut dan pakaian. (Shahih Muslim No.755)



34. Meluruskan badan, meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah, mengangkat kedua siku dari lambung dan menjauhkan perut dari kedua paha ketika sujud

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Luruslah kalian dalam sujud dan janganlah seorang kalian melunjurkan kedua lengannya seperti anjing melunjurkan kaki depannya. (Shahih Muslim No.762)



35. Menjelaskan suatu hal yang berhubungan dengan cara sholat

• Hadis riwayat Abdullah bin Malik bin Buhainah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. merenggangkan kedua tangannya ketika sholat hingga tampak putihnya ketiak beliau. (Shahih Muslim No.764)



36. Pembatas orang yang sholat

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Bahwa Rasulullah saw., jika keluar untuk sholat hari raya, beliau minta dibawakan tombak pendek yang kemudian beliau letakkan di depannya. Lalu beliau sholat menghadap tombak itu dan para sahabat berada di belakang beliau. Beliau melakukannya saat sedang dalam perjalanan. (Karena itulah kemudian banyak para pemimpin menggunakan tongkat). (Shahih Muslim No.773)

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Bahwa Nabi saw. biasa menambatkan tunggangan beliau dan beliau sholat menghadap ke arahnya. (Shahih Muslim No.775)

• Hadis riwayat Abu Juhaifah ra., ia berkata:

Aku menemui Nabi saw. di Mekah. Saat itu beliau berada di Abthah (nama tempat) di dalam kemah yang terbuat dari kulit samakan milik beliau. Kemudian Bilal keluar membawa air wudu beliau. Ada orang yang mendapat air itu sedikit dan ada pula yang hanya diperciki oleh lainnya. Nabi saw. keluar dengan memakai pakaian merah, nampaknya aku dapat melihat betis beliau yang putih. Beliau berwudu dan Bilal mengumandangkan azan. Aku memperhatikan mulutnya bergerak kesana kemari ke kanan dan ke kiri, ia membaca: "Hayya `alas shalah, hayya `alal falah", (Marilah mengerjakan sholat, marilah menuju kemenangan). Sebatang tombak pendek ditancapkan untuk Nabi. Beliau melangkah maju dan mengerjakan sholat Zuhur (diqasar) dua rakaat. Keledai dan anjing lewat di depan beliau tanpa dicegah. Selanjutnya beliau mengerjakan sholat Asar (diqasar) dua rakaat. Demikian kemudian beliau tak henti-hentinya mengerjakan sholat dua rakaat hingga kembali ke Madinah. (Shahih Muslim No.777)

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Aku datang dengan naik keledai betina. Saat itu aku hampir usia balig. Rasulullah saw. mengimami sholat para sahabat di Mina, lalu aku lewat di depan barisan, lalu aku pulang dan kubiarkan keledaiku merumput, dan aku masuk ke barisan sholat. Tidak ada seorang pun yang mencela perbuatanku itu. (Shahih Muslim No.780)


37. Melarang orang lewat di depan orang yang sedang sholat

• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila salah seorang di antara kalian sedang sholat, janganlah ia membiarkan seorang pun lewat di depannya, dan hendaklah ia mencegahnya semampunya. Bila ia tidak peduli, perangilah karena sesungguhnya ia adalah setan. (Shahih Muslim No.782 )

• Hadis riwayat Abu Juhaim ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Seandainya orang yang lewat di depan tempat sholat itu mengetahui betapa besar dosanya, pasti ia berdiri selama lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang sholat Abu Nadher berkata: Aku tidak tahu, apakah ia mengatakan hari atau bulan atau tahun. (Shahih Muslim No.785)



38. Orang yang sholat sebaiknya mendekatkan pembatas

• Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra., ia berkata:

Jarak tempat sholat Nabi saw. dan dinding seukuran jalan lewat kambing. (Shahih Muslim No.786)

• Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra.:

Bahwa ia memilih tempat mushaf lalu mengerjakan sholat di sana. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. selalu memilih tempat tersebut. Jarak antara mimbar dan kiblat kira-kira cukup untuk lewat kambing. (Shahih Muslim No.787)



39. Melintang di depan orang sholat

• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Bahwa Nabi saw. pernah sholat di tengah malam, sedangkan aku tidur melintang di antara beliau dan kiblat seperti melintangnya jenazah. (Shahih Muslim No.791)

• Hadis riwayat Maimunah ra., istri Nabi saw. ia berkata:

Rasulullah saw. pernah sholat dan aku (berada) dekat beliau dalam keadaan haid. Kadang-kadang pakaian beliau mengenai tubuhku saat sujud. (Shahih Muslim No.797)



40. Sholat dengan selembar pakaian dan cara pemakaiannya

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sholat dengan selembar pakaian. Beliau menjawab: Bukankah tiap engkau punya dua lembar pakaian. (Shahih Muslim No.799)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang dari kalian mengerjakan sholat dengan memakai selembar pakaian yang tidak sedikit pun menutupi kedua pundaknya. (Shahih Muslim No.801)

• Hadis riwayat Umar bin Abu Salamah ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah sholat di rumah Ummu Salamah dengan satu lembar pakaian untuk menutupi seluruh tubuhnya (seperti selimut), kedua ujungnya diletakkan di atas pundak beliau. (Shahih Muslim No.802)

• Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah saw. sholat dengan berselimutkan selembar pakaian di tubuh beliau. (Shahih Muslim No.805)



Sumber


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda