Tampilkan postingan dengan label Adab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adab. Tampilkan semua postingan

Senin, 22 Juli 2013

Disunnahkan Berpakaian dengan Pakaian Penduduk Negerinya

 "Disunnahkan Berpakaian dengan Pakaian Penduduk Negerinya"

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَلْبَسَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثَوْبًا مِثْلَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian syuhrah, niscaya Allah akan memakaikan kepadanya pakaian semisal pada hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4029, Ibnu Maajah no. 3606-3607, dan yang lainnya; shahih].

Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].

Beberapa ulama menjelaskan bahwa diantara syuhrah yang dilarang dalam hadits adalah menyelisihi pakaian penduduk negerinya tanpa ‘udzur.

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: ” أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ “
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].

Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة
“Yang seharusnya dilakukan seseorang adalah ia berpakaian di setiap masa dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebut sepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah” [Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 17/144 – via Syamilah].

Al-Mardawiy rahimahullah berkata:
يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].

As-Safaariiniy rahimahullah berkata:
ونص الإمام أحمد رضي الله عنه على أنه لا يحرم ثوب الشهرة ، فإنه رأى رجلا لابسا بردا مخططا بياضا وسوادا ، فقال : ضع هذا ، والبس لباس أهل بلدك ، وقال : ليس هو بحرام ، ولو كنت بمكة ، أو المدينة لم أعب عليك . قال الناظم رحمه الله : لأنه لباسهم هناك
“Dan Al-Imaam Ahmad radliyallaahu ‘anhu bahwa beliau tidak mengharamkan pakaian syuhrah.[1] Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang memakai kain dengan motif garis-garis putih dan hitam, lalu berkata : “Lepaskanlah kain ini dan pakaialah pakaian penduduk negerimu”. Beliau kembali berkata : “Memakainya tidaklah haram. Seandainya engkau berada di Makkah atau di Madiinah, maka tidak mengapa engkau memakainya”. An-Naadhim (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdil-Qawiy Al-Mardawiy Al-Hanbaliy) rahimahullah berkata : “Karena ia merupakan pakaian mereka di sana” [Ghidzaaul-Albaab, 2/126].

أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام
“Dibenci baginya memakai pakaian yang bukan model pakaian (penduduk) negerinya tanpa ‘udzur, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imaam (Ahmad)” [idem, 2/182].

Ibnul-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة
“Bahwasannya mencocoki kebiasaan yang tidak mengandung keharaman merupakan sunnah, karena penyelisihan terhadap kebiasaan menjadikannya syuhrah. Dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang pakaian syuhrah” [Asy-Syarhul-Mumti’, 6/67 – via Syamilah].
Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri adalah tidak mengandung keharaman.[2]

Berkenaan dengan penjelasan para ulama di atas, maka nampaklah kekeliruan sebagian saudara kita yang melarang dan membenci berpakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri kita, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Kesesuaian pakaian dengan pakaian penduduk Saudi[3] atau Pakistan[4] dipandang sebagai bentuk kesesuaian terhadap Islam dan/atau manhaj salaf. Bahkan yang dianjurkan adalah berpakaian dengan pakaian penduduk negeri kita, seperti misal : kemeja, batik, sarung, songkok, celana panjang, kaos, dan yang lainnya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur syari’at. Jika memang mengandung keharaman, maka kita dapat memodifikasinya agar sesuai dengan syari’at. Misalnya : celana/pantalon kita buat lebih longgar dan kita potong di atas mata kaki, motif batik kita pilih yang soft dan tidak bergambar makhluk hidup, kaos kita pilih yang longgar dan lebih tebal, dan yang lainnya.[5]

Berikut ada penjelasan menarik dari Al-Ustadz Muhammad Arifin Badri hafidhahullah terkait tema[6] :

Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.

[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 22051434/02042013 – 20:34].
Silakan baca artikel terkait : Siapa Bilang Peci Hitam Dilarang ? dan Seragam Salafiy.
[1] Pembahasan hukum pakaian syuhrah perlu pembahasan tersendiri, karena sebagian ulama berpendapat haram sesuai dhahir hadits yang dibawakan di awal artikel.
[2] Seperti misal : menampakkan aurat, tipis/transparan, isbaal, bergambar makhluk hidup, dan yang lainnya.
[3] Seperti model berikut :jubah saudi
[4] Seperti model berikut :baju pakistan

[5] Pun seandainya rekan-rekan ingin tetap mengenakan pakaian gamis model Saudi atau Pakistan, sangat dipersilakan jika memang di tempat antum pakaian tersebut tidak dianggap asing. Hanya saja menjadi aneh ketika ada sebagian rekan yang terlalu ofensif dalam mengkritik orang yang tidak berpakaian seperti dirinya dan mencapnya sebagai kelompok Sururiy yang ‘terlalu ingin’ dakwahnya diterima masyarakat.

[6] Sayangnya, penjelasan beliau yang begitu jelas ini pun mesti disalahpahami sebagian orang yang salah paham, baik dengan sengaja ataupun tidak disengaja. Mereka katakan bahwa beliau telah mencela sebagian ikhwan yang memakai gamis panjang dan mengatakan telah tasyabbuh dengan Amitab Bachan, selebriti Hindustan. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Coba perhatikan baik-baik, dengar pelan-pelan, dan kalau perlu diulang 10 kali ulangan.

وكم من عائب قولا صحيحا و آفته من الفهم السقيم
“Betapa banyak orang yang mencela perkataan yang benar
dan sebabnya adalah pemahaman yang salah/buruk”.

disalin Oleh DS dari :http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/04/disunnahkan-berpakaian-dengan-pakaian.html
http://www.radioassunnah.com

Senin, 17 Juni 2013

Mengenai Hukum Isbal

Mengenai Hukum Isbal

السؤال:
فضيلة الشيخ ما حكم الإسبال و هل يدخل في البنطال و هل صحيح أن الجمهور على جوازه أو كراهته لغير خيلاء وجزاكم الله
خيرا؟

Syeikh Kholid al Mushlih mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apa hukum isbal? Adakah isbal dalam celana panjang? Apa benar bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa isbal tanpa niat sombong itu hukumnya mubah atau makruh?”
الجواب:
بسم الله الرحمن الرحيم

الإسبال في اللغة هو إرسال الشيء من علو إلى أسفل والمراد به هنا إطالة الثياب وإرخاؤها
Jawaban Syeikh Kholid al Mushlih, “Dalam bahasa Arab isbal artinya adalah menjulurkan sesuatu dari atas ke bawah. Sedangkan yang dimaksud dengan isbal dalam hal ini adalah memanjangkan dan menjulurkan kain.
وقد جاءت النصوص فيه على نحوين:
Dalil seputar masalah ini ada dua jenis.
الأول: ما جاء فيه تحريم الإسبال خيلاء وبطراً.

Pertama, mengharamkan isbal jika karena kesombongan.

ومنها ما في البخاري ( 5784) ومسلم (2085) من حديث ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة)).
Di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari no 5784 dan Muslim no 2085 dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang menyeret kainnya (baca: isbal) karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”.
وكذلك ما رواه البخاري (3485) وغيره عن ابن عمر رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: بينما رجل يجر إزاره من الخيلاء خسف به فهو يتجلجل في الأرض إلى يوم القيامة.
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari no 3485 dan lainnya dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang lelaki yang kainnya terseret di tanah karena kesombongan, Allah menenggelamkannya ke dalam bumi . dia kejel-kejel (meronta karena tersiksa) di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”.
وكذلك مافي البخاري ( 5788) ومسلم ( 2087) من حديث أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((لا ينظر الله يوم القيامة إلى من جر إزاره بطراً)).

Demikian pula diriwayatkan oleh Bukhari no 5788 dan Muslim no 2087 dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong”.

الثاني: ما جاء فيه تحريم الإسبال مطلقاً من غير تقييد بخيلاء أو بطر.

Kedua, hadits-hadits yang mengharamkan isbal secara mutlak baik karena sombong ataupun tidak.

ومن ذلك ما في البخاري (5787) من حديث أبي هريرة رضي الله عنه قال: ((ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار))

Diriwayatkan oleh Bukhari no 5787 dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kain yang letaknya di bawah mata kaki itu letakannya adalah neraka”.

ومنها ما في مسلم (106) من حديث أبي ذر قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب أليم المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب))

Diriwayatkan oleh Muslim no 106 dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga jenis manusia yang tidak akan Allah ajak bicara pada hari Kiamat, tidak Allah pandang, tidak akan Allah sucikan dan untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan barang dagangannya dengan sumpah palsu”.

ولما وردت النصوص على هذين الوجهين اختلف أهل العلم في حكم الإسبال من غير خيلاء.
Dikarenakan ada dua jenis dalil dalam masalah ini maka para ulama berselisih pendapat tentang hukum isbal bagi laki-laki bukan karena hendak menyombongkan diri.


فذهب جمهور العلماء من المالكية(1)، والشافعية(2)، والحنابلة(3) وغيرهم إلى أن المحرم من الإسبال ما كان للخيلاء والبطر

Mayoritas ulama baik yang bermazhab Maliki (sebagaimana dalam Muntaqa al Baji 7/226 dan al Fawakih ad Dawani 2/310), bermazhab Syafii (sebagaimana dalam Asna al Mathalib 1/278 dan al Majmu Syarh al Muhadzab 4/338) dan Hanabilah (sebagaimana dalam Kasysyaf al Qona’ 1/277 dan Mathalib Ulin Nuha 1/348) serta yang lainnya berpendapat bahwa isbal yang haram adalah isbal karena motivasi kesombongan.

أما ما كان لغير ذلك فمنهم من قال بكراهته ومنهم من قال بإباحته وحملوا ما ورد النهي فيه عن الإسبال مطلقاً على المقيد،

Sedangkan isbal bukan karena kesombongan maka sebagian dari jumhur ulama mengatakan bahwa hukumnya adalah makruh. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa hukumnya adalah mubah karena larangan isbal yang bersifat mutlak mereka bawa kepada larangan yang bersyarat.

قال شيخ الإسلام في شرح العمدة (ص 366): ” ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء فيحمل المطلق عليه وما سوى ذلك فهو باق على الإباحة وأحاديث النهي مبنية على الغالب والمظنة ”

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam syarah beliau untuk kitab Umdah al Fiqh hal 366 mengatakan, “Mengingat bahwa mayoritas dalil itu melarang isbal jika dengan kesombongan maka dalil yang melarang isbal secara mutlak itu kita maknai dengan isbal karena kesombongan. Sehingga isbal yang tanpa dorongan kesombongan itu tetap bertahan pada hukum asal berpakaian yaitu mubah. Jadi hadits-hadits yang melarang isbal itu didasari pertimbangan bahwa mayoritas lelaki yang isbal itu dikarenakan dorongan kesombongan”.

واحتج هؤلاء بقول النبي صلى الله عليه وسلم لأبي بكر لما قال يا رسول الله إن احد شقي إزاري يسترخي إلا أني أتعاهد ذلك فقال النبي صلى الله عليه وسلم: ((لست ممن يصنعه خيلاء))
Mereka memiliki dua alasan. Yang pertama adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu Bakr, “Engkau bukanlah termasuk orang yang melakukan isbal karena kesombongan”. Demikian tanggapan Nabi atas ucapan Abu Bakr, “Salah satu sisi sarungku itu melotrok/melorot kecuali jika aku perhatikan dengan seksama”.
وكذلك ما جاء أن ابن مسعود رضي الله عنه كان يسبل إزاره فلما قيل له في ذلك قال: “إن لساقي حموشة، وأنا أؤم الناس”. رواه ابن أبي شيبة وقال عنه الحافظ ابن حجر في الفتح (10/264): بسند جيد.

Alasan kedua adalah mengingat bahwa sahabat Ibnu Mas’ud itu menjulurkan sarungnya hingga melewati mata kaki. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada beliau, beliau mengatakan,

Sesungguhnya kedua betisku itu terlalu kecil (baca:tidak normal) sedangkan aku adalah imam masjid”. Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Dalam Fathul Bari 10/264 AlHafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa derajat riwayat di atas adalah jayyid atau baik.


وذهب جماعة من العلماء إلى أن الإسبال محرم مطلقاً سواء كان للخيلاء أو لغير الخيلاء عملاً بالمقيد والمطلق من النصوص

Di sisi lain sejumlah ulama berpendapat bahwa hukum isbal itu haram secara mutlak baik karena dorongan kesombongan atau pun tanpa niat menyombongkan diri. Ini dilakukan dalam rangka mengamalkan semua dalil yang ada baik yang melarang isbal tanpa syarat maupun dalil yang melarang isbal jika karena kesombongan.

والذي يظهر لي أن ما ذهب إليه الجمهور أقرب للصواب.

Menurutku, pendapat mayoritas ulama itu yang lebih mendekati kebenaran.

وما جاء من النصوص في الإسبال لا يختص الإزار بل يشمل كل ما يلبس الإنسان من الثياب

Dalil yang melarang isbal itu tidak hanya berlaku untuk sarung namun mencakup semua jenis kain yang dipakai oleh seseorang.

ويشهد لهذا أن محارب بن دثار راوي حديث ابن عمر “من جر ثوبه مخيلة لم ينظر الله إليه يوم القيامة” سأله شعبة كما في صحيح البخاري (5791): أذكر إزاره؟ قال محارب: ما خص إزاراً ولا قميصاً.

Dali pernyataan di atas adalah pernyataan Muharib bin Ditsar, perawi hadits Ibnu Umar, ‘Barang siapa yang menyeret kainnya karena sombong maka Allah tidak akan memandangnya pada hari Kiamat”. Sebagaimana dalam Sahih Bukhari no 5791, Muharib ditanya oleh Syu’bah, “Apakah Nabi menyebut-nyebut sarung?” Muharib mengatakan, “Larangan isbal itu tidak hanya khusus untuk sarung, tidak pula gamis atau jubah”.

فأفاد ذلك بأن التعبير بالثوب يشمل الإزار وغيره.

Pernyataan Muharib di atas menunjukkan bahwa larangan isbal untuk tsaub atau pakaian itu mencakup sarung dan lainnya.

وقد جاء في ذلك عدة أحاديث منها ما رواه أصحاب السنن: أبو داود والنسائي وابن ماجه من حديث ابن عمر مرفوعاً: ” الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر شيئاً خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة ”

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan benarnya pernyataan di atas. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Isbal itu bisa terjadi pada sarung, gamis dan sorban. Siapa saja yang isbal karena sombong maka Allah tidak akan memandanginya pada hari Kiamat nanti”.

وهو من رواية عبدالعزيز بن أبي رواد عن سالم عن أبيه وفي عبدالعزيز مقال كما قال الحافظ في الفتح (10/262) وقد استغربه
أبوبكر بن أبي شيبة وقد حسن الحديث النووي

Hadits di atas diriwayatkan oleh Abdul Aziz bin Abi Rawwad dari Salim dari ayahnya. Ada pembicaraan pada diri Abdul Aziz sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/262. Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah menilai hadits di atas sebagai hadits yang gharib. Namun hadits di atas dinilai hasan oleh Nawawi.

وروى أبوداود عن ابن عمر موقوفاً عليه. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم في الإزار فهو في القميص

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Ibnu Umar, beliau mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang isbal dalam sarung. Itu juga berlaku untuk gamis atau jubah”.

وقد نقل الحافظ ابن حجر عن الطبري أن ذكر الإزار مبني على أنه غالب لباسهم فلما لبس الناس القميص والدراريع كان حكمها حكم الإزار في النهي
Al Hafiz Ibnu Hajar menukil penjelasan ath Thabari. Ath Thabari mengatakan bahwa disebutkannya izar atau sejenis sarung dalam hadits tentang larangan isbal itu dikarenakan izar adalah jenis pakaian yang paling dominan pada zaman Nabi. Ketika umumnya orang memakai jubah maka larangan isbal untuk izar juga berlaku untuk jubah.

قال ابن بطال: هذا قياس صحيح لو لم يأت النص بالثوب فإنه يشمل جميع ذلك

Ibnu Batthal mengatakan, “Menganalogkan jubah dengan izar adalah analog yang benar. Seandainya tidak ada riwayat khusus yang menegaskannya maka kata-kata tsaub atau kain itu mencakup semua jenis pakaian.

قال في الفروع عن إطالة ذؤابة العمامة (1/356): قال شيخنا يعني شيخ الإسلام ابن تيمية: إطالتها كثيراً من الإسبال.

Dalam kitab al Furu’ 1/356 saat membahas panjang ekor sorban penulisnya mengatakan, “Guru kami yaitu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ekor sorban yang terlalu panjang itu termasuk isbal yang terlarang.

وعلى هذا فإسبال البنطال من ذلك. والله أعلم.

Berdasarkan penjelasan di atas maka ada isbal untuk celana panjang”.
أخوكم/
خالد بن عبدالله المصلح
17/12/1424 هـ
________________________________________
(1) المنتقى للباجي 7/226، الفواكه الدواني 2/310.
(2) أسنى المطالب 1/278، المجموع شرح الهذب 4/338.
(3) كشاف القناع 1/277، مطالب أولي النهى 1/348.
Demikian fatwa Syeikh Kholid al Mushlih, menantu Syeikh Ibnu Utsaimin, yang beliau sampaikan pada tanggal 17 Dzulhijjah 1424 H.
Sumber:
http://www.almosleh.com/almosleh/article_839.shtml
Petikan Pelajaran:
1. Ternyata pendapat yang mengatakan tidak haramnya isbal bagi laki-laki jika tanpa kesombongan adalah pendapat mayoritas ulama. Ulama salaf yang berpendapat dengan pendapat ini adalah salah seorang ulama besar di kalangan para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud. Sehingga kita wajib menghormati orang yang mengambil pendapat ini karena menilainya sebagai pendapat yang kuat ketika kita memilih pendapat yang lain.
2. Ternyata ada ulama yang berpendapat bahwa isbal tanpa niatan kesombongan itu hukumnya mubah.
3. Tidak benarlah menjadikan isbal atau tidak sebagaimana tolak ukur ahli sunah ataukah bukan. Jadi mungkin saja terjadi ada seorang ahli sunah yang melakukan isbal, boleh jadi karena tidak tahu akan terlarangnya isbal atau karena pendapat yang tidak mengharamkannya isbal tanpa niat kesombongan menurutnya lebih kuat dari sisi dalil. Bahkan meski dia meyakini bahwa isbal itu haram secara mutlak namun dia tidak mengamalkannya, hal ini tidaklah mengeluarkannya dari ahli sunnah karena person ahli sunnah tidaklah maksum dari dosa dan maksiat.
4. Termasuk isbal karena sombong adalah orang yang melakukan isbal dengan anggapan bahwa dirinya itu lebih baik dari pada yang tidak isbal karena yang melakukan isbal dia yakini sebagai orang yang sesat, teroris atau semisalnya. Ingat sombong adalah menolak kebenaran atau merendahkan atau menganggap diri lebih baik dari pada orang lain.
5. Orang yang memilih pendapat yang ‘enak’ dalam masalah isbal karena cocok dengan nafsunya bukan karena pertimbangan kekuatan dalil adalah orang yang taat kepada nafsu, bukan taat kepada Allah dan rasul-Nya.
6. Saya pribadi cenderung kepada pendapat yang mengaharamkan isbal secara mutlak meski tanpa sombong. Inilah pendapat yang lebih kuat dan lebih hati-hati. Betapa bagus buku karya Syeikh al Walis Saifun Nashr, murid al Albani yang telah mengumpulkan hadits-hadits yang menunjukkan haramnya isbal meski tanpa sombong. Buku beliau telah diterjemahkan dan telah diterbitkan oleh pustaka Tibyan, Solo.
Artikel www.ustadzaris.com

Postingan Lama Beranda