Sabtu, 29 Juni 2013

Penjabaran Makna Nama Allah Azza Wa Jalla Al-Karîm

Penjabaran Makna Nama Allah Azza Wa Jalla Al-Karîm

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM


Oleh
Ustadz Ali Musri Semjan Putra



MAKNA AL-KARIM DARI TINJAUAN BAHASA
Berikut ini beberapa penjelasan para ulama pakar bahasa Arab mengenai makna al-Karîm:

Ibnu Fâris rahimahullah menyebut bahwa asal kata karom (bentuk noun kata al-Karîm) menunjukkan dua makna, salah satunya adalah kemuliaan[1].

Ibnu Qutaibah rahimahullah berkata, "al-Karîm artinya pemaaf. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm yang memaafkan dosa para hamba-Nya yang beriman"[2].

Al-Azhari rahimahullah mengartikannya dengan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Maknanya, yaitu dzat yang sangat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah, pemberi nikmat dan keutamaan". al-Karîm adalah nama yang mencakup segala sifat yang terpuji. Allah Azza wa Jalla adalah al-Karîm (Maha Mulia) amat terpuji segala perpuatan-Nya.[3]

Ibnu Manzhûr rahimahullah menjelaskan: " al-Karîm salah satu dari sifat Allah Azza wa Jalla dan nama-Nya. Yakni dzat yang amat banyak memiliki kebaikan, amat pemurah lagi pemberi. Pemberian-Nya tidak pernah habis. Dia-lah Dzat Yang Maha Mulia secara mutlak. al-Karîm adalah nama mencakup segala kebaikan, kemuliaan dan keutamaan. Nama ini juga menghimpun segala hal yang terpuji. Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Mulia) artinya amat terpuji dalam segala perpuatan-Nya, Rabb yang memiliki 'Arsy yang mulia lagi agung"[4].

PENJABARAN MAKNA NAMA ALLAH AL-KARIM
Jika kita mencermati nama al-Karîm dalam al-Qur'ân, nama Allah Azza wa Jalla yang mulia ini terulang sebanyak dua kali. Pertama, dalam surat an-Naml/27:40:

فَلَمَّا رَآَهُ مُسْتَقِرًّا عِنْدَهُ قَالَ هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

"Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: "Ini termasuk karunia Rabbku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Rabbku Maha Kaya lagi Maha Mulia".

Tempat kedua, dalam surat al-Infithâr/82:6: Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ

"Hai manusia, apa yang telah memperdaya kamu (berbuat durhaka) terhadap Rabbmu Yang Maha Pemurah".

Pada ayat surat an-Naml di atas, Allah Azza wa Jalla menceritakan tentang perkataan Nabi Sulaiman Alaihissalam saat beliau menyaksikan wujud istana ratu Balqis di hadapannya. Pemberian Allah Azza wa Jalla tersebut dinilai oleh Nabi Sulaiman guna menguji rasa syukurnya pada Allah Azza wa Jalla atas segala nikmat yang diberikan kepadanya. Lalu, ayat ini ditutup dengan dua nama Allah Azza wa Jalla yang mulia al-Ghani (Maha Kaya) dan al-Karîm (Maha Mulia). Kedua nama ini sangat erat dengan konteks awal ayat tersebut. Siapa saja yang mau bersyukur, sikap tersebut tidak akan menambah kekayaan Allah Azza wa Jalla karena Allah Maha Kaya. Sebaliknya, barangsiapa yang tidak mau bersyukur tidak akan mengurangi kekayaan Allah Azza wa Jalla. Demikian pula, barangsiapa yang bersyukur akan mendapat balasan dari al-Karîm (Yang Maha Pemurah) balasan yang berlipat ganda. Dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Allah Azza wa jalla tetap senantiasa memberi rezeki bagi mereka. Hal ini seperti termaktub dalam firman Allah:

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

"Jika kamu kafir maka sesungguhnya AllahMaha Kaya darimu (tidak memerlukanmu) dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi para hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai kesyukuran itu bagimu" [az-Zumar/39:7]

Barangsiapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa mengingkari (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kaya lagi Maha Mulia. Allah Azza wa Jalla memberi bukan karena membutuhkan makhluk tapi karena Allah Azza wa Jalla mempunyai nama al-Karîm (Maha Pemurah).

Adapun pada ayat surat al-Infithâr, Allah Azza wa Jalla bertanya kepada manusia, apa yang membuat mereka teperdaya untuk selalu berbuat durhaka kepada Allah Azza wa Jalla. Padahal, Allah Azza wa Jalla senantiasa mencurahkan berbagai nikmat dan rahmat bagi mereka. Karena Allah bersifat Maha Pemurah terhadap seluruh manusia. Tidaklah pantas manusia berlaku demikian, karena Allah al-Karîm (pemurah) terhadap mereka.

Al-Karîm adalah yang mulia dalam segala hal, yang amat banyak pemberian dan kebaikannya, baik ketika diminta maupun tidak. Nama al-Karîm menunjukkan kesempurnaan kemuliaan Allah Azza wa Jalla dalam zat dan segala sifat serta perbuatan-Nya:

1. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam dzat-Nya. Tidak ada cacat sedikit pun dalam dzat Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya dzat Allah k Maha Indah.

2. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia dalam segala sifat-Nya. Tidak ada sifat jelek pun pada Allah k . Sesungguhnya sifat-sifat Allah amat sempurna dalam segala maknanya.

3. Allah Azza wa Jalla juga Maha Mulia dalam segala perbuatannya. Tidak ada cacat dalam perbuatan Allah Azza wa Jalla. Sesungguhnya segala perbuatan Allah Azza wa Jalla penuh dengan berbagai hikmah yang luas.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, "Nama Allah al-Karîm mencakup makna kedermawanan, juga makna kemuliaan dan keluhuran, serta bermakna kelembutan dan memberi kebaikan" [5].

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, "Secara global, makna al-Karîm adalah dzat yang suka memberi kebaikan yang banyak dengan amat mudah dan gampang. Lawannya, orang pelit yang amat sulit dan jarang mengeluarkan kebaikan "[6].

Diantara makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla berbuat baik kepada seluruh makhluk tanpa sebuah kewajiban yang mesti mereka kerjakan. Semua kebaikan yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada makhluk adalah semata-mata atas kemurahan-Nya kepada para makhluk.

Kemudian, sebagai (cermin) sifat karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memaafkan sesuatu hak yang wajib diserahkan kepada-Nya. Allah Azza wa Jalla memaafkan dosa para hamba yang lalai dalam menunaikan kewajiban kepada Allah. Karena nama Allah al-Karîm beriringan dengan nama Allah al-'Afuww (Maha Pemberi Maaf), seperti tertuang dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari 'Aisyah radhiallahu 'anha , ia berkata: "Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika seandainya aku mengetahui malam Lailatul Qadar, apa yang aku ucapkan?" Beliau bersabda: "Ucapkanlah: Ya Allah sesungguhnya engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia, Engkau mencintai sifat pemaaf, maka ampunilah aku". [HR. at-Tirmidzi 5/534, dan dishahîhkan al-Albâni]

Disamping itu, jika seseorang bertaubat dari kesalahannya, Allah Azza wa Jalla menghapus dosanya dan menggantikan kesalahan tersebut dengan kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

"Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha Penyayang" [al-Furqân/25:70]

Begitu juga, sebagai cermin karom-Nya, Allah Azza wa Jalla senantiasa memberi, tanpa pernah terhenti pemberian-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَلَمْ تَرَوْا أَنَّ اللَّهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَأَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهُ ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً

"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin" [Luqmân/31:20]

Demikian pula sebagai bentuk karom-Nya, Allah Azza wa Jalla memberi nikmat dari semenjak pertama meskipun tanpa diminta. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لَا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

"Dan berapa banyak binatang yang tidak membawa rezkinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". [al-'Ankabût/29:60]

Sebagai cermin sifat karom-Nya yang lain, Allah Azza wa Jalla memberi berbagai kebaikan tanpa mengharap pamrih, karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah secara mutlak. Allah Azza wa Jalla berfirman:

مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

"Aku tidak menghendaki rezki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh". [Adz-Dzâriyât/51:57-58]

Termasuk pula dalam makna al-Karîm, Allah Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk meminta kepada-Nya dan berjanji akan memperkenankan permintaan mereka. Bahkan memberitakan mengenai pemberian lain diluar permintaan mereka tersebut. Sebaliknya, akan marah kepada orang yang tidak berdoa kepada-Nya. Karena Allah itu Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabbmu berfirman, "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." [Ghâfir/40:60]

Jadi intinya, pengertian nama al-Karîm adalah yang memiliki segala macam kebaikan dan kemuliaan serta keutamaan[7].

ALLAH AZZA WA JALLA MENAMAKAN AL-QUR'AN DENGAN NAMA AL-KARIM
Allah Azza wa Jalla menyebutkan bahwa kitab suci al-Qur'ân kalamullah adalah kitab yang Karîm (mulia). Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ

"Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia" [al-Wâqi'ah/56:77]

Dijelaskan oleh para ulama, alasannya karena al-Qur'ân adalah kalâmullah (perkataan Allah Azza wa Jalla), mengandung kebaikan yang begitu banyak. Di dalamnya terdapat petunjuk yang lurus, keterangan yang jelas, ilmu yang berguna dan hikmah yang banyak [8]. Segala kebaikan terjamin dengan menjalankan isi Al Quran tersebut.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, "Allah Azza wa Jalla menyebutkan sifat al-Qur'ân dengan sesuatu yang menunjukkan keindahan, limpahan kebaikan juga manfaat serta keagungannya. Karena al-Karîm adalah sesuatu yang sarat dengan kebaikan yang amat banyak lagi agung manfaatnya. Dan al-Qur`ân sendiri, ditinjau dari segala segi merupakan yang terbaik dan paling afdhal. Maka, Allah Azza wa Jalla mensifati diri-Nya dengan sifat al-Karam (kemuliaan) serta mensifati kalam dan 'Arasy-Nya dengan sifat karam pula. Dan juga memberikan sifat tersebut sesuatu yang banyak kebaikannya dan indah bentuknya..."

Al-Azhari rahimahullah berkata, "Al Qur'ân disebut al-Karîm karena kandungannya akan berbagai petunjuk, penjelasan, ilmu dan hikmah" [9].

Al Qur'ân yang mulia ini dibawa oleh malikat yang mulia pula yaitu Jibril Alaihissalam, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Qur'ân itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril)" [at-Takwîr/81:19].

Kemudian Al Qur'ân yang mulia tersebut disampaikan oleh malaikat yang mulia kepada rasul yang mulia pula, Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ

"Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia.." [al-Hâqqah/69:40]

Berdasar ayat di atas, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disebut sebagai utusan yang karîm (mulia) karena Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang mulia, membawa kitab yang mulia, mengajak manusia kepada segala hal yang mulia, baik dalam hal keyakinan maupun amalan.

Demikian pula, 'Arsy Allah Azza wa Jalla adalah makhluk yang mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ

"Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Rabb (Yang memiliki) 'Arsy yang mulia.". [al-Mukminûn/23:116]

Karena 'Arsy merupakan makhluk yang paling besar dan paling tinggi di atas seluruh makhluk. Segala kemuliaan yang terdapat pada makhluk adalah atas pemberian Allah Azza wa Jalla Yang Maha Mulia. Hal tersebut menunjukkan akan kemulian makhluk tersebut di sisi Allah, melebihi makhluk-makhluk lainnya.

Surga yang dipenuhi berbagai macam kenikmatan, segala nikmat yang terdapat di dalamnya melebihi segala apa yang ada di dunia. Yang disediakan bagi orang-orang yang memiliki sifat mulia. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلًا كَرِيمًا

"Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)". [an-Nisâ/4:31]

BEBERAPA PELAJARAN YANG DAPAT KITA AMBIL MELALUI NAMA ALLAH AZZA WA JALLA AL-KARIM
Selanjutnya, berikut ini beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari mengetahui dan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm. Perkara ini merupakan tujuan yang sesungguhnya bagi seorang muslim ketika memahami nama-nama Allah Azza wa Jalla tersebut. Agar nama al-Karîm benar-benar memberikan pengaruh positif bagi peningkatan iman dan perbaikan ibadah dan akhlak seorang muslim dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memahami makna nama Allah Azza wa Jalla al-Karîm akan menumbuhkan sifat-sifat yang mulia dalam diri seorang muslim, diantaranya:

1. Menanamkan sifat mulia dalam diri seorang muslim, karena Allah Maha Mulia dan mencintai orang yang bersifat mulia.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, "Makhluk yang paling dicintai Allah Azza wa Jalla adalah orang yang mampu menghiasi diri dengan sifat yang merupakan penjabaran dari sifat-sifat Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla Maha Mulia makam Dia Azza wa Jalla mencintai orang yang memiliki sifat mulia dari para hamba-Nya"[10] .

2. Menanamkan sifat pemurah dalam diri seorang muslim. Karena diantara makna al-Karîm adalah Maha Pemurah. Tentu Allah Azza wa Jalla amat mencintai orang yang bersifat pemurah. Dan Allah Azza wa Jalla membenci orang yang bersifat kikir. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هَا أَنْتُمْ هَؤُلَاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّمَا يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْمًا غَيْرَكُمْ ثُمَّ لَا يَكُونُوا أَمْثَالَكُمْ

"Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini". [Muhammad/47:38]

3. Menumbuhkan rasa cinta yang dalam pada diri seorang muslim kepada Allah Azza wa Jalla . Karena Allah Azza wa Jalla bersifat Maha Pemurah. Allah Azza wa Jalla memberi nikmat tanpa batas kepadanya meskipun tanpa diminta.

4. Wajibnya memuliakan kitab Allah Azza wa Jalla, al-Qur'ânul Karîm. Karena, al-Qur'ân adalah kalam Allah Azza wa Jalla yang mulia, yang diturunkan melalui perantara malaikat yang mulia kepada Rasul yang mulia.

5. Wajibnya memuliakan malaikat-malaikat Allah Azza wa Jalla, diantaranya malaikat Jibril. Barang siapa yang membencinya, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman :

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِلَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَرُسُلِهِ وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللَّهَ عَدُوٌّ لِلْكَافِرِينَ

"Barang siapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir". [al-Baqarah/2:98]

6. Wajibnya mencintai para rasul Allah Azza wa Jalla. Barangsiapa yang membenci salah seorang diantara mereka, maka ia adalah musuh Allah Azza wa Jalla, sesuai dengan kandungan ayat di atas.

7. Menumbuhkan sifat suka memuliakan tetangga dan tamu, sesuai anjuran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

8. Menumbuhkan sifat suka pemaaf, karena Allah Azza wa Jalla menyukai sifat pemaaf.

9. Mendorong kita untuk selalu berdoa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena Allah Azza wa Jalla Maha Pemurah terhadap hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla malu mengembalikan tangan hamba yang diangkat saat berdoa dalam keadaan kosong. Karena nama Allah al-Karîm bergandengan dengan nama Allah Azza wa Jalla al-Hayiyyu sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ.

"Sesungguhnya Allah Maha Malu lagi Maha Mulia, Allah malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya mengembalikannya dalam keadaan kosong lagi merugi". [HR. Abu Dâwud dan at-Tirmidzi, dishahihkan oleh al-Albâni]

Semoga Allah Azza wa Jalla menjadikan kita orang yang bersifat mulia lagi pemurah. Dan menjadikan kita orang yang mencintai segala hal yang mulia, baik berbentuk keyakinan, ucapan maupun tindakan dan perbuatan. Wallahu A'lam.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________
Footnotes.
[1]. Mu'jam Maqâyîs Lughah (5/139)
[2]. Ibid (5/139)
[3]. Tahdzîbul Lughah(3/374)
[4]. Lisânul 'Arab (12/510)
[5]. Bayân Talbîs Jahmiyah (1/196).
[6]. At-Tibyân: 140.
[7]. Shahîh al-Bukhâri (4/1713)
[8]. Tafsir al-Baghawi (8/22)
[9]. at-Tibyân hal. 140.
[10]. al-Wâbil ash-Shayyib hal. 49.

Sumber

Dauroh bersama Syaikh Ali al-Halabi Hfizhohullah

Dauroh bersama Syaikh Ali al-Halabi Hfizhohullah
Bertempat di Masjid Agung Kota Medan.
Sumatera Utara.

Lihat Videonya Disini

PELAJARAN KENYANG DARI KHALIFAH UMAR BIN ABDULAZIZ


( HIKMAH ) PELAJARAN KENYANG DARI KHALIFAH UMAR BIN ABDULAZIZ - "Jika aku memanggilmu untuk menghadirkan makanan, maka kamu jangan segera menyuguhkannya!" perintah Khalifah Umar bin Abdul Aziz kepada juru masak di istananya. Benar, rencana pun berjalan dengan lancar. Keluarga Bani Marwan berkumpul di sana hingga hari telah menjelang siang. Khalifah tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak terbiasa menahan lapar. Raut-raut kegelisahan mulai mewarnai satu persatu wajah-wajah para bangsawan itu. Kemudian juru masak itu keluar melewati mereka. Umar bin Abdul Aziz pun segera berseru memanggilnya, "Cepat, hadirkan hidangannya!"

Juru masak itu paham apa maksud sang khalifah. Ia berlama-lama di dapur. Hidangan yang telah dibuatnya tak segera dikeluarkan. Melihat makanan tak kunjung juga dihidangkan, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada wajah-wajah yang telah dililit rasa lapar itu, "Apakah kalian semua terbiasa makan tepung dan kurma?"

Tak ada pilihan lain bagi mereka untuk menahan rasa lapar selain mengiyakan tawaran Khalifah untuk memakan tepung dan kurma. Tepung dan kurma dihadirkan dan mereka memakan dengan lahap makanan yang tak biasa mereka makan lantaran lapar.

Setelah mereka selesai memakan tepung dan kurma, datanglah juru masak membawa hidangan yang lezat. Namun mereka diam tak mau mengambilnya. Melihat hal itu, Khalifah Umar bin Abdul Aziz bertanya pada mereka, "Kenapa kalian tak mau memakannya?"

"Wahai Amirul Mukminin, kami sudah tak sanggup lagi memakannya," jawab mereka.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz berkali-kali mempersilahkan mereka untuk memakan hidangan yang baru saja disuguhkan, namun mereka tetap enggan untuk memakannya karena kenyang dengan tepung dan kurma.

"Celaka kalian, hai Bani Marwan! Lalu dengan apa kalian nanti makan di neraka?" kata Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberi pelajaran berharga pada mereka. Semua yang hadir menangis mendengar ungkapan sederhana Umar bin Abdul Aziz itu.

Barangkali di dunia kita masih bisa memilih-milih apa yang kita suka untuk memuaskan nafsu perut kita. Semua ada, namun sayangnya perut ini terlalu lemah untuk qana’ah, kecuali jika memang dididik oleh pemiliknya. Urusan perut merupakan salah satu sumber bencana besar di dunia.

Seseorang nekat mencuri untuk urusan perut. Seorang pejabat rela mendhalimi rakyatnya dengan melakukan korupsi dan sejenisnya gara-gara ingin memuaskan urusan perutnya. Dua orang bersaudara harus saling baku hantam disebabkan mereka memperebutkan urusan perut yang kadang tak seberapa jumlah nominalnya.

Karena itulah Khalifah Umar bin Abdul Aziz ingin mendidik perut-perut bangsawan yang terbiasa menikmati kemewahan. Sesekali mereka harus diajak untuk merasakan apa yang tak biasa mereka rasakan. Suatu saat mereka harus merasakan derita lapar agar tak mudah mengambil dengan paksa harta yang dimiliki oleh rakyat miskin. Mereka juga harus dididik merasakan santapan sederhana, agar tak mudah memaksa rakyat kecil dengan pungutan-pungutan haram. Agar mereka tahu, rakyat kecil itu untuk makan saja susah, apalagi jika mereka dibebani beban-beban yang mendhalimi mereka. Agar hati-hati yang mati karena kemewahan itu kembali hidup dan memiliki respect yang tajam akan apa yang terjadi pada rakyat dan apa yang diinginkan mereka selama ini.

Seorang pemimpin sejati adalah seorang pemimpin yang bisa mendengar suara hati rakyatnya lalu memperjuangkannya. Dan dalam kisah di atas telah membuktikan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih merasakan apa yang dirasakan oleh rakyat daripada saudara-saudaranya dari keluarga Bani Marwan. Setidaknya keluarga Bani Marwan menyadari kenapa kebijakan-kebijakannya selama ini terbaca berat sebelah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz lebih memberatkan urusan rakyatnya daripada perut keluarganya.


Sumber: https://www.facebook.com/pages/Yusuf-Mansur-Network/109056501839

Jumat, 28 Juni 2013

ISTIMEWANYA HARI JUMAT DARI NASH / DALIL


 ISTIMEWANYA HARI JUMAT DARI NASH / DALIL 

Hari Jum'at merupakan hari yang agung di antara hari-hari lainnya. Di dalamnya banyak berkah dan karunia. Selayaknya hamba muslim giat dan sungguh-sungguh memanfaatkan hari tersebut. Apabila selesai shalat Jum'at maka bertebaranlah di muka bumi mencari karunia Allah dengan menjalin silaturahim, menjenguk orang sakit, dan banyak mengingat Allah sebagaimana firman-Nya,

فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung." (QS. Al-Jum'ah: 10)

Pada hari itu, Allah mewajibkan shalat Jum'at dan khutbahnya. Memerintahkan kepada mereka agar bersama-sama mendatanginya untuk menyatukan hati dan membina persatuan mereka. Fungsi lainnya, kegiatan Jum'atan menjadi media taklim (pengajaran) untuk orang jahil di antara mereka, dan untuk memberikan peringatan bagi yang lalai. Juga sebagai media meluruskan orang yang menyimpang. Oleh sebab itu, Allah mengharamkan semua kesibukan dengan urusan dunia dan setiap aktifitas yang memalingkan dari menghadiri Shalat Jum'at saat sudah dikumandang panggilan Shalat.

Allah telah menyediakan janji istimewa bagi hamba-Nya yang memuliakan hari tersebut dengan pahala yang besar ampunan dosa selama satu pekan. Yakni apabila ibadah Jum'at yang dikerjakan hamba tersebut baik dan menghiasinya dengan syarat-syarat kesempurnaanya.

Diriwayatkan dari Aus bin Aus Radliyallah 'Anhu, berkata, "aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا وَقِيَامِهَا

"Barangsiapa mandi pada hari Jum'at, berangkat lebih awal (ke masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan qiyamulail setahun." (HR. Abu Dawud no. 1077, al-Nasai no. 1364 Ahmad no. 15585)

Diriwayatkan dari Salman Radliyallah 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

لَا يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ ثُمَّ يَخْرُجُ فَلَا يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الْإِمَامُ إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى

"Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan bersuci semampunya, berminyak dengan minyaknya atau mengoleskan minyak wangi yang di rumahnya, kemudian keluar (menuju masjid), dan dia tidak memisahkan dua orang (yang sedang duduk berdampingan), kemudian dia mendirikan shalat sesuai dengan tuntunannya, lalu diam mendengarkan khutbah dengan seksama ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni (dosa-dosanya yang terjadi) antara Jum’at tersebut dan Jum’at berikutnya." (HR. Bukhari dalam Shahih-nya, no. 859)

Pada hari Jum'at terdapat satu waktu yang mubarakah (diberkahi) yang ditunjukkan oleh hadits shahih dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pernah membicarakan tentang hari Jum'at lalu beliau bersabda,

إِنَّ فِي الْجُمُعَةِ لَسَاعَةً لَا يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ قَائِمٌ يُصَلِّي يَسْأَلُ اللَّهَ خَيْرًا إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ وَقَالَ بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا

"Sesungguhnya pada hari Jum'at itu terdapat satu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim berdiri berdoa memohon kebaikan kepada Allah bertepatan pada saat itu, melainkan Dia akan mengabulkannya." Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya, -yang kami pahami- untuk menunjukkan masanya yang tidak lama (sangat singkat)." (Muttafaq 'Alaih)

Maka hendaknya kita menyibukkan diri dengan berbagai bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah, berbekal diri dengan takwa, amalan-amalan sunnah, zikir, doa, dan memperbanyak shalawat kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Dari Aus bin Aus Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam:

إِنَّ مِنْ أَفْضَلِ أَيَّامِكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنْ الصَّلَاةِ فِيهِ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ مَعْرُوضَةٌ عَلَيَّ قَالَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ تُعْرَضُ صَلَاتُنَا عَلَيْكَ وَقَدْ أَرَمْتَ قَالَ يَقُولُونَ بَلِيتَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَرَّمَ عَلَى الْأَرْضِ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ

"Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling afdhal adalah hari Jum'at. Karenanya perbanyaklah shalawat atasku pada hari itu, karenasesungguhnya shalawat kalian akan disampaikan kepadaku. Aus berkata: para shahabat berkata: "Ya Rasulallah, bagaimana shalawat kami atasmu akan disampaikan padamu sedangkan kelak engkau telah lebur dengan tanah?" Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menjawab: "Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi memakan jasad para Nabi." (HR. Abu Dawud, Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan al Hakim dengan sanad yang shahih)

Hendaknya pada hari itu, kaum muslimin mengosongkan hati dari memikirkan kesibukan duniawi, lalu menyibukkan diri dengan taubat dan istighfar, zikir, bertasbih dan membaca Al-Qur'an. Khususnya membaca surat al-Kahfi, seperti yang ditunjukkan hadits dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ َقَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ فِيْمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ

"Siapa membaca surat al-Kahfi pada malam Jum’at, maka dipancarkan cahaya untuknya sejauh antara dirinya dia dan Baitul 'Atiq." (HR. Al-Darimi, no. 3273. Juga diriwayatkan al-Nasai dan Al-Hakim Shahih al-Targhib wa al-Tarhib, no. 736 dan Shahih al-Jami’, no. 6471)

Masih dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu,

مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ فِي يَوْمِ الْجُمْعَةِ أَضَآءَ لَهُ مِنَ النُّوْرِ مَا بَيْنَ الْجُمْعَتَيْنِ

"Barangsiapa membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka akan dipancarkan cahaya untuknya di antara dua Jum'at." (HR. Al-Hakim: 2/368 dan Al-Baihaqi: 3/249. Ibnul Hajar mengomentari hadits ini dalam Takhrij al-Adzkar, “Hadits hasan.” Beliau menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling kuat tentang anjuran membaca surat Al-Kahfi Shahih al-Jami’, no. 6470)

Sumber: https://www.facebook.com/pages/Yusuf-Mansur-Network/109056501839?fref=ts

Rabu, 26 Juni 2013

KITA BERADA DI AKHIR ZAMAN


( AKHIRZAMAN ) KITA BERADA DI AKHIR ZAMAN - Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah munculnya fitnah besar yang bercampur di dalamnya kebenaran dan kebathilan. Iman menjadi goyah, sehingga seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore hari, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi hari. Setiap kali fitnah itu muncul, maka seorang mukmin berkata, “Inilah yang menghancurkanku,” kemudian terbuka dan muncul (fitnah) yang lainnya, lalu dia berkata, “Inilah, inilah.” Senantiasa fitnah-fitnah itu datang menimpa manusia sampai terjadinya hari Kiamat. Fitnah disini artinya adalah Fitnah Ujian keimanan dan Ujian dalam menghadapi godaan kemaksiatan dan dosa.

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِـي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، اَلْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِِمُ خَيْـرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا بِسُيُوفِكُمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنْ دُخِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir di sore hari, di sore hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian dan pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika salah seorang dari kalian dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang anak Adam yang paling baik (Habil).’” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak]

MUNCULNYA FITNAH DARI ARAH TIMUR

Sebagian besar fitnah yang menimpa kaum muslimin muncul dari arah timur, dari arah keluarnya tanduk syaitan. Hal ini sesuai dengan yang diberitakan oleh Nabi pembawa rahmat Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, sedangkan beliau menghadap ke arah timur:

أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.

“Ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, dari arah munculnya tanduk syaitan  (dari arah timur-ed.).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فيِ صَاعِنَا وَمُدِّنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَيَمَنِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللهِ؟ وَفِيْ عِرَاقِنَا. قَالَ: إِنَّ بِهَا قَرْنُ الشَّيْطَانِ، وَتَهِيْجُ الْفِتَنُ، وَإِنَّ الْجَفَاءَ بِالْمَشْرِقِ.

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a, ‘Ya Allah, limpahkanlah keberkahan bagi kami di dalam sha dan mudd kami, dan berilah keberkahan kepada kami pada negeri Syam dan negeri Yaman kami,’ lalu seorang laki-laki dari kaum berkata, ‘Wahai Nabiyullah? Dan pada Irak kami.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di sana ada tanduk syaitan, fitnah berkecamuk di sana, dan sesungguhnya kekerasan hati terdapat di timur.’” [HR. Ath-Thabrani, dan para perawinya tsiqah.
Mukhtashar at-Targhiib wat Tarhiib (hal. 87), karya al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq ‘Abdullah bin Sayyid Ahmad bin Hajjaj, cet. lama yang disebarluaskan oleh Maktabah as-Salam, Kairo, cet. IV th. 1402 H.]

Sampai saat ini senantiasa timur menjadi sumber fitnah, kejelekan, bid’ah, khurafat, dan atheisme. Faham komunis yang tidak mengakui adanya tuhan berpusat di negara Rusia dan Cina, keduanya ada di arah timur, dan datangnya Dajjal juga Ya'-juj dan Ma'-juj dari arah timur. Hanya kepada Allah kita me-mohon perlindungan dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).]

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.

‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi)]

Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [Fat-hul Baari (XIII/16]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [Fat-hul Baari (XIII/16]

Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 178, Syarh an-Nawawi)]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:

Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.

‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [Musnad Ahmad (XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, “Sanadnya shahih.]

Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini. ]

Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi (II/1344-1245), al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/473]

- Tim Ustadz -
( AKHIRZAMAN ) KITA BERADA DI AKHIR ZAMAN - Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa di antara tanda-tanda hari Kiamat adalah munculnya fitnah besar yang bercampur di dalamnya kebenaran dan kebathilan. Iman menjadi goyah, sehingga seseorang beriman pada pagi hari dan menjadi kafir pada sore hari, beriman pada sore hari dan menjadi kafir pada pagi hari. Setiap kali fitnah itu muncul, maka seorang mukmin berkata, “Inilah yang menghancurkanku,” kemudian terbuka dan muncul (fitnah) yang lainnya, lalu dia berkata, “Inilah, inilah.” Senantiasa fitnah-fitnah itu datang menimpa manusia sampai terjadinya hari Kiamat. Fitnah disini artinya adalah Fitnah Ujian keimanan dan Ujian dalam menghadapi godaan kemaksiatan dan dosa.

Dijelaskan dalam hadits Abu Musa al-Asy’ari Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ فِيهَا مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا وَيُمْسِـي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، اَلْقَاعِدُ فِيهَا خَيْرٌ مِنَ الْقَائِمِ وَالْقَائِِمُ خَيْـرٌ مِنَ الْمَاشِي، وَالْمَاشِي فِيهَا خَيْرٌ مِنَ السَّاعِي، فَكَسِّرُوا قِسِيَّكُمْ وَقَطِّعُوا أَوْتَارَكُمْ وَاضْرِبُوا بِسُيُوفِكُمُ الْحِجَارَةَ، فَإِنْ دُخِلَ عَلَى أَحَدِكُمْ فَلْيَكُنْ كَخَيْرِ ابْنَيْ آدَمَ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan muncul banyak fitnah besar bagaikan malam yang gelap gulita, pada pagi hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir di sore hari, di sore hari seseorang dalam keadaan beriman, dan menjadi kafir pada pagi hari. Orang yang duduk saat itu lebih baik daripada orang yang berdiri, orang yang berdiri saat itu lebih baik daripada orang yang berjalan dan orang yang berjalan saat itu lebih baik daripada orang yang berlari. Maka patahkanlah busur-busur kalian, putuskanlah tali-tali busur kalian dan pukulkanlah pedang-pedang kalian ke batu. Jika salah seorang dari kalian dimasukinya (fitnah), maka jadilah seperti salah seorang anak Adam yang paling baik (Habil).’” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak]

MUNCULNYA FITNAH DARI ARAH TIMUR

Sebagian besar fitnah yang menimpa kaum muslimin muncul dari arah timur, dari arah keluarnya tanduk syaitan. Hal ini sesuai dengan yang diberitakan oleh Nabi pembawa rahmat Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, sedangkan beliau menghadap ke arah timur:

أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، أَلاَ إِنَّ الْفِتْنَةَ هَا هُنَـا، مِنْ حَيْثُ يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.

“Ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, ketahuilah sesungguhnya fitnah itu dari sana, dari arah munculnya tanduk syaitan (dari arah timur-ed.).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, beliau berkata:

دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فيِ صَاعِنَا وَمُدِّنَا، وَبَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا وَيَمَنِنَا. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: يَا نَبِيَّ اللهِ؟ وَفِيْ عِرَاقِنَا. قَالَ: إِنَّ بِهَا قَرْنُ الشَّيْطَانِ، وَتَهِيْجُ الْفِتَنُ، وَإِنَّ الْجَفَاءَ بِالْمَشْرِقِ.

“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo’a, ‘Ya Allah, limpahkanlah keberkahan bagi kami di dalam sha dan mudd kami, dan berilah keberkahan kepada kami pada negeri Syam dan negeri Yaman kami,’ lalu seorang laki-laki dari kaum berkata, ‘Wahai Nabiyullah? Dan pada Irak kami.’ Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya di sana ada tanduk syaitan, fitnah berkecamuk di sana, dan sesungguhnya kekerasan hati terdapat di timur.’” [HR. Ath-Thabrani, dan para perawinya tsiqah.
Mukhtashar at-Targhiib wat Tarhiib (hal. 87), karya al-Hafizh Ibnu Hajar, tahqiq ‘Abdullah bin Sayyid Ahmad bin Hajjaj, cet. lama yang disebarluaskan oleh Maktabah as-Salam, Kairo, cet. IV th. 1402 H.]

Sampai saat ini senantiasa timur menjadi sumber fitnah, kejelekan, bid’ah, khurafat, dan atheisme. Faham komunis yang tidak mengakui adanya tuhan berpusat di negara Rusia dan Cina, keduanya ada di arah timur, dan datangnya Dajjal juga Ya'-juj dan Ma'-juj dari arah timur. Hanya kepada Allah kita me-mohon perlindungan dari segala fitnah yang nampak dan tersembunyi.

Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “ِAku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ.

‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [Shahiih al-Bukhari, kitab al-Fitan bab Zhuhuuril Fitan (XIII/13, al-Fath).]

Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ.

‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’”[Shahiih Muslim, kitab al-Ilmi bab Raf’ul ‘Ilmi (XVI/222-223, Syarh an-Nawawi)]

Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” [Fat-hul Baari (XIII/16]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” [Fat-hul Baari (XIII/16]

Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى لاَ يُقَالَ فِي اْلأَرْضِ: اللهُ، اللهُ.

“Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [Shahiih Muslim, kitab al-Iimaan, bab Dzahaabul Iimaan Akhiraz Zamaan (II/ 178, Syarh an-Nawawi)]

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini:

Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

فَيَبْقَى فِيهَا عَجَاجَةٌ لاَ يَعْرِفُونَ مَعْرُوفًا وَلاَ يُنْكِرُونَ مُنْكَرًا.

‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [Musnad Ahmad (XI/181-182, Syarh Ahmad Syakir), dan beliau berkata, “Sanadnya shahih.]

Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.” [An-Nihaayah/al-Fitan wal Malaahim (I/186) tahqiq Dr. Thaha Zaini. ]

Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

يَدْرُسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يَدْرُسُ وَشْيُ الثَّوْبِ حَتَّى لاَ يُدْرَى مَا صِيَامٌ، وَلاَ صَلاَةٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ وَيُسْرَى عَلَى كِتَابِ اللهِ k فِـي لَيْلَةٍ فَلاَ يَبْقَى فِي اْلأَرْضِ مِنْهُ آيَةٌ، وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ: الشَّيْخُ الْكَبِيرُ، وَالْعَجُوزُ، يَقُولُونَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ؛ يَقُولُونَ: لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُولُهَا: فَقَالَ لَهُ صِلَةُ: مَا تُغْنِي عَنْهُمْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَهُمْ لاَ يَدْرُونَ مَا صَلاَةٌ، وَلاَ صِيَامٌ، وَلاَ نُسُكٌ، وَلاَ صَدَقَةٌ فَأَعْرَضَ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ رَدَّدَهَا عَلَيْهِ ثَلاَثًا، كُلَّ ذَلِكَ يُعْرِضُ عَنْهُ حُذَيْفَةُ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْهِ فِي الثَّالِثَةِ، فَقَالَ: يَا صِلَةُ! تُنْجِيهِمْ مِنَ النَّارِ، ثَلاَثًا.

“Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [Sunan Ibni Majah, kitab al-Fitan bab Dzahaabul Qur-aan wal ‘Ilmi (II/1344-1245), al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/473]

- Tim Ustadz -

Sumber: Yusuf Mansur Network shared a photo.

Senin, 24 Juni 2013

Hukum Menyiapkan Makanan Pada Tanggal Dua Puluh Tujuh Rajab, Nisyfu Sya'ban Dan Hari Asyura

Hukum Menyiapkan Makanan Pada Tanggal Dua Puluh Tujuh Rajab, Nisyfu Sya'ban Dan Hari Asyura

HUKUM MENYIAPKAN MAKANAN PADA TANGGAL DUA PULUH TUJUH RAJAB, NISYFU SYA'BAN DAN HARI ASYURA


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin




Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kami memiliki banyak kebiasaan yang kami warisi (dari orang tua kami) dalam hal perayaan pada waktu-waktu tertentu, seperti : membuat kue-kue dan biscuit ketika hari raya Idul Fithri, menyiapkan makanan dan buah-buahan pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab atau pada malam pertengahan Sya’ban, serta beberapa jenis makanan pada hari raya Asy-Syura. Apa hukumnya menurut syariat?

Jawaban
Menunjukkan kebahagian dan kesenangan pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha tidak apa-apa bila masih dalam batas-batas syari’at. Misalnya kedatangan orang-orang untuk makan-makan dan minum-minum atau yang sejenisnya, berdasarkan dalil dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda.

“Artinya : Hari-hari Tasyrik adalah hari makan, minum dan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala”.

Yaitu pada tiga hari setelah hari raya Idul Adha, yang pada saat itu manusia menyembelih binatang dan memakan dagingnya serta menikmati rizki yang diberikan oleh Allah. Demikian pula pada hari raya Idul Fithri, tidak dilarang untuk menunjukkan kegembiraan dan kesenangan selama tidak melewati batas yang ditetapkan syariat.

Adapun merayakan hari kedua puluh tujuh bulan Rajab atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau hari Asyura, perbuatan itu tidak ada dasarnya sama sekali, bahkan terlarang. Bagi setiap muslim tidak wajib hukumnya untuk menghadiri perayaan semacam itu apabila diundang. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda.

Artinya : Hendaklah kalian menghindari perkara baru dalam agama, karena setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.

Malam kedua puluh tujuh bulan Sya’ban dikira banyak orang sebagai malam di mana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam di mi’rajkan oleh Allah. Ini semua tidak ada dasarnya menurut sejarah. Setiap yang tidak berdasar adalah bathil, dan semua yang didasarkan kepada kebathilan adalah bathil. Meski misalnya peristiwa itu terjadi pada malam dua puluh tujuh, maka tetap saja tidak boleh bagi kita untuk menjadikannya sebagai perayaan atau bentuk ibadah, karena hal itu tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun para sahabatnya, padahal mereka adalah manusia yang paling gemar mengikuti sunnahnya dan melaksanakan syari’atnya. Bagaimana mungkin diperbolehkan bagi kita untuk menetapkan apa yang tidak pernah ada pada zaman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maupun pada zaman sahabat ?

Demikian juga malam nisfu Sya’ban, tidak ada ketetapan dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam untuk merayakan atau mengagungkannya. Akan tetapi yang ada adalah menghidupkannya dengan dzikir dan shalat, tidak dengan makan-makan, bersuka cita atau merayakannya.

Sedangkan pada hari Asyura, Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ditanya tentang puasa pada hari itu, beliau mengatakan bahwa puasa pada hari itu menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Tidak diperbolehkan pada hari tersebut untuk mengadakan semacam perayaan atau menunjukkan kesedihan, karena bersenang-senang maupun menunjukkan kesedihan pada hari ini bertentangan dengan sunnah. Tidak ada riwayat dari Nabi selain untuk mengerjakan puasa pada hari itu, juga diperintahkan untuk berpuasa sehari sebelumnya atau setelahnya untuk menyelisihi apa yang dilaksanakan oleh orang-orang Yahudi yang berpuasa pada hari itu saja.

[Fatawa Mar’ah 1/11]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’atil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjmah Ahmad Amin Syihab, Penerbit Darul Haq]


Sumber


Bulan Sya'ban ?

Ada Apa Dengan Bulan Sya'bân ?

ADA APA DENGAN BULAN SYA'BAN?

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin[1]




Setelah menyampaikan kalimat pembuka, beliau rahimahullah mengatakan :
Amma ba'du, berikut ini uraian singkat tentang beberapa masalah yang berkait dengan bulan Sya'bân.

PERTAMA, TENTANG KEUTAMAAN PUASA BULAN SYA’BAN.
Dalam shahih Bukhâri dan Muslim, diriwayatkan bahwa A’isyah Radhiyallahu anhuma menceritakan.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُوْلُ لاَ يَصُوْمُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامً مِنْهُ فِيْ شَعْبَانَ

"Aku tidak pernah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali pada bulan Ramadhân dan aku tidak pernah melihat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam puasa lebih banyak dalam sebulan dibandingkan dengan puasa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Sya'bân."[2]

Dalam riwayat Bukhâri, ada riwayat lain, "Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa penuh pada bulan Sya'bân."[3]

Dalam riwayat lain Imam Muslim,

كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلا قَلِيلا

"Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân kecuali sedikit."[4]

Imam Ahmad rahimahullah dan Nasa'i rahimahullah meriwayatkan sebuat hadits dari Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhuma, beliau Radhiyallahu anhuma mengatakan, "Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa dalam sebulan sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya'bân. Lalu ada yang berkata, 'Aku tidak pernah melihat anda berpuasa sebagaimana anda berpuasa pada bulan Sya'bân.' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, 'Banyak orang melalaikannya antara Rajab dan Ramadhân. Padahal pada bulan itu, amalan-amalan makhluk diangkat kehadirat Rabb, maka saya ingin amalan saya diangkat saat saya sedang puasa

KEDUA, TENTANG PUASA NISFU SYA’BAN.
Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan dalam al-Lathâ'if, (hlm. 143, cet. Dar Ihyâ' Kutubil Arabiyah) dalam Sunan Ibnu Mâjah dengan sanad yang lemah dari 'Ali Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Jika malam nisfu Sya'bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya. Karena Allâh Azza wa Jalla turun pada saat matahari tenggelam, lalu berfirman, "Adakah orang yang memohon ampun lalu akan saya ampuni ? adakah yang memohon rizki lalu akan saya beri ? …"[6]

Saya mengatakan, "Hadits ini telah dihukumi sebagai hadits palsu oleh penulis kitab al Mannâr. Beliau rahimahullah mengatakan (Majmu' Fatawa beliau 5/622), 'Yang benar, hadits itu maudhu' (palsu), karena dalam sanadnya terdapat Abu Bakr, Abdullah bin Muhammad, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Abi Bisrah. Imam Ahmad rahimahullah dan Yahya bin Ma'in rahimahullah mengatakan, 'Orang ini pernah memalsukan hadits."

Berdasarkan penjelasan ini, maka puasa khusus pada pertengahan Sya'bân itu bukan amalan sunat. Karena berdasarkan kesepakatan para ulama', hukum syari'at tidak bisa ditetapkan dengan hadits-hadits yang derajatnya berkisar antara lemah dan palsu. Kecuali kalau kelemahan ini bisa tertutupi dengan banyaknya jalur periwayatan dan riwayat-riwayat pendukung, sehingga hadits ini bisa naik derajatnya menjadi Hadits Hasan Lighairi. Dan ketika itu boleh dijadikan landasan untuk beramal kecuali kalau isinya mungkar atau syadz (nyeleneh).

KETIGA, TENTANG KEUTAMAAN MALAM NISFU SYA’BAN.
Ada beberapa riwayat yang dikomentari oleh Ibnu Rajab rahimahullah setelah membawakannya bahwa riwayat-riwayat ini masih diperselisihkan. Kebanyakan para ulama menilainya lemah sementara Ibnu Hibbân rahimahullah menilai sebagiannya shahih dan beliau rahimahullah membawakannya dalam shahih Ibnu Hibbân. Diantara contohnya, dalam sebuah riwayat dari 'Aisyah Radhiyallahu anhuma, "Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla akan turun ke langit dunia pada malam nisfu Sya'bân lalu Allâh Azza wa Jalla memberikan ampunan kepada (manusia yang jumlahnya) lebih dari jumlah bulu kambing-kambing milik Bani Kalb." Hadits ini dibawakan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. Tirmidzi rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Bukhâri rahimahullah menilai hadits ini lemah. Kemudian Ibnu Rajab rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang semakna dengan ini seraya mengatakan, "Dalam bab ini terdapat beberapa hadits lainnya namun memiliki kelemahan. "

as-Syaukâni rahimahullah menyebutkan bahwa dalam riwayat 'Aisyah Radhiyallahu anhuma tersebut ada kelemahan dan sanadnya terputus. Syaikh Bin Bâz rahimahullah menyebutkan bahwa ada beberapa hadits lemah yang tidak bisa dijadikan pedoman tentang keutamaan malam nisfu Sya'bân.

KEEMPAT, TENTANG SHALAT PADA MALAM NISFU SYA’BAN.
Untuk masalah ini ada tiga tingkatan.

Tingkatan Pertama : Shalat yang dikerjakan oleh orang yang terbiasa melakukannya diluar malam nisfu Sya'bân. Seperti orang yang terbiasa melakukan shalat malam. Jika orang ini melakukan shalat malam yang biasa dilakukannya diluar malam nisfu Sya'bân pada malam nisfu Sya'bân tanpa memberikan tambahan khusus dan dengan tanpa ada keyakinan bahwa malam ini memiliki keistimewaan, maka shalat yang dikerjakan orang ini tidak apa-apa. Karena ia tidak membuat-buat suatu yang baru dalam agama Allâh Azza wa Jalla.

Tingkatan Kedua : Shalat yang khusus dikerjakan pada malam nisfu Sya'bân. Ini termasuk bid'ah. Karena tidak ada riwayat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, atau mengerjakannya begitu juga dengan para shahabatnya. Adapun hadits Ali Radhiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah rahimahullah, "Jika malam nisfu Sya'bân, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah pada siangnya." Diatas sudah dijelaskan bahwa Ibnu Rajab rahimahullah menilainya lemah, sementara Rasyid Ridha rahimahullah menilainya palsu. Hadits seperti ini tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum syar'i. Para Ulama memberikan toleran dalam masalah beramal dengan hadits lemah dalam masalah fadhâilul a'mâl, tapi itupun dengan beberapa syarat yang harus terpenuhi, diantaranya, (syarat pertama) kelemahan hadits itu tidak parah. Sementara kelemahan hadits (tentang shalat nisfu Sya’bân) ini sangat parah. Karena diantara perawinya ada orang yang pernah memalsukan hadits, sebagaimana kami nukilkan dari Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah. (syarat kedua), hadits yang lemah itu menjelaskan suatu yang ada dasarnya. Misalnya, ada ibadah yang ada dasarnya lalu ada hadits-hadits lemah yang menjelaskannya sementara kelemahannya tidak parah, maka hadits-hadits lemah ini bisa memberikan tambahan motivasi untuk melakukannya, dengan mengharapkan pahala yang disebutkan tanpa meyakininya sepenuh hati. Artinya, jika benar, maka itu kebaikan bagi yang melakukannya, sedangkan jika tidak benar, maka itu tidak membahayakannya karena ada dalil lain yang dijadikan landasan utama. Dan sebagaimana sudah diketahui bahwa dalam dalil yang memerintahkan untuk menunaikan shalat nisfu Sya'bân, syarat-syarat ini tidak terpenuhi. Karena perintah ini tidak memiliki dalil yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah dan yang lainnya. Dalam al-Lathâif (hlm. 145) Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, "Begitu juga tentang shalat malam pada malam nisfu Sya'bân, tidak ada satu dalil sahih pun dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun dari shahabat. Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah mengatakan, "Allâh Azza wa Jalla tidak mensyari'atkan bagi kaum Mukminin satu amalan khusus pun pada malam nisfu Sya'bân ini, tidak melalui kitabullah, ataupun melalui lisan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga tidak melalui sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ."

Syaikh Bin Baz rahimahullah mengatakan, "Semua riwayat yang menerangkan keutamaan shalat malam nisfu Sya'bân adalah riwayat palsu."

Keterangan terbaik tentang shalat malam nisfu Sya'bân yaitu perbuatan sebagian tabi'in, sebagaimana penjelasan Ibnu Rajab dalam al-Lathâif (hlm. 144), "Malam nisfu Sya'bân diagungkan oleh tabi'in dari Syam. Mereka bersungguh-sungguh melakukan ibadah pada malam itu. Dari mereka inilah, keutamaan dan pengagungan malam ini diambil. Ada yang mengatakan,, 'Riwayat yang sampai kepada mereka tentang malam nisfu Sya'bân itu adalah riwayat-riwayat isra'iliyyat.' Ketika kabar ini tersebar diseluruh negeri, manusia mulai berselisih pendapat, ada yang menerimanya dan sependapat untuk mengagungkan malam nisfu Sya'bân, sedangkan Ulama Hijâz mengingkarinya. Mereka mengatakan, 'Semua itu perbuatan bid'ah.'

Tidak diragukan lagi, pendapat yang ulama Hijaz ini adalah pendapat yang benar. Karena Allâh berfirman, yang artinya, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu." (al-Maidah/5:3). Seandainya shalat malam nisfu Sya'bân itu bagian dari agama Allâh, tentu Allâh Azza wa Jalla jelaskan dalam kitab-Nya, atau dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui ucapan maupun perbuatannya n . Ketika keterangan itu tidak ada, itu berarti shalat khusus ini bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla . Semua (ibadah) yang bukan bagian dari agama Allâh Azza wa Jalla adalah bid'ah, sementara ada dalil shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Semua bid'ah itu sesat."

Tingkatan Ketiga. Dikerjakan malam itu satu shalat khusus dengan jumlah tertentu dan ini dilakukan tiap tahun. Maka ini lebih parah daripada tingkatan kedua dan lebih jauh dari sunnah. Riwayat-riwayat yang menjelaskan keutamaannya adalah hadits palsu. As-Syaukâni rahimahullah mengatakan (al-Fawâidul Majmû'ah, hlm. 15), "Semua riwayat tentang shalat malam nisfu Sya'bân ini adalah riwayat bathil dan palsu."

KELIMA, TERSEBAR DI MASYARAKAT BAHWA PADA MALAM NISFU SYA’BAN ITU DITENTUKAN APA YANG AKAN TERJADI TAHUN ITU.
Ini kabar yang bathil. Malam penentuan takdir kejadian selama setahun itu yaitu pada malam qadar (lailatul Qadar). Allâh berfirman.

حم﴿١﴾وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ﴿٢﴾إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ ۚ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ﴿٣﴾فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

"Haa miim. Demi Kitab (al Qur'ân) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah". [ad-Dukhân/44:1-4].

Malam diturunkannya al-Qur'ân adalah lailatul qadar. Allâh berfirman.

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

"Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qurân) pada malam kemuliaan. [al-Qadr/97:1]

Yaitu pada bulan Ramadhân. Karena Allâh Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'an pada bulan itu. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al Qur'ân." [al-Baqarah/2:185]

Orang yang mengira bahwa malam nisfu Sya'bân merupakan waktu Allâh Azza wa Jalla menentukan apa yang akan terjadi dalam tahun itu berarti dia telah menyelisihi kandungan al-Qur'an.

KEENAM, ADA SEBAGIAN ORANG MEMBUAT MAKANAN PADA HARI NISFU SYA’BAN DAN MEMBAGIKANNYA KEPADA FAKIR MISKIN
Ini yang mereka namakan 'asyiyâtul wâlidain. Perbuatan ini juga tidak ada dasarnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sehingga mengkhususkan amalan ini pada nisfu Sya'bân termasuk amalan bid'ah yang telah diperingatkan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,"Semua bid'ah itu sesat."

Ketahuilah, orang yang membuat kebid'ahan dalam agama Allâh Azza wa Jalla ini berarti dia telah terjerumus dalam beberapa larangan :

1. Perbuatannya menyiratkan pendustaan terhadap kandungan firman Allâh Azza wa Jalla,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu." [al-Maidah/5:3].

Karena apa yang dibuat-buat ini dan diyakini sebagai bagian dari agama ini tidak termasuk agama ketika agama ini diturunkan. Dengan demikian, ditinjau dari kebid'ahan ini berarti agama itu belum sempurna (sehingga perlu disempurnakan-red)

2. Membuat-buat suatu yang baru menyiratkan kelancangan terhadap Allâh dan rasulNya.

3. Orang yang membuat-buat suatu yang baru berarti ia memposisikan dirinya sama dengan Allâh Azza wa Jalla dalam menghukumi manusia. Allâh berfirman.

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh ?" [as-Syuura/42:21]

4. Membuat-buat suatu baru berkonsekuensi satu diantara dua. Yang pertama, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu bahwa amalan ini bagian dari agama dan kedua, Nabi tahu namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya. Kedua anggapan ini adalah celaan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena yang pertama menuduh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak tahu syari'at dan kedua menuduh beliau menyembunyikan bagian dari agama Allâh yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketahui.

5. Kebid'ahan menyebabkan manusia berani terhadap syari'at Allâh Azza wa Jalla. Ini sangat dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla.

6. Kebid'ahan ini akan memecah belah umat. Karena masing-masing membuat manhaj sendiri dan menuduh yang lain masih kurang. Ini akan menyeret umat kedalam apa yang dilarang Allâh dalam firmanNya.

وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat, [Ali Imrân/3:105]

Dan dalam firman-Nya.

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golong, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allâh, kemudian Allâh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat." [al-An'âm/6:159]

7. Kebid'ahan ini membuat pelakunya tersibukkan sehingga meninggalkan suatu yang disyari'atkan. Para pembuat bid'ah itu, tidaklah membuat suatu kebid'ahan kecuali pada saat yang sama dia telah menghancurkan syari'at yang sepadan dengannya.

Sesungguhnya apa yang tercantum dalam kitabullah dan sunnah yang shahih itu sudah cukup bagi orang-orang yang mendapat hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala. Allâh Azza wa Jalla berfirman,

قَالَ اهْبِطَا مِنْهَا جَمِيعًا ۖ بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۖ فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

"Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabb kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah, "Dengan kurnia Allâh dan rahmat-Nya, hendaklah mereka bergembira dengannya. karuniaa Allâh dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [Yûnus/10:57-58]

Dan firman-Nya.

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَىٰ

"Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." [Thaha/20:123]

Akhirnya saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kami dan kepada saudara-saudara kami kaum Muslimin menuju shirâtul mustaqîm dan saya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar senantiasa mengurusi kita di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla Maha Dermawan dan Maha Pemurah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIV/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diterjemahkan dengan sedikit ringkas dari Majmu' Fatawa beliau, 20/25-33
[2]. HR Bukhâri, no. 1969 dan Muslim, no. 1156 dan 176
[3]. HR Bukhâri, no. 1970
[4]. HR Muslim, no. 1156 dan 176
[5]. HR Ahmad, 5/201 dan Nasâ'i, 4/102
[6]. HR Ibnu Mâjah, no. 1388

Sumber

Kamis, 20 Juni 2013

Oral Sex [penjelasan dalam islam]

Oral Sex !!
Pertanyaan : Sebenarnya saya malu untuk bertanya tentang hal ini akan tetapi saya sangat perlu tahu tentang hukum oral seks (maaf : yaitu istri mengisap/menjilat kemaluan suami atau sebaliknya). Tolong dijelaskan dengan jelas, karena saya mendengar ada yang mengharamkan namun ada juga yang membolehkan.

Jawab :

Sesungguhnya permasalahan ini –oral seks- merupakan permasalahan yang sangat menimbulkan rasa malu untuk dibicarakan. Akan tetapi mengingat terlalu banyak yang bertanya tentang permasalahan ini maka perlu penjelasan yang lebih dalam tentang hukum oral seks.

Sebagian ulama membolehkan oral seks dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya.


Dalil para ulama yang membolehkan :

Pertama : Keumuman firman Allah

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki" (QS Al-Baqoroh : 223)

Ayat ini menunjukkan seorang suami berhak melakukan segala cara jimak dalam menikmati istrinya kecuali ada dalil yang melarang seperti menjimak wanita yang haid dan nifas atau menjimak wanita di duburnya.

Kedua : Keumuman sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita haid

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلاَّ النِّكَاحَ

"Lakukanlah segala sesuatu kecuali menjimak kemaluan (yang lagi haid)" (HR Muslim no 302)

Demikian pula hadits ini menunjukkan seorang lelaki diperbolehkan melakukan segala bentuk bersetubuh terhadap wanita yang haid (termasuk jika sang wanita mengoral dzakarnya). Yang dilarang adalah menjimak kemaluan istrinya yang sedang mengeluarkan najis, yaitu darah haid.

Ketiga : Adapun kekhawatiran keluarnya najis tatkala terjadi proses oral seks, maka jawabannya, tidak ada seorangpun yang membolehkan mencium kemaluan pasangannya tatkala keluarnya najis. Akan tetapi pembicaraan kita tatkala najis telah berhenti. Seseorang haram untuk sholat menghadap Allah tatkala sedang keluar najisnya dari kemaluannya, akan tetapi setelah beristinjaa dan berhenti najisnya maka ia boleh sholat menghadap Allah. Hal ini menunjukkan bahwa najis ada waktu berhenti keluarnya dari kemaluan, dan tatkala itulah baru diperbolehkan seseorang untuk mencium kemaluan pasangannya.

Keempat : Cara oral seks yang digandrungi oleh sebagian pasangan membantu mereka untuk menjaga kemaluan mereka, sehingga mereka bisa berfantasi dengan sesuatu yang halal dan tidak butuh mencari yang haram.



Dalil Para Ulama Yang Mengharamkan Oral Seks


Pertama : Sikap oral seks adalah meniru-niru perbuatan orang-orang barat, terutama para pezina dan pemain film porno. Dan kita dilarang mengikuti adat kebiasaan orang kafir yang merupakan kekhususan mereka.

Kedua : Oral seks adalah mengikuti gaya binatang, karena kita dapati sebagian binatang jantang menjilat kemaluan binatang betina

Ketiga : Mulut adalah anggota tubuh yang mulia yang digunakan untuk membaca Al-Qur'an dan berdzikir kepada Allah, bagaimana bisa digunakan untuk menjilat kemaluan pasangannya

Keempat : Madzi (yaitu cairan yang keluar dari kemaluan tatkala timbul syahwat) adalah najis menurut jumhur ulama. Dan sudah jelas jika seorang wanita menjilat dzakar suaminya maka sudah bisa dipastikan ia akan menjilat madzi tersebut.

Terlebih lagi lelaki yang menjilat bagian dalam vagina wanita, maka sangat bisa dipastikan ia akan menjilat sisa-sisa air kencing sang wanita.

Kelima : Berdasarkan penelitian kedokteran modern menyebutkan bahwa dalam vagina wanita ada bakteri-bakteri yang bisa berpindah ke lidah seorang lelaki yang menjilat vagina tersebut, dan juga sebaliknya ada bakteri-bakteri yang terdapat di mulut lelaki yang bisa berpindah ke vagina sang wanita tatkala terjadi proses penjilatan vagina wanita. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda;

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

"Tidak boleh memberi kemudhorotan kepada diri sendiri dan juga kepada orang lain".

Bahkan sebagian penelitian menyebutkan proses oral seks bisa menimbulkan kanker.



Pendapat Yang Terpilih??

Timbul kelainan-kelainan seksual di kalangan kaum kafir barat. Tatkala mereka menyalurkan syahwat mereka pada perkara-perkara yang haram maka jadilah mereka kehilangan rasa kepuasan dengan cara-cara yang halal dan yang sesuai dengan fitroh dan harkat kemanusiaan. Sehingga timbullah kelainan-kelainan seksual, seperti homo seksual, hubungan seks dengan cara kasar, bahkan dengan menyakiti pasangannya agar timbul kepuasan. Bahkan sebagian mereka hanya bisa puas jika berjimak dengan hewan peliharaannya, wal'iyaadzu billah.

Yang sangat menyedihkah –setelah tersebarnya video, para bola, dan internet- maka banyak kaum muslimin yang menonton tayangan-tayangan film porno. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya larisnya praktek oral seks dikalangan kaum muslimin setelah larisnya tayangan-tayangan tersebut. Dari sinilah sangat jelas hikmah dari firman Allah

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (٣٠) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya" (QS An-Nuur : 30-31)

Diantara akibat buruk dari menyaksikan tayangan-tayangan seperti ini adalah:

- Hilangnya rasa malu karena terlalu sering menyaksikan aurot para pezina

- Hilangnya rasa cemburu dari hati kedua pasangan, bagaimana tidak?, sementara sang istri membiarkan sang suami berledzat-ledzat menonton aurot para wanita pezina pelaku film-film porno tersebut. Demikian juga sang suami membiarkan sang istri berledzat-ledzat melihat aurot para lelaki barat pezina dalam tayangan film-film porno tersebut.

- Hilangnya rasa kepuasan terhadap pasangannya. Masing-masing berangan-angan pasangannya bisa seperti tokoh yang ia saksikan dalam tayangan-tayangan film porno tersebut. Dan diantara sebab timbul banyaknya perceraian adalah akibat menyaksikan tayangan-tayangan film porno. Sungguh Allah telah memberikan kepuasan kepada sang lelaki dengan istri yang halal, akan tetapi tatkala ia menyaksikan film-film porno maka dicabutlah rasa kepuasan tersebut, bahkan ia berangan-angan untuk bisa berzina dengan wanita barat pezina yang dia lihat dalam tayangan porno tersebut agar bisa berfantasi dengannya. Wal'iyaadzu billah.

- Hilangnya rasa kepuasan dengan cara berhubungan seksual yang sesuai dengan fitroh manusia. Betapa banyak lelaki yang sangat ingin mempraktekkan anal seks (berjimak lewat dubur) setelah menonton tayangan-tayangan seperti ini. Betapa banyak para wanita yang ingin digerayangi lebih dari seorang lelaki setelah menyaksikan tayangan-tayangan tersebut.

Tidak diragukan lagi bahwasanya tersebarnya praktek oral seks di kalangan kaum muslimin adalah setelah tersebarnya tayangan-tayangan tersebut. Bagaimanakah hukum syar'i tentang praktek oral seks ini?

Tentu yang lebih hati-hati adalah meninggalkan praktek oral seks. Mereka yang selalu menjaga pandangan mereka dan bisa meraih kepuasan dengan cara-cara seks yang sesuai dengan fitroh dan harkat manusia maka hendaknya mereka memuji dan bersyukur kepada Allah. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri betapa banyak kaum pria muslim yang tidak bisa merasakan kepuasan kecuali dengan praktek oral seks –terutama setelah menyaksikan tayangan film porno-. Maka apakah boleh bagi mereka untuk mempraktekan oral seks bersama istrinya yang halal??!!

Jika kita memperhatikan perkataan para fuqohaa (ahli fiqh) terdahulu maka kita dapati isyarat akan bolehnya praktek oral seks meskipun praktek tersebut merupakan perkara yang qobiih (buruk). Untuk menjelaskan hal ini mari kita renungkan poin-poin berikut :

Pertama : Praktek kelainan-kelainan seksual seperti menjimak istri melalui dubur, atau menjimak hewan telah tersebutkan oleh para fuqohaa terdahulu dalam kitab-kitab fiqih mereka. Demikian pula praktek oral seks juga telah diisyaratkan dalam buku-buku fiqih terdahulu, bahkan diisyaratkan oleh Imam As-Syafi'i. Beliau rahimahullah berkata :

وَلَوْ نَالَ من امْرَأَتِهِ ما دُونَ أَنْ يُغَيِّبَهُ في فَرْجِهَا ولم يُنْزِلْ لم يُوجِبْ ذلك غُسْلًا وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ

"Kalau seandainya sang suami menggauli istrinya tanpa membenamkan dzakarnya ke farji (kemaluan) istrinya dan ia tidak mengeluarkan air mani maka hal ini tidak mengharuskannya mandi (janabah). Dan kami tidak mewajibkan mandi janabah kecuali jika ia memasukan dzakarnya ke kemaluan istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan anggota tubuh istrinya yang lainnya maka tidak mewajibkan mandi jika ia tidak mengeluarkan air mani" (Al-Umm 1/37)

Yaitu dzohirnya seakan-akan Imam Syafii menjelaskan bahwa jika seorang lelaki memasukan kemaluannya di mulut istrinya atau bagian tubuh yang lain (seperti diantara dua paha, atau dua payudara, atau dua belahan pantat) maka tidak mewajibkan mandi junub kecuali jika sang lelaki mengeluarkan mani. Hal ini berbeda jika ia memasukan dzakarnya ke vagina wanita atau duburnya, meskipun tidak sampai mengeluarkan mani maka tetap wajib untuk mandi junub.

Namun kenyataannya kita tidak mendapati penjelasan fuqohaa terdahulu yang panjang lebar tentang hukum oral seks.

Kedua : Para ulama sepakat akan bolehnya menyentuh kemaluan istri.

Ibnu 'Abidin Al-Hanafi berkata

سَأَل أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنِ الرَّجُل يَمَسُّ فَرْجَ امْرَأَتِهِ وَهِيَ تَمَسُّ فَرْجَهُ لِيَتَحَرَّكَ عَلَيْهَا هَل تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا ؟ قَال : لاَ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ الأَْجْرُ

"Abu Yuusuf bertanya kepada Abu Hanifah –rahimahullah- tentang seseorang yang memegang kemaluan istrinya, dan sang istri yang menyentuh kemaluan suaminya agar tergerak syahwatnya kepada sang istri, maka apakah menurutmu bermasalah?. Abu Hanifah berkata, "Tidak mengapa, dan aku berharap besar pahalanya" (Haasyiat Ibni 'Aabidiin 6/367, lihat juga Al-Bahr Ar-Raaiq syarh Kanz Ad-Daqooiq 8/220, Tabyiinul Haqoo'iq 6/19)

Ketiga : Pernyataan sebagian fuqohaa yang menunjukkan akan bolehnya mencium kemaluan (vagina) wanita. Hal ini sangat ditegaskan terutama di kalangan para ulama madzhab Hanbali, dimana mereka menjelaskan akan bolehnya seorang suami mencium kemaluan istrinya sebelum berjimak, akan tetapi hukumnya makruh setelah berjimak (lihat Kasyaaful Qinaa' 5/16-17, Al-Inshoof 8/27, Al-Iqnaa' 3/240)

Keempat : Bahkan ada sebagian fuqohaa yang menyatakan bolehnya lebih dari sekedar mencium. Yaitu bahkan dibolehkan menjilat kemaluan sang istri.

Al-Hatthoob rahimahullah berkata:

قَدْ رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَال : لاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الْفَرْجِ فِي حَال الْجِمَاعِ ، وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : وَيَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ ، وَهُوَ مُبَالَغَةٌ فِي الإِْبَاحَةِ ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ

"Telah diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwasanya ia berkata, "Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak". Dan dalam riwayat yang lain ada tambahan, "Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya".

Dan ini merupakan bentuk mubaalaghoh (sekedar penekanan) akan bolehnya, akan tetapi bukan pada dzhohirnya" (Mawaahibul Jaliil 5/23)

Al-Malibaariy Al-Fanaaniy (dari kalangan ulama abad 10 hijriyah) dari madzhab As-Syafi'iyah berkata:

يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُل تَمَتُّعٍ مِنْهَا بِمَا سِوَى حَلْقَةِ دُبُرِهَا ، وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا

"Boleh bagi seorang suami segala bentuk menikmati istrinya kecuali lingkaran dubur, bahkan meskipun mengisap kiltorisnya" (Fathul Mu'iin bi Syarh Qurrotil 'Ain bi Muhimmaatid diin, hal 482, terbitan Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama tahun 1424 H-2004 H, Tahqiq : Bassaam Abdul Wahhaab Al-Jaabi)

Kelima : Saya belum menemukan dari kalangan fuqohaa terdahulu yang mengharamkan mencium atau menjilat kemaluan pasangan. Adapun dua pendapat yang saya paparkan di awal artikel ini adalah dalil-dalil yang disebutkan oleh para ahlul ilmu zaman sekarang. Diantara para ulama yang mengharamkan oral seks adalah Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albaani rahimahullah. Adapun diantara para ulama yang memandang oral seks adalah perbuatan yang buruk hanya saja hukumnya tidak sampai haram adalah Syaikh Al-Jibriin rahimahullah (sebagaimana dinukil di internet, diantaranya di http://www.ksasound.com/vb/showthread-t_1991.html atau di http://arb3.maktoob.com/vb/arb65515/)

Meskipun hati ini condong akan haramnya oral seks mengingat sulitnya terhindar dari menjilat madzi, akan tetapi karena saya hanya menemukan perkataan fuqohaa terdahulu yang membolehkan oral seks maka saya berhenti pada pendapat mereka.

Keenam : Meskipun tidak ada pernyataan dari fuqohaa terdahulu akan haramnya oral seks akan tetapi terdapat pernyataan mereka yang menunjukkan bahwa oral seks merupakan perbuatan yang qobiih (buruk).

Sebagian ulama Malikiyah (seperti Muhammad Al-'Uthbiy) tatkala menukil perkataan Imam Malik diatas ("Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak". Dan dalam riwayat yang lain ada tambahan, "Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya), maka Al-'uthbiya membuang perkataan Imam Malik "Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya", karena Al-'Uthbiy memandang ini adalah perbuatan yang buruk (lihat Al-Bayaan wa At-Tahsiil 5/79). Akan tetapi maksud dari Imam Malik tatkala menyebutkan lafal tersebut adalah untuk penegasan akan bolehnya memandang kemaluan istri tatkala berjimak. Al-Qoodhi Abu al-Waliid Muhammad bin Rusyd rahimahullah berkata :

إِلاَّ أَنَّ الْعُلَمَاءَ يَسْتَجِيْزُوْنَ مِثْلَ هَذَا إِرَادَةَ الْبَيَانِ ، وَلِكَيْلاَ يَحْرُمُ مَا لَيْسَ بِحَرَامٍ ، فَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْعَوَامِّ يَعْتَقِدُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَتِهِ فِي حَالٍ مِنَ الْأَحْوَالِ. وَقَدْ سَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ بَعْضُهُمْ فَاسْتَغْرَبَ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ جَائِزاً وَكَذَلِكَ تَكْلِيْمُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ عِنْدَ الْوَطْءِ، لاَ إِشْكَالَ فِي جَوَازِهِ وَلاَ وَجْهَ لِكَرَاهِيَتِهِ

"Hanya saja para ulama membolehkan seperti ini dalam rangka penjelasan, sehingga tidak diharamkan perkara yang tidak haram. Karena banyak orang awam yang meyakini bahwasanya tidak boleh seseorang melihat kemaluan istrinya dalam kondisi apapun. Sebagian mereka telah bertanya kepadaku tentang hal ini, dan mereka heran kalau hal ini diperbolehkan. Demikian pula seseorang boleh berbicara dengan istrinya tatkala berjimak, tidak ada masalah dalam hal ini dan tidak ada sisi makruhnya" (Al-Bayaan wa At-Tahshiil 5/79)

Ketujuh : Bagi mereka yang terlanjur ketagihan dengan praktek oral seks hendaknya berusaha meninggalkan praktek tersebut sedikit demi sedikit. Akan tetapi hal tersebut tidak bisa ditinggalkan kecuali jika mereka juga meninggalkan menyaksikan tayangan-tayangan film porno.

Semoga Allah memberikan taufiqNya kepada kita semua.


Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 13-04-1433 H / 06 Maret 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja


Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda