BERIBADAH DENGAN MENARI-NARI (?!)
Oleh
Ustadz Abu Minhal
Masyarakat umumnya memandang persoalan menari berhubungan dengan seni
dan budaya. Berbeda dengan kalangan Sufi, mereka memastikan ada ritual
tertentu – di luar ibadah yang disyariatkan Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam – yang berfungsi sebagai amalan sholeh layaknya
ibadah-ibadah yang lain. Belakangan tidak asing lagi dipertontonkan,
aksi berdzikir (beribadah) kepada Allâh Azza wa Jalla melalui cara
berputar-putar secara teratur dengan kecepatan yang kian bertambah
kencang, yang dikenal dengan sebutan Whirling Dervishes (darwis-darwis
yang berputar) atau Tarian Sema (Arab: samâ’). Pada akhirnya, menurut
mereka, para penari akan mengalami keadaan ekstase (fanâ'), melebur
bersama Allâh Azza wa Jalla (?!)
Atribut mereka, mengenakan topi yang memanjang ke atas, jubah hitam
besar, baju putih yang melebar di bagian bawahnya seperti rok, serta
tanpa alas kaki. Mereka membungkukkan badan tanda hormat lalu mulai
melepas jubah hitamnya. Posisi tangan mereka menempel di dada, bersilang
mencengkram bahu. Demikian gambaran global tarian spiritual bernama
samâ ini.
KEUTAMAAN DAN KEDUDUKAN TARIAN SEMA DALAM PANDANGAN KAUM SUFI
Sebagai pihak satu-satunya yang melegalkan praktek tersebut[1] , mereka
menguatkannya dengan menyebutkan fadhîlah (keutaman) amalan tersebut. Di
antaranya:
1. Meyakini bahwa pelakunya mendapat pahala sebagaimana orang-orang yang berbuat amal sholeh
2. Meyakini bahwa menari salah satu faktor efektif untuk menggerakkan
keimanan dan amalan hati, seperti khauf, khasy-yah, mahabbah, roja,
sehingga tidak boleh dikatakan sebagai tindakan main-main
3. Meyakininya sebagai faktor yang mendatangkan rahmat
4. Menyatakan itu dianjurkan dalam syariat
5. Menyatakan bahwa seorang Muslim harus melakukannya untuk menuju Allâh Azza wa Jalla
Ini semua hanyalah rekaan kaum Sufi semata yang tidak berdasar sama
sekali dari syariat, untuk membenarkan ibadah yang digagas oleh Jalâldîn
ar-Rûmi dan menarik simpati umat.
APAKAH BENAR DISYARIATKAN?
Kaedah menyatakan pada asalnya hukum ibadah adalah haram kecuali yang
disyariatkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Maka, tidak
diragukan lagi bila hukum tarian spiritual yang ditujukan untuk
mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla tersebut tidak boleh
(haram). Berikut beberapa dalil pengharamannya:
1. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَذَرِ الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَعِبًا وَلَهْوًا
Dan tinggalkanlah orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau [al-An’âm/6:70]
Pada ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mencela kaum musyrikin yang
menjadikan acara permainan sebagai ajaran agama. Demikian juga para
penganut ajaran Sufi,celaan pada ayat juga mengenai mereka karena
menjadikan tarian – yang jelas merupakan salah satu bentuk acara
main-main dan melalaikan- sebagai ajaran agama untuk mendekatkan diri
kepada Allâh.
2. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allâh yang
mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allâh?
[asy-Syûrâ/42:21]
Ayat ini mengharamkan tarian Sufi karena menari dalam rangka beribadah
tidak pernah diperintahkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak diperkenankan
untuk dijadikan sebagai sarana beragama dan beribadah, maka
menjadikannya sebagai acara agama dan ibadah sebagaimana yanga dilakukan
oleh kaum Sufi menunjukkan pensyariatan sesuatu yang bukan berasal dari
Allâh, dan ini tidak boleh.
3. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِيَ
تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ
جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ
Allâh telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur`ân yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit
orang-orang yang takut kepada Rabbnya, kemudian menjadi tenang kulit
dan hati mereka di waktu mengingat Allâh..[az-Zumar/39:23] [2]
Ayat ini juga membantah tarian-tarian ibadah ala Sufi, sebab telah
menjelaskan kondisi kaum Mukminin saat mendengarkan dan menyimak dzikir
yang masyru (yang disyariatkan). Kondisi kaum Mukminin yang mengenal
Allâh Azza wa Jalla , yang takut kepada hukuman-Nya, ketika mendengarkan
firman-Nya, janji dan ancaman-Nya, hati mereka melunak, air mata
bertetesan, kulit gemetar, tampak khusyu’ dan penuh ketenangan. Tidak
seperti yang dilakukan orang-orang Sufi dengan bergerak-gerak
menari-nari dengan ritme tertentu. Maka kita katakan kepada mereka ini,
“Kondisimu tidak akan pernah menyamai kondisi Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam dan kondisi para Sahabat Radhiyallahu anhum dalam hal
ma’rifatullâh, khauf dan ta’zhîm (pengagungan) terhadap kebesaran-Nya.
Meskipun demikian kondisi mereka saat mendengarkan mauizhah ialah
memahaminya dan menangis karena takut kepada-Nya. Siapa saja yang
kondisinya tidak seperti ini berarti bukan di atas petunjuk mereka dan
tidak di atas jalan mereka”.[3]
4. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ بمُحْدَثَةٍ ِبِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِيْ النّارِ
Setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah
sesat. Dan setiap kesesatan dalam di neraka [HR. an-Nasâi 3/210]
Tarian yang ditujukan ibadah kepada Allâh Azza wa Jalla karena tidak
pernah ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat
Radhiyallahu anhum , berarti merupakan barang baru dan setiap ibadah
yang tidak dikenal di zaman beliau maka termasuk bidah yang diharamkan.
Al-Ghozâli rahimaullah menyanggah penggunaan dalil ini untuk
mengharamkan tarian yang ia dukung itu. Katanya, “Tidak setiap yang
dihukumi boleh (harus) ada riwayat dari Sahabat Radhiyallahu anhum. Yang
terlarang hanyalah melakukan bid’ah yang bertentangan dengan petunjuk
Nabi yang sudah ada . Sementara itu, tidak ada riwayat yang melarang ini
semua (tarian agama)”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah meluruskan pernyataan di atas
dengan berkata, “Sesungguhnya mempertahankan keumuman perkataan Nabi
“setiap bid’ah adalah sesat” itu harus, dan wajib mengamalkan keumuman
maknanya. Barang siapa mengklasifikasikan bid’ah menjadi (bid’ah) baik
dan jelek dan menjadikannya (klasifikasi tersebut) sebagai alasan untuk
tidak melarang adanya bid’ah sungguh ia telah keliru. Sebagaimana yang
dilakukan oleh kalangan mutafaqqihah (kaum kurang ilmu), ahlul kalam dan
kaum Sufi serta ahli ibadah (yang tidak mengikuti petunjuk Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) . Jika mereka dilarang dari
ibadah-ibadah dan praktek beragama yang baru (diada-adakan) , mereka
berkilah bahwa tidak ada bid’ah yang diharamkan kecuali yang dilarang.
Sehingga hadits itu menjadi “setiap yang dilarang”… “setiap yang
diharamkan” atau “setiap yang menyelisihi nash Nabi maka merupakan
dholâlah (kesesatan”. (Kesalahan) ini terlalu jelas untuk dijelaskan
lagi. Karena setiap yang tidak disyariatkan dalam agama adalah sesat”
5. Ijma Ulama
Umat Islam telah sepakat bahwa tarian Sufi adalah bidah dan hukumnya
dilarang. Sejumlah ulama telah menegaskannya, semisal Ibnu Taimiyah
rahimahullah, Abu Bakar ath-Tharthusi rahimahullah, Taqiyyuddîn as-Subki
rahimahullah, Ibnu Hajar al-Haitami rahimahullah, Abu Abdillâh
al-Qurthubi rahimahullah, Ibnu Katsîr rahimahullah, Ibrâhîm bin Muhammad
al-Hanafi rahimahullah [4].
6. Akal sehat
Sesungguhnya menari (tarian) petunjuk kurang akalnya orang yang
melakukannya, sebagaimana dikatakan Imam Mâlik bin Anas rahimahullah .
Islam datang untuk menyempurnakan perilaku bani Adam dan melarang mereka
dari perkara-perkara yang mengurangi akal mereka.
Syariat Islam tidak menyinggung tarian, baik dalam al-Qur`ân maupun
Hadits. Hal itu juga belum pernah dilakukan oleh satu nabi pun dan satu
tokoh dari para pengikut nabi. Karena mereka belum melakukannya, itu
menunjukan tarian ibadah itu tidak mengandung satu kebaikan pun.
Seaidaninya itu baik, sudah tenta para Sahabat akan berlomba untuk
melakukannya
Tarian Sufi berisi sejumlah keburukan seperti hilangnya muruah
(kewibawaan), tasyabuh dengan wanita dan anak-anak kecil, menyerupai
binatang-binatang dan menyerupai penganut Nasrani yang menjadikan tarian
sebagai bagian dari agama mereka, mencampuradukkan antara maksiat
dengan ibadah. Ditambah lagi, Tarian Sema kerap diiringi dengan musik
baik berupa genderang atau alat musik lainnya yang sebenarnya melalaikan
hati.
PENUTUP
Itulah gambaran ‘ibadah’ baru produk kaum Sufi. Hakekatnya, justru akan
menjauhkan dari Allâh Azza wa Jalla dan pengagungan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam dengan mengikuti petunjuknya dalam ibadah. Sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam Khutbah Hâjah. Wallâhu a’lam
Referensi.
1. Hukmu Mumârasil Fanni fisy Syarî’atil Islâmiyyah Shâeh bin Ahmad al-Ghozâli
2. Waqofâti ma’a Kitâbi Ihyâ ‘Ulûmiddîn, Sa’d al-Hushayyin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat al-Luma’ 275 dan Ihyâ ‘Ulûmiddîn 2/304
[2]. Lihat juga al-Mâidah/5:83, al-Anfâl/8:2
[3]. Tafsîr al-Qurthubi 12/59 dengan diringkas
[4]. Hukmu Mumarasatil Fanni hlm. 241
Sumber: http://almanhaj.or.id
0 comments:
Posting Komentar