Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Renungan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Januari 2014

Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari Kelahiranku

Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari Kelahiranku…”

Terdapat hadits yang tersebar yang dianggap sebagai dalil untuk merayakan maulid (hari kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu hadits,

من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة. ومن انفق درحمـا فى مولدى فكانما انفق جبلا من ذهب فى سبيل الله

“Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat, dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di dalam perjuangan fi sabilillah”

Mengenai hadits ini, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Prof. Abdullah bin Jibrin rahimahullah. Beliau ditanya, “diantara para mubalig dan khatib ada yang mengatakan di atas mimbar mengenai perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat”. Mereka menganggap ini termasuk hadits dan tidak mengingkari riwayatnya. Apakah hadits ini termasuk hadits Nabi yang shahih? Apakah terdapat di Shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan atau kitab hadits lainnya?

Dijawab oleh Syaikh Ibnu Jibrin menjawab:

“Hadits ini tidak shahih, tidak ada dalam riwayat kitab shahih (Shahih Bukhari atau Muslim) atau kitab sunan. Ini adalah hadits dusta (palsu). Perayaan maulid adalah bid’ah yang diingkari. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat beliau”.

(Sumber: http://www.ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-6019-.html)



Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 09 Januari 2014

Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

# Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

Salah satu keanehan dari para pro maulid, mereka Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan maulid? Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.

Ulama Syafi’iyyah memiliki kaedah,

اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”

Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”.

Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,

إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ

“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).

Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?

Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan Mukhtashor An Nawawi, hal. 72)

Jadi, peringatan maulid adalah ibadah. Jika termasuk ibadah haruslah butuh dalil. Jadi kami bertanya sebaliknya, mana dalil yang menyatakan bahwa para sahabat atau generasi pertama umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi. Adakah bukti Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali merayakan Maulid Nabi? Padahal Imam Malik pernah berkata,

ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

“Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama”

Terus siapa yang diikuti dan diambil petunjuknya? Apakah Nabi Muhammad? Apakah para sahabat? Atau kyai? Atau karena tradisi yang diikuti?

Kalau ada yang mengatakan perayaan Maulid Nabi bukanlah ibadah, itu hanyalah omong kosong. Masa’ membaca shalawat, mengekspresikan cinta pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan ingin meraih pahala? Yang namanya ingin meraih pahala tentu saja termasuk ibadah.

Salah satu tulisan yang mesti dibaca: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/beda-antara-adat-dan-ibadah-3121

Hanya Allah yang memberi taufik.

—

Disusun di Makkah, 6 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

----------------
Admin: Sobat apakah kamu tahu sejarah maulid Nabi ternyata dari orang-orang Syi'ah? Baca artikelnya disini ...

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-227

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-2-868# Mana Dalil yang Menyatakan Perayaan Maulid Haram?

Salah satu keanehan dari para pro maulid, mereka Menanyakan mana dalil yang mengharamkan maulid secara khusus. Padahal seharusnya yang ditanyakan adalah mana dalil yang memerintahkan untuk merayakan maulid atau mengekspresikan cinta Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan maulid? 
 
Karena kaedahnya tentu berbeda antara masalah ibadah dan masalah muamalah atau adat (non-ibadah). Kalau dalam masalah ibadah, hukum asalnya adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Untuk masalah muamalat atau adat, berlaku hukum sebaliknya. Hukum asal dalam perkara non-ibadah adalah boleh sampai ada dalil yang melarang.

Ulama Syafi’iyyah memiliki kaedah,

اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف

“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”

Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan. Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan. Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan. Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,

أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف

“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil)” (Fathul Bari, 2: 80).

Ibnu Daqiq Al ‘Ied, salah seorang ulama besar Syafi’i juga berkata,

لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى الْعِبَادَاتِ التَّعَبُّدُ ، وَمَأْخَذُهَا التَّوْقِيفُ

“Umumnya ibadah adalah ta’abbud (beribadah pada Allah). Dan patokannya adalah dengan melihat dalil”.

Kaedah ini beliau sebutkan dalam kitab Ihkamul Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam.

Ibnu Taimiyah lebih memperjelas kaedah antara ibadah dan non-ibadah. Beliau rahimahullah berkata,

إنَّ الْأَصْلَ فِي الْعِبَادَاتِ التَّوْقِيفُ فَلَا يُشْرَعُ مِنْهَا إلَّا مَا شَرَعَهُ اللَّهُ تَعَالَى . وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ } . وَالْعَادَاتُ الْأَصْلُ فِيهَا الْعَفْوُ فَلَا يَحْظُرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَرَّمَهُ وَإِلَّا دَخَلْنَا فِي مَعْنَى قَوْلِهِ : { قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا } وَلِهَذَا ذَمَّ اللَّهُ الْمُشْرِكِينَ الَّذِينَ شَرَعُوا مِنْ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَحَرَّمُوا مَا لَمْ يُحَرِّمْهُ

“Hukum asal ibadah adalah tawqifiyah (dilaksanakan jika ada dalil). Ibadah tidaklah diperintahkan sampai ada perintah dari Allah. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21). Sedangkan perkara adat (non-ibadah), hukum asalnya adalah dimaafkan, maka tidaklah ada larangan untuk dilakukan sampai datang dalil larangan. Jika tidak, maka termasuk dalam firman Allah (yang artinya), “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal” (QS. Yunus: 59). Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang membuat syari’at yang tidak diizinkan oleh Allah dan mengharamkan yang tidak diharamkan. (Majmu’ Al Fatawa, 29: 17).

Atau mungkin Maulid bukan ibadah? Lantas kenapa capek-capek merayakannya kalau bukan maksud ibadah? Bukankah merayakan maulid untuk menunjukkan cinta Rasul, maka tentu pahala yang ingin diraih?

Sehingga tidak tepat dan terasa aneh jika dalam masalah Maulid, ada yang berujar, “Kan tidak ada dalil yang melarang? Gitu saja kok repot …”. Maka cukup kami sanggah bahwa hadits ‘Aisyah sudah sebagai dalilnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718).

Murid Imam Nawawi, Ibnu ‘Atthor rahimahullah menjelaskan mengenai hadits ini, “Para ulama menganggap perbuatan bid’ah yang tidak pernah diajarkan dalam Islam yang direkayasa oleh orang yang tidak berilmu, di mana amalan tersebut adalah sesuatu yang tidak ada landasan (alias: tidak berdalil), maka sudah sepantasnya hal ini diingkari. Pelaku bid’ah cukup disanggah dengan hadits yang shahih dan tegas ini karena perbuatan bid’ah itu mencacati ibadah.” (Lihat Syarh Al Arba’in An Nawawiyah atau dikenal pula dengan Mukhtashor An Nawawi, hal. 72)

Jadi, peringatan maulid adalah ibadah. Jika termasuk ibadah haruslah butuh dalil. Jadi kami bertanya sebaliknya, mana dalil yang menyatakan bahwa para sahabat atau generasi pertama umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi. Adakah bukti Abu Bakr, Umar, Utsman dan ‘Ali merayakan Maulid Nabi? Padahal Imam Malik pernah berkata,

ولا يصلح آخر هذه الأمة إلا ما أصلح أولها

“Umat saat ini tidak bisa menjadi baik melainkan dengan mengikuti baiknya generasi Islam yang pertama”

Terus siapa yang diikuti dan diambil petunjuknya? Apakah Nabi Muhammad? Apakah para sahabat? Atau kyai? Atau karena tradisi yang diikuti?

Kalau ada yang mengatakan perayaan Maulid Nabi bukanlah ibadah, itu hanyalah omong kosong. Masa’ membaca shalawat, mengekspresikan cinta pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan ingin meraih pahala? Yang namanya ingin meraih pahala tentu saja termasuk ibadah.

Salah satu tulisan yang mesti dibaca: http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/beda-antara-adat-dan-ibadah-3121

Hanya Allah yang memberi taufik.



Disusun di Makkah, 6 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

----------------
Admin: Sobat apakah kamu tahu sejarah maulid Nabi ternyata dari orang-orang Syi'ah? Baca artikelnya disini ...

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-227

http://rumaysho.com/jalan-kebenaran/sejarah-kelam-maulid-nabi-2-868

Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

# Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

Sebagian yang merayakan Maulid Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal beralasan bahwa perayaan tersebut dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah alasan ini bisa melegalkan perayaan Maulid Nabi?

Berikut beberapa alasan kenapa peringatan kelahiran nabi tidak perlu dirayakan:

Pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).

Kedua:

Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).

Ketiga:

Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ ” شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Keempat:

Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima:

Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Dikembangkan dari Rasa-il Hukmu Al Ihtifal bi Maulid An Nabawi, 1: 137-142, terbitan Darul Ifta’]

Silakan renungkan dan cermati. Itulah 5 alasan kenapa kita selaku umat Islam tidak perlu memperingati kelahiran Nabi. Cukup suri tauladan beliau dan warisan ilmu dari beliau yang kita ambil karena itulah jalan selamat.

—-

@ Masjid Nabawi, 5 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id# Perlukah Memperingati Hari Kelahiran Nabi?

Sebagian yang merayakan Maulid Nabi pada 12 Rabi’ul Awwal beralasan bahwa perayaan tersebut dimaksudkan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah alasan ini bisa melegalkan perayaan Maulid Nabi?

Berikut beberapa alasan kenapa peringatan kelahiran nabi tidak perlu dirayakan:

Pertama:

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah memerintahkan umatnya untuk memperingati maaulid dan tidak pernah memerintahkan mengingat kelahiran, karakter istimewa, mukjizat, sirah dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus melalui peringatan maulid. Bahkan hal ini merupakan bid’ah yang diada-adakan sepeninggal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah maulid mulai muncul sekitar 600 tahun sepeninggal beliau. Padahal mengenai perkara bid’ah telah diperingatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Hadits-hadits semacam ini menunjukkan tercelanya peringatan maulid dan perayaan tersebut merupakan perayaan yang mardud (tertolak).

Kedua:

Mengenal kelahiran, karakteristik, mukjizat, sirah serta akhlak mulia beliau bukan hanya ketika maulid saja. Mengenal beliau dan hal-hal tadi bukan hanya pada waktu tertentu dan dalam kumpulan tertentu, akan tetapi setiap saat, sepanjang waktu. Tidak seperti orang-orang yang pro maulid yang memperingatinya hanya ketika malam maulid, malam-malam yang lain tidak demikian. Amalan semacam ini didasari pada tradisi semata yang diambil dari nenek moyang sebelum mereka,

بَلْ قَالُوا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ

“Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka” (QS. Az Zukhruf: 22).

Sebelumnya yang menghidupkan maulid nabi adalah Sulthon Irbil. Mulai dari masa beliau, maulid nabi diperingati setiap tahunnya. Padahal perayaan ini tidaklah diizinkan dan diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Perayaan ini masuk dalam keumuman ayat,

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21).

Ketiga:

Meneladani Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan ittiba’ (mengikuti ajaran) beliau dan berpegang dengan sunnah beliau serta mendahulukan petunjuk beliau dari yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).

وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepada Rasul, niscaya kamu mendapat petunjuk.” (QS. An Nur: 54)

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. An Nisa’: 13).

Demikianlah yang diajarkan dalam Islam. Dalam suatu perayaan pun harus mengikuti petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merayakan maulid adalah suatu ibadah. Bagaimana mungkin tidak dikatakan sebagai suatu ibadah? Wong, orang yang rayakan saja ingin mengingat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pasti ingin cari pahala. Ini jelas ibadah, bukan perkara mubah biasa. Sedangkan dalam ibadah mesti ikhlas kepada Allah dan mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak memenuhi dua kriteria ini, amalan tersebut tertolak.

Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al Fatawa (1: 333) berkata,

وَبِالْجُمْلَةِ فَمَعَنَا أَصْلَانِ عَظِيمَانِ أَحَدُهُمَا : أَنْ لَا نَعْبُدَ إلَّا اللَّهَ . وَالثَّانِي : أَنْ لَا نَعْبُدَهُ إلَّا بِمَا شَرَعَ لَا نَعْبُدُهُ بِعِبَادَةِ مُبْتَدَعَةٍ . وَهَذَانِ الْأَصْلَانِ هُمَا تَحْقِيقُ ” شَهَادَةِ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

“Ini adalah dua landasan agung dalam agama ini yaitu: tidak beribadah selain pada Allah semata dan tidak beribadah kecuali dengan ibadah yang disyari’atkan, bukan dengan ibadah yang berbau bid’ah. Inilah konsekuensi atau perwujudan dari syahadat laa ilaha illallah (tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah) dan syahadat (pernyataan) bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.

Keempat:

Memperingati maulid bukanlah ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pula amalan para sahabat yang mulia, bukan pula amalan tabi’in, dan bukan pula amalan para imam yang mendapat petunjuk setelah mereka. Perayaan maulid hanyalah perayaan yang berasal dari Sulthon Irbil (pelopor maulid nabi pertama kali). Jadi, siapa saja yang memperingati maulid, dia hanyalah mengikuti ajaran Sulthon Irbil baik atas dasar ia tahu ataukah tidak, bukan mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima:

Meneladani dan mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beramal dan dalam keadaan berniat yang benar, haruslah dengan mengikuti ajaran beliau dan para sahabatnya. Begitu pula ia memperingatkan dari setiap bid’ah, di antaranya adalah bid’ah maulid.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

[Dikembangkan dari Rasa-il Hukmu Al Ihtifal bi Maulid An Nabawi, 1: 137-142, terbitan Darul Ifta’]

Silakan renungkan dan cermati. Itulah 5 alasan kenapa kita selaku umat Islam tidak perlu memperingati kelahiran Nabi. Cukup suri tauladan beliau dan warisan ilmu dari beliau yang kita ambil karena itulah jalan selamat.

—-

@ Masjid Nabawi, 5 Rabi’ul Awwal 1435 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id

Kamis, 19 Desember 2013

Apa dan Bagaimana kita bersikap dengan Perayaan Non Muslim

Pertanyaan dari Ikhwan Witno Gattuso@ 

Tanya : 

Assalamu'alaikum warrahmatullohi wabbarrakatuh.
Semoga Ustadz Hasan sekeluarga dalam keadaan sehat wal afiat.

Afwan pak Ustad...ana bkrja dengan orang nasrani.
Ana sudah berusaha untuk mengingkari cara-cara mereka..
Misal ulang tahun ana sdh tidak mengucapkan.
Natal juga ana ga mengucapkan...

Justru ana bingungnya kalau hari raya china.
Karena kebiasaan bos ana pas hari raya china nanti kira-kira jam 10 an pagi dia sekeluarga turun dan memanggil semua pembantu/pekerjanya yg di rumah.
Satu per satu menemui bos skeluarga bukan bersalaman tp yang kaya orang china yang di tivi itu,sambil mengucap gong xi fa cai..lalu bos atau istri ngasih angpao/amplop duit.

Ana makan dan tidur di rmh bos.otomatis ana ga bisa menghjindar ...
Tahun kemarin wkt acara salam-salaman ana paling akhir ana ga mengangkat tangan dan ga mengucapkan gong xi fa cai tp ana mendo'akan pakai bahasa indonesia sambil berjabat tangan..

Ana mohon pencerahan ustad..

(Dari Witno Gattuso@) 


Jawaban : 

Bismillaah'Wa alaikumus salam warahmatullahi wa Barakaatuh...

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,Saudaraku Witno Gattuso@ Syukron doanya smoga Allah mengabulkan.....

Pertama, islam tidak melarang kita untuk bersikap baik terhadap orang non muslim yang tidak mengganggu. Salah satunya adalah dengan menerima hadiah dari orang kafir. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab:

بَابُ قَبُولِ الهَدِيَّةِ مِنَ المُشْرِكِينَ

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Riwayat dari Abu Huamid,

قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

Abu Humaid mengatakan, “Raja Ailah menghadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor bighal putih, beliau diberi selendang, dan kekuasaan daerah pesisir laut.

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Keterangan dari Anas bin Malik,

أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya..

Semua riwayat di atas, yang disebutkan Imam bukhari dalam shahihnya, menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari orang kafir.Insya Allah Ba'da' Shalat dzuhur kita lanjutkan sebab di tempat ana sudah masuk wktu untuk shalat dzuhur.
Kedua, hukum menerima hadiah pada hari raya orang kafir

Angpao dibagikan dalam rangka memeriahkan hari raya imlek. Dengan demikian, angpao merupakan hadiah hari raya orang kafir, sebagaimana hadiah natal.

Untuk mendapatkan kesimpulan hukum tentang hadiah yang diberikan pada saat hari raya mereka, mari kita simak beberapa keterangan ulama berikut,

Syaikhul Islam mengatakan,

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها .

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

وروى ابن أبي شيبة .. أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم .
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

و.. عن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان ، فكان يقول لأهله : ما كان من فاكهة فكلوه ، وما كان من غير ذلك فردوه .

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم … “.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5).Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan ahli kitab, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih karena hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau menyatakan,

وأما ما ذبحه أهل الكتاب لأعيادهم وما يتقربون بذبحه إلى غير الله نظير ما يذبح المسلمون هداياهم وضحاياهم متقربين بها إلى الله تعالى ، وذلك مثل ما يذبحون للمسيح والزهرة ، فعن أحمد فيها روايتان أشهرهما في نصوصه أنه لا يباح أكله وإن لم يسم عليه غير الله تعالى ، ونقل النهي عن ذلك عن عائشة وعبد الله بن عمر.

Sembelihan ahli kitab untuk hari raya mereka dan sembelihan yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan kaum muslimin ketika berqurban atau menyembelih hewan hadyu, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan dalam rangka hari raya ahli kitab, seperti mennyembelih untuk Al-Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat yang lebih banyak dari beliau adalah tidak boleh dimakan. Meskipun ketika menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan terdapat riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A’isyah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:6).Orang Muslim Tidak Boleh Meniru

Syaikhul islam menegaskan, seorang muslim tidak boleh memberikan hadiah kepada muslim yang lain pada hari raya orang kafir. Beliau mengatakan,

ومن أهدى من المسلمين هدية في هذه الأعياد ، مخالفة للعادة في سائر الأوقات غير هذا العيد ، لم تقبل هديته ، خصوصا إن كانت الهدية مما يستعان بها على التشبه بهم ، مثل : إهداء الشمع ونحوه في الميلاد أو إهداء البيض واللبن والغنم في الخميس الصغير الذي في آخر صومهم ، وكذلك أيضا لا يهدى لأحد من المسلمين في هذه الأعياد هدية لأجل العيد ، لا سيما إذا كان مما يستعان بها على التشبه بهم  كما ذكرناه

Seorang muslim yang memberikan hadiah ketika hari raya orang kafir, padahal itu tidak pernah dia lakukan di luar hari raya tersebut maka hadiahnya tidak boleh diterima. Terlebih jika hadiah tersebut membantu untuk ikut meniru kebiasaan orang kafir, seperti menghadiahkan lilin atau semacamnya ketika natal, atau menghadiahkan telur, susu, dan daging kambing ketika hari kamis di tanggal terakhir puasa mereka. Demikian pula, tidak boleh memberi hadiah kepada orang muslim pada hari raya non mulim, dalam rangka memeriahkan hari tersebut. Terlebih jika benda itu mendukung untuk meniru kebiasaan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 1:461)
Tidak berlaku sebaliknya

Penjelasan di atas, terkait hukum menerima hadiah dari orang kafir. Namun hukum ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya, memberikan hadiah kepada orang kafir ketika hari raya mereka. Ulama Hanafi menegaskan, memberi hadiah dari orang kafir dalam rangka memeriahkan hari raya mereka, hukumnya terlarang, dan bahkan mereka anggap sebagai pembatal islam. Az-Zaila’i (ulama hanafi) mengatakan,


(والإعطاء باسم النيروز والمهرجان لا يجوز) أي الهدايا باسم هذين اليومين حرام بل كفر , وقال أبو حفص الكبير رحمه الله لو أن رجلا عبد الله خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز , وأهدى لبعض المشركين بيضة ، يريد به تعظيم ذلك اليوم ، فقد كفر , وحبط عمله .

“(Hadiah dengan nama Nairuz dan Mihrajan, hukumnya tidak boleh). Maksudany, hadiah dalam rangka memeriahkan dua hari ini hukumnya haram bahkan kekafiran. Abu Hafs Al-Kabir mengatakan, ‘Jika ada orang yang beribadah kepada Allah selama 50 tahun. Kemudian dia datang pada hari Nairuz, dan memberikan hadiah telur kepada orang musyrik, dalang rangka memeriahkan dan mengagungkan hari raya itu maka dia telah murtad dan amalnya terhapus.” (Tabyin Al-Haqaiq, 6/228).

Kesimpulan yang bisa kita catat dari penjelasan di atas, bahwa kita dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, dengan syarat,

Hadiah itu bukan termasuk sembelihan mereka
Hadiah itu bukan termasuk benda yang memfasilitasi orang untuk meniru ciri khas mareka saat hari raya.
Menerima hadiah itu sama sekali tidak dikesankan mendukung acara mereka.
Menerima hadiah itu dalam rangka mengambil hati mereka, dengan harapan, mereka bisa simpati kepada islam.
Dengan demikian, jika menerima hadiah angpao memenuhi beberapa persyaratan di atas, hukumnya dibolehkan.

Kemudian kita sebagai seorang Muslim di Haramkan mendoakan kebaikan bagi orang Kafir dan pada artikel kemarin sudah kami bahas tentang Hukum mendoakan orang kafir,akan tetapi kita dibolehkan mendoakan mereka agar mendapat Hidayah dan selainnya Hukumnya adalah Haram. Wallahu Ta'ala a'lam 


[Abu Hasan]Pertanyaan dari Ikhwan Witno Gattuso@

Tanya :

Assalamu'alaikum warrahmatullohi wabbarrakatuh.
Semoga Ustadz Hasan sekeluarga dalam keadaan sehat wal afiat.

Afwan pak Ustad...ana bkrja dengan orang nasrani.
Ana sudah berusaha untuk mengingkari cara-cara mereka..
Misal ulang tahun ana sdh tidak mengucapkan.
Natal juga ana ga mengucapkan...

Justru ana bingungnya kalau hari raya china.
Karena kebiasaan bos ana pas hari raya china nanti kira-kira jam 10 an pagi dia sekeluarga turun dan memanggil semua pembantu/pekerjanya yg di rumah.
Satu per satu menemui bos skeluarga bukan bersalaman tp yang kaya orang china yang di tivi itu,sambil mengucap gong xi fa cai..lalu bos atau istri ngasih angpao/amplop duit.

Ana makan dan tidur di rmh bos.otomatis ana ga bisa menghjindar ...
Tahun kemarin wkt acara salam-salaman ana paling akhir ana ga mengangkat tangan dan ga mengucapkan gong xi fa cai tp ana mendo'akan pakai bahasa indonesia sambil berjabat tangan..

Ana mohon pencerahan ustad..

(Dari Witno Gattuso@)


Jawaban :

Bismillaah'Wa alaikumus salam warahmatullahi wa Barakaatuh...

Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,Saudaraku Witno Gattuso@ Syukron doanya smoga Allah mengabulkan.....

Pertama, islam tidak melarang kita untuk bersikap baik terhadap orang non muslim yang tidak mengganggu. Salah satunya adalah dengan menerima hadiah dari orang kafir. Allah berfirman,

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan:

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab:

بَابُ قَبُولِ الهَدِيَّةِ مِنَ المُشْرِكِينَ

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Riwayat dari Abu Huamid,

قَالَ أَبُو حُمَيْدٍ: أَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ

Abu Humaid mengatakan, “Raja Ailah menghadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor bighal putih, beliau diberi selendang, dan kekuasaan daerah pesisir laut.

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

إِنَّ أُكَيْدِرَ دُومَةَ أَهْدَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Keterangan dari Anas bin Malik,

أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya..

Semua riwayat di atas, yang disebutkan Imam bukhari dalam shahihnya, menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari orang kafir.Insya Allah Ba'da' Shalat dzuhur kita lanjutkan sebab di tempat ana sudah masuk wktu untuk shalat dzuhur.
Kedua, hukum menerima hadiah pada hari raya orang kafir

Angpao dibagikan dalam rangka memeriahkan hari raya imlek. Dengan demikian, angpao merupakan hadiah hari raya orang kafir, sebagaimana hadiah natal.

Untuk mendapatkan kesimpulan hukum tentang hadiah yang diberikan pada saat hari raya mereka, mari kita simak beberapa keterangan ulama berikut,

Syaikhul Islam mengatakan,

وأما قبول الهدية منهم يوم عيدهم فقد قدمنا عن علي بن أبي طالب رضي الله عنه أنه أتي بهدية النيروز فقبلها .

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

وروى ابن أبي شيبة .. أن امرأة سألت عائشة قالت إن لنا أظآرا [جمع ظئر ، وهي المرضع] من المجوس ، وإنه يكون لهم العيد فيهدون لنا فقالت : أما ما ذبح لذلك اليوم فلا تأكلوا ، ولكن كلوا من أشجارهم .
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

و.. عن أبي برزة أنه كان له سكان مجوس فكانوا يهدون له في النيروز والمهرجان ، فكان يقول لأهله : ما كان من فاكهة فكلوه ، وما كان من غير ذلك فردوه .

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

فهذا كله يدل على أنه لا تأثير للعيد في المنع من قبول هديتهم ، بل حكمها في العيد وغيره سواء ؛ لأنه ليس في ذلك إعانة لهم على شعائر كفرهم … “.

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5).Kemudian Syaikhul Islam menegaskan bahwa sembelihan ahli kitab, meskipun pada asalnya hukumnya halal, namun jika disembelih karena hari raya mereka maka statusnya tidak boleh dimakan. Beliau menyatakan,

وأما ما ذبحه أهل الكتاب لأعيادهم وما يتقربون بذبحه إلى غير الله نظير ما يذبح المسلمون هداياهم وضحاياهم متقربين بها إلى الله تعالى ، وذلك مثل ما يذبحون للمسيح والزهرة ، فعن أحمد فيها روايتان أشهرهما في نصوصه أنه لا يباح أكله وإن لم يسم عليه غير الله تعالى ، ونقل النهي عن ذلك عن عائشة وعبد الله بن عمر.

Sembelihan ahli kitab untuk hari raya mereka dan sembelihan yang mereka jadikan untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, statusnya sembelihan ibadah sebagaimana layaknya yang dilakukan kaum muslimin ketika berqurban atau menyembelih hewan hadyu, sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sembelihan dalam rangka hari raya ahli kitab, seperti mennyembelih untuk Al-Masih atau Az-Zahrah. Ada dua riwayat dari Imam Ahmad. Riwayat yang lebih banyak dari beliau adalah tidak boleh dimakan. Meskipun ketika menyembelih tidak menyebut nama selain Allah. Dan terdapat riwayat yang melarang memakan sembelihan ini dari A’isyah dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhum. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:6).Orang Muslim Tidak Boleh Meniru

Syaikhul islam menegaskan, seorang muslim tidak boleh memberikan hadiah kepada muslim yang lain pada hari raya orang kafir. Beliau mengatakan,

ومن أهدى من المسلمين هدية في هذه الأعياد ، مخالفة للعادة في سائر الأوقات غير هذا العيد ، لم تقبل هديته ، خصوصا إن كانت الهدية مما يستعان بها على التشبه بهم ، مثل : إهداء الشمع ونحوه في الميلاد أو إهداء البيض واللبن والغنم في الخميس الصغير الذي في آخر صومهم ، وكذلك أيضا لا يهدى لأحد من المسلمين في هذه الأعياد هدية لأجل العيد ، لا سيما إذا كان مما يستعان بها على التشبه بهم كما ذكرناه

Seorang muslim yang memberikan hadiah ketika hari raya orang kafir, padahal itu tidak pernah dia lakukan di luar hari raya tersebut maka hadiahnya tidak boleh diterima. Terlebih jika hadiah tersebut membantu untuk ikut meniru kebiasaan orang kafir, seperti menghadiahkan lilin atau semacamnya ketika natal, atau menghadiahkan telur, susu, dan daging kambing ketika hari kamis di tanggal terakhir puasa mereka. Demikian pula, tidak boleh memberi hadiah kepada orang muslim pada hari raya non mulim, dalam rangka memeriahkan hari tersebut. Terlebih jika benda itu mendukung untuk meniru kebiasaan mereka, sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 1:461)
Tidak berlaku sebaliknya

Penjelasan di atas, terkait hukum menerima hadiah dari orang kafir. Namun hukum ini tidak berlaku untuk kasus sebaliknya, memberikan hadiah kepada orang kafir ketika hari raya mereka. Ulama Hanafi menegaskan, memberi hadiah dari orang kafir dalam rangka memeriahkan hari raya mereka, hukumnya terlarang, dan bahkan mereka anggap sebagai pembatal islam. Az-Zaila’i (ulama hanafi) mengatakan,


(والإعطاء باسم النيروز والمهرجان لا يجوز) أي الهدايا باسم هذين اليومين حرام بل كفر , وقال أبو حفص الكبير رحمه الله لو أن رجلا عبد الله خمسين سنة ثم جاء يوم النيروز , وأهدى لبعض المشركين بيضة ، يريد به تعظيم ذلك اليوم ، فقد كفر , وحبط عمله .

“(Hadiah dengan nama Nairuz dan Mihrajan, hukumnya tidak boleh). Maksudany, hadiah dalam rangka memeriahkan dua hari ini hukumnya haram bahkan kekafiran. Abu Hafs Al-Kabir mengatakan, ‘Jika ada orang yang beribadah kepada Allah selama 50 tahun. Kemudian dia datang pada hari Nairuz, dan memberikan hadiah telur kepada orang musyrik, dalang rangka memeriahkan dan mengagungkan hari raya itu maka dia telah murtad dan amalnya terhapus.” (Tabyin Al-Haqaiq, 6/228).

Kesimpulan yang bisa kita catat dari penjelasan di atas, bahwa kita dibolehkan menerima hadiah dari orang kafir pada hari raya mereka, dengan syarat,

Hadiah itu bukan termasuk sembelihan mereka
Hadiah itu bukan termasuk benda yang memfasilitasi orang untuk meniru ciri khas mareka saat hari raya.
Menerima hadiah itu sama sekali tidak dikesankan mendukung acara mereka.
Menerima hadiah itu dalam rangka mengambil hati mereka, dengan harapan, mereka bisa simpati kepada islam.
Dengan demikian, jika menerima hadiah angpao memenuhi beberapa persyaratan di atas, hukumnya dibolehkan.

Kemudian kita sebagai seorang Muslim di Haramkan mendoakan kebaikan bagi orang Kafir dan pada artikel kemarin sudah kami bahas tentang Hukum mendoakan orang kafir,akan tetapi kita dibolehkan mendoakan mereka agar mendapat Hidayah dan selainnya Hukumnya adalah Haram. Wallahu Ta'ala a'lam


[Abu Hasan]

Senin, 16 Desember 2013

Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak

Hukum Merayakan Ulang Tahun Anak

Oleh
Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin



Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah perayaan ulang tahun anak termasuk tasyabbuh (tindakan menyerupai) dengan budaya orang barat yang kafir ataukah semacam cara menyenangkan dan
menggembirakan hati anak dan keluarganya ?

Jawaban.
Perayaan ulang tahun anak tidak lepas dari dua hal ; dianggap sebagai ibadah, atau hanya adat kebiasaan saja. Kalau dimaksudkan sebagai ibadah, maka hal itu termasuk bid'ah dalam agama Allah. Padahal peringatan dari amalan bid'ah dan penegasan bahwa dia termasuk sesat telah datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

"Artinya : Jauhilah perkara-perkara baru. Sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat. Dan setiap kesesatan berada dalam Neraka".

Namun jika dimaksudkan sebagai adat kebiasaan saja, maka hal itu mengandung dua sisi larangan.

Pertama.
Menjadikannya sebagai salah satu hari raya yang sebenarnya bukan merupakan hari raya ('Ied). Tindakan ini berarti suatu kelalancangan terhadap Allah dan RasulNya, dimana kita menetapkannya sebagai 'Ied (hari raya) dalam Islam, padahal Allah dan RasulNya tidak pernah menjadikannya sebagai hari raya.

Saat memasuki kota Madinah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapati dua hari raya yang digunakan kaum Anshar sebagai waktu bersenang-senang dan menganggapnya sebagai hari 'Ied, maka beliau bersabda.

"Artinya : Sesungguhnya Allah telah menggantikan bagi kalian hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu 'Idul Fitri dan 'Idul Adha".

Kedua.
Adanya unsur tasyabbuh (menyerupai) dengan musuh-musuh Allah. Budaya ini bukan merupakan budaya kaum muslimin, namun warisan dari non muslim. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Barangsiapa meniru-niru suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka".

Kemudian panjang umur bagi seseorang tidak selalu berbuah baik, kecuali kalau dihabiskan dalam menggapai keridhaan Allah dan ketaatanNya. Sebaik-baik orang adalah orang yang panjang umurnya dan baik amalannya. Sementara orang yang paling buruk adalah manusia yang panjang umurnya dan buruk amalanya.

Karena itulah, sebagian ulama tidak menyukai do'a agar dikaruniakan umur panjang secara mutlak. Mereka kurang setuju dengan ungkapan : "Semoga Allah memanjangkan umurmu" kecuali dengan keterangan "Dalam ketaatanNya" atau "Dalam kebaikan" atau kalimat yang serupa. Alasannya umur panjang kadangkala tidak baik bagi yang bersangkutan, karena umur yang panjang jika disertai dengan amalan yang buruk -semoga Allah menjauhkan kita darinya- hanya akan membawa keburukan baginya, serta menambah siksaan dan malapetaka.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (kearah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui. Dan Aku memberi tangguh kepada mereka. Sesungguhnya rencana amat teguh". [Al-A'raf : 182-183]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

"Artinya : Dan janganlah sekali-kali orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah labih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka adzab yang menghinakan". [Ali-Imran : 178]

[Fatawa Manarul Islam 1/43]

[Disalin dari kitab Fatawa Ath-thiflul Muslim, edisi Indonesia 150 Fatwa Seputar Anak Muslim, Penyusun Yahya bin Sa'id Alu Syalwan, Penerjemah Ashim, Penerbit Griya Ilmu]

Sumber

Jumat, 13 Desember 2013

Berpikirlah Tentang Ciptaan Allah dan Janganlah Berpikir Tentang Allah

Berpikirlah Tentang Ciptaan Allah dan Janganlah Berpikir Tentang Allah

Dengan Nama Allaah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Berpikirlah Tentang Ciptaan Allah Dan Janganlah Berpikir Tentang Allah

Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam Bersabda”

“Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan sekali-kali berpikir tentang Allah, sebab memikirkan tentang Ar Rabb (Allah) akan menggoreskan keraguan dalam hati“.

Berkata Al Imam Al Barbahari Rahimahullahu Ta’ala:

والفكرة في الله بدعة لقول رسول الله صلى الله عليه وسلم تفكروا في الخلق ولا تفكروا في الله فإن الفكرة في الرب تقدح الشك في القلب

Dan memikirkan tentang Allah Azza wajalla adalah bid’ah berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam,

Syaikh Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi

Ucapan beliau (Al Imam Al Barbahari Rahimahullah) ini, yakni hadits ini, dikatakan oleh Mu’aliq (yakni Al Qahthani) dikeluarkan oleh Abu Syaikh, dan hadits ini adalah hadits dha’if. Hal ini disebutkan oleh Syaikh Al Albani Rahimahullah dalam kitab Dho’iful Jami’ no. 2480 akan tetapi beliau shahihkan dalam kitab Shahihul Jami’ (3/49) dan beliau menyebutkan bahwa hadits ini Hasan. Lihatlah kitab Silsilah Al hadits As Shahihah (4/395). Aku katakan (Al Qahthani), “Penshahihan hadits ini perlu diteliti kembali, bisa jadi ini adalah ucapan sebagian ulama salaf“.

Aku (Syaikh Ahmad An Najmi) katakan: Berpikir tentang Allah Azza wajalla, yakni memikirkan dzat Allah Azza wajalla tidak selayaknya untuk dilakukan. Sebab apabila seorang hamba itu berpikir, maka dia berpikir dengan apa yang tergambar oleh akalnya dan apa yang terbetik dalam benaknya dari hal-hal yang terlihat, terdengar, dan diketahui. Sedangkan Allah Azza wajalla berada di atas itu semua. Tidak layak bagi seorang pun untuk memikirkan dzat Allah Azza wajalla, sebab tatkala ia menggambarkan sesuatu tentang dri Allah Azza wajalla maka Allah Azza wajalla berbeda dengan apa yang ia gambarkan dan cukup bagi kita berpikir tentang makhluk-makhluk-Nya, dan tentang kekuasaan-Nya yang luar biasa.

Kalau seandainya seseorang itu mau memikirkan tentang asal kejadiannya sendiri niscaya hal itu telah cukup baginya. Hendaknya dia memikirkan bagaimana Allah Azza wajalla mengubah air mani, yang darinya Allah Azza wajalla menciptakan makhluk yang agung ini, dan bagaimana Allah Azza wajalla mengubah air mani yang darinya Allah Azza wajalla menciptakan berbagai jenis hewan dan bagaimana Allah Azza wajalla mempersiapkan segala sesuatu dari makhluk-makhluk ini untuk tujuan tertentu. Allah Azza wajalla mempersiapkan sapi untuk mengolah tanah pertanian dan Allah Azza wajalla mempersiapkan unta untuk kendaraan dan yang lainnya dari hal-hal yang kita saksikan dan kita ketahui. Yang Kuasa mengubah air mani tersebut, dari air mani menjadi manusia dan menjadi hewan, bukankah yang mampu melaksanakan hal itu adalah Ar Rabb Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu?! Tentu, dan kita termasuk orang-orang yang menyaksikan akan hal itu.

Yang jelas, bahwasanya berpikir itu selayaknya diarahkan kepada ciptaan Allah Azza wajalla bukan pada dzat Allah Azza wajalla. hendaknya kita membaca firman Allah,

فَاطِرُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuuraa: 11)

Wajib bagi kita untuk berserah diri menerima ayat ini sehingga akal kita tidak meraba-raba sesuatu yang tidak layak untuk dipikirkan. Apabila Surga saja di dalamnya terdapat kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik dalam hati seseorang padahal itu adalah makhluk Allah Azza wajalla, lantas bagaimana dzat Allah?! Wabillahit taufiq.

________

Penulis: Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi
Dipublish Ulang oleh: Abu Hasan
Sumber: Maktabah Al Ghuroba, hal 246-248
Judul asli: Memikirkan Tentang Allah ‘Azza wajalla Adalah Bid’ah
Sumber

Kamis, 12 Desember 2013

Penentuan Nasib dengan Burung (Tathoyyur)

Penentuan Nasib dengan Burung (Tathoyyur)

Dengan Nama Allaah yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang

Sering dijumpai bila seseorang melihat atau mendengar suara burung seperti burung hantu atau burung yang lainnya, maka orang itu mengatakan “Akan ada orang yang celaka atau meninggal di daerah sini”. Mereka menjadikan burung itu sebagai penentu nasib pembawa sial (petaka). Ramalan atau kepercayaan itu merupakan suatu kesyirikan kepada Allah Subhanahu wata’ala, mari simak ulasan ulama berikut ini berdasarkan Alquran dan hadits.

Al Qur’an

1.Firman Allah Subhanahu wata’ala :

ألا إنما طائرهم عند الله ولكن أكثرهم لا يعلمون

“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” (QS. Al A’raf, 131).

2. Allah Subhanahu wata’ala berfirman :

قالوا طائرهم معكم أئن ذكرتم بل أنتم قوم مسرفون

“Mereka (para Rasul) berkata : “kesialan kalian itu adalah karena kalian sendiri, apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib sial)? sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Yasin, 19).

Al Hadits

1. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“لا عدو ولا طيرة ولا هامة ولا صفر ” أخرجاه, وزاد مسلم ” ولا نوء ولا غول”.

“Tidak ada ‘penularan penyakit (Adwa), tidak ada burung penentu nasib baik dan buruk (Thiyarah), tidak ada burung hantu pembawa sial (Hamah), tidak ada bulan shafar pembawa sial atau keberuntungan (Shofar)” (HR. Bukhori dan Muslim), dan dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan : “ dan tidak ada bintang penentu hujan (Nau)’, serta tidak ada hantu (ghaul).” 1).

2. Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan pula dari Anas bin Malik Radhiallahu’anhu, ia berkata : Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah bersabda :

“لا عدو ولا طيرة ويعجبني الفأل”، قالوا : وما الفأل ؟ قال : ” الكلمة الطيبة”.

“Tidak ada ‘Adwa dan tidak ada Thiyarah, tetapi Fa’l menyenangkan diriku”, para sahabat bertanya : “apakah Fa’l itu ?” beliau menjawab : “yaitu kalimah thoyyibah (kata kata yang baik)”.

3. Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shoheh, dari Uqbah bin Amir, ia berkata : “Thiyarah disebut-sebut dihadapan Rasulullah, maka beliaupun bersabda :

“أحسنها الفأل، ولا ترد مسلما، فإذا رأى أحدكم ما يكره فليقل : اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت، ولا يدفع السيئات إلا أنت، ولا حول ولا قوة إلى بك”.

“Yang paling baik adalah Fa’l, dan Thiyarah tersebut tidak boleh menggagalkan seorang muslim dari niatnya, apabila salah seorang di antara kamu melihat sesuatu yang tidak diinginkannya, maka hendaknya ia berdo’a : “Ya Allah, tiada yang dapat mendatangkan kebaikan kecuali Engkau, dan tiada yang dapat menolak kejahatan kecuali Engkau, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali atas pertolonganMu”.

4. Abu Daud meriwayatkan hadits yang marfu’ dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“الطيرة شرك، الطيرة شرك، وما منا إلا …، ولكن الله يذهبه بالتوكل ” رواه أبو داود والترمذي وصححه وجعل آخره من قول ابن مسعود.

“Thiyarah itu perbuatan syirik, thiyarah itu perbuatan syirik, tidak ada seorangpun dari antara kita kecuali (telah terjadi dalam hatinya sesuatu dari hal ini), hanya saja Allah Subhanahu wata’ala bisa menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya”.(HR.Abu Daud). Hadits ini diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi dan dinyatakan shoheh, dan kalimat terakhir ia jadikan sebagai ucapannya Ibnu Mas’ud)

5. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“من ردته الطيرة عن حاجته فقد أشرك “، قالوا : فما كفارة ذلك ؟ قال : أن تقول : اللهم لا خير إلا خيرك، ولا طير إلا طيرك، ولا إله إلا غيرك”.

“Barang siapa yang mengurungkan hajatnya karena thiyarah ini, maka ia telah berbuat kemusyrikan”, para sahabat bertanya : “lalu apa yang bisa menebusnya ?”, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam menjawab :” hendaknya ia berdoa : “Ya Allah, tiada kebaikan kecuali kebaikan dariMu, dan tiada kesialan kecuali kesialan dariMu, dan tiada sesembahan kecuali Engkau”.

6. Dan dalam riwayat yang lain dari Fadl bin Abbas, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

“إنما الطيرة ما أمضاك أو ردك”

“Sesugguhnya Thiyarah itu adalah yang bisa menjadikan kamu terus melangkah, atau yang bisa mengurungkan niat (dari tujuan kamu)”.

Penjelasan bab ini :

1. Peringatan atas firman Allah “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi mereka tidak mengetahui” dan “kesialan kalian itu adalah karena kalian sendiri”

2. Menghapus adanya kepercayaan adanya penularan penyakit

3. Menghapus penentuan nasib dengan burung dan yang lainnya

4. Menghapus kepercayaan terhadap burung hantu (suara burung hantu) yang dianggap pembawa sial

5. Menghapuskan adanya kesialan dalam bulan shafar

6. Al Fa’l tidak termasuk yang dilarang oleh Rasulullah, bahkan dianjurkan.

Penjelasan tentang makna Al Fa’l.

Apabila terjadi tathoyyur dalam hati seseorang, tetapi dia tidak menginginkannya, maka hal itu tidak apa-apa baginya, bahkan Allah Subhanahu wata’ala akan menghilangkannya dengan tawakkal kepadaNya.

7. Penjelasan tentang doa yang dibacanya, saat seseorang menjumpai hal tersebut.

8. Ditegaskan bahwa thiyarah itu termasuk syirik.

Penjelasan tentang thiyarah yang tercela dan terlarang.

1)Adwa : Penjangkitan atau penularan penyakit. Maksud sabda Nabi di sini ialah untuk menolak anggapan mereka ketika masih hidup di zaman jahiliyah, bahwa penyakit berjangkit atau menular dengan sendirinya, tanpa kehendak dan takdir Allah. Anggapan inilah yang ditolak oleh Rasulullah, bukan keberadaan penjangkitan atau penularan, sebab dalam riwayat lain, setelah hadits ini, disebutkan :

(وفروا من المجذوم كما تفروا من الأسد)

“… dan menjauhlah dari orang yang terkena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa.” (HR. Bukhori).

Ini menunjukkan bahwa penjangkitan atau penularan penyakit dengan sendirinya tidak ada, tetapi semuanya atas kehendak dan takdir Ilahi, namun sebagai insan muslim di samping iman kepada takdir tersebut haruslah berusaha melakukan tindakan preventif sebelum terjadi penularan sebagaimana usahanya menjauh dari terkaman singa. Inilah hakekat iman kepada takdir Ilahi.

Thiyarah : merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya, atau apa saja.

Hamah : Burung hantu. Orang-orang jahiliyah merasa bernasib sial dengan melihatnya, apabila ada burung hantu hinggap di atas rumah salah seorang diantara mereka, dia merasa bahwa burung ini membawa berita kematian tentang dirinya sendiri, atau salah satu anggota keluarganya. Dan maksud beliau adalah untuk menolak anggapan yang tidak benar ini. Bagi seorang muslim, anggapan seperti ini harus tidak ada, semua adalah dari Allah dan sudah ditentukan olehNya.

Shafar : Bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharram. Orang-orang jahiliyah beranggapan bahwa bulan ini membawa nasib sial atau tidak menguntungkan. Yang demikian dinyatakan tidak ada oleh Rasulullah. Dan termasuk dalam anggapan seperti ini : merasa bahwa hari rabu mendatangkan sial, dan lain lain. Hal ini termasuk jenis thiyarah, dilarang dalam Iselam.

Nau’ : bintang, arti asalnya adalah : tenggelam atau terbitnya suatu bintang. Orang-orang jahiliyah menisbatkan turunnya hujan kepada bintang ini, atau bintang itu. Maka Islam datang mengikis anggapan seperti ini, bahwa tidak ada hujan turun karena suatu bintang tertentu, tetapi semua itu adalah ketentuan dari Allah.

Ghaul : Hantu (gendruwo), salah satu makhluk jenis jin. Mereka beranggapan bahwa hantu ini dengan perubahan bentuk maupun warnanya dapat menyesatkan seseorang dan mencelakakannya. Sedang maksud sabda Nabi di sini bukanlah tidak mengakui keberadaan makhluk seperti ini, tetapi menolak anggapan mereka yang tidak baik tersebut yang akibatnya takut kepada selain Allah, serta tidak bertawakkal kepadaNya, inilah yang ditolak oleh beliau, untuk itu dalam hadits lain beliau bersabda : “Apabila hantu beraksi manakut-nakuti kamu, maka serukanlah adzan.” Artinya : tolaklah kejahatannya itu dengan berdzikir dan menyebut Allah. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad.
 
________

Penulis: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi rahimahullah
Dipublish Oleh: Abu Hasan
Judul Asli : Kitabut-Tauhid, Bab 28: Penentuan Nasib Dengan Burung (Tathoyyur).
Sumber
 

Rabu, 06 November 2013

Yesus Seorang Tuhan ????,..

YESUS SEORANG TUHAN ?? (bag 2)

Diantara bukti-bukti dari nas-nas injil bahwa Yesus bukan tuhan akan tetapi manusia sebagaimana nabi-nabi yang lain adalah :

Kelima : Yesus sholat dan berdoa
    Sungguh injil sarat dengan penyebutan bahwa Yesus sholat dan berdoa. Contohnya :
-    Injil Lukas (5 : 16) : ((Akan tetapi Ia (Yesus) mengundurkan diri ke tempat-tempat yang sunyi dan berdoa))
-    Injil Lukas (6 : 12) : ((Pada waktu itu pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa dan semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah))

-    Injil Matius (26 : 36) : ((Maka sampailah Yesus bersama murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-murid-Nya : "Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa"))

-    Injil Matius (14 : 23) : ((Dan setelah orang banyak itu disuruh-Nya pulang, Yesus naik ke atas bukit untuk berdoa seorang diri. Ketika hari sudah malam, Ia sendirian di situ))

-    Injil Markus (1 : 35) : ((Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia (Yesus) bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana))

-    Injil Markus (6 : 46) : ((Setelah Ia (Yesus) berpisah dari mereka, Ia pergi ke bukit untuk berdoa))
-    Injil Lukas (9 : 29) : ((Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajah-Nya menjadi putih berkilau-kilauan))
-    Injil Lukas (11 : 1) : ((Pada suatu kali Yesus sedang berdoa di salah satu tempat))
-    Injil Lukas (22 : 41) : ((Kemudia Ia menjauhkan diri dari mereka kira-kira sepelembar batu jaraknya, lalu ia berlutut dan berdoa))

-    Injil Lukas (22 : 44) : ((Ia (Yesus) sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh untuk berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah))
Yesus sujud dan berdoa karena ia adalah seorang hamba bukan tuhan yang disembah. Ia berdoa dan beribadah menyembah Allah Tuhan pencipta semesta alam. Jika Yesus adalah tuhan, lantas ia sujud kepada siapa?, ia berdoa kepada siapa??!!. Apakah Yesus menyembah dirinya sendiri??, apakah ia berdoa kepada dirinya sendiri??, ini adalah perkara yang mustahil dan kebodohan yang nyata !!!. Maka jelaslah jika Yesus adalah hamba yang beribadah, sujud, dan berdoa kepada Tuhan Allah.
Perhatikanlah kembali apa yang diungkapkan dalam injil Matius (26 : 39-45) yang menceritakan bagimana kondisi Yesus yang ketakutan tatkala akan ditangkap, sehingga ia berdoa dalam kondisi takut, hingga keringatnya bercucuran ke tanah !!
(((36) Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa." (37) Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar, (38) lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku." (39) Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (40) Setelah itu Ia kembali kepada murid-murid-Nya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku? (41) Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah." (42) Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" (43) Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. (44) Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (45) Sesudah itu Ia datang kepada murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa. (46)Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat."))
Lihatlah :
-    Yesus berdoa berulang-ulang sehingga tiga kali, bahkan Yesus sujud !!. kepada siapakah ia sujud??, apakah sujud kepada dirinya sendiri karena ia adalah Tuhan??. Ini adalah kemustahilan. Yang benar ia sujud kepada Dzat lain, yaitu Tuhannya Yesus yang telah menciptakan Yesus, yang Yesus berharap pertolonganNya tatkala Yesus ketakutan.
-    Lihatlah ketakutan Yesus, hingga ia sangat sedih dan gentar. Bahkan Yesus berkata, "Seperti mau mati rasanya". Apakah tuhan ketakutan??, apakah tuhan sedih?, apakah tuhan merasa mau mati??!!
-    Yesus berkata kepada Petrus : "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?". Apakah tuhan minta untuk dijaga??!
-    Dalam setiap doanya Yesus berkata, "Ya Bapa…". Ini sangat jelas bahwa Yesus sedang berdoa kepada dzat yang lain, yaitu Tuhan Allah. Kalau Allah adalah Yesus maka berarti Yesus sedang menyeru dirinya sendiri ??!!, dan ini adalah merupakan kedunguan !!
-    Yesus berkata, "Janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki". Sangatlah jelas Yesus membedakan kehendaknya dengan kehendak Tuhan. Ini sangat jelas yang menyatakan bahwa Yesus adalah belahan jiwa Tuhan, sehingga semua kehendak Yesus adalah kehendak Tuhan.

Keenam : Yesus dicoba syaitan
    Allah telah mengizinkan syaitan untuk menguji hambanya Yesus, untuk diketahui berapa besar keimanan Yesus dan tegarnya iman dan keyakinannya, agar Yesus berhak untuk menerima risalah/wahyu dari langit.
Berikut kisahnya sebagaimana termaktub dalam injil Matius 4 : 1-11:
((Pencobaan di padang gurun
(1) Maka Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. 
(2)Dan setelah berpuasa empat puluh hari dan empat puluh malam, akhirnya laparlah Yesus. 
(3) Lalu datanglah si pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." 
(4)Tetapi Yesus menjawab: "Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah." 
(5) Kemudian Iblis membawa-Nya ke Kota Suci dan menempatkan Dia di bubungan Bait Allah, 
(6) lalu berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerintahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu." 
(7) Yesus berkata kepadanya: "Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!"
(8) Dan Iblis membawa-Nya pula ke atas gunung yang sangat tinggi dan memperlihatkan kepada-Nya semua kerajaan dunia dengan kemegahannya, 
(9) dan berkata kepada-Nya: "Semua itu akan kuberikan kepada-Mu, jika Engkau sujud menyembah aku." (10) Maka berkatalah Yesus kepadanya: "Enyahlah, Iblis! Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!"
(11) Lalu Iblis meninggalkan Dia, dan lihatlah, malaikat-malaikat datang melayani Yesus))

    Perhatikanlah dengan baik kisah ini, jika kisah ini benar dan diyakini kebenarannya oleh kaum Kristen maka dalam kisah ini terlalu banyak bukti bahwa Yesus adalah seorang manusia yang beribadah kepada Tuhannya.

Diantara bukti-bukti tersebut :
-    Yesus berpuasa??, kalau ia adalah tuhan lantas kepada siapakah Yesus berpuasa?. Puasa adalah ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Penciptanya.
-    Yesus merasakan lapar setelah berpuasa 40 hari. Apakah pantas tuhan merasa lapar?
-    Bagaimana bisa tuhan dibawa (dalam pegangan) syaitan yang terkutuk yang merupakan makhluk ciptaannya??. Sungguh berani dan kurang ajar syaitan tersebut, dan sungguh lemah tuhan tersebut diatur dan dibawa pergi semau syaitan yang merupakan ciptaannya??!!

-    Jika Yesus adalah tuhan, kok bisa diuji dan dicoba oleh syaitan??
-    Dan bagaimana syaitan bisa berani-beraninya meminta tuhan Yesus untuk sujud kepada syaitan??
-    Dalam bantahan-bantahan Yesus kepada syaitan menunjukan bahwa Yesus bukanlah tuhan. Tatkala syaitan menyuruh Yesus untuk melemparkan dirinya dari tempat tinggi untuk membuktikan bahwa Yesus adalah anak Allah, dan Allah akan memerintahkan para malaikat menyelamatkan Yesus, maka Yesus berkata ((Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!")). Ini menunjukan Allah memerintahkan Yesus untuk tidak mencoba Allah tuhannya Yesus.

-    Tatkala syaitan menyuruh Yesus untuk sujud kepada syaitan maka Yesus berkata kepada syaitan : ((Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!))

Yesus sama sekali tidak pernah meminta kepada murid-muridnya dan para pengikutnya untuk sujud kepadanya atau meminta berdoa kepadanya. Bahkan sebaliknya Yesus mencontohkan kepada mereka untuk sujud dan berdoa kepada Allah Tuhan yang sesungguhnya yang maha esa. (bersambung…)
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 01-01-1435 H / 05-11-2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com

Senin, 05 Agustus 2013

Musik Klasik atau Al-Quran, Mana yang Lebih Mencerdasan Bayi...?

 Musik Klasik atau Al-Quran, Mana yang Lebih Mencerdasan Bayi...?

Kepercayaan orang Barat bahwa musik terutama mozart dapat meningkatkan kecerdasan sudah diyakini sejak tahuan 1950-an, mitos ini kemudian diteliti secara lebih serius pada tahun 1990-an. 36 siswa dalam sebuah studi di University of California di Irvine mendengarkan 10 menit sonata Mozart sebelum mengambil tes IQ. Menurut Dr Gordon Shaw, psikolog yang bertanggung jawab atas penelitian ini, skor IQ siswa naik sekitar 8 poin akibat dirangsang oleh alunan ajaib musik Mozart, sejak itulah istilah “Mozart effect ” lahir.
Bahkan di dalam negeri, tahun 2002 Hermanto Tri Juwono dan timnya pernah mencoba pada tikus hamil. Hermanto dkk., memperdengarkan musik klasik Mozart, gamelan sampai dangdut. Setelah distimulasi seperti itu, pertumbuhan sel-sel otak bayi dan ibu tikus diteliti. Hasilnya musik Mozart memberi peningkatan jumlah sel lebih tinggi. Musik gamelan nomor dua tertinggi, sedangkan musik dangdut peningkatannya paling rendah.

Namun setelah bertahun-tahun, orang mulai ragu akan kesahihan dari ‘Mozart effect’ ini dan penelitian tandingan yang menghasilkan kesimpulan kontradiktif dengan kesimpulan diatassudah dilakukan. Beberapa peneliti dari University of Vienna, Austria yakni Jakob Pietschnig, Martin Voracek dan Anton K. Formann dalam riset mereka yang diberi judul “Mozart Effect” mengemukakan kesalahan besar dari hasil penelitian musik yang melegenda ini. Pietschnig dan kawan-kawannya mengumpulkan semua pendapat dan temuan para ahli terkait dampak musik Mozart terhadap tingkat intelegensi seseorang.Mereka membuat riset yang melibatkan 3000 partisipator, hasil penelitiannya adalah ; ‘tidak ada stimulus atau sesuatu yang mendorong peningkatan kemampuan inteligensi seseorang setelah mendengarkan musik Mozart.’

Tim peneliti dari Jerman yang terdiri atas ilmuwan, psikolog, filsuf, pendidik, dan ahli musik juga mengadakan penelitian serupa, mereka mengumpulkan berbagai literatur dan fakta mengenai efek mozart ini. Dan hasil penelitiannya ; ‘Sangat tidak mungkin mozart dapat membuat seorang anak menjadi jenius.’

Howstuffwork sebuah situs yang terkenal memaparkan bahwa musik klasik seperti karya mozart tidak akan membuat seseorang lebih cerdas. Dalam situsnya, masalah ini dimasukan sebagai salah satu point dalam artikel yang berjudul ;‘10 mitos tentang otak.’

Bahkan Dr Frances Rauscher, seorang peneliti yang terlibat dalam studi di Universitas California di Irvine –yang melahirkan istilah “Mozart Efect”– yang telah menjadi kontroversi dalam komunitas ilmiah ini juga menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengklaim itu benar-benar membuat orang pintar, tetapi hanya meningkatkan kinerja pada tugas-tugas spasial-temporal tertentu.

Sekarang kita mengetahui bahwa musik Mozart –dan sebetulnya semua musik yang memiliki alunan nada yang menenangkan (kecuali musik dangdut sepertinya-red)– hanya diyakini dapat menimbulkan efek psikologis seperti bergairah, tenang atau damai. Dan kondisi psikologis ini memang positif dalam merangsang pertumbuhan sel otak. Psikolog Rose Mini menambahkan bahwa yang terpenting bukan musiknya, namun ketenangan yang didapat oleh seorang ibu yang kemudian ditularkan kepada si bayi sejak dalam kandungan.

Lise Eliot, Ph.D,
pakar biologi dan anatomi sel Chicago Medical School AS, mengatakan, perkembangan struktur otak bayi lebih dipengaruhi; pola diet, gaya hidup dan kondisi emosi ibu hamil. Efek musik memang diakui sebagai stimulus psikologis / emosional yang baik.

Jadi musik diakui meningkatkan kecerdasan, namun secara tidak langsung yaitu dengan efeknya yang menenangkan sehingga syarat psikologis dan emosional sang ibu memenuhi syarat untuk menciptakan suasana dan lingkungan rahim yang kondusif untuk pembangunan dan pertumbuhan otak sang janin. Stimulan serupa juga didapati pada Al-Quran, diyakini juga bahwa Al-Quran membawa pengaruh-pengaruh positif lain yang luar biasa disebabkan oleh sumber Al-Quran yang ilahiah, dan juga berdasarkan banyaknya kesaksian orang-orang yang merasakan pengaruh Al-Quran secara langsung maupun tak langsung. Keyakinan ini terus diupayakan diteliti sehingga dapat dijelaskan lebih baik dalam ranah ilmiah.

Sudah diteliti dan didapati fakta bahwa memperdengarkan Al-Quran kepada bayi akan meningkatkan tingkat inteligensia sang bayi. Dr. Nurhayati dari Malaysia mengemukakan hasil penelitian ini dalam sebuah seminar konseling dan psikoterapi Islam.

Setiap suara atau sumber bunyi memiliki frekuensi dan panjang gelombang tertentu. Dan ternyata, bacaan Al-Qur’an yang dibaca dengan tartil yang bagus dan sesuai dengan tajwid memiliki frekuensi dan panjang gelombang yang mampu mempengaruhi otak secara positif dan mengembalikan keseimbangan dalam tubuh.

Bacaan Al-Qur’an memiliki efek yang sangat baik untuk tubuh, seperti; memberikan efek menenangkan, meningkatkan kreativitas, meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan kemampuan konsentrasi, menyembuhkan berbagai penyakit, menciptakan suasana damai dan meredakan ketegangan saraf otak, meredakan kegelisahan, mengatasi rasa takut, memperkuat kepribadian, meningkatkan kemampuan berbahasa, dan lain sebagainya.

Kalau musik klasik disimpulkan dapat mempengaruhi kecerdasan melalui pengaruh positifnya terhadap stimulan psikologis dengan efektivitas sebesar 65% maka seharusnya Al-Quran yang adalah Kalamullah bisa lebih baik lagi. Al-Qur’an tetaplah obat dan terapi serta stimulan yang terbaik.

Ibu yang cerdas menganggap bahwa rahimnya adalah ruang kelas pertama bagi anaknya, bukan hanya sekedar ruang tunggu bagi janin sampai ia siap dilahirkan ke dunia ini. Para ahli menyatakan bahwa kondisi kejiwaan sang ibu juga sangat mempengaruhi watak dan kecerdasan bayinya. Dalam kondisi stress tubuh sang ibu akan memproduksi hormon kortisol dalam jumlah berlebihan sehingga ini akan memicu tekanan darah meninggi, dada terasa sesak, dan emosi menjadi tidak stabil. Hormon kortisol ini bisa merambat ke bayi melalui plasenta sehingga mempengaruhi pembuluh darah sang janin, akibatnya sang janinpun ikutan stress. Bila ini terjadi terus-menerus dapat menyebabkan sang anak kelak menjadi orang yang rentan stress. Inilah pentingnya ibu yang sedang hamil memperbanyak berdzikir, sebab manfaat berdzikir yang pertama adalah menciptakan ketenangan batin, dan dzikir yang paling utama adalah menghafal, membaca, dan mempelajari Al-Quran Al-Kariim.[]

Oleh: Purwanto Abd. Ghaffar

Sumber: Eramuslim

Selasa, 23 Juli 2013

RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN DI SEKITAR KITA

RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN DI SEKITAR KITA [1]

Oleh

Ustadz Abdullah Zaen, MA



Dunia mistik masih cukup kental dengan sebagian masyarakat tanah air. Keyakinan terhadap penguasa -yang mampu mendatangkan keberuntungan dan menyingkirkan marabahaya- selain Allâh Azza wa Jalla tetap mengakar pada mereka ini. Karenanya, kehidupan mereka tidak lepas dengan ritual-ritual persembahan yang variatif. Ada yang bersifat tahunan, atau pelaksanaannya ketika datang momen tertentu (pernikahan, panenan), maupun tatkala mereka dicekam oleh ancaman bencana yang dalam anggapan mereka muncul karena kemurkaan si 'penguasa' yang mereka yakini.

Guna melancarkan roda kehidupan, hajatan atau urusan mereka, mereka menghidupkan ritual-ritual persembahan tumbal maupun sesaji. Persembahan tumbal biasanya dalam bentuk binatang ternak, baik disembelih terlebih dahulu maupun dipersembahkan dalam keadaan hidup-hidup. Sementara persembahan sesaji dilakukan dengan selain hewan bernyawa.

MACAM-MACAM PENYEMBELIHAN DITINJAU DARI TUJUANNYA[2]
1. Penyembelihan Dalam Rangka Beribadah
Jenis pertama ini dilakukan guna mengagungkan Dzat Yang disembah (diibadahi) serta merendahkan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ini adalah sebuah jenis ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali untuk Allâh Azza wa Jalla dengan tata cara pelaksanaan yang telah ditentukan. Mempersembahkannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla termasuk syirik besar.

2. Penyembelihan Dalam Rangka Penghormatan
Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara pernikahan. Pada asalnya, ini hukumnya mubah. Karena seseorang diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ

Barang siapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya [HR. al-Bukhâri no. 6018, Muslim no. 47]

3. Penyembelihan Dilakukan Untuk Memanfaatkan Sembelihannya Untuk Dikonsumsi Maupun dijual. Ini hukumnya mubah

4.Penyembelihan Untuk Selain Allâh Azza wa Jalla Dengan Tujuan Beribadah
Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) dan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada malaikat, jin, rasul, nabi, wali ataupun benda mati seperti patung dan berhala. Memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga haram, karena disembelih bukan untuk Allâh Azza wa Jalla . Allah berfirman

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]

Ada salah satu cara untuk membedakan antara sembelihan yang tujuannya adalah taqarrub dengan sembelihan yang tujuannya adalah penghormatan. Saat kunjungan penguasa ke suatu daerah, biasanya dilakukan penyembelihan binatang. Jika penyembelihan tersebut tujuannya pengagungan dan taqarrub terhadap penguasa adalah: setelah hewannya disembelih di hadapan sang penguasa, sembelihan tersebut dibiarkan begitu saja. Namun jika tujuannya adalah penghormatan dan penjamuan, maka sembelihan tersebut akan dimasak dan dimakan. [3]

Semua persembahan sembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu berhala, tokoh yang dikultuskan, jin atau makhluk apapun, merupakan perbuatan syirik

Dalilnya adalah nash umum yang melarang penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla

Di antara nash umum tersebut, firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

(Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,) (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]

Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh [HR. Muslim no. 1978]

Nash di atas mencakup seluruh penyembelihan dengan menyebut nama selain Allâh, siapapun dia.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hakekat penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla dan hukum pelakunya: "Yang dimaksud dengan penyembelihan untuk selain Allah adalah: penyembelihan dengan menyebut nama selain Allâh Azza wa Jalla, seperti orang yang menyembelih untuk (mengagungkan) berhala, salib, nabi Musa, nabi Isa 'alaihimassalam, Ka'bah dan lainnya. Ini semua hukumnya haram, hasil sembelihannya tidak halal, baik si penyembelih beragama Islam, Nasrani ataupun Yahudi. Ini telah dinyatakan oleh Imam Syâfi'i rahimahullah dan disepakati ulama Syâfi'iyyah. Apabila tujuannya untuk mengagungkan dan beribadah kepada obyek yang dituju maka perbuatan itu dikategorikan kufur. Jika si penyembelih beragama Islam, maka ia dianggap murtad".[4]

Bila perkataan Imam Nawawi rahimahullah tersebut dicermati, maka akan kita dapati bahwa beliau menjadikan penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla –siapapun obyek yang dituju- tidak lepas dari dua kondisi. Pertama, ditujukan untuk taqarrub (ibadah) kepadanya dan ini hukumnya syirik besar yang sangat nyata, pelakunya menjadi murtad karenanya. Kedua, penyembelihan itu dengan menyebut salah satu nama makhluk, bukan untuk taqarrub padanya, perbuatan ini juga haram berdasarkan pendapat ulama Syâfi'iyyah juga pernyataan Imam Syâfi'i rahimahullah. Hasil sembelihan tersebut juga tidak halal, dengan tanpa mempertimbangkan agama si penyembelih maupun nama yang disebutkan saat menyembelih. [5]

Substansi pernyataan Imam Nawawi rahimahullah tentang murtadnya orang yang menyembelih untuk dipersembahkan sembelihannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla , ternyata juga diungkapkan oleh ar-Râzi rahimahullah dari para ulama lainnya. Beliau menjelaskan: "Para ulama berkata: Seandainya seorang Muslim menyembelih binatang sembelihan dan bertujuan untuk taqarrub kepada selain Allâh Azza wa Jalla, maka ia dianggap murtad dan sembelihannya dihukumi sembelihan orang murtad".[6]

PELAJARAN DARI KISAH DUA PUTRA ADAM ALAIHISSALLAM
Pada hakekatnya, persembahan sesaji untuk selain Allah pun termasuk perbuatan syirik besar, sebab secara asal persembahan pun harus diperuntukkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata. Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan kisah dua putra Nabi Adam Alaihissallam yang mempersembahkan kurban dalam firman-Nya:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

"Ceritakanlah kepada mereka kisah sebenarnya kedua putera Adam (Habil dan Qabil) ketika keduanya menyajikan persembahan. Persembahan salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan yang lain (Qabil) tidak diterima. Ia (Qabil) berkata: "Aku pasti membunuhmu!". (Habil menjawab): "Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa". [al-Mâidah/5:27]

Ayat di atas menunjukkan kewajiban memurnikan persembahan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla sekurang-kurangnya dari tiga sisi:

Pertama: Dua putra Nabi Adam Alaihissallam ini telah menyajikan persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Syaikh as-Sa'di rahimahullah menafsirkan firman Allah { ketika keduanya mempersembahkan korban }: "Maksudnya ketika masing-masing dari keduanya mengeluarkan sesuatu dari harta miliknya untuk mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla ".[7]

Kedua: Di antara sebab tertolaknya persembahan Qabil di sisi Allâh Azza wa Jalla karena ia tidak ikhlas dalam mempersembahkannya. Al-Khathîb asy-Syarbîni rahimahullah menerangkan makna ayat {dan tidak diterima dari yang lain}: "Maksudnya adalah Qabil, karena ia tidak terima dengan ketentuan Allâh Azza wa Jalla dan tidak ikhlas dalam persembahannya".[8]

Ketiga: Penekanan yang terdapat dalam penghujung ayat di atas, bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak menerima persembahan kecuali dari orang-orang muttaqîn. Sebagaimana telah maklum bahwa di antara sifat paling menonjol orang-orang muttaqin ialah ikhlas dalam beramal karena Allâh semata, yang merupakan perwujudan konsekuensi dari persaksian Lâ Ilâha Illallâh. Qatâdah rahimahullah berkata: "Orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang komitmen dengan Lâ Ilâha Illallâh".[9]

Mengunjukkan persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata bukan untuk selain-Nya merupakan "jalan para nabi terdahulu" [10] sebagaimana disampaikan oleh Ibnu Qutaibah rahimahullah saat menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam (Ali 'Imrân/3:183).

Ini semakin mempertegas bahwa menyajikan persembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya syirik.

Parahnya, orang-orang yang mempersembahkan sesaji, secara sengaja bertujuan mendekatkan diri kepada jin untuk menghindarkan diri dari kejahatannya, bukan malah sebaliknya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla dalam usaha mengusir jin yang ditakuti. Tindakan mereka ini menunjukkan adanya keyakinan bahwa jin memiliki kekuatan tersendiri dalam melakukan apa saja yang diinginkan, seakan itu berada di luar kekuasaan Allâh Azza wa Jalla. Inti kesyirikan dalam fenomena ini adalah menisbatkan kekuatan ghaib kepada selain Allâh Azza wa Jalla.[11]

Dari sisi lain, orang-orang melakukan persembahan sesaji kepada selain Allâh Azza wa Jalla didorong oleh keyakinan bahwa jin 'penguasa' memiliki kemampuan dalam mendatangkan marabahaya dan kebaikan, berkuasa memberi dan menghalangi, mengirimkan kebaikan dan keberkahan, serta melenyapkan keburukan dan kesulitan. Ini tidak lain merupakan tindakan syirik!.

Bukti akan adanya keyakinan tersebut dan kesyirikan mereka, -sesuai dengan pengakuan dan pernyataan mereka-, jika sedang dicekam kesulitan yang besar, manakala mereka mempersembahkan sesaji-sesaji kepada wali fulan atau jin anu, dan kesulitan tersebut sirna; dalam hati mereka terbentuk keyakinan bahwa sesaji itulah faktor penyebab datangnya kebaikan yang diharapkan dan lenyapnya bahaya yang ditakutkan.

Siapa pun yang menelaah dengan cermat al-Qur`ân dan Sunnah Nabi serta menyimak keterangan para Salafus Shaleh, ia akan mengetahui bahwa sesaji yang dipersembahkan itu sama persis dengan apa yang dipersembahkan kaum musyrikin zaman dulu kepada sesembahan mereka, yang Allah k sebutkan dalam firman-Nya:

وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا

Mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan (bagian) untuk Allah sembari berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan yang itu untuk berhala-berhala kami". [al-An'aam/6:136]

Tindakan mereka ini terhitung beriman kepada Jibt dan Thaghut, seperti diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t : "Sebagian orang ada yang melakukan taqarub kepada jin dengan makanan adas, mereka memasaknya lantas meletakkannya di kamar mandi atau membuangnya. Kemudian meminta hal-hal yang biasa diminta kepada setan-setan. Sebagaimana yang mereka lakukan di kamar mandi dan tempat serupa dengannya. Ini termasuk beriman kepada Jibt dan Thaghut".[12]

RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN TUMBAL DAN SESAJI DI TANAH AIR
Berikut ini beberapa contoh ritual menyimpang yang berkembang di tengah sebagian masyarakat tanah air dalam berbentuk persembahan sesaji maupun tumbal. Ritual-ritual yang sudah tentu sangat berbahaya bagi keimanan seorang muslim bila melakukannya.

1. Ritual Labuhan. Dalam prakteknya, dilakukan pemendaman kepala kerbau di puncak gunung Merapi di awal bulan Muharram dan di penghujung bulan Rajab setiap tahunnya sebagai persembahan kepada Kiai Sapujagad yang diklaim merupakan jin penguasa gunung Merapi. Mereka beranggapan, bila acara ini tidak diselenggarakan akan mengakibatnya timbulnya berbagai mara bahaya bagi masyarakat setempat.[13]

2. Ritual yang dilaksanakan oleh penduduk kota Cilacap Jawa Tengah dengan mempersembahkan kepala kerbau bagi Nyai Roro Kidul yang diyakini merupakan penguasa laut selatan guna menghindari kemurkaannya dan berharap keberkahan darinya.[14] Ritual serupa juga dilakukan di Yogyakarta di pantai Samas [15] dan di pantai Parangkusumo [16] dan di kota Tulung Agung Jawa Timur di pantai Popoh.[17]

3. Sebagian orang menyembelih sapi untuk dipersembahkan kepada 'penguasa' laut selatan agar berkenan membantu penyelesaian proyek pembangunan jembatan yang menghubungkan antara kota Surabaya dan Madura yang kemudian dikenal dengan jembatan SURAMADU.[18]

4. Ritual yang dilakukan sebagian pedagang pasar tradisional Banyumas Jawa Tengah dengan mempersembahkan kepala kambing dan beragam makanan untuk sungai Serayu dengan cara melarungnya di sungai tersebut. Ritual ini termasuk dalam kegiatan Festival Sedekah Pasar Banyumas. Tujuan penyelenggaraannya, menjauhkan takdir-takdir buruk dari mereka (?!). [19]

5. Sebagian penduduk kota Kulon Progo Jawa Tengah, sebelum pelangsungan akad nikah, mereka mempersembahkan kurban berupa ayam, padi dan macam-macam makanan kepada arwah kakek-nenek mereka agar selalu dinaungi keselamatan, sehingga perhelatan pesta perkawinan berjalan sesuai rencana. Persembahan ini sering disebut dengan istilah sesajen Murni Lasti.[20]

6. Disembelihnya kerbau oleh para penggarap proyek di Batudatar Purwakarta Jawa Barat untuk dipersembahkan kepada jin yang dikenal dengan sebutan Haji Kamilin agar tidak terjadi kecelakakan pada jalan yang sedang mereka kerjakan.[21]

7. Sebagian penduduk sekitar Rawa Pening Ambarawa Jawa Tengah melakukan ritual persembahan berupa ayam, nasi dan lainnya kepada penguasa danau kecil ini yang mereka sebut Mbah Baru Klinting, agar mendapatkan kemudahan darinya dalam bekerja, sebagai bentuk syukur kepadanya sekaligus harapan memperoleh keberkahan darinya.[22]

8. Demikian pula, sebagian warga Yogyakarta melakukan persembahan berupa rokok, pisang, padi dan setetes darah ayam jika mereka akan melangsungkan walimahan. Tujuannya, agar jin penunggu desa mereka tidak mengusik jalannya acara. Dikenal dengan Uba Rampe.[23]

9. Sebelum melakukan pembangunan pabrik, jembatan atau bangungan besar lainnya, sebagian orang menyembelih sapi atau kerbau dan kemudian melumuri pondasi dengan darah sembelihan itu. Selanjutnya, kepala hewan tersebut dipendam di daerah proyek bangunan agar proyek berjalan lancar sesuai rencana, tanpa gangguan jin. Dengan itu pula, mereka berharap agar bangunan setelah jadi mendatangkan banyak manfaat.[24]

Seluruh fenomena di atas merupakan contoh persembahan sembelihan untuk selain Allah, adapun persembahan sesaji yang tidak ada unsur sembelihannya, di antara contohnya di tanah air:

10. Ritual yang dikerjakan oleh sebagian penduduk desa Sigentong Sicabe di Brebes Jawa Tengah, ketika menjelang panenan atau melangsungkan hajatan. Mereka menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesajen di kuburan Dul Jalab yang berada di desa tersebut. Ritual ini menurut mereka sebagai bentuk permohonan izin (restu) kepadanya. Menurut anggapan mereka, bila acara ini tidak dilangsungkan, maka mara bahaya akan menimpa mereka.[25]

11. Persembahan yang diperuntukkan bagi Dewi Sri, Dewi penguasa padi dan pemberi kemakmuran, yang dilangsungkan sebelum musim panen.[26]

12. Keyakinan sementara kalangan bahwa kematian sebagian pelancong Belanda yang mendaki gunung Merapi disebabkan dahulu para penjajah Belanda yang sempat membangun beberapa bangunan di lereng gunung itu tidak mempersembahkan sesaji kepada Kyai Sapu Jagad, 'yang mbaurekso' gunung tersebut.[27]

13. Persembahan makanan, minuman, kain dan rokok yang dilakukan dukun Mbah Bejo untuk jin penghuni bangunan kuno Larang sewu di Semarang untuk menghindarkan gangguan-gangguan jin tersebut.[28]

14. Persembahan tahunan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Lemah Putih di Nganjuk Jawa Timur bagi jin penghuni sumur Putri untuk meredam bahayanya karena suka menakut-nakuti orang-orang yang berjalan melewatinya.[29]

15. Persembahan berupa tebu, padi dan jagung yang masih dalam bulirnya ketika menghuni rumah baru guna mengusir bahaya jin penghuni rumah dan mendapatkan kebaikan. [30]

16. Ritual persembahan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Kandat Kediri Jawa Timur bagi jin penghuni rumah kosong di desa tersebut supaya tidak mengganggu gadis-gadis perawan desa setempat. [31]

17. Persembahan yang dilakukan sebagian orang bagi jin penghuni jembatan rel kereta api tua di Pabuaran Subang Jawa Barat sebagai bentuk lantaran mereka melihatnya dalam mimpi agar rasa aman tetap terjaga.[32]

18. Keyakinan sebagian penduduk dekat jembatan Gorowong Karawang bahwa penyebab terjadinya bencana yang menimpa mereka adalah tidak dilaksanakannya persembahan bagi jin penguasa jembatan tersebut.[33]
19. Ritual Sedekah Nyusur Taneuh dan Sedekah Dugna yang diselenggarakan oleh sebagian penduduk propinsi Jawa Barat pada hari yang bertepatan dengan kematian seseorang berupa persembahan makanan dan minuman yang disukainya saat masih hidup di rumah dan kuburnya.[34]

Inilah sebagian ritual di tanah Jawa yang berisi persembahan tumbal maupun sesaji yang kebanyakan diperuntukkan bagi jin yang dianggap berkuasa dan sanggup mendatangkan kebaikan dan bahaya bagi manusia. Tidak menutup kemungkinan di pulau lain di luar Jawa terdapat ritual-ritual yang substansinya sama.

SYUBHAT DAN SANGGAHANNYA
Sebagian orang mungkin akan menolak vonis kufur terhadap praktek persembahan tumbal dengan binatang yang disembelih kepada jin dan lainnya dengan dalih bahwa orang-orang yang menyembelih sembelihan itu ketika melakukan penyembelihan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla (mengucapkan basmalah). Bagaimana bisa disebut menyembelih untuk selain Allâh Azza wa Jalla ?

Jawabannya: jika memang demikian yang terjadi berarti ada perbedaan antara keyakinan hati dan ungkapan lisan. Dalam kondisi seperti ini yang dijadikan sebagai ukuran adalah apa yang diyakini hati, bukan apa yang dilontarkan lisan. Ini merupakan kaedah umum dalam seluruh amal ketaatan. [35]

Alasan pengharaman perbuatan tersebut kembali kepada niat. Penyebutan nama Allâh Azza wa Jalla dengan lisan dalam keadaan hati berniat untuk selain-Nya; tidak merubah status hukum keharaman. Imam Ibnu Katsîr t telah menyatakan secara tegas bahwa menyembelih sembelihan dengan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla namun dalam keadaan hati bertujuan untuk mempersembahkannya kepada selain-Nya tetap merupakan perbuatan syirik.

Saat menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

….(Dan diharamkan bagimu memakan) yang disembelih untuk berhala…[al-Mâidah/5:3]

Beliau berkata: "Mujâhid dan Ibnu Juraij menyatakan, "an-Nushubu (berhala-berhala) merupakan bebatuan (yang disembah) di sekitar Ka'bah. Menurut Ibnu Juraij berjumlah 360 patung. Dahulu bangsa Arab di masa Jahiliyah mereka melakukan penyembelihan binatang ternak di sekelilingnya. Kemudian mereka memerciki patung yang mengarah ke Ka'bah dengan tetesan darah binatang sembelihan, dilanjutkan mengiris-iris daging dan meletakkannya di atas berhala itu. Demikian keterangan beberapa ulama.

Allâh Azza wa Jalla melarang kaum mukminin dari perbuatan tersebut dan mengharamkan atas mereka untuk memakan sembelihan-sembelihan yang proses penyembelihannya dilangsungkan di sisi berhala-berhala. Kendatipun mengucapkan basmalah saat menyembelihnya di sisi berhala itu. Ini tetap termasuk perbuatan syirik yang diharamkan oleh Allâh dan Rasul-Nya".[36]

Guna memperjelas lagi, kondisi penyembelihan untuk selain Allâh ada beberapa macam, dan semuanya merupakan perbuatan syirik [37]:

1. Disembelih dengan menyebut nama Allâh (basmalah), namun diniati untuk selain Allâh Azza wa Jalla. Ini termasuk syirik dalam ibadah
2. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh, sekaligus diniati untuk selain Allâh Azza wa Jalla . Ini termasuk syirik dalam permohonan tolong juga ibadah.
3. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh dan memperuntukkan hasil sembelihan untukAllâh Azza wa Jalla . Jenis ini termasuk syirik dalam rububiyah

PENUTUP
Itulah sebagian contoh dari ritual persembahan untuk selain Allah yang masih bertebaran di sekeliling kita. Kewajiban kita adalah meluruskan perilaku menyimpang tersebut dengan cara yang santun dan bijak, tanpa mengorbankan prinsip akidah, apalagi larut dalam ritual tersebut, walaupun dengan alasan dakwah. Wallahul muwaffiq ila aqwamith tharîq…

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diringkas dari tesis penulis; Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-'Ibâdah Ladâ Ba'dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm Minhâ (II/666-692).
[2]. Tentang pengklasifikasian ini, silahkan lihat Syarhun Nawawi 'ala Shahîh Muslim (13/141), Raudhatut Thâlibîn karya an-Nawawy (2/474-475), al-Muwafaqât karya asy-Syathiby (2/346-350), Taisîrul 'Azizil Hamîd karya Syaikh Sulaiman Alu Syaikh hlm. 147 al-Qaul Mufîd 'alâ Kitâbit Tauhîd oleh Syaikh Ibn Utsaimin (1/214), Majmû Fatâwa Syaikh Ibni 'Utsaimîn (7/27-28).
[3]. al-Qaul Mufîd 'alâ Kitâbit Tauhîd 1/214
[4]. Syarhun Nawawi 'ala Shahîh Muslim 13/141
[5]. Juhûd asy-Syâfi'iyyah Fi Taqrîri Tauhîdul Ibâdah hlm. 475 dengan sedikit peringkasan.
[6]. Tafsir ar-Râzi 5/12
[7]. Tafsir as-Sa'di hlm. 191
[8]. As-Sirâj al-Munîr (II/34).
[9]. Tafsîr as-Sam'âni (II/29).
[10]. Zâd al-Masîr karya Ibn al-Jauzy (I/516).
[11]. Asy-Syirk wa Mazhâhiruh karya Syaikh Mubarak al-Maily (hlm. 379).
[12]. Majmû al-Fatâwâ 27/23
[13]. Lihat: Majalah Misteri (edisi 387 hlm. 47-48) dan Tabloid Posmo (edisi 328 hlm. 6-7).
[14]. Lihat: Harian Suara Merdeka tanggal 3 Februari 2007 (hlm. 28).
[15]. Lihat: Ibid tanggal 22 Januari 2007 (hlm. 26).
[16]. Lihat: Bahaya! Tradisi Kemusyrikan di Sekitar Ketika karya Waliyuddin AR Dany (hal.77-79).
[17]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 48 hlm. 74-75).
[18]. Lihat: Ibid (edisi 25 hlm. 27, 28).
[19]. Lihat: Harian Suara Merdeka tanggal 3 Februari 2007 (hlm. 18).
[20]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 48 hlm. 74-75).
[21]. Lihat: Ibid (edisi 55 hlm. 46).
[22]. Lihat: Koran Wawasan tanggal 26 Maret 2006 (hlm. 12).
[23]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 49 hlm. 74-75).
[24]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik Masyarakat Indonesia karya Perdana Akhmad (hlm. 42).
[25]. Lihat: Majalah HAM (edisi 9 hlm. 23-24).
[26]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik Masyarakat Indonesia (hlm. 42).
[27]. Lihat: Majalah Misteri (edisi 387 hlm. 46).
[28]. Lihat: Koran Wawasan tanggal 22 April 2006 (hlm. 1).
[29]. Lihat: Majalah Wahana Mistis (edisi 108 hlm. 40-42).
[30]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik (hlm. 42) dan Bahaya! Tradisi Kesyirikan di Sekitar Kita (hlm. 85).
[31]. Lihat: Majalah Wahana Mistis (edisi 108 hlm. 78-80).
[32]. Lihat: Ibid (hlm. 86-88).
[33]. Lihat: Ibid (hlm. 82-84).
[34]. Lihat: Bid'ah-bid'ah di Indonesia (hlm. 63).
[35]. Cermati: Mukhtashar Khalîl (hlm. 28).
[36]. Tafsîr Ibn Katsîr (III/23).
[37]. At-Tamhîd li Syarh Kitab at-Tauhid (hlm. 139).

Sumber

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda