RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN DI SEKITAR KITA [1]
Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, MA
Dunia mistik masih cukup kental dengan sebagian masyarakat tanah air.
Keyakinan terhadap penguasa -yang mampu mendatangkan keberuntungan dan
menyingkirkan marabahaya- selain Allâh Azza wa Jalla tetap mengakar pada
mereka ini. Karenanya, kehidupan mereka tidak lepas dengan
ritual-ritual persembahan yang variatif. Ada yang bersifat tahunan, atau
pelaksanaannya ketika datang momen tertentu (pernikahan, panenan),
maupun tatkala mereka dicekam oleh ancaman bencana yang dalam anggapan
mereka muncul karena kemurkaan si 'penguasa' yang mereka yakini.
Guna melancarkan roda kehidupan, hajatan atau urusan mereka, mereka
menghidupkan ritual-ritual persembahan tumbal maupun sesaji. Persembahan
tumbal biasanya dalam bentuk binatang ternak, baik disembelih terlebih
dahulu maupun dipersembahkan dalam keadaan hidup-hidup. Sementara
persembahan sesaji dilakukan dengan selain hewan bernyawa.
MACAM-MACAM PENYEMBELIHAN DITINJAU DARI TUJUANNYA[2]
1. Penyembelihan Dalam Rangka Beribadah
Jenis pertama ini dilakukan guna mengagungkan Dzat Yang disembah
(diibadahi) serta merendahkan dan mendekatkan diri kepada-Nya. Ini
adalah sebuah jenis ibadah yang tidak boleh dilakukan kecuali untuk
Allâh Azza wa Jalla dengan tata cara pelaksanaan yang telah ditentukan.
Mempersembahkannya kepada selain Allâh Azza wa Jalla termasuk syirik
besar.
2. Penyembelihan Dalam Rangka Penghormatan
Baik pihak yang dihormati adalah seorang tamu, atau untuk acara
pernikahan. Pada asalnya, ini hukumnya mubah. Karena seseorang
diperintahkan untuk menghormati tamu. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
Barang siapa beriman kepada Allâh dan hari Akhir, hendaknya memuliakan tamunya [HR. al-Bukhâri no. 6018, Muslim no. 47]
3. Penyembelihan Dilakukan Untuk Memanfaatkan Sembelihannya Untuk Dikonsumsi Maupun dijual. Ini hukumnya mubah
4.Penyembelihan Untuk Selain Allâh Azza wa Jalla Dengan Tujuan Beribadah
Penyembelihan yang dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri)
dan ibadah untuk selain Allâh Azza wa Jalla merupakan perbuatan syirik
besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Baik dipersembahkan kepada
malaikat, jin, rasul, nabi, wali ataupun benda mati seperti patung dan
berhala. Memakan daging sembelihan dengan peruntukan seperti ini juga
haram, karena disembelih bukan untuk Allâh Azza wa Jalla . Allah
berfirman
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]
Ada salah satu cara untuk membedakan antara sembelihan yang tujuannya
adalah taqarrub dengan sembelihan yang tujuannya adalah penghormatan.
Saat kunjungan penguasa ke suatu daerah, biasanya dilakukan
penyembelihan binatang. Jika penyembelihan tersebut tujuannya
pengagungan dan taqarrub terhadap penguasa adalah: setelah hewannya
disembelih di hadapan sang penguasa, sembelihan tersebut dibiarkan
begitu saja. Namun jika tujuannya adalah penghormatan dan penjamuan,
maka sembelihan tersebut akan dimasak dan dimakan. [3]
Semua persembahan sembelihan kepada selain Allâh Azza wa Jalla, baik itu
berhala, tokoh yang dikultuskan, jin atau makhluk apapun, merupakan
perbuatan syirik
Dalilnya adalah nash umum yang melarang penyembelihan untuk selain Allâh Azza wa Jalla
Di antara nash umum tersebut, firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
(Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,) (daging
hewan) yang disembelih atas nama selain Allâh… [al-Mâidah/5:3]
Juga sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ
Allâh melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allâh [HR. Muslim no. 1978]
Nash di atas mencakup seluruh penyembelihan dengan menyebut nama selain Allâh, siapapun dia.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan hakekat penyembelihan untuk selain
Allâh Azza wa Jalla dan hukum pelakunya: "Yang dimaksud dengan
penyembelihan untuk selain Allah adalah: penyembelihan dengan menyebut
nama selain Allâh Azza wa Jalla, seperti orang yang menyembelih untuk
(mengagungkan) berhala, salib, nabi Musa, nabi Isa 'alaihimassalam,
Ka'bah dan lainnya. Ini semua hukumnya haram, hasil sembelihannya tidak
halal, baik si penyembelih beragama Islam, Nasrani ataupun Yahudi. Ini
telah dinyatakan oleh Imam Syâfi'i rahimahullah dan disepakati ulama
Syâfi'iyyah. Apabila tujuannya untuk mengagungkan dan beribadah kepada
obyek yang dituju maka perbuatan itu dikategorikan kufur. Jika si
penyembelih beragama Islam, maka ia dianggap murtad".[4]
Bila perkataan Imam Nawawi rahimahullah tersebut dicermati, maka akan
kita dapati bahwa beliau menjadikan penyembelihan untuk selain Allâh
Azza wa Jalla –siapapun obyek yang dituju- tidak lepas dari dua kondisi.
Pertama, ditujukan untuk taqarrub (ibadah) kepadanya dan ini hukumnya
syirik besar yang sangat nyata, pelakunya menjadi murtad karenanya.
Kedua, penyembelihan itu dengan menyebut salah satu nama makhluk, bukan
untuk taqarrub padanya, perbuatan ini juga haram berdasarkan pendapat
ulama Syâfi'iyyah juga pernyataan Imam Syâfi'i rahimahullah. Hasil
sembelihan tersebut juga tidak halal, dengan tanpa mempertimbangkan
agama si penyembelih maupun nama yang disebutkan saat menyembelih. [5]
Substansi pernyataan Imam Nawawi rahimahullah tentang murtadnya orang
yang menyembelih untuk dipersembahkan sembelihannya kepada selain Allâh
Azza wa Jalla , ternyata juga diungkapkan oleh ar-Râzi rahimahullah dari
para ulama lainnya. Beliau menjelaskan: "Para ulama berkata: Seandainya
seorang Muslim menyembelih binatang sembelihan dan bertujuan untuk
taqarrub kepada selain Allâh Azza wa Jalla, maka ia dianggap murtad dan
sembelihannya dihukumi sembelihan orang murtad".[6]
PELAJARAN DARI KISAH DUA PUTRA ADAM ALAIHISSALLAM
Pada hakekatnya, persembahan sesaji untuk selain Allah pun termasuk
perbuatan syirik besar, sebab secara asal persembahan pun harus
diperuntukkan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla semata. Allâh Azza wa
Jalla telah mengabarkan kisah dua putra Nabi Adam Alaihissallam yang
mempersembahkan kurban dalam firman-Nya:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا
قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ
قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ
الْمُتَّقِينَ
"Ceritakanlah kepada mereka kisah sebenarnya kedua putera Adam (Habil
dan Qabil) ketika keduanya menyajikan persembahan. Persembahan salah
seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan yang lain (Qabil) tidak
diterima. Ia (Qabil) berkata: "Aku pasti membunuhmu!". (Habil menjawab):
"Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang
bertakwa". [al-Mâidah/5:27]
Ayat di atas menunjukkan kewajiban memurnikan persembahan hanya kepada Allâh Azza wa Jalla sekurang-kurangnya dari tiga sisi:
Pertama: Dua putra Nabi Adam Alaihissallam ini telah menyajikan
persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Syaikh as-Sa'di rahimahullah menafsirkan firman Allah { ketika keduanya
mempersembahkan korban }: "Maksudnya ketika masing-masing dari keduanya
mengeluarkan sesuatu dari harta miliknya untuk mendekatkan diri kepada
Allâh Azza wa Jalla ".[7]
Kedua: Di antara sebab tertolaknya persembahan Qabil di sisi Allâh Azza
wa Jalla karena ia tidak ikhlas dalam mempersembahkannya. Al-Khathîb
asy-Syarbîni rahimahullah menerangkan makna ayat {dan tidak diterima
dari yang lain}: "Maksudnya adalah Qabil, karena ia tidak terima dengan
ketentuan Allâh Azza wa Jalla dan tidak ikhlas dalam persembahannya".[8]
Ketiga: Penekanan yang terdapat dalam penghujung ayat di atas, bahwa
Allâh Azza wa Jalla tidak menerima persembahan kecuali dari orang-orang
muttaqîn. Sebagaimana telah maklum bahwa di antara sifat paling menonjol
orang-orang muttaqin ialah ikhlas dalam beramal karena Allâh semata,
yang merupakan perwujudan konsekuensi dari persaksian Lâ Ilâha Illallâh.
Qatâdah rahimahullah berkata: "Orang-orang bertakwa adalah orang-orang
yang komitmen dengan Lâ Ilâha Illallâh".[9]
Mengunjukkan persembahan untuk Allâh Azza wa Jalla semata bukan untuk
selain-Nya merupakan "jalan para nabi terdahulu" [10] sebagaimana
disampaikan oleh Ibnu Qutaibah rahimahullah saat menafsirkan firman
Allâh Azza wa Jalla dalam (Ali 'Imrân/3:183).
Ini semakin mempertegas bahwa menyajikan persembahan kepada selain Allâh Azza wa Jalla hukumnya syirik.
Parahnya, orang-orang yang mempersembahkan sesaji, secara sengaja
bertujuan mendekatkan diri kepada jin untuk menghindarkan diri dari
kejahatannya, bukan malah sebaliknya memohon kepada Allâh Azza wa Jalla
dalam usaha mengusir jin yang ditakuti. Tindakan mereka ini menunjukkan
adanya keyakinan bahwa jin memiliki kekuatan tersendiri dalam melakukan
apa saja yang diinginkan, seakan itu berada di luar kekuasaan Allâh Azza
wa Jalla. Inti kesyirikan dalam fenomena ini adalah menisbatkan
kekuatan ghaib kepada selain Allâh Azza wa Jalla.[11]
Dari sisi lain, orang-orang melakukan persembahan sesaji kepada selain
Allâh Azza wa Jalla didorong oleh keyakinan bahwa jin 'penguasa'
memiliki kemampuan dalam mendatangkan marabahaya dan kebaikan, berkuasa
memberi dan menghalangi, mengirimkan kebaikan dan keberkahan, serta
melenyapkan keburukan dan kesulitan. Ini tidak lain merupakan tindakan
syirik!.
Bukti akan adanya keyakinan tersebut dan kesyirikan mereka, -sesuai
dengan pengakuan dan pernyataan mereka-, jika sedang dicekam kesulitan
yang besar, manakala mereka mempersembahkan sesaji-sesaji kepada wali
fulan atau jin anu, dan kesulitan tersebut sirna; dalam hati mereka
terbentuk keyakinan bahwa sesaji itulah faktor penyebab datangnya
kebaikan yang diharapkan dan lenyapnya bahaya yang ditakutkan.
Siapa pun yang menelaah dengan cermat al-Qur`ân dan Sunnah Nabi serta
menyimak keterangan para Salafus Shaleh, ia akan mengetahui bahwa sesaji
yang dipersembahkan itu sama persis dengan apa yang dipersembahkan kaum
musyrikin zaman dulu kepada sesembahan mereka, yang Allah k sebutkan
dalam firman-Nya:
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا
فَقَالُوا هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَٰذَا لِشُرَكَائِنَا
Mereka menyediakan sebagian hasil tanaman dan hewan (bagian) untuk Allah
sembari berkata sesuai dengan persangkaan mereka: "Ini untuk Allah dan
yang itu untuk berhala-berhala kami". [al-An'aam/6:136]
Tindakan mereka ini terhitung beriman kepada Jibt dan Thaghut, seperti
diungkapkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t : "Sebagian orang ada
yang melakukan taqarub kepada jin dengan makanan adas, mereka memasaknya
lantas meletakkannya di kamar mandi atau membuangnya. Kemudian meminta
hal-hal yang biasa diminta kepada setan-setan. Sebagaimana yang mereka
lakukan di kamar mandi dan tempat serupa dengannya. Ini termasuk beriman
kepada Jibt dan Thaghut".[12]
RITUAL-RITUAL PERSEMBAHAN TUMBAL DAN SESAJI DI TANAH AIR
Berikut ini beberapa contoh ritual menyimpang yang berkembang di tengah
sebagian masyarakat tanah air dalam berbentuk persembahan sesaji maupun
tumbal. Ritual-ritual yang sudah tentu sangat berbahaya bagi keimanan
seorang muslim bila melakukannya.
1. Ritual Labuhan. Dalam prakteknya, dilakukan pemendaman kepala kerbau
di puncak gunung Merapi di awal bulan Muharram dan di penghujung bulan
Rajab setiap tahunnya sebagai persembahan kepada Kiai Sapujagad yang
diklaim merupakan jin penguasa gunung Merapi. Mereka beranggapan, bila
acara ini tidak diselenggarakan akan mengakibatnya timbulnya berbagai
mara bahaya bagi masyarakat setempat.[13]
2. Ritual yang dilaksanakan oleh penduduk kota Cilacap Jawa Tengah
dengan mempersembahkan kepala kerbau bagi Nyai Roro Kidul yang diyakini
merupakan penguasa laut selatan guna menghindari kemurkaannya dan
berharap keberkahan darinya.[14] Ritual serupa juga dilakukan di
Yogyakarta di pantai Samas [15] dan di pantai Parangkusumo [16] dan di
kota Tulung Agung Jawa Timur di pantai Popoh.[17]
3. Sebagian orang menyembelih sapi untuk dipersembahkan kepada
'penguasa' laut selatan agar berkenan membantu penyelesaian proyek
pembangunan jembatan yang menghubungkan antara kota Surabaya dan Madura
yang kemudian dikenal dengan jembatan SURAMADU.[18]
4. Ritual yang dilakukan sebagian pedagang pasar tradisional Banyumas
Jawa Tengah dengan mempersembahkan kepala kambing dan beragam makanan
untuk sungai Serayu dengan cara melarungnya di sungai tersebut. Ritual
ini termasuk dalam kegiatan Festival Sedekah Pasar Banyumas. Tujuan
penyelenggaraannya, menjauhkan takdir-takdir buruk dari mereka (?!).
[19]
5. Sebagian penduduk kota Kulon Progo Jawa Tengah, sebelum pelangsungan
akad nikah, mereka mempersembahkan kurban berupa ayam, padi dan
macam-macam makanan kepada arwah kakek-nenek mereka agar selalu dinaungi
keselamatan, sehingga perhelatan pesta perkawinan berjalan sesuai
rencana. Persembahan ini sering disebut dengan istilah sesajen Murni
Lasti.[20]
6. Disembelihnya kerbau oleh para penggarap proyek di Batudatar
Purwakarta Jawa Barat untuk dipersembahkan kepada jin yang dikenal
dengan sebutan Haji Kamilin agar tidak terjadi kecelakakan pada jalan
yang sedang mereka kerjakan.[21]
7. Sebagian penduduk sekitar Rawa Pening Ambarawa Jawa Tengah melakukan
ritual persembahan berupa ayam, nasi dan lainnya kepada penguasa danau
kecil ini yang mereka sebut Mbah Baru Klinting, agar mendapatkan
kemudahan darinya dalam bekerja, sebagai bentuk syukur kepadanya
sekaligus harapan memperoleh keberkahan darinya.[22]
8. Demikian pula, sebagian warga Yogyakarta melakukan persembahan berupa
rokok, pisang, padi dan setetes darah ayam jika mereka akan
melangsungkan walimahan. Tujuannya, agar jin penunggu desa mereka tidak
mengusik jalannya acara. Dikenal dengan Uba Rampe.[23]
9. Sebelum melakukan pembangunan pabrik, jembatan atau bangungan besar
lainnya, sebagian orang menyembelih sapi atau kerbau dan kemudian
melumuri pondasi dengan darah sembelihan itu. Selanjutnya, kepala hewan
tersebut dipendam di daerah proyek bangunan agar proyek berjalan lancar
sesuai rencana, tanpa gangguan jin. Dengan itu pula, mereka berharap
agar bangunan setelah jadi mendatangkan banyak manfaat.[24]
Seluruh fenomena di atas merupakan contoh persembahan sembelihan untuk
selain Allah, adapun persembahan sesaji yang tidak ada unsur
sembelihannya, di antara contohnya di tanah air:
10. Ritual yang dikerjakan oleh sebagian penduduk desa Sigentong Sicabe
di Brebes Jawa Tengah, ketika menjelang panenan atau melangsungkan
hajatan. Mereka menyalakan kemenyan dan mempersembahkan sesajen di
kuburan Dul Jalab yang berada di desa tersebut. Ritual ini menurut
mereka sebagai bentuk permohonan izin (restu) kepadanya. Menurut
anggapan mereka, bila acara ini tidak dilangsungkan, maka mara bahaya
akan menimpa mereka.[25]
11. Persembahan yang diperuntukkan bagi Dewi Sri, Dewi penguasa padi dan
pemberi kemakmuran, yang dilangsungkan sebelum musim panen.[26]
12. Keyakinan sementara kalangan bahwa kematian sebagian pelancong
Belanda yang mendaki gunung Merapi disebabkan dahulu para penjajah
Belanda yang sempat membangun beberapa bangunan di lereng gunung itu
tidak mempersembahkan sesaji kepada Kyai Sapu Jagad, 'yang mbaurekso'
gunung tersebut.[27]
13. Persembahan makanan, minuman, kain dan rokok yang dilakukan dukun
Mbah Bejo untuk jin penghuni bangunan kuno Larang sewu di Semarang untuk
menghindarkan gangguan-gangguan jin tersebut.[28]
14. Persembahan tahunan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Lemah
Putih di Nganjuk Jawa Timur bagi jin penghuni sumur Putri untuk meredam
bahayanya karena suka menakut-nakuti orang-orang yang berjalan
melewatinya.[29]
15. Persembahan berupa tebu, padi dan jagung yang masih dalam bulirnya
ketika menghuni rumah baru guna mengusir bahaya jin penghuni rumah dan
mendapatkan kebaikan. [30]
16. Ritual persembahan yang dilakukan oleh sebagian penduduk desa Kandat
Kediri Jawa Timur bagi jin penghuni rumah kosong di desa tersebut
supaya tidak mengganggu gadis-gadis perawan desa setempat. [31]
17. Persembahan yang dilakukan sebagian orang bagi jin penghuni jembatan
rel kereta api tua di Pabuaran Subang Jawa Barat sebagai bentuk
lantaran mereka melihatnya dalam mimpi agar rasa aman tetap terjaga.[32]
18. Keyakinan sebagian penduduk dekat jembatan Gorowong Karawang bahwa
penyebab terjadinya bencana yang menimpa mereka adalah tidak
dilaksanakannya persembahan bagi jin penguasa jembatan tersebut.[33]
19. Ritual Sedekah Nyusur Taneuh dan Sedekah Dugna yang diselenggarakan
oleh sebagian penduduk propinsi Jawa Barat pada hari yang bertepatan
dengan kematian seseorang berupa persembahan makanan dan minuman yang
disukainya saat masih hidup di rumah dan kuburnya.[34]
Inilah sebagian ritual di tanah Jawa yang berisi persembahan tumbal
maupun sesaji yang kebanyakan diperuntukkan bagi jin yang dianggap
berkuasa dan sanggup mendatangkan kebaikan dan bahaya bagi manusia.
Tidak menutup kemungkinan di pulau lain di luar Jawa terdapat
ritual-ritual yang substansinya sama.
SYUBHAT DAN SANGGAHANNYA
Sebagian orang mungkin akan menolak vonis kufur terhadap praktek
persembahan tumbal dengan binatang yang disembelih kepada jin dan
lainnya dengan dalih bahwa orang-orang yang menyembelih sembelihan itu
ketika melakukan penyembelihan menyebut nama Allâh Azza wa Jalla
(mengucapkan basmalah). Bagaimana bisa disebut menyembelih untuk selain
Allâh Azza wa Jalla ?
Jawabannya: jika memang demikian yang terjadi berarti ada perbedaan
antara keyakinan hati dan ungkapan lisan. Dalam kondisi seperti ini yang
dijadikan sebagai ukuran adalah apa yang diyakini hati, bukan apa yang
dilontarkan lisan. Ini merupakan kaedah umum dalam seluruh amal
ketaatan. [35]
Alasan pengharaman perbuatan tersebut kembali kepada niat. Penyebutan
nama Allâh Azza wa Jalla dengan lisan dalam keadaan hati berniat untuk
selain-Nya; tidak merubah status hukum keharaman. Imam Ibnu Katsîr t
telah menyatakan secara tegas bahwa menyembelih sembelihan dengan
menyebut nama Allâh Azza wa Jalla namun dalam keadaan hati bertujuan
untuk mempersembahkannya kepada selain-Nya tetap merupakan perbuatan
syirik.
Saat menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
….(Dan diharamkan bagimu memakan) yang disembelih untuk berhala…[al-Mâidah/5:3]
Beliau berkata: "Mujâhid dan Ibnu Juraij menyatakan, "an-Nushubu
(berhala-berhala) merupakan bebatuan (yang disembah) di sekitar Ka'bah.
Menurut Ibnu Juraij berjumlah 360 patung. Dahulu bangsa Arab di masa
Jahiliyah mereka melakukan penyembelihan binatang ternak di
sekelilingnya. Kemudian mereka memerciki patung yang mengarah ke Ka'bah
dengan tetesan darah binatang sembelihan, dilanjutkan mengiris-iris
daging dan meletakkannya di atas berhala itu. Demikian keterangan
beberapa ulama.
Allâh Azza wa Jalla melarang kaum mukminin dari perbuatan tersebut dan
mengharamkan atas mereka untuk memakan sembelihan-sembelihan yang proses
penyembelihannya dilangsungkan di sisi berhala-berhala. Kendatipun
mengucapkan basmalah saat menyembelihnya di sisi berhala itu. Ini tetap
termasuk perbuatan syirik yang diharamkan oleh Allâh dan Rasul-Nya".[36]
Guna memperjelas lagi, kondisi penyembelihan untuk selain Allâh ada
beberapa macam, dan semuanya merupakan perbuatan syirik [37]:
1. Disembelih dengan menyebut nama Allâh (basmalah), namun diniati untuk
selain Allâh Azza wa Jalla. Ini termasuk syirik dalam ibadah
2. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh, sekaligus diniati untuk
selain Allâh Azza wa Jalla . Ini termasuk syirik dalam permohonan
tolong juga ibadah.
3. Disembelih dengan menyebut nama selain Allâh dan memperuntukkan hasil
sembelihan untukAllâh Azza wa Jalla . Jenis ini termasuk syirik dalam
rububiyah
PENUTUP
Itulah sebagian contoh dari ritual persembahan untuk selain Allah yang
masih bertebaran di sekeliling kita. Kewajiban kita adalah meluruskan
perilaku menyimpang tersebut dengan cara yang santun dan bijak, tanpa
mengorbankan prinsip akidah, apalagi larut dalam ritual tersebut,
walaupun dengan alasan dakwah. Wallahul muwaffiq ila aqwamith tharîq…
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XIV/1431/2010M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Diringkas dari tesis penulis; Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd
al-'Ibâdah Ladâ Ba'dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm Minhâ
(II/666-692).
[2]. Tentang pengklasifikasian ini, silahkan lihat Syarhun Nawawi 'ala
Shahîh Muslim (13/141), Raudhatut Thâlibîn karya an-Nawawy (2/474-475),
al-Muwafaqât karya asy-Syathiby (2/346-350), Taisîrul 'Azizil Hamîd
karya Syaikh Sulaiman Alu Syaikh hlm. 147 al-Qaul Mufîd 'alâ Kitâbit
Tauhîd oleh Syaikh Ibn Utsaimin (1/214), Majmû Fatâwa Syaikh Ibni
'Utsaimîn (7/27-28).
[3]. al-Qaul Mufîd 'alâ Kitâbit Tauhîd 1/214
[4]. Syarhun Nawawi 'ala Shahîh Muslim 13/141
[5]. Juhûd asy-Syâfi'iyyah Fi Taqrîri Tauhîdul Ibâdah hlm. 475 dengan sedikit peringkasan.
[6]. Tafsir ar-Râzi 5/12
[7]. Tafsir as-Sa'di hlm. 191
[8]. As-Sirâj al-Munîr (II/34).
[9]. Tafsîr as-Sam'âni (II/29).
[10]. Zâd al-Masîr karya Ibn al-Jauzy (I/516).
[11]. Asy-Syirk wa Mazhâhiruh karya Syaikh Mubarak al-Maily (hlm. 379).
[12]. Majmû al-Fatâwâ 27/23
[13]. Lihat: Majalah Misteri (edisi 387 hlm. 47-48) dan Tabloid Posmo (edisi 328 hlm. 6-7).
[14]. Lihat: Harian Suara Merdeka tanggal 3 Februari 2007 (hlm. 28).
[15]. Lihat: Ibid tanggal 22 Januari 2007 (hlm. 26).
[16]. Lihat: Bahaya! Tradisi Kemusyrikan di Sekitar Ketika karya Waliyuddin AR Dany (hal.77-79).
[17]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 48 hlm. 74-75).
[18]. Lihat: Ibid (edisi 25 hlm. 27, 28).
[19]. Lihat: Harian Suara Merdeka tanggal 3 Februari 2007 (hlm. 18).
[20]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 48 hlm. 74-75).
[21]. Lihat: Ibid (edisi 55 hlm. 46).
[22]. Lihat: Koran Wawasan tanggal 26 Maret 2006 (hlm. 12).
[23]. Lihat: Majalah Ghoib (edisi 49 hlm. 74-75).
[24]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik Masyarakat Indonesia karya Perdana Akhmad (hlm. 42).
[25]. Lihat: Majalah HAM (edisi 9 hlm. 23-24).
[26]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik Masyarakat Indonesia (hlm. 42).
[27]. Lihat: Majalah Misteri (edisi 387 hlm. 46).
[28]. Lihat: Koran Wawasan tanggal 22 April 2006 (hlm. 1).
[29]. Lihat: Majalah Wahana Mistis (edisi 108 hlm. 40-42).
[30]. Lihat: Membongkar Kesesatan Perilaku Syirik (hlm. 42) dan Bahaya! Tradisi Kesyirikan di Sekitar Kita (hlm. 85).
[31]. Lihat: Majalah Wahana Mistis (edisi 108 hlm. 78-80).
[32]. Lihat: Ibid (hlm. 86-88).
[33]. Lihat: Ibid (hlm. 82-84).
[34]. Lihat: Bid'ah-bid'ah di Indonesia (hlm. 63).
[35]. Cermati: Mukhtashar Khalîl (hlm. 28).
[36]. Tafsîr Ibn Katsîr (III/23).
[37]. At-Tamhîd li Syarh Kitab at-Tauhid (hlm. 139).
Sumber