Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Islam. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 September 2013

Adab Jimak (berhubungan badan)

Suami Sejati ( bag 17) "Adab Jimak (Berhubungan Badan)"


 
Berikut ini penulis nukilkan beberapa perkara yang penting yang berkaitan dengan adab tatkala berjimak yang penulis ringkas dari beberapa fatwa ulama dengan menyebutkan sumber fatwa-fatwa tersebut

- Hendaknya membaca doa sebelum berhubungan dengan istri.

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

“Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari anak yang kau anugrahkan kepada kami” [HR Al-Bukhari I/65 no 141 dan Muslim II/1058 no 1434]

Doa ini disunnahkan bagi sang lelaki adapaun sang wanita jika hendak membaca doa ini maka tidak mengapa karena asal dalam hukum adalah tidak adanya pengkhususan hukum terhadap lelaki atau wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/357 no 17998).

Syaikh utsaimin berkata, ((Karena terkadang syaitan ikut serta bersama seseorang tatkala menjimaki istrinya sehingga ikut menikmati istrinya. Oleh karena itu Allah berfirman


وَأَجْلِبْ عَلَيْهِم بِخَيْلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكْهُمْ فِي الأَمْوَالِ وَالأَوْلادِ (الإسراء : 64 )

Dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak (QS. 17:64)

Berkata sebagian Ulama, “Ikut sertanya syaitan dalam anak-anak adalah jika seseorang tidak menyebut nama Allah tatkala hendak menjimaki istrinya maka terkadang syaitan ikut serta menikmati istrinya”)) [Asy-Syarhul Mumti’ XII/416]

Berkata Syaikh Alu Bassaam, "Hadits ini merupakan dalil bahwa syaitan tidak meninggalkan seorang bani Adam. Ia selalu menyertainya dan mengikuti gerak-geriknya untuk mendapatkan kesempatan untuk menggoda dan menyesatkannya semaksimal mungkin. Akan tetapi seorang yang cerdik adalah yang tidak memberikan peluang kepada syaitan yaitu dengan berdzikir kepada Allah." [Taudhihul Ahkaam IV/458]

- Boleh bagi keduanya untuk bertelanjang karena boleh bagi keduanya untuk melihat dan menyentuh seluruh tubuh pasangannya, namun sebaiknya untuk menutup tubuh mereka berdua (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/359 no 2892 dan XIX/361 no 4250 dan XIX/361 no 4624, Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

- Hendaknya sang suami sebelum menjimaki istrinya melakukan pemanasan untuk menggairahkan syahwat istrinya seperti ciuman, sentuhan, dan yang lainnya, sehingga keduanya sama-sama bangkit syahwatnya. Karena hal ini akan menambah keledzatan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/415)

- Boleh bagi keduanya untuk berbicara sedikit tatkala sedang berjimak terutama perkataan-perkataan yang menggairahkan syahwat. Bahkan terkadang perkataan-perkataan yang seperti ini dituntut. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/416)

- Terlarang bagi sang suami untuk mencabut dzakarnya dari vagina istrinya sebelum istrinya mencapai kepuasan (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/417)

- Boleh bagi sang suami untuk menikmati (meletakkan dzakarnya) ke seluruh bagian tubuh sang istri, baik dari depan maupun dari belakang, bahkan boleh baginya untuk meletakkan dzakarnya diantara belahan dua pantat istrinya selama tidak masuk dalam lingkaran dubur. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6905 dan XIX/352 no 7310)

- Boleh bagi seorang suami untuk menjimaki istrinya lebih dari sekali dalam satu malam tanpa mandi atau wudhu, namun sebaiknya berwudhu sebelum mengulangi jimaknya karena akan menjadikannya lebih bersemangat. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/349 no 13748). Namun disunnahkannya wudhu ini hanya berlaku bagi sang lelaki karena dialah yang diperintahkan untuk melakukannya dan bukan sang wanita. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/350 no 18911)

- Boleh (dan tidak makruh) bagi sang suami untuk mengisap payudara istrinya, dan jika air susu istrinya sampai masuk ke lambungnya maka tidak menjadikannya haram (anak persusuan). (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/351 no 6657)

- Boleh bagi suami untuk menjimaki istrinya yang sedang hamil kapan saja waktu kehamilannya selama tidak menimbulkan bahaya. (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/353 no 18371)

- Tidak mengapa bagi suami dan istri untuk berjimak dihadapan bayi yang masih dalam persusuan karena ia tidak mengerti, adapun anak kecil yang sudah berumur tiga tahun atau empat tahun yang bisa mengungkapkan apa yang dilihatnya maka hal ini dilarang. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/418)

- Tidak boleh menjimaki sang istri di kemaluannya tatkala ia sedang haid dan nifas

Sebagaimana firman Allah

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ (البقرة : 222 )

Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah, "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh, dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. 2:222)

(Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/396)

- Namun boleh mencumbui atau menjimaki istri yang sedang haid dibagian mana saja dari tubuh sang istri yang penting bukan dikemaluan atau dubur. Karena hukum asal dalam berjimak adalah halal. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda

اِصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلاَّ النِّكَاح

“Lakukanlah segala perkara kecuali nikah (yaitu kecuali menjimaki kemaluan istri yang sedang hadih)” [ HR Muslim I/246 no 302](Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/397)

- Disunnahkan bagi sang istri yang sedang haid untuk memakai sarung untuk menutup kemualuannya tatkala sang suami sedang mencumbuinya. Dan diantara hikmahnya adalah bisa jadi sang suami melihat darah haid atau mencium bau yang kurang sedap sehingga mempengaruhi perasaannya. (Atau bisa jadi syahwatnya terlalu tinggi hingga akhirnya nekat untuk menjimaki kemaluan istrinya yang sedang haidh-pen) (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/398)

- Diharamkan untuk menjimaki istri melalui duburnya

Allah berfirman

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ (البقرة : 223 )

Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. (QS. 2:223)

Dan dubur bukanlah tempat bercocok tanam bagi sang suami. Dan banyak hadits yang menyatakan keharaman menjimaki istri di dubur.

Selain itu qiyas juga menunjukan akan haramnya menjimaki istri di duburnya. Tai itu lebih kotor dan lebih menjijikan daripada darah haid, maka jika jimak ditempat keluarnya darah haid diharamkan karena ada darah haidh maka jimak ditempat keluarnya tai lebih diharamkan lagi. (Kemudian juga bahwa diharamkan jimak di tempat haidh padahal itu hukumnya sementara saja hingga berhenti darah haidh maka terlebih lagi diharamkan jimak di dubur karena dubur senantiasa dan selalu merupakan tempat kotoran-pen). Selain itu jimak di dubur seperti homoseksual, oleh karena itu sebagian ulama menamakan jimak di dubur dengan nama homoseksual kecil. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ XII/399)

Faedah:

Syaikh Alu Bassaam berkata, "Pada ayat di atas (QS. 2:223) terdapat dorongan dan motivasi untuk melakukan jimak karena Allah menyebutnya sebagai "bercocok tanam". Karena berocok tanam akan membuahkan hasil yang bermanfaat serta buah-buahan yang baik. Maka demikianlah juga dengan jimak yang menyebabkan banyaknya keturunan dan memperbanyak barisan kaum muslimin dan mewujudkan bangganya Nabi shallallahu 'alihi wa sallam akan banyaknya pengikutnya di hadapan para nabi yang lain pada hari kiamat kelak" [Taudhihul Ahkaam IV/456]

- Dilarang bagi keduanya untuk menceritakan kepada orang lain tentang jimak yang telah mereka lakukan. (Penjelasan Syaikh Utsaimin dala Asy-Syarhul Mumti’ XII/419)

- Dilarang bagi keduanya untuk memotret jimak yang mereka lakukan meskipun dijaga dan tidak diperlihatkan kepada orang lain (Fatwa Lajnah Ad-Daimah XIX/367 no 22959)



Bersambung ...




Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Jumat, 23 Agustus 2013

SUNNAH-SUNNAH DI BULAN SYAWAL

SUNNAH-SUNNAH DI BULAN SYAWAL

1- Puasa 6 Hari.

عَنْ أَبِى أَيُّوبَ الأَنْصَارِىِّ - رضى الله عنه - أَنَّ رَسُولَ الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ.
 
Dari Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu Anhu, Bahwasanya Rasulullah Shallaahu Alami Wasllam bersabda: “Barangsiapa yang melaksanakan puasa Ramdhan kemudian di lanjutkan dengan puasa enam Syawwal maka ia seperti telah berpuasa satu tahun penuh.” (HR.Muslim)

2- Melangsungkan Pernikahan.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ تَزَوَّجَنِى رَسُولُ الله -صلى الله عليه وسلم- فِى شَوَّالٍ وَبَنَى بِى فِى شَوَّالٍ فَأَىُّ نِسَاءِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّى
 
“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menikahiku pada bulan Syawwal dan berkumpul denganku pada bulan Syawwal, maka siapa di antara isteri-isteri beliau yang lebih beruntung dariku?”
(HR. Muslim no. 2551, Al-Tirmidzi no. 1013, Al-Nasai no. 3184, Ahmad no. 23137)

3- Jika seseorang terlewatkan dari I’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka I’tikaflah pada sepuluh hari di bulan syawal. Karena dalam suatu hadits:

(( أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلَمَّا انْصَرَفَ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ إِذَا أَخْبِيَةٌ خِبَاءُ عَائِشَةَ وَخِبَاءُ حَفْصَةَ وَخِبَاءُ زَيْنَبَ فَقَالَ أَالْبِرَّ تَقُولُونَ بِهِنَّ ثُمَّ انْصَرَفَ فَلَمْ يَعْتَكِفْ حَتَّى اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ ))

“Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasslam hendak I’tikaf. Ketika beliau beranjak menuju ke tempat I’tikaf , maka (ketika itu) beliau melihat kemah-kemah ‘Aisyah, Hafshah dan Zainab,’ maka Rasulullah Shallahu ‘Alahi Wasslam bersabda, ‘ Apakah mereka (para wanita itu) benar-benar menginginkan kebaikan dengan perbuatan ini? Maka beliau kembali dan tidak jadi melakukan I’tikaf di bulan Ramadhan sehingga beliau beri’tikaf 10 hari di bulan Syawal.” (HR Bukhari)
Link

Jumat, 19 Juli 2013

I'Tikaaf

I'tikaaf


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


DEFINISI I'TIKAAF

I’tikaaf berasal dari kata:

عَكَفَ – يَعْكُفُ – عُكُوْفًا.

Kemudian disebut dengan i’tikaaf:

اِعْتَكَفَ – يَعْتَكِفُ – إِعْتِكَافًا .

I’tikaaf menurut bahasa ialah: “Menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan.”

Allah berfirman:

إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ

"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? [Al-Anbiyaa : 52]

I'tikaaf berarti: "Tekun dalam melakukan sesuatu. Karena itu, orang yang tinggal di masjid dan melakukan ibadah disana, disebut mu'takif atau 'aakif".[Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits III/284 dan Lisaanul Arab (IX/341), cet. Daar Ihyaa-ut Turats al-Arabi]

Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: "Seseorang tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan sifat/ciri tertentu" [Lihat Fat-hul Baari (IV/271), Syarah Muslim (VIII/66), Mufradaat Alfaazhil Qur’an (hal. 579) ar-Raghib al-Ashfahani, Muhalla (V/179)]

DISYARI'ATKANNYA I'TIKAAF
Para ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya dan i'tikaaf yang paling utama adalah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Hal tersebut karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu mengerjakannya, sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits:

Hadits Pertama:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللّهُ تَعَالَى ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, ia berkata: Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa beri'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya" [HR. Ahmad VI/92, al-Bukhari no. 2026, Fat-hul Baari IV/271, Muslim no. 1172 (5), Abu Dawud no. 2462, dan al-Baihaqi IV/ 315, 320.]

Hadits Kedua:.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ.

"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan". [HSR. Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171 (2)]

Hadits Ketiga:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَى لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan, maka beliau) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya". [HSR. Ahmad VI/41, al-Bukhari no. 2024, Muslim no. 1174, Abu Dawud no. 1376, an-Nasa-i III/218, lafazh ini milik al-Bukhari]

Maksud dari kalimat.
1. "Mengikat kainnya", adalah satu kinayah bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya karena beliau selalu melakukan i'tikaaf setiap sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sedangkan orang yang i'tikaaf tidak boleh bercampur dengan istrinya.

2. "Menghidupkan malamnya", artinya beliau Shallallahu alaihi wa sallam sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan berdzikir.

3. "Membangunkan istrinya", yakni menyuruh mereka shalat malam (Tarawih) serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.

Lihat dalam Subulus Salam (II/351) karya as-Shan'aani, Fiqhul Islam Syarah Buluughil Maraam (III/257-258)

Hadits Keempat

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ.

“Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Ialah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malam lainnya". [HSR. Ahmad VI/256 dan Muslim no. 1175.]

Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya. Begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah yang mempunyai keutamaan, akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menerangkan tentang keutamaannya.

Imam Abu Dawud as-Sijistan berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?" Jawab beliau: Tidak aku dapati, kecuali sedikit riwayat dan riwayat ini pun lemah. Dan tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa i'tikaaf adalah Sunnah". [Lihat al-Mughni IV/455-456.]

HIKMAH I'TIKAAF
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Kebaikan hati dan kelurusannya dalam menempuh jalan Allah tergantung pada totalitasnya berbuat karena Allah, dan kebulatannya secara total hanya tertuju kepada Allah Azza wa Jalla. Ketercerai-beraian hati tidak bisa disatukan kecuali oleh langkah menuju Allah Azza wa Jalla. Berlebih-lebihan dalam makan, minum, pergaulan dengan manusia, pembicaraan yang banyak dan kelebihan tidur, hanya menambah ketercerai-beraian hati serta terserak di setiap tempat, memutusnya dari jalan menuju Allah, atau melemahkan, merintangi, atau menghentikannya dari hubungan kepada Allah.

Adanya rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat menyingkirkan ketamakan hati dari gejolak hawa nafsu yang menjadi perintang bagi perjalanan menuju Allah. Dia mensyari'atkan puasa sesuai dengan kemaslahatan, dimana akan memberi manfaat kepada hamba-Nya di dunia dan akhirat, serta tidak mencelakakannya dan juga tidak memutuskan dirinya dari kepentingan duniawi dan ukhrawinya.

Allah Azza wa Jalla juga mensyari'atkan i'tikaaf bagi mereka, yang maksud dan ruhnya adalah keteguhan hati kepada Allah Azza wa Jalla semata serta kebulatannya hanya kepada-Nya, berkhulwat kepada-Nya, dan memutuskan diri dari kesibukan duniawi, serta hanya menyibukkan diri beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Di mana, dia menempatkan dzikir, cinta, dan menghadapkan wajah kepada-Nya di dalam keinginan dan lintasan-lintasan hati, sehingga semua itu menguasai perhatiannya.

Selanjutnya, keinginan dan detak hati hanya tertuju kepada dzikir kepada-Nya serta tafakkur untuk mendapatkan keridhaan-Nya serta mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga keakrabannya hanya kepada Allah, sebagai ganti dari keakrabannya terhadap manusia. Sehingga ia siap dengan bekal akrabnya kepada Allah pada hari yang menakutkan di dalam kubur, saat di mana dia tidak mempunyai teman akrab. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyenangkan, selain Dia. Itulah maksud dari i'tikaaf yang agung. [Zaadul Ma'ad (II/86-87), cet. XXV thn. 1412 Muassasah ar-Risalah tahqiq dan takhrij Syu'aib al-'Arnauth dan Abdul Qadir al-'Arnauth]

HUKUM I'TIKAAF
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu:
a. Sunnat.
b. Wajib.
I'tikaaf sunnat ialah yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala daripada-Nya serta mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sepanjang tahun.

I'tikaaf seperti ini sangatlah ditekankan. I'tikaaf yang sunnah ini tidak boleh ditetapkan 1 hari atau 3 hari secara rutin kecuali yang ditetapkan syari'at. I'tikaaf yang paling utama adalah yang dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap bulan Ramadhan sampai beliau Shallallahu alaihi wa sallam wafat.

I'tikaaf yang wajib, ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan, Wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. "Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam".

Nadzar ini wajib dilaksanakan.

Dalam sebuah hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ .

"Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu ketaatan kepada Allah, hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan Barangsiapa bernadzar untuk melakukan maksiat (kedurha-kaan/kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan maksiat itu". [HSR. Al-Bukhari no. 6696, 6700, Abu Dawud no. 3289, an-Nasa-i VII/17, at-Tirmidzi no. 1526, ad-Darimi II/184, Ibnu Majah no. 2126, Ahmad VI/36, 41, 224 dan al-Baihaqi IX/ 231, X/68, 75 dan Ibnul Jarud no. 934].

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ya Rasulullah, aku pernah bernadzar di zaman Jahiliyyah akan beri'tikaaf satu malam di Masjidil Haram?" Sabda beliau: "Penuhilah nadzarmu itu!" [HSR. Al-Bukhari no. 2032, Fat-hul Baari IV/ 274 dan Muslim no. 1656.]

WAKTU I'TIKAAF
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.

Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.

Imam asy-Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat bahwa i'tikaaf yang sunnat tidak ada batasnya. [Lihat Bidayatul Mujtahid I/229.]

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Boleh seseorang beri'tikaaf siang saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Abu Sulaiman". [Baca al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624.]

SYARAT-SYARAT I'TIKAAF
Syarat-syarat bagi orang yang i'tikaaf ialah:
a. Seorang Muslim.
b. Mumayyiz.
c. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.

Apabila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:
1. Menurut Ibnul Qayyim: "Puasa sebagai syarat sahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf". Dan pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Lihat Zaadul Ma'ad, II/88]

2. Menurut Imam asy-Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat sahnya i'tikaaf. Jika seorang yang beri'tikaaf mau puasa, maka ia puasa. Jika ia tidak mau, tidak apa-apa. [Baca: Al-Muhalla V/181, masalah no. 625]

3. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh". [Lihat al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/484]

Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid, maka i'tikaafnya sah.

Imam Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berpendapat bahwa orang yang i'tikaaf harus berpuasa. Hal ini berdasarkan perkataan 'Aisyah Radhiyallahu anha:

مَنِ اعْتَكَفَ فَعَلَيْهِ الصَّوْمُ .

"Barangsiapa yang i'tikaaf hendaklah ia berpuasa". [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 8037.]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ مَرِيْضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ إِمْرَأَةً وَلاَ يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ مَسْجِدٍ جَامِعٍ.

Aisyah Radhiyallahu anha juga berkata, "Sunnah bagi orang yang i'tikaaf adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak bercampur dengan istrinya dan tidak bercumbu rayu, tidak keluar dari masjid kecuali ada sesuatu yang mesti dia keluar, tidak ada i'tikaaf kecuali di masjid jami".[HR. Abu Dawud no. 2473 dan al-Baihaqi IV/315-316, lihat Shahih Sunan Abi Dawud VII/235-236 no. 2135]

RUKUN-RUKUN I'TIKAAF
Rukun-rukun niat adalah
1. Niat, karena tidak sah satu amalan melainkan dengan niat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus". [Al-Bayyinah: 5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى...

"Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya". [HSR. Al-Bukhari no. 1, Fat-hul Baari VI/48, Muslim no. 1907]

Niat tempatnya di hati, tidak dilafazhkan.

2. Tempatnya harus di masjid.
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Mengenai tempat i'ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala.

وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid". [Al-Baqarah: 187]

Jadi, i'tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.

PENDAPAT FUQAHA' MENGENAI MASJID YANG SAH DIPAKAI UNTUK I'TIKAAF
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:

1 . Sebagian ulama berpendapat bahwasanya i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Ini adalah pendapat Sa'id bin al-Musayyab.

Imam an-Nawawi berkata, "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak sah" [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/483]

2. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dilaksanakan shalat lima waktu dan didirikan jama'ah. [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/483.]

3. Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu sah dilakukan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang sah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf.

Setelah membawakan beberapa pendapat tersebut, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: "I'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil, sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". [Lihat al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, VI/483.]

Ibnu Hazm berkata, "I'tikaaf itu sah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik itu (masjid yang) dilaksanakan Jum'at ataupun tidak". [Lihat al-Muhalla V/193, masalah no. 633.]

Telah terjadi ittifaq (kesepakatan) di antara ulama Salaf, bahwa di antara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat di antara mereka apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid manapun (pada umumnya), bila dilihat zhahir firman Allah.

وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

"...Sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid...".[Al-Baqarah: 187]

Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafazhnya. Karena itu, siapa saja yang mengkhususkan makna dari ayat tersebut, mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya tiga masjid (yaitu Masjidil Haram, Nabawi dan Aqsha). Karena pendapat (yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut [Lihat al-Jami' li Ahkaamil Qur'aan karya Imam al-Qurthubi (I/222), Ahkaamul Qur'aan al-Jashshash (I/285) dan Raawa'i'ul Bayaan fii Tafsiiri Ayaatil Ahkaam (I/241-215)]

Pendapat pertama yang mengatakan bahwa i'tikaaf hanya dilakukan di tiga masjid ; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha ini berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam.

لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ.

"Tidak ada i'tikaaf melainkan hanya di tiga masjid". [HR. Al-Isma'ily dalam al-Mu'jam dan al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/316) dari Shahabat Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu]

Tentang keshahihan hadits ini dan takhrijnya dapat dilihat pada kitab Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah no. 2786 (jilid VI al-Qismul Awwal hal. 667-676) karya besar Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah.

Lihat juga al-Inshaf fii Ahkaamil I'tikaaf oleh Syaikh 'Ali Hasan 'Ali Abdul Hamid.
Menurut Imam al-Albani rahimahullah bahwa ayat tentang i'tikaaf bentuknya umum sedangkan hadits mengkhususkan di tiga masjid. [Qiyaamu Ramadhan hal. 36.]

Wallaahu a'lam bish Shawab.

TENTANG WANITA YANG BERI'TIKAAF
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan sah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah sah menerangkan bahwa para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. [Lihat Fiqhus Sunnah I/402]

Tentang wanita yang beri'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri dan terpisah dari laki-laki, sedangkan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, yaitu terjadinya ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya, para ulama membolehkan namun diusahakan untuk tidak saling pandang antara laki-laki dan wanita. [Lihat al-Mughni IV/464-465, baca Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram III/260.]

WAKTU MEMULAI DAN MENGAKHIRI I'TIKAAF
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa waktu i'tikaaf sunnat adalah tidak terbatas. Maka, apabila seseorang telah masuk masjid dan berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam masjid beribadah beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar.

Dan jika seseorang berniat hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, maka hendaklah ia mulai memasuki masjid sebelum matahari terbenam.

Pendapat yang menerangkan bahwa waktu dimulainya i'tikaaf adalah sebelum matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan, yaitu pada malam ke 21, merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Hanafi, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.

Lihat Syarah Muslim VIII/68, Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/492, Fathul Baary IV/277, al-Mughni IV/489-490 dan Bidayatul Mujtahid I/230.

Dalil mereka ialah riwayat tentang i'tikaafnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di awal Ramadhan, pertengahan dan akhir Ramadhan:

عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ.

"Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan)". [HSR. Al-Bukhari no. 2027.]

Maksud "sepuluh terakhir", adalah nama bilangan malam, dan bermula pada malam kedua puluh satu atau malam kedua puluh. [Lihat Fiqhus Sunnah I/403.]

Tentang hadits 'Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ

"Dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: "Adalah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam apabila hendak i'tikaaf, beliau shalat Shubuh dulu, kemudian masuk ke tempat i'tikaaf" [HSR. Al-Bukhari no. 2033 dan Muslim no. 1173]

Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan dari waktu i'tikaaf itu adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat al-Auza'i, al Laits dan ats-Tsauri. [Lihat Nailul Authar IV/296.]

Maksud dari hadits Aisyah di atas ialah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi, bukan masuk masjidnya ba'da Shubuh.

Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal malam sebelum terbenamnya matahari. Wallaahu a'lam bish shawaab [Lihat Fiqhus Sunnah I/403.]

Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi'i waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad rahimahullah, ia disunnahkan untuk tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi, keluar dari masjid ketika ia keluar menuju lapangan untuk mengerjakan shalat 'Ied. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah matahari terbenam. [Lihat Bidaayatul Mujtahid (I/230) dan al-Mughni (IV/490).]

Jadi kesimpulannya, empat Imam telah sepakat bahwa waktu i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di akhir Ramadhan.

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Mereka menganggap sunnah bermalam di masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang beri'tikaaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya langsung pergi ke lapangan (untuk shalat Idul Fitri)". [Baca al-Mughni, IV/490-491.]

Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari tertentu, atau bermaksud melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan keluar dari masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. [Lihat Bidaayatul Mujtahid, I/230, al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/494, Fiqhus Suunah I/403-404.]

Ibnu Hazm berkata, "Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari, dan keluar dari masjid bila sudah terlihat terbitnya fajar. Sebabnya karena permulaan malam ialah saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan diniatkannya". [Lihat al-Muhalla V/198, masalah no. 636.]

HAL-HAL YANG SUNNAT DAN YANG MAKRUH BAGI ORANG YANG I'TIKAAF
Disunnatkan bagi orang yang i'tikaaf memperbanyak ibadah sunnat serta menyibukkan diri dengan shalat berjama'ah dan shalat-shalat sunnat, membaca al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, berdo'a membaca shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ibadah-ibadah lain untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala. Semua ibadah ini harus dilakukan sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Termasuk juga dalam hal ini disunnahkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi 'alaihimush shalatu wa sallam dan orang-orang shalih, dan mempelajari kitab-kitab fiqh serta kitab-kitab yang berisi tentang masalah aqidah dan tauhid.

Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfaat, baik berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam

مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.

"Diantara kebaikan Islam seseorang ialah, ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna". [HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976 dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di Shahiih Jami'us Shaghiir no. 5911]

Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, yakni seseorang tidak mau bicara, karena mengira bahwa hal itu mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.

Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang khutbah, tampak oleh beliau seorang laki-laki yang tetap berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para Shahabat): 'Siapakah orang itu?' Para Shahabat menjawab: 'Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus berdiri, tidak akan duduk, tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa'. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مُرُوْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

"Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaklah ia meneruskan puasanya". [HSR. Al-Bukhari no. 6704, Abu Dawud no. 3300, ath-Thahawi di dalam kitab Musykilul Atsaar III/44 dan al-Baihaqi X/75.]

HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I'TIKAAF
Pertama:
Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walaupun hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan batal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.

Kedua:
Murtad karena bertentangan dengan makna ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada-mu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu ter-masuk orang-orang yang merugi". [Az- Zumar : 65]

Ketiga: Hilang akal disebabkan gila atau mabuk.
Keempat: Haidh.
Kelima: Nifas.
Keenam: Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subahanhu wa Ta'ala

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa". [Al-Baqarah: 187] [Lihat Fiqhus Sunnah I/406]

Menurut pendapat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu: "Apabila seorang mu'takif (yang i'tikaaf) bersetubuh, maka batal i'tikaafnya dan ia mulai dari awal lagi.[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq, dengan sanad yang shahih. Lihat Qiyamur Ramadhan hal. 41 oleh Imam al-Albani]

HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I'TIKAAF
Pertama:
I'tikaafnya seorang wanita dan kunjungannya kepada suaminya yang beri'tikaaf di dalam masjid.

Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya yang tengah beri'tikaaf. Dan suaminya yang sedang beri'tikaaf diperbolehkan untuk mengantar-kannya sampai pintu masjid.

Shafiyyah Radhiyallahu anha bercerita: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah beri'tikaaf (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan), lalu aku datang untuk mengunjungi beliau pada malam hari, (yang saat itu di sisi beliau sudah ada beberapa istrinya, lalu mereka pergi). Kemudian aku berbicara dengan beliau beberapa saat, untuk selanjutnya aku berdiri untuk kembali. (Maka beliau bersabda: 'Janganlah kamu tergesa-gesa, biar aku mengantarmu'). Kemudian beliau berdiri mengantarku -dan rumah Shafiyyah di rumah Usamah bin Zaid-. Sehingga ketika sampai di pintu masjid yang tidak jauh dari pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang dari kaum Anshar yang melintas. Ketika melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kedua orang itu mempercepat jalannya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Janganlah kalian tergesa-gesa, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay'. Kemudian keduanya menjawab: 'Mahasuci Allah, wahai Rasulullah'. Beliau bersabda: 'Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia seperti aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir syaitan itu akan melontarkan kejahatan dalam hati kalian berdua, atau beliau bersabda (melontarkan sesuatu)'". [HR. Al-Bukhari no. 2035, Muslim no. 2175]

Kedua:
Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.

Ketiga:
Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا

"Dari Aisyah Radhiyalahu 'anha, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi Shallallahu alaihi wa sallam padahal ia (Aisyah) sedang haidh, dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sedang beri'tikaaf di masjid. Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dimasukkan ke kamar Aisyah. Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bila sedang beri'tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau untuk menunaikan hajat. [HSR. Al-Bukhari no. 2029, 2046, Muslim no. 297 (6-7), Abu Dawud no. 2467, at-Tirmidzi no. 804, Ibnu Majah no. 1776 dan 1778, Malik I/257 no. 1, Ibnul Jarud no. 409 dan Ahmad VI/104, 181, 235, 247, 262.]

Berkata Ibnul Mundzir: "Para ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaafnya) untuk keperluan buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, (apabila tidak ada kamar mandi/wc di masjid -pent.). Dalam hal ini, sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia keluar (sekedarnya)".[Lihat Fiqhus Sunnah I/405.]

Aisyah Radhiyallahu anha juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika sedang i'tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.

KHATIMAH
Dianjurkan bagi orang-orang yang ber-i’tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan dan yang tidak i’tikaaf, berusa-halah memanfaatkan waktu untuk ibadah kepada Allah, perbanyaklah baca al-Qur-an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang disunnahkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan kita ter-masuk orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3} تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}‏

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar: 1-5]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .

“Barangsiapa berdiri (melaksanakan ibadah) pada malam Lailatul Qadar, karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HSR. Al-Bukhari no. 2014, Muslim 760 (175), Abu Dawud no. 1372, an-Nasaa-i IV/157]

Dianjurkan pula banyak do’a dan dzikir ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya Lailatul Qadar:

اللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka maaf-kanlah aku. [HSR. Ahmad VI/171, Ibnu Majah no. 3850, at-Tirmidzi no. 3513 dari ‘Aisyah d. Lihat Shahih at-Tirmidzi no. 2789 dan Shahih Ibni Majah no. 3105.]

Wallahu a’lam bish shawaab.

Penutup dari pembahasan ini adalah do’a:

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memujimu. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) ke-cuali Engkau, aku meminta ampun dan ber-taubat kepada-Mu.[HR. An-Nasa-i di dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 403, Ahmad VI/77. Lihat Fat-hul Baari XIII/546, Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 3164.]

Maraji'
1. Shahih al-Bukhari.
2. Shahih Muslim tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi.
3. Fat-hul Baary Syarah Shahih Bukhari oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaany, cet. Daarul Fikr.
4. Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy, cet. Daarul Fikr.
5. Sunan Abu Dawud.
6. Jaami' at-Tirmidzi.
7. Sunan Ibni Majah.
8. Sunan an-Nasaa'i.
9. Musnad Imam Ahmad, cet. Daarul Fikr.
10. Al-Muwaththa' Imam Malik, tarqim Mu-hammad Fuad 'Abdul Baqi, cet. Darul Hadits thn. 1371, Cairo.
11. As-Sunan al-Kubra Imam al-Baihaqy, cet. Daarul Ma'rifah.
12. Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr.
13. Shahih Ibnu Majah bil Ikhtisharis Sanad, oleh Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-maktabah at-Tarbiyah al-'Araby lid Duwal al-Khalij, thn. 1408.
14. Shahih at-Tirmidzi.
15. Al-Muntaqa, oleh Ibnul Jarud, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah.
16. Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
17. Shahih Jaami'ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
18. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, cet. Daarul Fikr.
19. Zaadul Ma'ad Fii Hadyi Khairil 'Ibaad, oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Tahqiq dan takhrij Syu'aib al-Arnauth dan Abdul Qadir al-Arnauth.
20. Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turky.
21.Nailul Authar, oleh Imam asy-Syaukani, cet. Mathba'ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, Mesir.
22. Subulus Salam, Imam ash-Shan'any.
23. Irwaa'ul Ghalil fit Takhrij Ahaadits Manaris Sabil, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albani.
24. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, cet. III Daar al-Fikr, th. 1403 H.
25. Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, cet. Daarul Fikr.
26. Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
27. Fiqhul Islam Syarah Bulughil Maram, oleh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi.
28. Qiyaamu Ramadhaan, oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
29. Al-Inshaf fii Ahkamil I'tikaaf, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
30. Amalul Yaumi wal Lailah, oleh Imam an-Nasa'i.
31. Al-Jami' li Ahkaamil Qur'an, oleh Imam al-Qurthubi.
32. Ahkaamul Qur'an, oleh al-Jashshash.
33. Rawaa'iul Bayan fii Tafsiri Ayatil Ahkam.
34. Lisaanul Arab, oleh Ibnu Manzhur, cet. Daar Ihyaa-it Turats al-Araby.
35. An-Nihayah fii Ghariibil Hadits, oleh Ibnul Atsiir.
36. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan, ar-Raaghib al-Ashfahaani.
37. Shahih Sunan Abi Dawud, jilid II, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany

[Disalin dari buku I'tikaaf, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Abdullah, Gedung TEMPO Jl Utan Panjang Raya No. 64 - Jakarta Pusat, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]

Sumber

Masa Iddah Dalam Islam

MASA ‘IDDAH DALAM ISLAM

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc



Ingin sukses dalam segala hal yang dilakukannya merupakan tabi'at setiap orang. Termasuk ingin sukses dalam mengarungi samudra kehidupan bersama keluarga. Namun ternyata tidak selamanya keinginan itu sejalan dengan takdir Allâh Azza wa Jalla . Sebuah ikatan keluarga yang sudah berusaha dijaga demi meraih impian ternyata harus berakhir dengan perpisahan, baik terpisah karena problem yang tak kunjung ada solusi ataupun terpisah karena salah satunya meninggal dunia. Pertanyaannya, apakah dengan berakhirnya ikatan rumah tangga berarti berakhir pula aturan yang berkait dengannya ? Jawabannya, tidak. Karena setelah terjadi perpisahan ini, masih ada kewajiban yang harus tunaikan oleh pihak wanita yang disebut dengan masa ‘iddah. Apakah yang dimaksud dengan masa ‘iddah ? Ketentuan apa saja yang harus dilakukan pada masa ‘iddah ini ?

Pada pejelasan ringkat berikut, penulis akan mencoba untuk menyampaikan masalah ini secara sistematis.

PENGERTIAN MASA‘IDDAH.
Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) yang bermakna perhitungan (الإِحْصَاء)[1] . Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.

Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.[2]

Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.[3]

HIKMAH 'IDDAH[4]
Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya:

1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.
2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.
3. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.
4. Masa 'iddah disyari'atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.
5. Masa 'iddah disyari'atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

DASAR PENSYARIATANNYA.
Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah.[5]

Dalil dari al-Qur`ân yaitu firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2:228]

Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, diantaranya :

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي

Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, "Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Menikahlah!" [HR al-Bukhâri no. 4906].

ATURAN-ATURAN DALAM `IDDAH
Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.[6] Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. [al-Ahzâb/33:49]

Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya, masalah 'iddah ini dapat dirinci sebagai berikut :

1. Wanita Yang Ditinggal Mati Oleh Suaminya
Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan :
a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya ('iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla,

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4].

Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ

Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi). [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485].

b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa 'iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat. [al-Baqarah/2: 234]

2. Wanita Yang Diceraikan
Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang ditalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga).

a. Wanita yang dicerai dengan talak raj’i terbagi menjadi beberapa :
1. Wanita yang masih haidh
Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru' [al-Baqarah/2: 228]

Menurut pendapat yang rajih, quru’ artinya haidh, berdasarkan hadits A’isyah Radhiyallahu anhuma yang berbunyi :

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا

Sesungguhnya ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah/darah penyakit), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya). [HR Abu Dâud no. 252 dan dishahihkan syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dâud]

Oleh karena itu Ibnul Qayyim rahimahullah merajihkan pendapat ini dan mengatakan, “Lafazh quru’ tidak digunakan dalam syariat kecuali untuk pengertian haidh dan tidak ada satu pun digunakan untuk pengertian suci (thuhr), sehingga memahami pengertian quru’ dalam ayat ini dengan pengertian yang sudah dikenal dalam bahasa syariat lebih baik. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang yang kena darah istihâdlah :

دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ

Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu. [7]

2. Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah manopause .
Bagi wanita yang seperti ini masa 'iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allâh Azza wa Jalla dalam firman-Nya:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. [at-Thalaq/65:4]

3. Wanita Hamil.
Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. [ath-Thalaq/65:4]

4. Wanita yang terkena darah istihadhah.
Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya.[8]

b. Wanita yang ditalak tiga (talak baa’in).
Wanita yang telah di talak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali talak, masa iddahnya sekali haidh.

Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain [9].

3. Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’).
Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh[10] , sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh. [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].

Juga hadits yang berbunyi :

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَأَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh. [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].

PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HAIDH KE HITUNGAN BULAN
Pada asalnya masa iddah seorang itu menggunakan satu standar dari sejak mulai sampai akhir. Namun terkadang karena suatu sebab terjadi perubahan standar. Misalnya, apabila seorang suami mentalak istrinya yang masih aktif haidh, kemudian sebelum masa ‘iddahnya selesai, sang suami meninggal dunia. Wanita seperti ini memiliki dua keadaan :

a. Apabila talak tersebut masih talak raj’i (talak satu dan dua), maka masa ‘iddah yang wajib diselesaikan oleh wanita ini bukan lagi dengan hitungan tiga kali haidh tapi sudah berpindah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya yaitu empat bulan sepuluh hari. Karena statusnya masih tetap sebagai istri. Talak raj’i tidak menghilangkan status istri pada seorang wanita. Oleh karena itu, wanita yang ditalak dengan talak raj’i masih saling mewarisi dengan suaminya, jika salah satunya meninggal sementara sang istri masih dalam masa ‘iddah.

b. Apabila talak tersebut talak tiga (talak bâ`in), maka ia tetap hanya menyempurnakan sekali haidh saja dan tidak berubah ke ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya. Karena hubungan sebagai suami istri telah terputus sejak talak tiga itu sah. Talak tiga menyebabkan status istri pada seorang wanita hilang. Sehingga pada kejadian di atas kematian sang suami terjadi setelah si wanita bukan sebagai istrinya lagi.[11]

PERUBAHAN STANDAR MASA ‘IDDAH DARI HITUNGAN BULAN KE HITUNGAN HAIDH
Apabila seorang wanita memulai iddahnya dengan hitungan bulan karena tidak haidh, baik karena masih kecil atau telah memasuki masa menopause, namun jika disaat menjalani masa 'iddah ini mengeluarkan haidh, maka wajib baginya untuk pindah dari hitungan bulan ke hitungan haidh. Karena hitungan bulan adalah pengganti dari haidh. Oleh karena itu, menghitung dengan bulan tidak boleh dipakai selama masih ada haidh yang merupakan standar pokok.

Apabila masa 'iddah dengan hitungan bulan tersebut telah tuntas, kemudian baru mengalami haidh , maka tidak wajib memulai masa iddah dari awal lagi dengan hitungan haidh. Karena haidh ada setelah selesai masa iddahnya berlalu.

Apabila seorang wanita memulai hitungan masa 'iddahnya dengan haidh atau bulan kemudian ternyata dia hamil dari suaminya tersebut, maka 'iddahnya berubah menjadi 'iddah wanita hamil yaitu sampai melahirkan.[12]

PENUTUP
Perlu diketahui bersama bahwa selama masa 'iddah, hendaknya wanita atau isteri yang ditalak raj’i tetap berada di rumah suaminya, tidak boleh keluar tanpa izin dari suami tersebut. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu 'iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru. [at-Thalaq/65:1].

Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata, "Mengapa demikian, karena status istri padanya belum hilang, sehingga masih menyisakan sebagian status dari sisi wanita dan sebagian status dari sisi suami. Hal ini akan lengkap kembali bila saling rujuk. Sudah dimaklumi apabila wanita tersebut berada dalam status tidak diceraikan, maka tidak boleh keluar kecuali dengan izin suaminya, karena kadang suami membutuhkannya sementara istri sedang berada di luar rumah. Kadang ketidaksukaan suami terhadap istri muncul dengan sebab istri keluar rumah atau menimbulkan kecemburuan. Oleh karena itu dalam hadits shahih dari Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dalam shahihain dan yang lainnya bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Seorang wanita tidak boleh berpuasa (sunat) sedangkan suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.

Apabila (ketentuan) ini berlaku pada puasa yang merupakan bagian dari ibadah yang paling agung, lalu bagaimana dengan keluar ? Apabila kamu bisa memahami ini, maka kamu akan tahu tidak sepantasnya bagi wanita di masa 'iddah talak raj’i untuk keluar kecuali dengan izin suaminya.[13]

Demikian sebagian hukum mengenai masa 'iddah semoga yang sedikit ini bermanfaat.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304)
[2]. al-Wajîz fi Fiqhissunnah wal Kitâbil Azîz, hlm. 387 dan Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah fi Fiqhil Kitâb was Sunnah al-Muthahharah, 5/383
[3]. Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah 29/304
[4]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi, 2/419-420 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561-562.
[5]. Lihat Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 2/383 dan Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram 5/561
[6]. Lihat al-Mulakhash al-Fiqhi 2/420
[7]. Zâdul Ma’âd, 5/609
[8]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392.
[10]. Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah, 5/392
[11]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/392-393
[12]. Diambil dari Mausû’atul Fiqhiyah al-Muyassarah 5/393
[13]. Sailul Jarrar 2/388


Sumber

Lailatul Qadar [ Malam Seribu Bulan ]


Lailatul Qadar. Malam Seribu Bulan

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i



Sebab Penamaan Malam Mulia Ini Dengan Nama Lailatul Qadr
Para ulama رحمهم الله berselisih pendapat me-ngenai persoalan ini, sebagai berikut:

Pertama, sesungguhnya pada malam lailatul Qadar ini, Allah menetapkan (at-taqdiir) semua rizki, ajal kematian dan semua peristiwa untuk setahun ke depan, dan para Malaikat mencatat semua hal itu.

Kedua, pendapat kedua menyatakan bahwa kemulian (al-Qadr), kehormatan dan suasana malam ini disebabkan oleh diturunkannya (permulaan) al-Qur-an, atau pada malam ini para Malaikat turun atau turunnya keberkahan, rahmat dan maghfirah pada malam kemuliaan ini.

Ketiga, pendapat berikutnya, bahwa orang yang menghidupkan malam ini akan mendapatkan al-Qadr (kemuliaan) yang besar, yang belum pernah dia miliki sebelumnya. Malam ini akan menambah kemuliaannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan masih terdapat pendapat lainnya. [1]

Keberkahan Lailatul Qadar Dan Keutamaannya
Lailatul Qadar ini merupakan malam yang paling utama. Malam ini dimuliakan oleh Allah daripada malam-malam lainnya. Maka, ia merupakan malam yang penuh keberkahan sebagaimana yang difirmankan Allah Jalla wa ‘Alaa:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” [Ad-Du-khaan: 3]

Imam al-Qurthubi rahimahullah mengatakan, “Allah mensifati malam ini dengan keberkahan, karena Dia menurunkan kepada hamba-hamba-Nya berbagai berkah, kebaikan dan pahala pada malam yang mulia ini.” [2]

Maka, lailatul Qadr yang penuh barakah ini mengandung berbagai keutamaan yang agung dan kebaikan-kebaikan yang banyak. Di antaranya sebagai berikut:

Pertama : Pada malam mulia ini dijelaskan semua perkara yang penuh hikmah. Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengabarkan persoalan ini lewat firman-Nya:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [Ad-Dukhaan: 4]

Makna kata yufraqu adalah yufashshal (dijelaskan, dirinci). Dan makna kata hakiim adalah al-muhkam (yang tepat, teliti dan sempurna).

Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menyatakan bahwa dicatat dari Ummul Kitab pada lailatul Qadr segala hal yang terjadi pada setahun ke depan berupa kebaikan, keburukan, rizki, ajal hingga keberangkatan menuju ibadah Haji. [3]

Kedua : Amal-amal yang dikerjakan pada malam mulia ini akan dilipatgandakan dan pengampunan dosa-dosa orang yang menghidupkan lailatul Qadr ini. Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa berfirman dalam surat al-Qadr:

وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْر ِلَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seri-bu bulan.” [Al-Qadr: 2-3]

Para mufassir (ahli Tafsir) menyatakan, “Maknanya adalah amal shalih (yang dilakukan pada) lailatul Qadr lebih baik dari amal shalih selama seribu bulan (yang dilakukan) di luar lailatul Qadr. Dan ini merupakan karunia yang agung, rahmat dari Allah pada hamba-hamba-Nya, serta barakah yang besar lagi nyata yang dimiliki oleh malam yang mulia ini.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa yang mendirikan lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala (dari Allah), niscaya diampuni dosa-dosanya yang lalu.” [4]

Kata qaama (mendirikan) pada hadits di atas dapat diwujudkan dalam bentuk shalat, berdzikir, berdo’a, membaca al-Qur-an dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.

Ketiga : Turunnya al-Qur-an pada lailatul Qadr.
Di antara keutamaan dan keberkahan lailatul Qadr, bahwa al-Qur-an al-Karim -yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi manusia dan bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat- telah diturunkan pada malam ini.

Allah Tabaaraka wa Ta’ala berfirman:

حم وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

“Haa Miim. Demi Kitab (al-Qur-an) yang men-jelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi...” [Ad-Dukhaan: 1-3]

Dan Dia berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Disebutkan bahwa maksud dari ayat tersebut adalah turunnya al-Qur-an secara sekaligus (dari Lauh Mahfuzh ke langit pertama (Baitul ‘Izzah-pent) pada lailatul Qadr, selanjutnya diturunkan secara bertahap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa maksud ayat di atas adalah permulaan turunnya al-Qur-an terjadi pada lailatul Qadr. [5] Wallaahu a’lam.

Keempat : Keberkahan lain dari lailatul Qadr ini, yaitu turunnya para Malaikat pada malam yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman dalam surat al-Qadr:

تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ

“Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan.” [Al-Qadr: 4]

Mengomentari ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Banyak Malaikat yang turun pada malam ini, karena banyaknya barakah lailatul Qadr ini. Para Malaikat turun bersamaan dengan turunnya barakah dan rahmat, sebagaimana halnya ketika mereka hadir di waktu-waktu seperti ketika al-Qur-an dibacakan, mereka mengelilingi majelis-majelis dzikir, dan bahkan pada waktu yang lain mereka meletakkan sayap-sayap mereka kepada penuntut ilmu sebagai sikap penghormatan mereka terhadap sang penuntut ilmu tersebut. [6] Menurut jumhur ahli tafsir maksud kata “war-ruuh” adalah Jibril Alaihissallam. Artinya para Malaikat turun bersama Jibril. Dan Jibril dikhususkan penyebutannya sebagai penghormatan dan pemuliaan terhadap dirinya. [7]

Kelima : Lailatul Qadr adalah suatu malam yang penuh kesejahteraan. Seluruhnya berisi kebaikan, tidak ada keburukan di dalamnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ

“Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai ter-bit fajar.” [Al-Qadr 5]

Disebutkan berkenaan dengan makna salaamun yaitu, bahwa pada malam ini tidak terjadi munculnya sebuah penyakit, dan tidak ada satu syaitan pun yang dilepas. Pendapat yang lain menyatakan makna salaamun adalah kebaikan dan keberkahan. [8] Maka pada sepanjang malam ini yang terdapat hanya kebaikan, tidak ada kejelekan, hingga terbit fajar. Dan pendapat yang lain lagi menyebutkan, bahwa maksudnya adalah para Malaikat mendo’akan keselamatan buat mereka yang menghidupkan masjid (ahlul masjid) pada sepanjang lailatul Qadr ini.

Wallaahu A’lam.

Inilah beberapa keberkahan dan keutamaan yang sangat nyata dan fenomenal dari malam yang mulia ini.

Kapan Terjadinya Lailatul Qadr ?
Jumhur ulama bersepakat bahwa lailatul Qadr ini hanya ada pada bulan Ramadhan.

Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ

“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an...” [Al-Baqarah: 185]

Dan firman-Nya:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur-an) pada malam kemuliaan.” [Al-Qadr: 1]

Namun mereka berbeda pendapat dalam penentuan malam keberapakah dari bulan Ramadhan ini. Pendapat yang kuat (ar-raajih) adalah yang dipegang oleh Jumhur (mayoritas) ulama, yaitu pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, dan lebih khusus lagi pada malam-malam yang ganjil.

Dan dalil atas pendapat tersebut adalah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para Sahabatnya Radhiyallahu anhum untuk lebih giat beramal pada masa tersebut.

Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah lailatul Qadr pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.” [9]

Begitu perhatiannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau beri’tikaf, dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah.

Dan mengenai ketentuan waktu jatuhnya lailatul Qadr ini terdapat banyak pendapat di kalangan ulama. Namun mengenai indikasi-indikasi terkuat mengenai saat terjadinya lailatul Qadr ini bahwa matahari terbit pada pagi harinya dengan cerah.

Hikmah dari disembunyikannya lailatul Qadr ini dari pengetahuan manusia, -wallaahu a’lam- menunjukkan keagungan seluruh malam di bulan Ramadhan, dan agar manusia bersungguh-sungguh dalam berharap untuk mendapatkannya sehingga ganjaran yang diperolehnya semakin besar pula.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Adapun hikmah dirahasiakannya lailatul Qadr ini, agar kesungguhan para hamba dalam upaya meraih keutama-annya benar-benar terwujud secara optimal, sebagaimana (hikmah) disembunyikannya waktu-waktu yang dikabulkan pada hari Jum‘at... [10] dan seterusnya.

Maka, sudah menjadi keharusan bagi kaum muslimin untuk mencari waktu (pada sepuluh malam terakhir-pen) sehingga benar-benar tepat pada lailatul Qadar, kemudian memuliakannya dan menghidupkannya dengan ibadah dan merendahkan diri kepada Allah dengan do’a, dzikir dan istighfar serta memperbanyak ibadah-ibadah Sunnah kepada Allah sehingga mereka mendapatkan ridha dari Allah Yang Mahatinggi dan Maha Pemurah serta memberikan ganjaran dan pahala yang sangat banyak.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Dari Lailatul Qadr, karya Ahmad al-‘Iraqi (hal 22-23) dan Nailul Authaar (IV/362).
[2]. Tafsiir al-Qurthubi (XVI/126).
[3]. Tafsiir al-Baghawi (III/148).
[4]. Shahih al-Bukhari (II/228) kitab ash-Shiyaam dan Shahih Muslim (I/524) kitab ash-Shaalah al-Musaafiriin.
[5]. Dikutip dari kitab Lailatul Qadr, karya al-‘Iraqi (hal. 20-21).
[6]. Tafsiir Ibni Katsiir (III/532).
[7]. Fat-hul Qadiir, karya Imam asy-Syaukani (V/472).
[8]. Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (IX/532).
[9]. Shahih al-Bukhari (II/254) kitab ash-Shaum.
[10]. Zaadul Masiir, karya Ibnul Jauzi (IX/189).

Sumber

Keberkahan Makan Sahur Pagi

 Keberkahan Makan Sahur

Oleh

Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i



DEFINISI
(السَّحُوْرُ), adalah dengan memfathahkan siin yaitu untuk sesuatu yang dipakai bersahur [1] berupa suatu makanan atau minuman, dan dengan mendhammahkan, yaitu sebagai masdar (asal kata) dan untuk kata kerjanya pun seperti itu pula.[2]

Ibnul Atsir berkata, “Yang lebih banyak diriwayatkan adalah dengan menfathahkan, ada yang berpendapat: ‘Yang benar adalah dengan didhummahkan karena dengan menfathahkan adalah untuk makanan, keberkahan, ganjaran dan balasan perbuatan, bukan pada makanan.’”[3]

WAKTUNYA
Dinamakan Sahur, karena dilaksanakan pada waktu Sahur, sedang as-Sahir adalah, akhir dari malam sebelum Shubuh, ada yang berkata, ia dari sepertiga malam akhir hingga terbit fajar,[4] maksudnya adalah bahwa akhir dari waktu sahur bagi seorang yang berpuasa adalah terbitnya fajar.

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

“...Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam, [5] yaitu fajar...” [Al-Baqarah: 187]

Disunnahkan untuk mengakhirkan Sahur jika tidak dikhawatirkan terbitnya fajar, riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Anas Radhiyallahu anhu dari Zaid bin Harits Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Kita bersahur bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu kita mendirikan shalat.” Saya berkata: “Berapa lamakah antara keduanya?” Ia berkata: “Lima puluh ayat.”[6]

Imam al-Baghawi berkata: “Para ulama menganjurkan mengakhirkan makan sahur.” [7]

HUKUMNYA
Sahur hukumnya adalah mustahab (disunnahkan) bagi orang yang berpuasa karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah kalian karena dalam bersahur tersebut terdapat keberkahan.” [8]

Dan dalam riwayat yang lain beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَصْلٌ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أَكْلَةُ السَّحَرِ."

”Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahlul Kitab adalah makan Sahur.” [9]

Maka, dengan makan Sahur berarti telah menyelisihi ahlul Kitab.

Imam an-Nawawi berkata, “Artinya, pemisah dan pembeda antara puasa kita dengan puasa mereka adalah sahur, karena mereka tidak bersahur sedang kita dianjurkan untuk bersahur.” [10]

Makan Sahur dapat berupa sesuatu yang paling sedikit untuk disantap oleh seseorang, baik berupa makanan maupun minuman. [11]

KEUTAMAAN SAHUR DAN KEBERKAHANNYA
Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"تَسَحَّرُوْا! فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةٌ."

“Bersahurlah, karena pada makan Sahur itu ada keberkahan.” [12]

Dan diriwayatkan dari al-‘Irbadh bin Sariyah Radhiyallahu anhu[13] , ia berkata: “Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seseorang untuk makan Sahur seraya bersabda:

"هَلُمَّ إِلَى الْغَدَاءِ الْمُبَارَكِ."

“Kemarilah untuk menyantap makanan yang diberkati.” [14]

Makan Sahur memiliki keberkahan dunia dan akhirat, Imam an-Nawawi rahimahullah berkata saat menjelaskan keberkahan Sahur, “Keberkahan yang terdapat pada makan Sahur sangatlah jelas sekali, karena ia menguatkan untuk berpuasa dan membuatnya bergairah untuknya serta mendapatkan keinginan untuk menambah puasa oleh karena ringannya kesulitan padanya bagi orang yang bersahur.” Dikatakan: “Sesungguhnya ia mengandung terjaga dari tidur, dzikir dan do’a pada saat itu, dimana waktu tersebut adalah waktu turunnya Malaikat, penerimaan do’a dan istighfar, dan kemungkinan ia mengambil wudhu’ lalu shalat atau terus melanjutkan terjaga untuk dzikir, do’a, shalat atau mempersiapkan diri untuk shalat hingga terbit Fajar.” [15]

Yang benar, bahwa keberkahan meliputi semua itu dan hal-hal lain dari manfaat-manfaat Sahur, baik duniawi maupun ukhrawi, dan bahwa makan Sahur mencakup makanan dan minuman, sedangkan kata kerjanya adalah التَّسَحُّرُ.

Dalam kitab Fat-hul Baari, Ibnu Hajjar berkata: “(Pendapat) yang terbaik adalah, bahwa keberkahan dalam makan Sahur dapat diperoleh dari banyak segi, yaitu mengikuti Sunnah dan menyalahi ahlul Kitab, taqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beribadah, menambah semangat beramal dan mencegah akhlak yang buruk yang diakibatkan oleh kelaparan, menjadi sebab bersedekah kepada siapa yang meminta saat itu atau berkumpul bersama dengannya untuk makan, membuatnya berdzikir, berdo’a pada waktu-waktu dikabulkannya do’a, memperbaiki niat puasa bagi mereka yang melalaikannya sebelum tidur, Ibnu Daqiqil ‘Ied [16] berkata, ‘Keberkahan ini dapat juga berlaku terhadap hal-hal ukhrawi karena dengan menegakkan Sunnah, maka akan diganjar dan bertambahnya Sunnah (yang dilakukan), begitu pula bisa saja berlaku terhadap hal-hal duniawi, seperti kekuatan tubuh untuk berpuasa dan juga memudahkan dirinya tanpa ada bahaya bagi orang yang melaku-kan puasa.’” [17]

Di antara keutamaan-keutamaan yang ditambah bagi makan Sahur adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya akan bershalawat bagi orang-orang yang makan Sahur, tidak dipungkiri bahwa itu adalah keutamaan yang besar.

Abu Said al-Khudri Radhiyallahu anhu telah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda:

"السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدْعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يُجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحَّرِيْنَ."

“Makan Sahur adalah keberkahan, maka janganlah kalian meninggalkannya, walaupun hanya berupa seteguk air, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Malaikat-Nya bershalawat bagi orang-orang yang bersahur.” [18]

Maka seyogyanyalah bagi seorang Muslim mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perbuatannya pada masalah ini, hingga memperoleh keber-kahannya dan keutamaan-keutamaannya serta manfaat dunia dan akhirat.

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ash-Shihah (II/679) oleh al-Jauhari, al-Qamuus al-Muhiith (II/528) disusun oleh az-Zawi.
[2]. An-Nihaayah (II/347) oleh Ibnul Atsir.
[3]. Ibid, II/347.
[4]. Lisaanul ‘Arab (IV/350), dengan sedikit perubahan.
[5]. Yaitu gelapnya malam dan terangnya siang, seperti yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Adiy bin Hatim Radhiyallahu anhu, lihat Shahih al-Bukhari (II/231) Kitaabush Shaum bab Qaulullaahu Ta’aalaa: وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا....
[6]. Shahih al-Bukhari (II/771) Kitaabush Shaum bab Qadru Kam bainas Suhuur wa Shallatul Fajr dan Shahih Muslim (II/771).
[7]. Syarhus Sunnah (VI/253) oleh al-Baghawi.
[8]. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya (II/232) Kitaabush Shaum bab Barakatus Suhuur min Ghairi Iijaab liannan Nabi j wa Ash-haabuhu Waashalu wa lam Yudzkaris Suhuur juga Muslim dalam Shahihnya (II/770) Kitaabush Shiyaam bab Fadhlus Suhuur, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dan dalam Shahih Ibni Khuzaimah (III/213).
[9]. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya (II/771) kitab ash-Shiyaam bab Fadhlus Suhuur dari ‘Amr bin ‘Ash Radhiyallahu anhu.
[10]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/207).
[11]. Lihat Fat-hul Baari (IV/140) oleh Ibnu Hajjar.
[12]. Telah diriwayatkan dalam ash-Shahihain.
[13]. Beliau adalah al-‘Irbadh bin Sariyah as-Sulami atau Najih, beliau termasuk dari ahli fiqh dan tinggal di Himsh -wilayah Syam-, wafat pada tahun 75 H, lihat Asaadul Ghaabah (III/518), al-Ishaabah (II/266) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/174).
[14]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (II/758) Kitaabush Shiyaam bab Man Sammas Sahuural Ghadaa’ dan an-Nasa-i (IV/126) Kitaabush Shiyaam bab ad-Da’wah ilas Sahuur, Imam Ahmad dalam Musnadnya (IV/126), Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (III/214) Kitaabush Shiyaam bab Dziktud Dallilin Naas Sahuur Qad Yaqa’a ‘alaihi Ismul Ghadaa’, Ibnu Hibban dalam Shahihnya (V/194) disusun oleh al-Farisi, al-Albani berkata dalam Misykatul Mashabiih (I/622), “Sanadnya hasan.”
[15]. Syarhun Nawawi li Shahiihi Muslim (VII/206), dengan perubahan.
[16]. Beliau Muhammad bin ‘Ali bin Wahb al-Qusyairi al-Manfaluthi Taqiyuddin Abul Fath, imam, faqih, mujtahid, hafizh, muhaddits, menulis banyak karangan, dikenal dengan nama Ibnu Daqiq al-‘Ied, beliau seorang yang cerdas di zamannya, sangat luas ilmunya, tenang, berwibawa, seorang hafizh yang kuat, menjadi hakim di Mesir. Di antara karyanya: Syarhul ‘Umdah, al-Imaam fil Ahkaam, al-Iqtiraah fii ‘Uluumil Hadiits, wafat pada tahun 702 H. Lihat Tadzkiiratul Huffaazh (IV/1481), Thabaqatul Huffazh (hal. 516), Syadzaa-ratudz Dzahab (VI/5) dan al-A’laam (VI/283).
[17]. Fat-hul Baari (IV/140). Lihat Ihkaamul Ahkaam Syarhu ‘Umdatul Ahkaam (II/18) oleh Ibnu Daqiqil ‘Ied.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/12-44), al-Mundziri berkata dalam at-Targhiib wat-Tarhiib (II/139): “Diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad yang kuat.” Al-Haitsami berkata dalam Majmaa’-uz Zawaa-id (III/150): “Diriwayatkan oleh Ahmad dan di dalamnya ada perawi yang bernama Rafa‘ah, aku tidak tahu ada yang menguatkannya. Dia dan tidak pula ada yang melemahkannya, sedangkan para perawi yang lain adalah shahih.” Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Ihsaan bi Tartiibi Shahih Ibni Hibban (V/194). Lafazh terakhir dari hadits, إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتِهِ adalah dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma.

Sumber

Sabtu, 13 Juli 2013

Do’a Berbuka Puasa yang Shahih

Do’a Berbuka Puasa yang Shahih

Masyhur, tak selamanya jadi jaminan. Begitulah yang terjadi pada “doa berbuka puasa”. Doa yang selama ini terkenal di masyarakat, belum tentu shahih derajatnya.

Terkabulnya doa dan ditetapkannya pahala di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dari setiap doa yang kita panjatkan tentunya adalah harapan kita semua. Kali ini, mari kita mengkaji secara ringkas, doa berbuka puasa yang terkenal di tengah masyarakat, kemudian membandingkannya dengan yang shahih. Setelah mengetahui ilmunya nanti, mudah-mudahan kita akan mengamalkannya. Amin.

Doa Berbuka Puasa yang Terkenal di Tengah Masyarakat

Lafazh pertama:

اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

Ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka.”

Doa ini merupakan bagian dari hadits dengan redaksi lengkap sebagai berikut:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ

Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[1]

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, dan dinilai dhaif oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud.

Penulis kitab Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan menuturkan, “(Hadits ini) diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya (2/316, no. 358). Abu Daud berkata, ‘Musaddad telah menyebutkan kepada kami, Hasyim telah menyebutkan kepada kami dari Hushain, dari Mu’adz bin Zuhrah, bahwasanya dia menyampaikan, ‘Sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan, ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu.’”[2]

Mua’dz ini tidaklah dianggap sebagai perawi yang tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban yang telah menyebutkan tentangnya di dalam Ats-Tsiqat dan dalam At-Tabi’in min Ar-Rawah, sebagaimana al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Tahdzib at-Tahdzib (8/224).[2]
Dan seperti kita tahu bersama bahwa Ibnu Hibban dikenal oleh para ulama sebagai orang yang mutasahil, yaitu bermudah-mudahan dalam menshohihkan hadits-ed.

Keterangan lainnya menyebutkan bahwa Mu’adz adalah seorang tabi’in. Sehingga hadits ini mursal (di atas tabi’in terputus). Hadits mursal merupakan hadits dho’if karena sebab sanad yang terputus. Syaikh Al Albani pun berpendapat bahwasanya hadits ini dho’if.[3]

Hadits semacam ini juga dikeluarkan oleh Ath Thobroni dari Anas bin Malik. Namun sanadnya terdapat perowi dho’if yaitu Daud bin Az Zibriqon, di adalah seorang perowi matruk (yang dituduh berdusta). Berarti dari riwayat ini juga dho’if. Syaikh Al Albani pun mengatakan riwayat ini dho’if.[4]
Di antara ulama yang mendho’ifkan hadits semacam ini adalah Ibnu Qoyyim Al Jauziyah.[5]

Lafazh kedua:

اللّهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْت

Allahumma laka shumtu wa bika aamantu wa ‘ala rizqika afthortu” (Ya Allah, kepada-Mu aku berpuasa dan kepada-Mu aku beriman, dan dengan rizki-Mu aku berbuka).”

Mulla ‘Ali Al Qori mengatakan, “Tambahan ‘wa bika aamantu‘ adalah tambahan yang tidak diketahui sanadnya, walaupun makna do’a tersebut shahih.”[6]
Artinya do’a dengan lafazh kedua ini pun adalah do’a yang dho’if sehingga amalan tidak bisa dibangun dengan do’a tersebut.

Berbuka Puasalah dengan Doa-doa Berikut Ini

Do’a pertama:

Terdapat sebuah hadits shahih tentang doa berbuka puasa, yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

Dzahabazh zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah-ed.”
[Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang ditetapkan, jika Allah menghendaki](Hadits shahih, Riwayat Abu Daud [2/306, no. 2357] dan selainnya; lihat Shahih al-Jami’: 4/209, no. 4678) [7]

Periwayat hadits adalah Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma. Pada awal hadits terdapat redaksi, “Abu Hurairah berkata, ‘Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau mengucapkan ….‘”

Yang dimaksud dengan إذا أفطر adalah setelah makan atau minum yang menandakan bahwa orang yang berpuasa tersebut telah “membatalkan” puasanya (berbuka puasa, pen) pada waktunya (waktu berbuka, pen). Oleh karena itu doa ini tidak dibaca sebelum makan atau minum saat berbuka. Sebelum makan tetap membaca basmalah, ucapan “bismillah” sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan: “Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya)”. (HR. Abu Daud no. 3767 dan At Tirmidzi no. 1858. At Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Adapun ucapan وثبت الأجر maksudnya “telah hilanglah kelelahan dan telah diperolehlah pahala”, ini merupakan bentuk motivasi untuk beribadah. Maka, kelelahan menjadi hilang dan pergi, dan pahala berjumlah banyak telah ditetapkan bagi orang yang telah berpuasa tersebut.

Do’a kedua:

Adapun doa yang lain yang merupakan atsar dari perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma adalah,

اَللَّهُمَّ إنِّي أَسْألُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ، أنْ تَغْفِرَ لِيْ

Allahumma inni as-aluka bi rohmatikal latii wasi’at kulla syain an taghfirolii-ed”
[Ya Allah, aku memohon rahmatmu yang meliputi segala sesuatu, yang dengannya engkau mengampuni aku](HR. Ibnu Majah: 1/557, no. 1753; dinilai hasan oleh al-Hafizh dalam takhrij beliau untuk kitab al-Adzkar; lihat Syarah al-Adzkar: 4/342) [8]


[1] Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Kitab ash-Shaum, Bab al-Qaul ‘inda al-Ifthar, hadits no. 2358.
[2] Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, hlm. 74-75.
[3] Lihat Irwaul Gholil, 4/38-ed.
[4] Lihat Irwaul Gholil, 4/37-38-ed.
[5] Lihat Zaadul Ma’ad, 2/45-ed.
[6] Mirqotul Mafatih, 6/304-ed.
[7] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 176.
[8] Syarah Hisnul Muslim, bab Dua’ ‘inda Ifthari ash-Shaim, hadits no. 177.

Referensi:
Irwaul Gholil fii Takhrij Ahadits Manaris Sabil, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami, cetakan kedua, 1405 H
Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Mala ‘Ali Al Qori, Asy Syamilah.
Syarah Hisnul Muslim, Majdi bin ‘Abdul Wahhab al-Ahmad, Disempurnakan dan Dita’liq oleh Penulis Hisnul Muslim (Syekh Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani).
Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, Syekh Muhammad Nashirudin al-Albani, Maktabah al-Ma’arif, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://s203841464.onlinehome.us/waqfeya/books/22/32/sdsunnd.rar)
Tahdzirul Khalan min Riwayatil Hadits hawla Ramadhan, Syekh Abdullah Muhammad al-Hamidi, Dar Ibnu Hazm, diunduh dari www.waqfeya.com (URL: http://ia311036.us.archive.org/0/items/waq57114/57114.pdf)
Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, Tahqiq: Syaikh ‘Abdul Qodir ‘Arfan, Darul Fikr, cetakan pertama, 1424 H (jilid kedua).

Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muroja’ah: Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslimah.or.id

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda