I'tikaaf
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
DEFINISI I'TIKAAF
I’tikaaf berasal dari kata:
عَكَفَ – يَعْكُفُ – عُكُوْفًا.
Kemudian disebut dengan i’tikaaf:
اِعْتَكَفَ – يَعْتَكِفُ – إِعْتِكَافًا .
I’tikaaf menurut bahasa ialah: “Menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan.”
Allah berfirman:
إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَٰذِهِ التَّمَاثِيلُ الَّتِي أَنتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ
"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadah kepadanya? [Al-Anbiyaa : 52]
I'tikaaf berarti: "Tekun dalam melakukan sesuatu. Karena itu, orang yang
tinggal di masjid dan melakukan ibadah disana, disebut mu'takif atau
'aakif".[Lihat an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits III/284 dan Lisaanul
Arab (IX/341), cet. Daar Ihyaa-ut Turats al-Arabi]
Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: "Seseorang
tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah
dengan sifat/ciri tertentu" [Lihat Fat-hul Baari (IV/271), Syarah Muslim
(VIII/66), Mufradaat Alfaazhil Qur’an (hal. 579) ar-Raghib
al-Ashfahani, Muhalla (V/179)]
DISYARI'ATKANNYA I'TIKAAF
Para ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam pada
bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya dan i'tikaaf yang paling utama
adalah pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan. Hal tersebut
karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam selalu mengerjakannya,
sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits:
Hadits Pertama:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ
اللّهُ تَعَالَى ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ.
"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, istri Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam, ia berkata: Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa
beri'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sampai
beliau wafat, kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf
sepeninggalnya" [HR. Ahmad VI/92, al-Bukhari no. 2026, Fat-hul Baari
IV/271, Muslim no. 1172 (5), Abu Dawud no. 2462, dan al-Baihaqi IV/ 315,
320.]
Hadits Kedua:.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهمَا قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ مِنْ
رَمَضَانَ.
"Dari Ibnu 'Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata: Adalah Rasulullah
Shallallahu alaihi wa sallam biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir
dari bulan Ramadhan". [HSR. Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171 (2)]
Hadits Ketiga:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ
وَأَحْيَى لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ.
"Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Rasulullah Shallallahu
alaihi wa sallam apabila sudah masuk sepuluh hari terakhir (dari bulan
Ramadhan, maka beliau) mengencangkan ikat pinggangnya, menghidupkan
malam itu, membangunkan istrinya". [HSR. Ahmad VI/41, al-Bukhari no.
2024, Muslim no. 1174, Abu Dawud no. 1376, an-Nasa-i III/218, lafazh ini
milik al-Bukhari]
Maksud dari kalimat.
1. "Mengikat kainnya", adalah satu kinayah bahwa beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah dan tidak bercampur
dengan istri-istrinya karena beliau selalu melakukan i'tikaaf setiap
sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sedangkan orang yang i'tikaaf
tidak boleh bercampur dengan istrinya.
2. "Menghidupkan malamnya", artinya beliau Shallallahu alaihi wa sallam
sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan berdzikir.
3. "Membangunkan istrinya", yakni menyuruh mereka shalat malam (Tarawih) serta melakukan ibadah-ibadah lainnya.
Lihat dalam Subulus Salam (II/351) karya as-Shan'aani, Fiqhul Islam Syarah Buluughil Maraam (III/257-258)
Hadits Keempat
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ
مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ.
“Aisyah Radhiyallahu anha berkata: Ialah Rasulullah Shallallahu alaihi
wa sallam bersungguh-sungguh dalam beribadah pada sepuluh hari terakhir
(dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malam lainnya".
[HSR. Ahmad VI/256 dan Muslim no. 1175.]
Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari al-Qur'an dan as-Sunnah yang
shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan
keutamaannya. Begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu
merupakan taqarrub kepada Allah yang mempunyai keutamaan, akan tetapi
tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menerangkan tentang keutamaannya.
Imam Abu Dawud as-Sijistan berkata, "Aku bertanya kepada Imam Ahmad:
Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?" Jawab
beliau: Tidak aku dapati, kecuali sedikit riwayat dan riwayat ini pun
lemah. Dan tidak ada khilaf (perselisihan) di antara ulama bahwa
i'tikaaf adalah Sunnah". [Lihat al-Mughni IV/455-456.]
HIKMAH I'TIKAAF
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Kebaikan hati dan
kelurusannya dalam menempuh jalan Allah tergantung pada totalitasnya
berbuat karena Allah, dan kebulatannya secara total hanya tertuju kepada
Allah Azza wa Jalla. Ketercerai-beraian hati tidak bisa disatukan
kecuali oleh langkah menuju Allah Azza wa Jalla. Berlebih-lebihan dalam
makan, minum, pergaulan dengan manusia, pembicaraan yang banyak dan
kelebihan tidur, hanya menambah ketercerai-beraian hati serta terserak
di setiap tempat, memutusnya dari jalan menuju Allah, atau melemahkan,
merintangi, atau menghentikannya dari hubungan kepada Allah.
Adanya rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang kepada
hamba-hamba-Nya menuntut disyari'atkannya puasa bagi mereka yang dapat
menyingkirkan ketamakan hati dari gejolak hawa nafsu yang menjadi
perintang bagi perjalanan menuju Allah. Dia mensyari'atkan puasa sesuai
dengan kemaslahatan, dimana akan memberi manfaat kepada hamba-Nya di
dunia dan akhirat, serta tidak mencelakakannya dan juga tidak memutuskan
dirinya dari kepentingan duniawi dan ukhrawinya.
Allah Azza wa Jalla juga mensyari'atkan i'tikaaf bagi mereka, yang
maksud dan ruhnya adalah keteguhan hati kepada Allah Azza wa Jalla
semata serta kebulatannya hanya kepada-Nya, berkhulwat kepada-Nya, dan
memutuskan diri dari kesibukan duniawi, serta hanya menyibukkan diri
beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Di mana, dia menempatkan
dzikir, cinta, dan menghadapkan wajah kepada-Nya di dalam keinginan dan
lintasan-lintasan hati, sehingga semua itu menguasai perhatiannya.
Selanjutnya, keinginan dan detak hati hanya tertuju kepada dzikir
kepada-Nya serta tafakkur untuk mendapatkan keridhaan-Nya serta
mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada-Nya, sehingga keakrabannya
hanya kepada Allah, sebagai ganti dari keakrabannya terhadap manusia.
Sehingga ia siap dengan bekal akrabnya kepada Allah pada hari yang
menakutkan di dalam kubur, saat di mana dia tidak mempunyai teman akrab.
Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyenangkan, selain Dia. Itulah
maksud dari i'tikaaf yang agung. [Zaadul Ma'ad (II/86-87), cet. XXV thn.
1412 Muassasah ar-Risalah tahqiq dan takhrij Syu'aib al-'Arnauth dan
Abdul Qadir al-'Arnauth]
HUKUM I'TIKAAF
Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu:
a. Sunnat.
b. Wajib.
I'tikaaf sunnat ialah yang dilakukan oleh seseorang dengan sukarela
dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala
daripada-Nya serta mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam di sepanjang tahun.
I'tikaaf seperti ini sangatlah ditekankan. I'tikaaf yang sunnah ini
tidak boleh ditetapkan 1 hari atau 3 hari secara rutin kecuali yang
ditetapkan syari'at. I'tikaaf yang paling utama adalah yang dilakukan
pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada setiap bulan
Ramadhan sampai beliau Shallallahu alaihi wa sallam wafat.
I'tikaaf yang wajib, ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang
terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia
mengatakan, Wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam.
"Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah
menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam".
Nadzar ini wajib dilaksanakan.
Dalam sebuah hadits dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda.
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيْعَ اللّهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ .
"Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu ketaatan kepada
Allah, hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan Barangsiapa bernadzar
untuk melakukan maksiat (kedurha-kaan/kesyirikan) kepada Allah, maka
janganlah lakukan maksiat itu". [HSR. Al-Bukhari no. 6696, 6700, Abu
Dawud no. 3289, an-Nasa-i VII/17, at-Tirmidzi no. 1526, ad-Darimi
II/184, Ibnu Majah no. 2126, Ahmad VI/36, 41, 224 dan al-Baihaqi IX/
231, X/68, 75 dan Ibnul Jarud no. 934].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ سَأَلَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُنْتُ نَذَرْتُ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ،
قَالَ: فَأَوْفِ بِنَذْرِكَ
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu pernah bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Ya Rasulullah, aku pernah
bernadzar di zaman Jahiliyyah akan beri'tikaaf satu malam di Masjidil
Haram?" Sabda beliau: "Penuhilah nadzarmu itu!" [HSR. Al-Bukhari no.
2032, Fat-hul Baari IV/ 274 dan Muslim no. 1656.]
WAKTU I'TIKAAF
I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan
dan diiqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu
hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkan itu.
Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya.
Imam asy-Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ahli fiqh berpendapat
bahwa i'tikaaf yang sunnat tidak ada batasnya. [Lihat Bidayatul Mujtahid
I/229.]
Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata, "Boleh seseorang beri'tikaaf siang
saja atau malam saja. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi'i dan Abu
Sulaiman". [Baca al-Muhalla V/179-180, masalah no. 624.]
SYARAT-SYARAT I'TIKAAF
Syarat-syarat bagi orang yang i'tikaaf ialah:
a. Seorang Muslim.
b. Mumayyiz.
c. Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas.
Apabila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka:
1. Menurut Ibnul Qayyim: "Puasa sebagai syarat sahnya i'tikaaf dan ini
merupakan pendapat jumhur (mayoritas) ulama Salaf". Dan pendapat ini
dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Lihat Zaadul Ma'ad,
II/88]
2. Menurut Imam asy-Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat
sahnya i'tikaaf. Jika seorang yang beri'tikaaf mau puasa, maka ia puasa.
Jika ia tidak mau, tidak apa-apa. [Baca: Al-Muhalla V/181, masalah no.
625]
3. Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, "Yang afdhal (utama) i'tikaaf
dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh".
[Lihat al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/484]
Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid, maka i'tikaafnya sah.
Imam Ibnul Qayyim dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berpendapat bahwa orang yang i'tikaaf harus berpuasa. Hal ini
berdasarkan perkataan 'Aisyah Radhiyallahu anha:
مَنِ اعْتَكَفَ فَعَلَيْهِ الصَّوْمُ .
"Barangsiapa yang i'tikaaf hendaklah ia berpuasa". [Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq no. 8037.]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَعُوْدَ
مَرِيْضًا وَلاَ يَشْهَدَ جَنَازَةً وَلاَ يَمَسَّ إِمْرَأَةً وَلاَ
يُبَاشِرَهَا وَلاَ يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلاَّ لِمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ
وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ بِصَوْمٍ وَلاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ مَسْجِدٍ
جَامِعٍ.
Aisyah Radhiyallahu anha juga berkata, "Sunnah bagi orang yang i'tikaaf
adalah tidak menjenguk orang sakit, tidak melayat jenazah, tidak
bercampur dengan istrinya dan tidak bercumbu rayu, tidak keluar dari
masjid kecuali ada sesuatu yang mesti dia keluar, tidak ada i'tikaaf
kecuali di masjid jami".[HR. Abu Dawud no. 2473 dan al-Baihaqi
IV/315-316, lihat Shahih Sunan Abi Dawud VII/235-236 no. 2135]
RUKUN-RUKUN I'TIKAAF
Rukun-rukun niat adalah
1. Niat, karena tidak sah satu amalan melainkan dengan niat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
"Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus".
[Al-Bayyinah: 5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلّ امْرِئٍ مَا نَوَى...
"Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan
mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan
menurut apa yang diniatkannya". [HSR. Al-Bukhari no. 1, Fat-hul Baari
VI/48, Muslim no. 1907]
Niat tempatnya di hati, tidak dilafazhkan.
2. Tempatnya harus di masjid.
Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.
Mengenai tempat i'ikaaf harus di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala.
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"Tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid". [Al-Baqarah: 187]
Jadi, i'tikaaf itu hanya sah bila dilaksanakan di masjid.
PENDAPAT FUQAHA' MENGENAI MASJID YANG SAH DIPAKAI UNTUK I'TIKAAF
Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu:
1 . Sebagian ulama berpendapat bahwasanya i'tikaaf itu hanya dilakukan
di tiga masjid, yaitu; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha.
Ini adalah pendapat Sa'id bin al-Musayyab.
Imam an-Nawawi berkata, "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau
berpendapat demikian tidak sah" [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab VI/483]
2. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa
i'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dilaksanakan shalat
lima waktu dan didirikan jama'ah. [Al-Majmuu' Syarhul Muhadzdzab
VI/483.]
3. Imam Malik, Imam asy-Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf
itu sah dilakukan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang
sah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan
i'tikaaf.
Setelah membawakan beberapa pendapat tersebut, Imam an-Nawawi
rahimahullah berkata: "I'tikaaf itu sah dilakukan di setiap masjid dan
tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil,
sedangkan dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang
mengkhususkannya". [Lihat al-Majmu Syarhul Muhadzdzab, VI/483.]
Ibnu Hazm berkata, "I'tikaaf itu sah dan boleh dilakukan di setiap
masjid, baik itu (masjid yang) dilaksanakan Jum'at ataupun tidak".
[Lihat al-Muhalla V/193, masalah no. 633.]
Telah terjadi ittifaq (kesepakatan) di antara ulama Salaf, bahwa di
antara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan
pendapat di antara mereka apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid
manapun (pada umumnya), bila dilihat zhahir firman Allah.
وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
"...Sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid...".[Al-Baqarah: 187]
Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman
lafazhnya. Karena itu, siapa saja yang mengkhususkan makna dari ayat
tersebut, mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang
mengkhususkan masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana
halnya pendapat yang mengkhususkan hanya tiga masjid (yaitu Masjidil
Haram, Nabawi dan Aqsha). Karena pendapat (yang mengkhususkan) tidak ada
dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut [Lihat al-Jami' li Ahkaamil
Qur'aan karya Imam al-Qurthubi (I/222), Ahkaamul Qur'aan al-Jashshash
(I/285) dan Raawa'i'ul Bayaan fii Tafsiiri Ayaatil Ahkaam (I/241-215)]
Pendapat pertama yang mengatakan bahwa i'tikaaf hanya dilakukan di tiga
masjid ; Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha ini
berdasarkan hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa salam.
لاَ اِعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ.
"Tidak ada i'tikaaf melainkan hanya di tiga masjid". [HR. Al-Isma'ily
dalam al-Mu'jam dan al-Baihaqi dalam Sunannya (IV/316) dari Shahabat
Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu]
Tentang keshahihan hadits ini dan takhrijnya dapat dilihat pada kitab
Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah no. 2786 (jilid VI al-Qismul Awwal
hal. 667-676) karya besar Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah.
Lihat juga al-Inshaf fii Ahkaamil I'tikaaf oleh Syaikh 'Ali Hasan 'Ali Abdul Hamid.
Menurut Imam al-Albani rahimahullah bahwa ayat tentang i'tikaaf
bentuknya umum sedangkan hadits mengkhususkan di tiga masjid. [Qiyaamu
Ramadhan hal. 36.]
Wallaahu a'lam bish Shawab.
TENTANG WANITA YANG BERI'TIKAAF
Menurut jumhur ulama, tidaklah akan sah bagi seorang wanita beri'tikaaf
di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa
dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah sah menerangkan bahwa
para istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan i'tikaaf di
Masjid Nabawi. [Lihat Fiqhus Sunnah I/402]
Tentang wanita yang beri'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah
tersendiri dan terpisah dari laki-laki, sedangkan untuk masa sekarang
harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita
hendak i'tikaaf, yaitu terjadinya ikhtilath dengan laki-laki di tempat
yang semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya, para ulama membolehkan
namun diusahakan untuk tidak saling pandang antara laki-laki dan
wanita. [Lihat al-Mughni IV/464-465, baca Fiqhul Islam Syarah Bulughul
Maram III/260.]
WAKTU MEMULAI DAN MENGAKHIRI I'TIKAAF
Pada pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa waktu i'tikaaf sunnat
adalah tidak terbatas. Maka, apabila seseorang telah masuk masjid dan
berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam masjid beribadah
beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar.
Dan jika seseorang berniat hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di
bulan Ramadhan, maka hendaklah ia mulai memasuki masjid sebelum
matahari terbenam.
Pendapat yang menerangkan bahwa waktu dimulainya i'tikaaf adalah sebelum
matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan, yaitu pada malam ke 21,
merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Hanafi, Imam asy-Syafi'i, dan
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
Lihat Syarah Muslim VIII/68, Majmu' Syarhul Muhadzdzab VI/492, Fathul
Baary IV/277, al-Mughni IV/489-490 dan Bidayatul Mujtahid I/230.
Dalil mereka ialah riwayat tentang i'tikaafnya Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam di awal Ramadhan, pertengahan dan akhir Ramadhan:
عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي
فَلْيَعْتَكِفِ الْعَشْرَ اْلأَوَاخِرَ.
"Dari Abu Sa'id al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang hendak
beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam
terakhir (dari bulan Ramadhan)". [HSR. Al-Bukhari no. 2027.]
Maksud "sepuluh terakhir", adalah nama bilangan malam, dan bermula pada
malam kedua puluh satu atau malam kedua puluh. [Lihat Fiqhus Sunnah
I/403.]
Tentang hadits 'Aisyah:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى
الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
"Dari 'Aisyah Radhiyallahu anha, ia berkata: "Adalah Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam apabila hendak i'tikaaf, beliau shalat Shubuh dulu,
kemudian masuk ke tempat i'tikaaf" [HSR. Al-Bukhari no. 2033 dan Muslim
no. 1173]
Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan
dari waktu i'tikaaf itu adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat
al-Auza'i, al Laits dan ats-Tsauri. [Lihat Nailul Authar IV/296.]
Maksud dari hadits Aisyah di atas ialah, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid
setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi, bukan masuk
masjidnya ba'da Shubuh.
Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal malam sebelum
terbenamnya matahari. Wallaahu a'lam bish shawaab [Lihat Fiqhus Sunnah
I/403.]
Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf
pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah
dan Imam asy-Syafi'i waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di
akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad rahimahullah, ia
disunnahkan untuk tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri.
Jadi, keluar dari masjid ketika ia keluar menuju lapangan untuk
mengerjakan shalat 'Ied. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar
dari masjid setelah matahari terbenam. [Lihat Bidaayatul Mujtahid
(I/230) dan al-Mughni (IV/490).]
Jadi kesimpulannya, empat Imam telah sepakat bahwa waktu i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di akhir Ramadhan.
Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Mereka menganggap sunnah bermalam di masjid
pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang beri'tikaaf pada sepuluh malam
terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya langsung pergi ke
lapangan (untuk shalat Idul Fitri)". [Baca al-Mughni, IV/490-491.]
Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari
tertentu, atau bermaksud melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia
memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan keluar dari masjid
bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun
di bulan lainnya. [Lihat Bidaayatul Mujtahid, I/230, al-Majmu' Syarhul
Muhadzdzab VI/494, Fiqhus Suunah I/403-404.]
Ibnu Hazm berkata, "Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf satu malam atau
beberapa malam tertentu, atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat,
maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari, dan keluar
dari masjid bila sudah terlihat terbitnya fajar. Sebabnya karena
permulaan malam ialah saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia
berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu
terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang
tidak dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan
diniatkannya". [Lihat al-Muhalla V/198, masalah no. 636.]
HAL-HAL YANG SUNNAT DAN YANG MAKRUH BAGI ORANG YANG I'TIKAAF
Disunnatkan bagi orang yang i'tikaaf memperbanyak ibadah sunnat serta
menyibukkan diri dengan shalat berjama'ah dan shalat-shalat sunnat,
membaca al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istighfar, berdo'a membaca
shalawat atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ibadah-ibadah lain
untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala. Semua ibadah ini harus
dilakukan sesuai dengan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Termasuk juga dalam hal ini disunnahkan menuntut ilmu, membaca/menelaah
kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi 'alaihimush
shalatu wa sallam dan orang-orang shalih, dan mempelajari kitab-kitab
fiqh serta kitab-kitab yang berisi tentang masalah aqidah dan tauhid.
Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu
dan tidak bermanfaat, baik berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ.
"Diantara kebaikan Islam seseorang ialah, ia meninggalkan hal-hal yang
tidak berguna". [HR. At-Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976 dari
Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu. Dan dishahihkan oleh Syaikh
al-Albani di Shahiih Jami'us Shaghiir no. 5911]
Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, yakni seseorang tidak mau
bicara, karena mengira bahwa hal itu mendekatkan diri kepada Allah Azza
Wa Jalla.
Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berkata: "Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam sedang khutbah, tampak oleh beliau seorang laki-laki yang
tetap berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para
Shahabat): 'Siapakah orang itu?' Para Shahabat menjawab: 'Namanya Abu
Israil, ia bernadzar akan terus berdiri, tidak akan duduk, tidak mau
bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa'. Maka Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مُرُوْهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
"Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaklah ia meneruskan
puasanya". [HSR. Al-Bukhari no. 6704, Abu Dawud no. 3300, ath-Thahawi di
dalam kitab Musykilul Atsaar III/44 dan al-Baihaqi X/75.]
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN I'TIKAAF
Pertama:
Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walaupun hanya
sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan batal i'tikaafnya, karena
tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf.
Kedua:
Murtad karena bertentangan dengan makna ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكَ لَئِنْ
أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada-mu dan kepada (Nabi-Nabi) yang
sebelummu. Jika kamu mempersekutukan (Rabb), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu ter-masuk orang-orang yang merugi". [Az- Zumar :
65]
Ketiga: Hilang akal disebabkan gila atau mabuk.
Keempat: Haidh.
Kelima: Nifas.
Keenam: Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subahanhu wa Ta'ala
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ
لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ
كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ
فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ ۗ
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ
آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
istri-istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah
pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat
menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf
kepadamu. Maka, sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah
ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertaqwa". [Al-Baqarah: 187] [Lihat
Fiqhus Sunnah I/406]
Menurut pendapat Ibnu 'Abbas Radhiyallahu 'anhu: "Apabila seorang
mu'takif (yang i'tikaaf) bersetubuh, maka batal i'tikaafnya dan ia mulai
dari awal lagi.[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazzaq,
dengan sanad yang shahih. Lihat Qiyamur Ramadhan hal. 41 oleh Imam
al-Albani]
HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN SEWAKTU I'TIKAAF
Pertama:
I'tikaafnya seorang wanita dan kunjungannya kepada suaminya yang beri'tikaaf di dalam masjid.
Diperbolehkan bagi seorang wanita untuk mengunjungi suaminya yang tengah
beri'tikaaf. Dan suaminya yang sedang beri'tikaaf diperbolehkan untuk
mengantar-kannya sampai pintu masjid.
Shafiyyah Radhiyallahu anha bercerita: "Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah beri'tikaaf (pada sepuluh malam terakhir dari bulan
Ramadhan), lalu aku datang untuk mengunjungi beliau pada malam hari,
(yang saat itu di sisi beliau sudah ada beberapa istrinya, lalu mereka
pergi). Kemudian aku berbicara dengan beliau beberapa saat, untuk
selanjutnya aku berdiri untuk kembali. (Maka beliau bersabda: 'Janganlah
kamu tergesa-gesa, biar aku mengantarmu'). Kemudian beliau berdiri
mengantarku -dan rumah Shafiyyah di rumah Usamah bin Zaid-. Sehingga
ketika sampai di pintu masjid yang tidak jauh dari pintu Ummu Salamah,
tiba-tiba ada dua orang dari kaum Anshar yang melintas. Ketika melihat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kedua orang itu mempercepat
jalannya, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Janganlah
kalian tergesa-gesa, sesungguhnya dia adalah Shafiyyah binti Huyay'.
Kemudian keduanya menjawab: 'Mahasuci Allah, wahai Rasulullah'. Beliau
bersabda: 'Sesungguhnya syaitan itu berjalan dalam diri manusia seperti
aliran darah. Dan sesungguhnya aku khawatir syaitan itu akan melontarkan
kejahatan dalam hati kalian berdua, atau beliau bersabda (melontarkan
sesuatu)'". [HR. Al-Bukhari no. 2035, Muslim no. 2175]
Kedua:
Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
Ketiga:
Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakkan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللّهُ عَنْهَا أَنَّهَا كَانَتْ تُرَجِّلُ النّبِيَّ
صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حَائِضٌ وَهُوَ مُعْتَكِفٌ فِي
الْمَسْجِدِ وَهِيَ فِيْ حُجْرَتِهَا يُنَاوِلُهَا رَأْسَهُ وَكَانَ لاَ
يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةِ اْلإِنْسَانِ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
"Dari Aisyah Radhiyalahu 'anha, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam padahal ia (Aisyah) sedang haidh, dan Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam sedang beri'tikaaf di masjid. Aisyah berada
di dalam kamarnya dan kepala Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
dimasukkan ke kamar Aisyah. Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bila
sedang beri'tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau untuk
menunaikan hajat. [HSR. Al-Bukhari no. 2029, 2046, Muslim no. 297 (6-7),
Abu Dawud no. 2467, at-Tirmidzi no. 804, Ibnu Majah no. 1776 dan 1778,
Malik I/257 no. 1, Ibnul Jarud no. 409 dan Ahmad VI/104, 181, 235, 247,
262.]
Berkata Ibnul Mundzir: "Para ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf
boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaafnya) untuk keperluan buang air
besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat
dielakkan, (apabila tidak ada kamar mandi/wc di masjid -pent.). Dalam
hal ini, sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang
mengantarnya, maka boleh ia keluar (sekedarnya)".[Lihat Fiqhus Sunnah
I/405.]
Aisyah Radhiyallahu anha juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk
orang sakit ketika sedang i'tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja,
misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit
sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, al-Bukhari dan
Muslim.
KHATIMAH
Dianjurkan bagi orang-orang yang ber-i’tikaaf pada sepuluh hari terakhir
di bulan Ramadhan dan yang tidak i’tikaaf, berusa-halah memanfaatkan
waktu untuk ibadah kepada Allah, perbanyaklah baca al-Qur-an, berdzikir
kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang disunnahkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mudah-mudahan kita ter-masuk
orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik
dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ {1} وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ {2} لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ {3}
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ
أَمْرٍ {4} سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ {5}
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih
baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun Malaikat-Malaikat dan
Malaikat Jibril dengan izin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan. Malam
itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” [Al-Qadar: 1-5]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدَرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ .
“Barangsiapa berdiri (melaksanakan ibadah) pada malam Lailatul Qadar,
karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” [HSR. Al-Bukhari no. 2014, Muslim 760
(175), Abu Dawud no. 1372, an-Nasaa-i IV/157]
Dianjurkan pula banyak do’a dan dzikir ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya Lailatul Qadar:
اللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan suka memaafkan, maka
maaf-kanlah aku. [HSR. Ahmad VI/171, Ibnu Majah no. 3850, at-Tirmidzi
no. 3513 dari ‘Aisyah d. Lihat Shahih at-Tirmidzi no. 2789 dan Shahih
Ibni Majah no. 3105.]
Wallahu a’lam bish shawaab.
Penutup dari pembahasan ini adalah do’a:
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللّهُ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
Mahasuci Engkau, ya Allah, aku memujimu. Aku bersaksi bahwa tidak ada
ilah (yang berhak untuk diibadahi dengan benar) ke-cuali Engkau, aku
meminta ampun dan ber-taubat kepada-Mu.[HR. An-Nasa-i di dalam ‘Amalul
Yaum wal Lailah no. 403, Ahmad VI/77. Lihat Fat-hul Baari XIII/546,
Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 3164.]
Maraji'
1. Shahih al-Bukhari.
2. Shahih Muslim tarqim Muhammad Fuad Abdul Baqi.
3. Fat-hul Baary Syarah Shahih Bukhari oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalaany, cet. Daarul Fikr.
4. Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawy, cet. Daarul Fikr.
5. Sunan Abu Dawud.
6. Jaami' at-Tirmidzi.
7. Sunan Ibni Majah.
8. Sunan an-Nasaa'i.
9. Musnad Imam Ahmad, cet. Daarul Fikr.
10. Al-Muwaththa' Imam Malik, tarqim Mu-hammad Fuad 'Abdul Baqi, cet. Darul Hadits thn. 1371, Cairo.
11. As-Sunan al-Kubra Imam al-Baihaqy, cet. Daarul Ma'rifah.
12. Sunan ad-Darimi, cet. Daarul Fikr.
13. Shahih Ibnu Majah bil Ikhtisharis Sanad, oleh Imam Muhammad
Nashiruddin al-Albani, al-maktabah at-Tarbiyah al-'Araby lid Duwal
al-Khalij, thn. 1408.
14. Shahih at-Tirmidzi.
15. Al-Muntaqa, oleh Ibnul Jarud, cet. Daarul Kutub al-Ilmiyyah.
16. Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
17. Shahih Jaami'ush Shaghiir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani.
18. Al-Muhalla, Ibnu Hazm, cet. Daarul Fikr.
19. Zaadul Ma'ad Fii Hadyi Khairil 'Ibaad, oleh Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah. Tahqiq dan takhrij Syu'aib al-Arnauth dan Abdul Qadir
al-Arnauth.
20. Al-Mughni, oleh Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq Dr. Abdullah bin Abdil Muhsin at-Turky.
21.Nailul Authar, oleh Imam asy-Syaukani, cet. Mathba'ah Musthafa al-Baabi al-Halabi, Mesir.
22. Subulus Salam, Imam ash-Shan'any.
23. Irwaa'ul Ghalil fit Takhrij Ahaadits Manaris Sabil, oleh Syaikh Muhammad Nashirud-din al-Albani.
24. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, cet. III Daar al-Fikr, th. 1403 H.
25. Bidaayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd, cet. Daarul Fikr.
26. Al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, oleh Imam Nawawi, cet. Daarul Fikr.
27. Fiqhul Islam Syarah Bulughil Maram, oleh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi.
28. Qiyaamu Ramadhaan, oleh Syaikh Mu-hammad Nashiruddin al-Albani.
29. Al-Inshaf fii Ahkamil I'tikaaf, oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
30. Amalul Yaumi wal Lailah, oleh Imam an-Nasa'i.
31. Al-Jami' li Ahkaamil Qur'an, oleh Imam al-Qurthubi.
32. Ahkaamul Qur'an, oleh al-Jashshash.
33. Rawaa'iul Bayan fii Tafsiri Ayatil Ahkam.
34. Lisaanul Arab, oleh Ibnu Manzhur, cet. Daar Ihyaa-it Turats al-Araby.
35. An-Nihayah fii Ghariibil Hadits, oleh Ibnul Atsiir.
36. Mufradaat Alfaazhil Qur-aan, ar-Raaghib al-Ashfahaani.
37. Shahih Sunan Abi Dawud, jilid II, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany
[Disalin dari buku I'tikaaf, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka Abdullah, Gedung TEMPO Jl Utan Panjang Raya No. 64 -
Jakarta Pusat, Cetakan Pertama Ramadhan 1425H/Oktober 2004M]
Sumber