Tampilkan postingan dengan label Sholat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sholat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 27 Februari 2014

Membaca Al Fatihah Dalam Shalat (1)

Sudah kita ketahui bersama bahwa Al Fatihah adalah surat yang agung yang dibaca setiap Muslim dalam shalatnya. Pada artikel kali ini akan dibahas bagaimana hukum membaca Al Fatihah dalam shalat dan tata caranya.

Hukum Membaca Al Fatihah

Jumhur ulama menyatakan membaca Al Fatihah adalah termasuk rukun shalat. Tidak sah shalat tanpa membaca Al Fatihah. Diantara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)

didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ

setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Jadi, membaca Al Fatihah adalah rukun shalat dan inilah yang benar insya Allah.
Adapun Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:

فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)

Jawabannya, kata فَاقْرَءُو (bacalah) di sini adalah lafadz muthlaq, sedangkan terdapat qayd-nya dalam hadits-hadits Nabi yang sudah disebutkan bahwa di sana dinyatakan bacaan Al Qur’an yang wajib di baca dalam shalat adalah Al Fatihah. Sesuai kaidah ushul fiqh, yajibu taqyidul muthlaq bil muqayyad, wajib membawa makna lafadz yang muthlaq kepada yang muqayyad.

Al Fatihah wajib di baca pada setiap raka’at. Berdasarkan penjelasan Abu Hurairah radhiallahu’anhu berikut:

في كلِّ صلاةٍ قراءةٌ ، فما أَسْمَعَنَا النبيُّ صلى الله عليه وسلم أَسْمَعْناكم ، وما أخفى منا أَخْفَيْناه منكم ، ومَن قرَأَ بأمِّ الكتابِ فقد أَجْزَأَتْ عنه ، ومَن زادَ فهو أفضلُ

dalam setiap raka’at ada bacaan (Al Fatihah). Bacaan yang diperdengarkan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam kepada kami, telah kami perdengarkan kepada kalian. Bacaan yang Rasulullah lirihkan telah kami contohkan kepada kalian untuk dilirihkan. Barangsiapa yang membaca Ummul Kitab (Al Fatihah) maka itu mencukupinya. Barangsiapa yang menambah bacaan lain, itu lebih afdhal” (HR. Muslim 396)

Syaikh Shalih Al Fauzan mengatakan: “membaca Al Fatihah adalah rukun di setiap rakaat, dan telah shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bahwa beliau membacanya di setiap raka’at” (Al Mulakhash Al Fiqhi, 1/127).

Hukum Membaca Al Fatihah Bagi Makmum

Apakah status rukun dan hukum wajib membaca Al Fatihah itu berlaku untuk semua orang yang shalat? Para ulama sepakat wajibnya membaca Al Fatihah bagi imam dan orang yang shalat sendirian (munfarid). Namun bagi makmum, hukumnya di perselisihkan oleh para ulama. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa war Rasail (13/119) mengatakan: “para ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca Al Fatihah menjadi beberapa pendapat:
  1. Pendapat pertama: Al Fatihah tidak wajib baik bagi imam, maupun makmum, ataupun munfarid. Baik shalat sirriyyah1 maupun jahriyyah2. Yang wajib adalah membaca Al Qur’an yang mudah dibaca. Yang berpendapat demikian berdalil dengan ayat (yang artinya) “maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20) dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an‘” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
  2. Pendapat kedua: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam, makmum, maupun munfarid. Baik shalat sirriyah maupun jahriyyah. Juga bagi orang yang ikut shalat jama’ah sejak awal.
  3. Pendapat ketiga: membaca Al Fatihah itu rukun bagi imam dan munfarid, namun tidak wajib bagi makmum secara mutlak, baik dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah.
  4. Pendapat keempat: membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. Namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak.” [selesai nukilan]
Ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun khilafiyah dalam masalah ini berporos pada 3 hal:
Pertama: Adanya perintah untuk membaca Al Fatihah serta penafian shalat jika tidak membacanya
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata, “membaca Al Fatihah adalah rukun bagi semua orang yang shalat, tidak ada seorangpun yang dikecualikan, kecuali makmum masbuq yang mendapati imam sudah ruku’, atau mendapat imam masih berdiri namun sudah tidak sempat membaca Al Fatihah bersama imam. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam

لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab

sabda beliau ‘tidak ada shalat‘ merupakan penafian. Asal penafian adalah menafikan wujud (keberadaan), jika tidak mungkin dimaknai penafian wujud maka maknanya penafian keabsahan. Dan penafian keabsahan itu artinya penafian wujud secara syar’i. Jika tidak mungkin dimaknai penafian keabsahan maka maknya penafian kesempurnaan. Inilah tingkatan penafian” (Syarhul Mumthi, 3/296).

Syaikh Al Utsaimin melanjutkan, “sabda Nabi ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘ jika kita terapkan pada tiga jenis penafian tadi, maka kita dapati ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah. Sehingga tidak mungkin maksudnya penafian wujud (keberadaan). Sehingga jika ada orang yang shalat tanpa membaca Al Fatihah, maka shalatnya tidak sah, karena tingkatan penafian yang kedua adalah penafian keabsahan, sehingga tidak sah shalatnya, Dan hadits ini umum, tidak dikecualikan oleh apapun. Maka pada asalnya, nash yang umum tetap pada keumumannya. Tidak bisa dikhususkan kecuali dengan dalil syar’i, yaitu nash lain, ijma, atau qiyas yang shahih. Dan tidak ditemukan satu dari 3 macam dalil ini yang mengkhususkan keumuman hadits ‘tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab‘” (Syarhul Mumthi, 3/297).
Kedua: Adanya perintah untuk diam ketika mendengarkan bacaan Al Qur’an
Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).

Imam Ahmad mengomentari ayat ini, beliau berkata: “para ulama ijma bahwa perintah yang ada dalam ini maksudnya di dalam shalat” (Syarhul Mumthi, 3/297).

Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)

Tambahan وإذا قرَأ فأنصِتوا (jika ia membaca ayat, maka diamlah), diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian ulama mengatakan ini adalah tambahan yang syadz, Abu Daud berkata: “tambahan ini ‘jika ia membaca ayat, maka diamlah‘ adalah tambahan yang tidak mahfuzh, yang masih wahm (samar) bagi saya adalah Abu Khalid”. Sebagian ulama mengatakan tambahan tersebut adalah tambahan yang tsabit (shahih). Yang rajih, tambahan tersebut tsabit, karena
  • Abu Khalid perawi hadits tersebut adalah Sulaiman bin Hayyan Al Ja’fari, ia statusnya shaduq. Abu Hatim berkata: “ia shaduq”, Ibnu Hajar berkata “shaduq yukhthi’”.
  • Tambahan tersebut memiliki jalan lain dari Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu yang menguatkannya.
  • Tambahan pada matan bisa menjadi syadz jika matannya menyelisihi periwayatan lain yang lebih banyak dan lebih tsiqah. Adapun tambahan tersebut tidak mengandung penyelisihan atau pertentangan terhadap periwayatan lain yang lebih tsiqah.
Sehingga menurut dalil-dalil ini, sebagian ulama mengatakan bahwa makmum wajib diam mendengarkan imam membaca Al Fatihah dan ayat Al Qur’an.
Ketiga: Dalam shalat sirriyyah makmum wajib membaca Al Fatihah
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “adapun dalam shalat sirriyyah, para sahabat telah menetapkan bahwa mereka biasa membaca Al Qur’an ketika itu. Jabir radhiallahu’anhu berkata:

كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب

“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).

Sehingga dalam shalat sirriyyah makmum tetap wajib membaca Al Fatihah secara lirih dan dalam hal ini masuk dalam keumuman hadits :
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Tarjih Pendapat
Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:

لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها

mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)

Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ

apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya”” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:

إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا

sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu

Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:

مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ
barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi

Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”

(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).
Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan: “dalam masalah apakah makmum membaca bacaan shalat (ketika imam sedang membaca secara jahr), pendapat yang paling pertengahan adalah: jika makmum mendengar imam sedang membaca (secara jahr), maka ia wajib mendengarkan dan diam. 

Makmum tidak membaca Al Fatihah ataupun bacaan lain. Jika makmum tidak mendengarkan imam membaca (karena dibaca secara sirr), maka ia wajib membaca Al Fatihah dan bacaan tambahan lainnya. Inilah pendapat jumhur salaf dan khalaf. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Ahmad bin Hambal dan mayoritas muridnya, juga salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi’i yang dikuatkan oleh sebagian muhaqqiq dari kalangan murid-murid beliau, juga pendapat Muhammad bin Al Hasan serta murid-murid Imam Abu Hanifah yang lainnya” (Majmu’ Fatawa, 18/20).

Namun perlu kami tekankan bahwa ini adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang seharusnya kita mengormati pendapat yang menyatakan bahwa makmum tetap wajib membaca Al Fatihah dalam semua shalat. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa membaca Al Fatihah hukumnya tidak wajib sama sekali secara mutlak atau bahkan makruh bagi makmum, maka ini pendapat yang bertentangan dengan banyak dalil yang ada, sehingga tidak bisa kita toleransi.
(bersambung insya Allah)

1 Shalat yang bacaannya dilirihkan, yaitu shalat zhuhur dan ashar
2 Shalat yang bacaannya dikeraskan, yaitu shalat shubuh, maghrib dan isya

Penulis: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Pengertian Shaf Pertama didalam Sholat

Pengertian Shaf Pertama



Pengertian Shaf Pertama

وثالثها: أن المنبر يقطع بعض الصفوف وإنما الصف الأول الواحد المتصل الذي في فناء المنبر وما على طرفيه مقطوع.

“Diantara hal yang perlu dipertimbangkan ketika hendak mencari shaf pertama dalam shalat berjamaah adalah ada tidaknya mimbar yang memutus sebagian shaf karena shaf pertama adalah shaf pertama yang bersambung yang berada di depan mimbar dan tidak ada bagian kanan atau kiri shaf yang terputus.

وكان الثوري يقول: الصف الأول هو الخارج بين يدي المنبر وهو متجه لأنه متصل ولأن الجالس فيه يقابل الخطيب ويسمع منه.

Sufyan ats Tsauri mengatakan shaf pertama adalah yang berada di depan mimbar dan shaf tersebut lurus karena shaf tersebut bersambung dan orang yang duduk di tempat tersebut menghadap kea rah khatib Jumat dan bisa mendengarkan khutbahnya dengan baik.

ولا يبعد أن يقال الأقرب إلى القبلة هو الصف الأول ولا يراعى هذا المعنى.

Bukanlah pendapat yang jauh dari kebenaran pendapat yang mengatakan bahwa shaf yang paling dekat dengan dinding masjid yang berada di arah kiblat itulah yang disebut shaf pertama tanpa perlu menimbang terputus dengan mimbar, tiang ataukah bukan” [Ihya Ulumuddin karya Abu Hamid al Ghazali as Syafii 1/235, cet Dar al Fikr Beirut].

Jadi ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai pengertian shaf pertama. Sufyan ats Tsauri berpendapat bahwa shaf pertama adalah shaf pertama yang tidak terputus oleh mimbar atau pun tiang. Pendapat yang dipilih oleh Abu Hamid al Ghazali as Syafii shaf pertama adalah shaf yang paling depan baik terputus tiang ataukah mimbar atau pun tidak terputus.
Insya allah pendapat Abu Hamid al Ghazali dalam hal ini adalah pendapat yang paling tepat.
pendapat terakhir ini juga dipilih oleh penulis kitab Fathul Muin.

فتح المعين (2/ 28)
(و) ندب وقوف (في صف أول) وهو ما يلي الامام، وإن تخلله منبر أو عمود

“Dianjurkan untuk berada di shaf pertama. Shaf pertama adalah shaf setelah imam meski shaf tersebut terputus mimbar atau pun tiang” [Fathul Mu’in-fikih Syafii- 2/28]
Sumber

Sabtu, 14 Desember 2013

Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Shalat di Masjid yang Ada Kuburannya

Assalamu’alaikum. Redaksi As-Sunnah yang saya hormati, ana ingin bertanya bagaimana hukum shalat di masjid yang ada kuburan di sekitarnya tapi waktu itu saya tidak tahu kalau dalam masjid itu ada kuburannya. Bagaimana hukum shalat saya dalam masjid tersebut ?
Aji, Depok (089883xxxxx)
 
Jawaban:
Jika kuburan itu berada di luar masjid, maka shalatnya sah, apalagi jika ada tembok/dinding yang memisahkan kubur dengan masjid.
 
Syaikh Al-Albâni –rahimahullâh– menukil perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullâh– (dari kitab al- Ikhtiyârât al-‘Ilmiyyah, hlm: 25) yang mengatakan: “Tidak sah shalat di kuburan, dan juga tidak sah shalat menghadap kuburan. Sesungguhnya larangan ini untuk menutup sarana kesyirikan. Sekelompok sahabat kami (maksudnya adalah ulama Hanabilah -pent) menyebutkan bahwa “satu kubur atau dua kubur tidak menghalangi shalat (yakni boleh shalat di dekat satu atau dua kubur-pen), karena itu tidak terkena istilah maqbarah (kuburan), maqbarah adalah tiga kubur atau lebih”. (Perkataan mereka itu tidak benar) karena pembedaan ini tidak ada dalam perkataan Imam Ahmad dan kebanyakan sahabat-sahabat beliau –rahimahullâh–! Bahkan dari perkataan mereka secara umum, penjelasan mereka tentang alasan serta pengambilan dalil mereka tersirat larangan shalat di dekat satu kubur. Inilah pendapat yang benar. Maqbarah adalah tempat pemakaman. Maqbarah bukan (bentuk) jama’ (plural) dari kubur. 
 
Sebagian ulama Hanabilah mengatakan : “Setiap tempat yang masuk dalam nama kuburan maksudnya daerah sekitar kubur, maka tidak boleh shalat ditempat itu. Ini menunjukkan bahwa larangan itu mencakup satu kuburan dan tempat yang disatukan dengannya."
Al-Amidi dan lainnya menyebutkan bahwa tidak boleh shalat di dalamnya, yaitu (didalam) masjid yang kiblatnya menghadap kubur, sehingga ada penghalang yang lain antara tembok (masjid) dengan kuburan. Dan sebagian mereka menyebutkan bahwa ini yang dikatakan oleh Imam Ahmad”. (Ahkâmul Janâiz, hlm: 274).
 
Syaikh Muqbil bin Hadi Al- Wadi’i –rahimahullâh– berkata : “Shalat di masjid yang di depannya ada kuburan diluar masjid, maka (shalatnya) sah. Karena yang terlarang adalah shalat di masjid yang didalamnya ada kuburan, sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallâhu 'anhu– dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda:
 
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلاَّ الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
 
Bumi semuanya adalah masjid (tempat shalat) kecuali pemandian dan kuburan.
Dan di dalam Shahih Muslim (no: 532-pen) dari hadits Jundub dari Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam, beliau shallallâhu 'alaihi wa sallam bersabda :
 
أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
 
“Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dahulu menjadikan kubur-kubur Nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid-masjid. Ingatlah, janganlah kamu menjadikan kubur-kubur sebagai masjid-masjid, sesungguhnya aku melarang kamu dari itu!”.
Sedangkan hadits Nabi shallallâhu 'alaihi wa sallam:
 
لاَ تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ وَلاَ تُصَلُّوا إِلَيْهَا
 
Janganlah kamu duduk di atas kubur dan janganlah kamu shalat menghadapnya.[1]
Maka ini jika shalat menghadapnya tanpa pagar atau dinding. Adapun jika ada dinding atau pagar, sedangkan kubur itu di luar masjid, maka shalat itu sah, Insya Allah”.[2]
 
Demikian juga keterangan ini bisa didapatkan dari penjelasan Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah. beliau mengatakan, jika masjid itu benar-benar terpisah dari kuburan, baik dipisah dengan pagar ataupun jalanan, maka shalat di masjid tersebut sah.[3]
 
Kesimpulannya, shalat di kuburan hukumnya terlarang, baik kuburan itu di depan orang shalat, di 
belakangnya, atau di sampingnya. Demikian juga shalat di masjid yang di dalamnya ada kuburan. Adapun jika kubur itu di luar masjid, dan ada dinding yang membatasinya, maka shalat itu sah. wallâhu a’lam.
 
[1] HR. Muslim, no: 972 -pen
[2] Tuhfatul Mujib ‘ala Asilatil Hadhir wal Gharib, hlm: 83-84, karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I, penerbit Darul Atsâr, cet. 3, 1425 H/2004 M
[3] Lihat al Muntaqa, Syaikh Shalih Fauzan, 2/171-172

(Soal-Jawab: Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XII)
 

Sabtu, 05 Oktober 2013

Hadits Shalat Arba’in

Hadits Shalat Arba’in

HADITS SHALAT ARBA'IN

Oleh
Ustadz Astinizamani Lc.


Keinginan kuat agar selamat dari adzab api neraka dan selamat dari kemunafikan telah memotivasi banyak orang untuk melakukan shalat berjama’ah selama 40 kali di masjid Nabawi. Shalat ini disebutkan dengan shalat arba’in. Patut diselidiki, bagaimanakah derajat hadits tersebut? Berikut sedikit penjelasannya.

مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِيْنَ صَلاَةً لاَيَفُوتُهُ صَلاَةٌكُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ وَبَرِئََ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa melaksanakan shalat di masjidku sebanyak empat puluh shalat, tanpa ada satu shalat pun yang tertinggal; niscaya ia akan dijauhkan dari neraka, selamat dari siksaan dan dijauhkan dari sifat kemunafikan.

Hadits ini diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam kitab al-Musnad [1] dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul Awsath [2], dengan sanad mereka dari : ‘Abdurrahmaan bin Abir Rijal, dari Nubaith bin ‘Umar, dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : (sebagaimana redaksi (matn) di atas)

hadits dengan (matn di atas merupakan riwayat Imam Ahmad, sedangkan dalam riwayat at-Thabrani, tanpa ada kalimat: (ؤَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ).

Setelah membawakan riwayat ini, at-Thabrani mengatakan, “Tidak ada yang meriwayatkannya dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu selain Nubaith bin ‘Umar dan hanya Ibn Abir Rijal yang meriwayatkannya (dari Nubaith).”

Sanad hadits ini bermasalah, karena perawi yang bernama : Nurbaith bin ‘Umar dalam sanad ini tidak diketahui atau tidak dikenal (majhul), sebagaimana penjelasan at-Thabrani, bahwa tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali ‘Abdurrahman bin Abir Rijal.

Majhul itu ada dua jenis:
1. Majhul ‘ain, artinya : Tidak diketahui atau tidak dikenal. Para Ulama ahli hadits mendefinisikannya sebagai seorang perawi yang tidak meriwayatkan darinya kecuali satu orang saja.

2. Majhul hal, artinya : Tidak diketahui perihal atau derajatnya. Dalam istilah lain dikatakan mastur (tertutup) yang didefinisikan sebagai perawi seorang perawi yang meriwayatkan darinya dua orang atau lebih, tapi tidak ada satu Ulama hadits pun yang bercerita tentang perihal dan derajatnya. [3]

Hadits yang diriwayatkan oleh perawi majhul- baik yang majhul ‘ain maupun haal- dihukumi lemah (dha’if), sampai ditemukan riwayat lain yang mengikutinya dan menguatkan derajatnya. Hadits di atas, tidak ada satu riwayat pun yang mengikuti dan menguatkan riwayat ini, sehingga hadits ini menjadi dla’if.

Namun, Imam Ibn Hibban menyebutkan nama Nubaith bin ‘Umar dalam kitabnya al-Tsiqat [4]. Ini kemudian dijadikan pegangan oleh beberapa ulama untuk menghukumi hadits ini sebagai hadits shahih. Diantaranya adalah Iam al-Haitsami. Beliau rahimahullah mengatakan,”Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan at-Thabrani dalam kitab al-Awsath dan para perawinya semua tsiqah.”[5]

Begitu juga imam al-Mundziri, bahkan beliau rahimahullah berlebihan dengan mengatakan, “diriwayatkan oleh Ahmad dan para perawinya semua adalah para perawi yang disebutkan di kitab-kitab shahih, dan diriwayatkan juga oleh at-Thabrani di “al-Awsath”” [6]

Pernyataan ini keliru. Karena tidak semua perawi yang ada dalam sanad tersebut tsiqah. Kita tidak pernah mendapatkan penyebutan perawi yang bernama : Nubaith bin ‘Umar dalam kitab-kitab shahih, seperti shahih al-Bukhari, Muslim dan yang lainnya, bahkan tidak juga dalam kitab-kitab sunan yang empat ; Abu Dawud , al-Tirmidzi, al-Nasa’i dan Ibn Majah. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa semua perawi hadits ini adalah para perawi yang disebutkan dalam kitab-kitab shahih, padahal tidak ada para Ulama yang mengumpulkan hadits-hadits shahih mengambil sanad melalui jalan beliau.

Dari uraian ini, kita fahami bahwa perkataan kedua imam ini adalah sebuah kekeliruan.

Penulisan nama Nubaith bin ‘Umar oleh imam Ibn Hibban dalam kitabnya Tsiqat, dianggap oleh para ulama hadits sebagai bentuk tasahul (sikap terlalu mudah atau menggampangkan) beliau dalam memberikan derajat tsiqah untuk para perawi majhul. Dan tidak ada ulama, baik sebelum atau setelah masa beliau, yang menggunakan metode seperti ini. Walaupun sebagian dari mereka ada yang menjadikan sikap tersebut sebagai pegangan untuk mengangkat derajat seorang perawi majhul menjadi tsiqah. Wallahu a’lam.

SENADA TAPI TAK SAMA
Kemudian, ada hadits yang hampir senada dengan hadits ini yaitu yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi [7], Bahsyal [8] dalam kitabnya Tarikh Wasith” [9], Ibnu ‘Adi dalam kitab al-Kamil [10] dan al-Baihaqi dalam kitab Su’abul Iman [11], semua dengan sanad masing-masing, dari Salm bin Qutaibah Abu Qutaibah dari Thu’mah bin ‘Amr, dari Habib..., dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hanya saja dalam riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa riwayatnya,”....dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik”. Sedangkan dalam riwayat Ibn ‘Adi dijelaskan bahwa Habib itu adalah orang yang dijuluki al-Hadzdza’. Adapun riwayat Bahsyal dan al-Baihaqiy, disebutkan, “......dari Habib, dari Anas Radhiyallahu anhu”, tanpa menjelaskan nasab perawi yang bernama Habib tersebut.

Redaksi (matn) dari riwayat ini semuanya hampir sama, namun yang harus diperhatikan, dalam riwayat ini tidak ada pengkhususan tempat. Ini berbeda dengan redaksi hadits di atas yang menyebutkan tempat khusus yaitu di masjid Nabawi saja. Redaksinya adalah sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى آللَّهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat karena Allah, selama empat puluh hari, secara berjama’ah, dengan selalu mendapatkan takbir yang pertama (bersama imam); niscaya akan diberikan kepadanya kebebasan (keselamatan) dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Kecuali riwayat Bahsyal, yang redaksinya berbeda yaitu:

مَنْ صَلَّى مَعَ الإِمَامِ صَلاَةَ الْغَدَاةِ أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa shalat shubuh bersama imam (yakni: secara berjama’ah) selama empat puluh hari; niscaya ia akan terbebas dari dua hal, yaitu : neraka dan kemunafikan.

Redaksi ini juga tidak ada penyebutan tempat secara khusus. Wallahu a’lam.

Sanad hadits ini hasan, disebabkan oleh dua orang perawi dalam sanadnya yang tidak sampai derajat tsiqah. Keduannya adalah : Thu’mah bin ‘Amr dan Salm bin Qutaibah.

Thu’mah bin ‘Amr, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberinya derajat tsiqah, seperti : Ibn Ma’in [12], Abu Hatim [13] dan yang lainnya. Ibn Hibban rahimahullah juga menyebutkan nama beliau dalam kitabnya al-Tsiqat [14]. Pandangan yang berbeda disampaikan al-Daruquthniy, beliau berkata, “dia tidak bisa dijadikan hujjah, namun tetap boleh dijadikan sandaran.”[15]

Perkataan inilah yang kemudian menurunkan derajat Thu’mah dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana perkataan al-Hafidz Ibn Hajar rahimahullah “Shaduq ‘abid (bisa dipercaya dan ahli ibadah).”[16]

Keadaan Salm bin Qutaibah juga tidak jauh beda, mayoritas ulama ahli hadits lebih condong untuk memberikannya derajat tsiqah, di antaranya: Ibn Ma’in [17], Abu Zur’ah [18], Abu Dawud [19], Abu Hatim [20], al-Daruqthniy [21] dan yang lainnya. Hanya saja Abu Hatim mengatakan, “....(beliau) banyak salahnya....”. dan Abu Hatim termasuk ulama ahli hadits yang perkataannya sangat kuat dalam hal ini. Pandangan beliau ini menyebabkan derajat perawi ini turun dari tsiqah menjadi shaduq, sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Hafidz Ibn Hajar. [22]

Kemudian, Thu’mah bin ‘Amr yang meriwayatkannya dari Habib bin Abu Tsabit (riwayat al-Tirmidzi) diikuti oleh khalid bin Thahman, sebagaimana yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Tarikh Baghdad [23] dengan sanad beliau dari Qais bin al-Rabi’, dari khalid bin Thahman, dari Habib bin Abu Tsabit, dari Anas bin Malik; secara marfu’ dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan matn sebagai berikut:

مَنْ لَمْ تَفُتْهُ الرَّكْعَةُ الأُوْلَى أَرْبَعِيْنَ صَبَاحًا، كَتَبَ آللَّهُ لَهُ بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةُ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةً مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa tidak pernah terlewatkan raka’at pertama (dalam shalat) selama empat puluh pagi (hari), niscaya Allah akan mengganjarnya dengan dua keselamatan; keselamatan dari neraka, dan keselamatan dari kemunafikan.

Qais bin al-Rabi’ diikuti oleh ‘Aِِtha’ bin Muslim, yang juga meriwayatkannya dari Khalid bin Thahman, dan seterusnya; secara marfu’, sebagaimana yang disebutkan oleh ad-Daruquthniy dalam kitabnya al-‘Ilalul Waridah [24]

Namun, riwayat mereka berdua (Qais bin al-Rabii’ dan ‘Athaa’ bin Muslim) ternyata diselisihi oleh riwayat berikut:

1. Waki’, yang disampaikan oleh: at-Tirmidzi [25], dan Ibn ‘Adi dalam kitabnya al-Kamil [26]
2. Abu Usamah, yang disampaikan oleh : al-Baihaqi dalam Su’abul Iman [27]
3. Ahmad bin Yunus, yang disampaikan oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab al-Muttafiq wal Muftariq[28]
4. Sufyan al-Tsauri, dan Qurrah bin ‘Isa, yang keduanya disampaikan oleh Bahsyal dalam Tarikh Wasith” [29], dengan redaksi yang sama seperti riwayat Bahsyal sebelumnya.

Semuanya (Waki’, Abu Usamah, Ahmad, Sufyan dan Qurrah) meriwayatkan dari Khalid bin Thahman (Abul ‘Ala al-Khaffaf), dari Habib bin Abu Habib (Ab ‘Amirah al-Bajali al-Iskaf), dari Anas bin Malik secara mauquf ; dari perkataan Anas, dan tidak menjadikannya marfu’ dengan redaksi yang hampir sama dengan riwayat at-Tirmidzi dan yang lainnya, tanpa ada penyebutan tempat secara khusus, baik tempat maupun jenis shalat tertentu. Kecuali riwayat Abu Usamah yang disampaikan oleh al-Baihaqi, redaksinya sebagai berikut:

مَنْ صَلَّى أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ، صَلاَةَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ الآخِرَةِ، كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ

Barangsiapa mendirikan shalat selama empat puluh hari dengan berjama’ah, shalat fajr (subuh) dan ‘Isya’; niscaya akan diganjar dengan kebebasan dari dua hal: dari neraka dan dari kemunafikan.

Riwayat mereka inilah yang kemudian dianggap lebih kuat (rajih) dan lebih terjaga (mahfudh), sebab tiga di antaranya adalah para perawi yang tidak diragukan lagi ketsiqahan (kafabelitas) mereka dalam meriwayatkan hadits, yaitu : ًWaki’ bin al-Jarrah, Abu Usamah (Hammad bin Usamah), Sufyan al-Tsauriy dan Ahmad bin Yunus [30], sedangkan derajat para perawi yang menyelisihi mereka, yaitu : Qais bin ar-Rabi’ dan ‘Atha’ bin Muslim, tidak bisa disamakan dengan ketiga imam ini. [31].

Walaupun demikian, sanadnya masih bermasalah. Sebab, Habib bin Abu Habib tidak disebutkan dan tidak dijelaskan kondisi dan derajatnya oleh para ulama ahli hadits, kecuali Imam Ibn Hibban, yang hanya menyebutkan nama beliau dalam kitab al-Tsiqat [32]. Imam ad-Daruquthni menyebutkan nama Habib bin Abu Habib) dalam kitab al-Dhu’afa’ wal Matrukun [33].

KESIMPULAN
Hadits yang mengandung perintah untuk shalat sebanyak empat puluh kali (arba’in shalah) di masjid Nabawi adalah hadits yang dla’if, sebagaimana dijelaskan tadi. Bahkan bisa dihukumi hadits mungkar [34], karena menyelisihi hadits-hadits lainnya yang mengandung perintah untuk shalat selama empat puluh hari tanpa pengkhususan masjid Nabawi (arba’in yaum atau arba’in shabah / arba’in lailah). Walaupun, kita perhatikan bahwa hadits-hadits yang menyebutkan arba’in yaum atau arba’in shabah/ arba’in lailah. Semuanya tidak lepas dari ‘illah, baik yang terlihat dan diketahui atau pun tidak, ditambah lagi adanya banyak perbedaan (idlthirab) dalam redaksi (matn)nya, karena sebagiannya bersifat umum dan sebagiannya lagi ada yang mengkhususkan shalat tertentu. Namun, dengan berkumpulnya sejumlah riwayat itu, bisa kita katakan bahwa haditsnya menjadi hasan li ghairihi. Wallahu a’lam.

TAMBAHAN
Ini sekaligus sebagai nasihat bagi sebagian kaum Muslimin, khususnya di Indonesia, yang masih sangat yakin tentang keharusan untuk melaksanakan shalat sebanyak empat puluh kali shalat secara bertutut-turut di masjid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar kiranya lebih memperhatikan dan merenungi hadits yang jelas-jelas shahih yaitu:

صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ دَرَجَةً

Shalat berjama’ah itu lebih utama dari shalat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Hadits ini muttafaq ‘alaih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa derajatnya lebih shahih dari hadits-hadits shalat arba’in di atas. Hadits ini lebih umum dan tidak ada pengkhususan tempat juga tidak ada penyebutan batas waktu tertentu.
Wallahu a’lam

(Ustadz Astinizamani Lc : Beliau sedang menempuh kuliah S2 Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah KSA)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XVI/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. al-Musnad (20/40/no. 12583)
[2]. al-mu’jamul awsath (5/325.no.5444)
[3]. Pembahasan ini bisa dilihat di buku-buku mushthalahul hadits, seperti Ma’rifah ‘Ulumil Hadits (Ibn al-Shalah), al-Taqrib wat Taisir (Imam al-Nawawiy),Ttadribur Rawii (al-Suyuthiy), Fathul Mughits (al-Sakhawiy), dan lain-lain.
[4]. Lihat at-Tsiqat (5/483).
[5]. Majma’uz Zawa’id wa Manba’ul Fawa’id (4/8/no.5878)
[6]. at-Targhib wat Tarhib (2/505/no.1733).
[7]. Sunan al-Tirmidziy (505/no.1733)
[8]. Dia adalah: Aslam bin Sahl bin Salm bin Ziyaad bin Habiib al-Wasithiy, Abul Hasan al-Razzaaz, yang dikenal dengan julukan : Bahsyal (بحشل), wafat tahun 292H
[9]. Tarikh Wasith (1/66)
[10]. al-Kamil fidl Dlu’afa’ (2/403)
[11]. Syu’abul Iman (4/345/no. 2612,2613)
[12]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/496/no.2185)
[13]. Ibid
[14]. Lihat kitab : al-Tsiqat (6/492).
[15]. Su’alatul Barqani (38/no.492)
[16]. Taqribut Tahdzib (463/no.3032)
[17]. Tarikh Yahya bin Ma’in, riwayat : Abbas al-Duuriy (4/171/no. 3775)
[18]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn Abi Hatim (4/266/no.1148)
[19]. Su’alatul Ajurriy
[20]. al-Jarh wat Ta’dil, karya : Ibn abi Hatim (4/266/no.1148)
[21]. Su’alatul Hakim (222/no.348)
[22]. Lihat : Taqribut Tahdzib (397/no. 2484)
[23]. Tarikh Baghdad (13/301)
[24]. al-‘Ilalul Waridah fil Ahaditsin Nabawiyyah (2/118/no.151)
[25]. Sunan al-Tirmidzi (505/no. 1733)
[26]. Alkamil fidl Dlu’afa’(2/403)
[27]. Syu’abul Iman (4/345/no.2614)
[28]. al-Muttafiq wal Muftariq(1/683/no. 397)
[29]. Tarikh Wasith (1/66)
[30]. Dia adalah Ahmad bin Abdullah bin Yunus
[31]. Perihal dan derajat mereka berdua bisa dilihat kembali di kitab : Tahdzibul Kamal (karya: Abul Hajjaj al-Mizziy), Tahdzibut Tahdzib dan Taqribut Tahdzib (keduanya karya : al-Hafidh Ibn Hajar) dan kitab-kitab lainnya
[32]. Lihat: al-Tsiqat (4/140)
[33]. Lihat: al-Dlu’afa wal Matrukun (2/149/no. 170)
[34]. Mungkar yang dimaksudkan disini adalah mungkar dalam pengertian ulama hadits, bukan mungkar dalam pengertian kita saat ini. Mungkar dalam ilmu hadits artinya hadits yang menyelisihi hadits yang lebih kuat darinya

Sumber

Jumat, 06 September 2013

Hadits dari Shahih Muslim - Kitab SHOLAT

Terjemahan Hadits dari Shahih Muslim - Kitab SHOLAT

1. Permulaan azan

• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu sholat. Tidak ada seorang pun yang menyeru untuk sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata: Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen. Sebagian yang lain berkata: Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi. Kemudian Umar berkata: Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk sholat? Rasulullah saw. bersabda: Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat. (Shahih Muslim No.568)

2. Perintah menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Bilal diperintahkan agar menggenapkan azan dan mengganjilkan iqamat. (Shahih Muslim No.569)

3. Sunat menunjuk dua orang muazin untuk satu masjid

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata:

Rasulullah saw. mempunyai dua muazin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta. (Shahih Muslim No.573)

4. Sunat membaca seperti yang dikumandangkan muazin bagi yang mendengar azan kemudian membaca selawat untuk Nabi saw. dan memohon wasilah untuknya

• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila engkau mendengar azan, maka bacalah seperti yang dikumandangkan muazin. (Shahih Muslim No.576)



5. Keutamaan azan dan larinya setan ketika mendengar azan

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Nabi saw., Beliau bersabda: Sesungguhnya setan, apabila mendengar azan untuk sholat, ia berlari sambil terkentut-kentut sampai tidak mendengarnya lagi. Ketika azan telah berhenti, ia kembali menghasut. Apabila mendengar iqamat, ia pergi sampai tidak mendengarnya. Ketika iqamat telah berhenti, ia kembali menghasut lagi. (Shahih Muslim No.582)



6. Sunat mengangkat dua tangan sejajar pundak ketika takbiratul ihram, akan rukuk dan bangun dari rukuk serta tidak mengangkat tangan ketika bangun dari sujud

• Hadis riwayat Abdullah bin Umar ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah saw. mengangkat kedua tangan hingga sejajar pundak ketika memulai sholat, sebelum rukuk dan ketika bangun dari rukuk. Beliau tidak mengangkatnya di antara dua sujud. (Shahih Muslim No.586)

• Hadis riwayat Malik bin Huwairits ra.:

Dari Abu Qilaabah, bahwa ia melihat Malik bin Huwairits ketika ia sholat, ia bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya. Ketika ingin rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ketika mengangkat kepala dari rukuk, ia mengangkat kedua tangannya. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. dahulu berbuat seperti itu. (Shahih Muslim No.588)



7. Menetapkan takbir tiap kali turun dan bangun dalam sholat, kecuali bangun dari rukuk membaca: "Allah mendengar orang yang memuji-Nya"

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.

Dari Abu Salamah bin Abdurrahman bahwa Abu Hurairah sholat mengimami para sahabat. Ia bertakbir tiap kali turun dan bangun. Ketika selesai ia berkata: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling mirip dengan sholat Rasulullah saw.. (Shahih Muslim No.590)

• Hadis riwayat Imran bin Hushein ra.:

Dari Mutharrif bin Abdullah, ia berkata: Aku dan Imran bin Hushein sholat di belakang Ali bin Abu Thalib. Saat sujud beliau bertakbir. Saat mengangkat kepalanya beliau bertakbir. Saat bangun dari dua rakaat beliau bertakbir. Selesai sholat Imran memegang tanganku dan berkata: Sesungguhnya Ali telah mengimami sholat kita dengan sholat seperti sholat Muhammad saw. atau katanya: Sesungguhnya Ali telah mengingatkan aku dengan sholat Muhammad saw.. (Shahih Muslim No.594)



8. Wajib membaca surat Al-Fatihah setiap rakaat dan bagi orang yang tidak bisa dan belum mempelajarinya disarankan membaca surat lain, selain surat Fatihah

• Hadis riwayat Ubadah bin Shamit ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Orang yang tidak membaca surat Al-Fatihah, tidak sah sholatnya. (Shahih Muslim No.595)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada sholat kecuali dengan bacaan surat Al-Fatihah. (Shahih Muslim No.599)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. masuk masjid. Lalu seorang lelaki masuk dan melakukan sholat. Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab salamnya lalu bersabda: Ulangilah sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat. Lelaki itu kembali sholat seperti sholat sebelumnya. Setelah sholatnya yang kedua ia mendatangi Nabi saw. dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab: Wa'alaikas salam. Kemudian beliau bersabda lagi: Ulangilah sholatmu, karena sesungguhnya engkau belum sholat. Sehingga orang itu mengulangi sholatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu berkata: Demi Zat yang mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat mengerjakan yang lebih baik daripada ini semua. Ajarilah saya. Beliau bersabda: Bila engkau melakukan sholat, bertakbirlah. Bacalah bacaan dari Alquran yang engkau hafal. Setelah itu rukuk hingga engkau tenang dalam rukukmu. Bangunlah hingga berdiri tegak. Lalu bersujudlah hingga engkau tenang dalam sujudmu. Bangunlah hingga engkau tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam seluruh sholatmu. (Shahih Muslim No.602)


9. Dalil tidak boleh mengeraskan bacaan basmalah

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:
Aku pernah sholat bersama Rasulullah saw., bersama Abu Bakar, bersama Umar dan bersama Usman dan aku tidak mendengar seorang pun dari mereka membaca Bismillahirrahmanirrahim. (Shahih Muslim No.605)


10. Dalil bahwa basmalah adalah awal ayat tiap surat kecuali surat At-Taubah

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Ketika Rasulullah saw. bersama kami, tiba-tiba beliau terlena sesaat, kemudian mengangkat kepala beliau sambil tersenyum. Kami bertanya: Wahai Rasulullah, apa yang membuat Anda tertawa? Beliau menjawab: Baru saja satu surat diturunkan kepadaku. Lalu beliau membaca: Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar "nikmat yang banyak". Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dialah yang terputus. Kemudian beliau bertanya: Tahukah kalian, apakah Kautsar itu? Kami menjawab: Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Beliau bersabda: Itu adalah sungai yang dijanjikan Tuhanku. Sungai yang menyimpan banyak kebaikan dan merupakan telaga yang didatangi umatku pada hari kiamat. Wadahnya sebanyak bilangan bintang. Ada seorang hamba yang ditarik dari kumpulan mereka. Aku berkata: Ya Tuhanku, dia termasuk umatku. Allah berfirman: Engkau tidak tahu, dia telah membuat suatu bid`ah sepeninggalmu. (Shahih Muslim No.607)

11. Tasyahhud dalam sholat

• Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra. dia berkata:

Ketika kami bermakmum di belakang Rasulullah saw., kami membaca: "Keselamatan tetap pada Allah, keselamatan tetap pada si fulan". Suatu hari Rasulullah saw. bersabda kepada kami: Sesungguhnya Allah adalah keselamatan itu sendiri. Jadi, apabila salah seorang di antara engkau duduk (membaca tasyahud) hendaknya membaca: "Segala kehormatan, semua rahmat dan semua yang baik itu milik Allah. Semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkat-Nya dilimpahkan kepadamu, wahai Nabi. Semoga keselamatan dilimpahkan kepada kami dan kepada para hamba-Nya yang saleh. Apabila dia telah membacanya, maka keselamatan itu akan menyebar kepada semua hamba Allah yang saleh", baik yang di langit maupun yang di bumi. "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah", kemudian berdoalah sesukanya. (Shahih Muslim No.609)



12. Selawat kepada Nabi saw. sesudah tasyahhud

• Hadis riwayat Kaab bin Ujrah ra.:

Dari Abdullah bin Abu Laila, dia berkata: Kaab bin Ujrah menemuiku dan berkata: Maukah engkau aku berikan hadiah? Rasulullah saw. pernah menemui kami, lalu kami berkata: Kami telah mengetahui cara membaca salam untuk Baginda, lalu bagaimana kami membaca selawat untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli `alaa Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum majiid. Allahumma baarik `alaa Muhammad wa `alaa aali Muhammad kamaa baarakta `alaa aali Ibrahim Innaka hamiidum majiid". (Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad dan keluarga nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.614)

• Hadis riwayat Abu Humaid As-Saidi ra.:

Bahwa para sahabat berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami membaca selawat untuk Anda? Beliau bersabda: Bacalah: "Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa shallaita ‘alaa aali Ibrahim wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa zurriyyatihi kamaa baarakta ‘alaa aali Ibrahim. Innaka hamiidum majiid." (Ya Allah, limpahkanlah sejahtera kepada Muhammad dan istri-istrinya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan kesejahteraan kepada keluarga nabi Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji dan mulia. Ya Allah, limpahkanlah keberkahan kepada Muhammad dan istri-istrinya, sebagaimana Engkau telah melimpahkan keberkahan kepada keluarga Ibrahim. Sesungguhnya Engkau maha terpuji lagi maha mulia). (Shahih Muslim No.615)


13. Membaca "sami`allahu liman hamidah" dan "aamiin"

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Apabila imam membaca "sami`allahu liman hamidah", hendaklah kalian membaca "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", (Ya Allah, Tuhan kami, hanya milik-Mu-lah segala pujian), karena barang siapa yang ucapannya bertepatan dengan bacaan malaikat, maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.617)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila Imam membaca: Amin, hendaklah kalian membaca: "Aamiin". Karena sesungguhnya barang siapa yang bacaan aminnya bertepatan dengan bacaan amin malaikat maka dosanya yang lalu akan diampuni. (Shahih Muslim No.618)


14. Makmum harus mengikuti imam

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra. dia berkata:

Nabi saw. pernah jatuh dari kuda sehingga lambung kanan beliau robek. Kami datang menjenguk. Saat tiba waktu sholat, beliau sholat bersama kami dengan duduk dan kami pun sholat di belakang beliau dengan duduk. Usai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam untuk diikuti. Jadi, apabila dia bertakbir, bertakbirlah. Bila dia sujud, sujudlah. Bila ia bangun, bangunlah. Bila ia membaca "sami`allahu liman hamidah", bacalah "rabbanaa lakal hamdu" dan bila ia sholat dengan duduk, sholatlah dengan duduk pula. (Shahih Muslim No.622)

• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah sakit. Para sahabat datang menjenguk beliau. Kemudian beliau sholat dengan duduk. Para sahabat bermakmum pada beliau dengan berdiri. Beliau memberi isyarat kepada mereka agar duduk, maka mereka pun duduk. Selesai sholat beliau bersabda: Sesungguhnya seseorang dijadikan imam hanyalah untuk diikuti. Jadi apabila ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia bangun, maka bangunlah kalian dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.623)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya imam itu untuk diikuti. Karena itu, maka janganlah kalian menyalahinya. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian, bila ia rukuk, maka rukuklah kalian, bila ia membaca "sami`allahu liman hamidah", maka bacalah "Allahumma rabbanaa lakal hamdu", bila ia sujud, maka sujudlah dan bila ia sholat sambil duduk, maka sholatlah kalian sambil duduk. (Shahih Muslim No.625)


15. Imam mengangkat seseorang untuk menggantikannya apabila ia uzur, seperti sakit, bepergian atau lainnya, makmum harus berdiri di belakang imam yang duduk selama ia mampu, penghapusan hukum duduk di belakang imam yang duduk bagi makmum yang mampu berdiri

• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Dari Ubaidillah bin Abdullah, ia berkata: Aku menemui Aisyah dan berkata: Maukah Anda menceritakan kepadaku tentang sakit Rasulullah saw? Ia berkata: Nabi saw. menderita lemah sekali, beliau bersabda: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami pun melakukannya lalu beliau mandi. Setelah itu, saat ingin bangkit beliau pingsan. Ketika siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum. Mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Saat akan berdiri beliau pingsan lagi. Setelah siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum, mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Tuangkan air untukku di bak. Kami mengerjakannya dan beliau mandi. Ketika akan bangun beliau pingsan lagi untuk yang ketiga kalinya. Pada waktu siuman beliau bertanya: Apakah para sahabat sudah sholat? Kami jawab: Belum. Mereka menunggu baginda, wahai Rasulullah. Para sahabat telah berkumpul di masjid menunggu Rasulullah saw. untuk sholat Isyak.
Beliau memerintahkan seseorang menemui Abu Bakar agar ia mengimami sholat. Tiba di hadapan Abu Bakar, ia berkata: Rasulullah saw. memerintahkan Anda untuk mengimamai sholat sahabat lainnya. Abu Bakar adalah seorang yang lembut hati, ia berkata: Wahai Umar, imamilah mereka itu! Umar berkata: Anda lebih menjadi imam mereka. Akhirnya Abu Bakar mengimami sholat mereka selama beberapa hari. Ketika sakit Rasulullah saw. agak ringan, beliau keluar untuk sholat Zuhur, dibantu oleh dua orang, salah satunya adalah Abbas. Saat itu Abu Bakar akan mengimami sahabat. Ketika ia melihat Rasulullah saw. datang, ia mundur untuk menunda (sholat). Nabi saw. memberi isyarat kepadanya agar jangan ditunda. Kemudian beliau memerintahkan kedua orang yang memapah beliau: Dudukkan aku di sampingnya. Mereka mendudukkan beliau di samping Abu Bakar. Maka Abu Bakar sholat berdiri bermakmum kepada Rasulullah saw., para sahabat yang lain bermakmum kepada Abu Bakar dan Rasulullah saw. saat itu sholat sambil duduk. (Shahih Muslim No.629)



• Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:

Bahwa Abu Bakar mengimami sahabat ketika Rasulullah saw. sakit yang membuatnya wafat, pada hari Senin, ketika berbaris dalam sholat, Rasulullah saw. menyingkap tirai kamar dan memandang kami dengan berdiri. Wajah beliau putih seperti kertas, beliau tersenyum. Kami yang sedang sholat terpukau karena gembira dengan keluarnya Rasulullah saw. Kemudian Abu Bakar mundur untuk ke barisan pertama. Ia mengira bahwa Rasulullah saw. keluar untuk sholat. Rasulullah saw. memberi isyarat tangan kepada mereka agar terus menyempurnakan sholat. Lalu beliau masuk lagi dan menurunkan tirai kamar. Pada hari itu Rasulullah saw. wafat. (Shahih Muslim No.636)



• Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata:

Rasulullah saw. sakit dan semakin bertambah parah. Beliau bersabda: Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin. Aisyah berkata: Wahai Rasulullah, Abu Bakar adalah seorang yang berhati halus. Kalau ia menempati tempat baginda, ia tidak akan mampu mengimami sholat Kaum muslimin. Beliau bersabda: Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat kaum muslimin. Kalian ini seperti teman-teman Yusuf (dalam berdebat). Abu Musa berkata: Kemudian Abu Bakar mengimami sholat mereka ketika Rasulullah saw. masih hidup. (Shahih Muslim No.638)



16. Jamaah menunjuk seseorang untuk mengimami mereka bila imam yang tetap terlambat datang dan mereka tidak khawatir akan timbul masalah akibat penunjukan tersebut

• Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra.:

Bahwa ketika Rasulullah saw. pergi ke Bani Amru bin Auf untuk mendamaikan pertikaian di antara mereka, maka ketika tiba waktu sholat, seorang muazin datang kepada Abu Bakar lalu berkata: Maukah engkau mengimami sholat orang-orang. Lalu saya mengiqamati? Abu Bakar menjawab: Ya. Kemudian Abu Bakar sholat. Ketika orang-orang sedang sholat, Rasulullah saw. datang. Beliau maju perlahan hingga sampai barisan awal. Melihat itu orang-orang bertepuk tangan, tetapi Abu Bakar tidak menoleh. Ketika tepuk tangan semakin riuh ia menoleh dan melihat Rasulullah saw. Beliau mengisyaratkan Abu Bakar agar tetap di tempatnya. Abu Bakar mengangkat kedua tangannya seraya memuji Allah 'azza wa jalla sesuai dengan yang diperintahkan Rasulullah saw, lalu mundur sehingga sejajar dengan barisan awal. Setelah itu Nabi saw. maju dan sholat. Usai sholat, beliau bersabda: Hai Abu Bakar, apa yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu ketika aku suruh? Abu Bakar menjawab: Tidak layak bagi anak Abu Quhafah sholat di hadapan Rasulullah saw. Beliau bersabda lagi: Mengapa kalian bertepuk tangan? Barang siapa yang ingin mengingatkan sesuatu di dalam sholat, hendaknya ia bertasbih, karena bila ia bertasbih, ia akan ditoleh. Tepuk tangan hanya untuk wanita. (Shahih Muslim No.639)



17. Bertasbih bagi lelaki dan tepuk tangan bagi wanita jika ingin mengingatkan sesuatu di dalam sholat

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah bersabda: Bertasbih untuk lelaki dan tepuk tangan untuk wanita. (Shahih Muslim No.641)



18. Perintah membaguskan, menyempurnakan dan khusyuk dalam sholat

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Suatu hari Rasulullah saw. mengimami sholat kami. Usai sholat beliau bersabda: Hai fulan, mengapa engkau tidak membaguskan sholatmu? Tidakkah orang yang sholat merenungkan bagaimana sholatnya? Sesungguhnya ia sholat untuk dirinya sendiri. Demi Allah, sungguh aku dapat melihat belakangku, sebagaimana aku melihat depanku. (Shahih Muslim No.642)

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Sempurnakanlah rukuk dan sujud, demi Allah, sesungguhnya aku dapat melihat engkau di belakangku (kemungkinan bersabda: yang di belakang punggungku) saat engkau rukuk atau sujud. (Shahih Muslim No.644)



19. Larangan mendahului imam dalam rukuk, sujud atau lainnya

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:

Muhammad saw. pernah bersabda: Apakah orang yang mengangkat kepalanya sebelum imam, tidak takut kepalanya diganti oleh Allah dengan kepala keledai. (Shahih Muslim No.647)



20. Meluruskan barisan dan merapikannya, berdesakan dalam barisan pertama dan berlomba mendapatkannya, mendahulukan orang-orang yang punya keutamaan dan mendekatkan mereka kepada imam

• Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Luruskanlah barisan kalian. Sesungguhnya kelurusan barisan sholat termasuk bagian dari kesempurnaan sholat. (Shahih Muslim No.656)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Sempurnakanlah barisan, karena sesungguhnya aku dapat melihat engkau yang ada di belakangku. (Shahih Muslim No.657)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Rasulullah saw., beliau bersabda: Luruskanlah barisan dalam sholat, karena lurusnya barisan itu termasuk kebaikan sholat. (Shahih Muslim No.658)



• Hadis riwayat Nukman bin Basyir ra., ia berkata:

Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sebaiknya engkau mau meluruskan barisanmu atau Allah akan menancapkan rasa permusuhan di antara engkau. (Shahih Muslim No.659)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Seandainya manusia tahu apa (keutamaan) yang terdapat dalam azan dan barisan pertama, kemudian mereka tidak mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi, pasti mereka akan mengundinya. Seandainya mereka tahu apa (keutamaan) yang terdapat dalam bersegera (datang sedini mungkin) melakukan sholat, pasti mereka berlomba-lomba melakukannya. Seandainya mereka tahu apa yang terdapat dalam sholat Isyak dan sholat Subuh, pasti mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. (Shahih Muslim No.661)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Seandainya kalian (atau mereka) tahu apa yang ada dalam barisan depan, tentu akan diadakan undian. (Shahih Muslim No.663)



21. Perintah agar para wanita yang sholat di belakang laki-laki untuk tidak mengangkat kepala mereka dari sujud sebelum laki-laki mengangkat kepalanya

• Hadis riwayat Sahal bin Saad ra., ia berkata:

Aku melihat orang-orang lelaki yang sholat di belakang Nabi saw. mengikatkan kain mereka pada leher seperti anak kecil karena sempitnya kain mereka. Seseorang berkata: Hai para wanita, janganlah kalian mengangkat kepala kalian sebelum orang-orang lelaki mengangkat kepala mereka. (Shahih Muslim No.665)



22. Wanita boleh ke masjid apabila tidak menimbulkan hal-hal yang negatif dan tanpa memakai wangi-wangian

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Dari Nabi saw., beliau bersabda: Jika istri salah seorang dari kalian minta izin pergi ke masjid, maka janganlah mencegahnya. (Shahih Muslim No.666)

• Hadis riwayat Aisyah ra., istri Nabi saw. ia berkata:

Seandainya Rasulullah saw. melihat apa yang diperbuat wanita saat ini, tentu beliau melarang mereka pergi ke masjid, seperti dilarangnya wanita Bani Israel. Yahya berkata: Aku bertanya kepada Amrah: Apakah wanita Bani Israel dilarang pergi ke masjid (tempat ibadah mereka)? Ia menjawab: Ya. (Shahih Muslim No.676)



23. Membaca bacaan dalam sholat jahriyah (sholat yang bacaannya dikeraskan) dengan suara antara keras dan pelan, apabila khawatir akan timbul hal yang tidak baik jika dikeraskan

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:

Tentang firman Allah Taala: Dan janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam sholatmu dan jangan pula memelankannya. Ia berkata ayat ini turun ketika Rasulullah saw. sedang bersembunyi di Mekah. Ketika beliau sholat bersama para sahabat, beliau mengeraskan suaranya dalam membaca Alquran. Orang-orang musyrik yang mendengarnya menjelek-jelekan Alquran, Allah yang menurunkannya dan Nabi yang membawanya. Maka Allah Taala berfirman: Janganlah engkau mengeraskan suaramu di dalam sholatmu, sehingga orang-orang musyrik mendengar bacaanmu: Dan janganlah engkau memelankannya sehingga sahabatmu tidak mendengarnya. Carilah cara di antara kedua hal itu. Akhirnya beliau membaca antara keras dan pelan. (Shahih Muslim No.677)



• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Tentang firman Allah: Dan janganlah mengeraskan suaramu di dalam sholatmu dan jangan pula memelankannya. Ia berkata: Ayat ini diturunkan berkaitan dengan doa. (Shahih Muslim No.678)



24. Mendengarkan bacaan Alquran

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:

Tentang firman Allah: Janganlah engkau gerakkan lidahmu tergesa-gesa untuk membaca Alquran. Ia berkata: Dulu ketika malaikat Jibril turun menyampaikan wahyu, Nabi saw. sering menggerakkan lidah dan bibir beliau (untuk mengulang-ulang agar tidak lupa). Hal itu membuat beliau merasa berat. Keadaan beliau seperti itu dapat dilihat. Lalu Allah berfirman: Janganlah engkau gerakkan lidahmu terburu-buru untuk membacanya dan ingin cepat "menguasainya". Sesungguhnya atas tanggungan Kami mengumpulkan di dadamu dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacanya, ikutilah bacaan itu. Kami menurunkannya, maka dengarkanlah baik-baik. Firman-Nya: Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya "Kami menjelaskannya melalui lidahmu". Ketika malaikat Jibril mendatangi beliau (untuk memberi wahyu), maka beliau diam mendengarkan. Setelah Jibril pergi, beliau membacanya, sebagaimana telah dijanjikan oleh Allah pada beliau. (Shahih Muslim No.679)



25. Mengeraskan bacaan dalam sholat subuh dan membacakan Alquran untuk Jin

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. tidak membacakan kepada jin dan tidak pula melihat mereka. Beliau pergi bersama para sahabat menuju pasar Ukaz. Saat itu antara setan dan berita langit telah terhalang. Mereka dilempari panah api. Setan-setan itu kembali kepada kaum mereka dan berkata: Antara kami dan berita langit telah terhalang dan kami pun dilempari panah api. Ini tidak lain pasti karena sesuatu telah terjadi. Pergilah ke belahan bumi bagian timur dan barat, telitilah apa yang menghalangi kita dengan berita langit. Mereka pun pergi ke belahan bumi bagian timur dan barat. Sebagian mengambil arah Tihamah dengan tujuan pasar Ukaz (Nabi berada di Nakhl). Saat itu beliau sedang sholat Subuh dengan para sahabat. Mereka mendengar Alquran yang dibaca beliau dan memperhatikannya. Lalu kata mereka: Inilah yang membuat kita terhalang dengan berita langit. Mereka kembali kepada kaum mereka dan berkata: Hai kaumku, Sesungguhnya kami telah mendengar bacaan yang mengagumkan, yang dapat mengantarkan kita kepada kebenaran. Maka aku beriman kepadanya, dan tidak akan menyekutukan Tuhanku dengan siapapun. Maka Allah Taala menurunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. Katakanlah, telah diwahyukan kepadaku bahwa sekelompok jin telah mendengarkan bacaan Alquran. (Shahih Muslim No.681)



26. Bacaan dalam sholat Zuhur dan Asar

• Hadis riwayat Abu Qatadah ra., ia berkata:

Kami pernah sholat berjamaah dengan Rasulullah saw. Dalam dua rakaat pertama sholat Zuhur dan Asar, beliau membaca Fatihah dan dua buah surat, kadang-kadang memperdengarkan ayat kepada kami. Beliau memanjangkan rakaat pertama sholat Zuhur dan memperpendek rakaat kedua. Demikian pula dalam sholat Subuh. (Shahih Muslim No.685)



27. Bacaan dalam sholat Subuh

• Hadis riwayat Abu Barzah ra.: ia berkata:

Rasulullah saw. dalam sholat Subuh membaca enam puluh sampai seratus ayat. (Shahih Muslim No.702)



28. Bacaan dalam sholat Isyak

• Hadis riwayat Barra' ra.:

Dari Nabi saw. bahwa dalam suatu perjalanan beliau mengerjakan sholat Isyak. Dalam salah satu dari dua rakaatnya beliau membaca Wat tiini waz zaitun. (Shahih Muslim No.706)

• Hadis riwayat Jabir bin Abdullah ra., ia berkata:

Muaz pernah sholat bersama Nabi saw. lalu pulang mengimami kaumnya. Pada suatu malam ia sholat Isyak bersama Nabi saw. lalu pulang mengimami kaumnya. Ketika ia mulai dengan membaca surat Al-Baqarah, ada seorang lelaki yang memisahkan diri dari sholat berjamaah sampai salam, selanjutnya mengerjakan sholat sendiri dan pergi. Orang-orang menegurnya: Hai fulan, apakah engkau telah munafik? Ia menjawab: Tidak, demi Allah. Sungguh, aku akan menemui Rasulullah saw. dan memberitahukan hal ini. Setelah bertemu dengan Rasulullah saw., ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah pemilik unta penyiram tanaman, bekerja di siang hari. Sesungguhnya Muaz setelah mengerjakan sholat Isyak bersama Anda lalu pulang dan (sholat bersama kami) mulai dengan bacaan surat Al-Baqarah. Rasulullah saw. menghadap ke arah Muaz dan bersabda: Wahai Muaz, apakah engkau ingin menimbulkan fitnah (kesulitan)? Bacalah (surat) ini dan itu. Sufyan berkata: Aku berkata kepada Amru bahwa Abu Zubair menceritakan kepada kami dari Jabir bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bacalah Was Syamsi wa Dhuhaaha (surat As-Syams), Wadh Dhuhaa (surat Ad-Dhuhaa), Wal laili idza Yaghsyaa (surat Al-Lail) dan Sabbihisma rabbikal a`laa (sutat Al-A`laa), maka Amru menanggapi: Ya, seperti itu. (Shahih Muslim No.709)



29. Perintah kepada imam agar mempercepat sholat sambil menjaga kesempurnaan

• Hadis riwayat Abu Masud Al-Anshari ra., ia berkata:

Seorang lelaki datang menemui Rasulullah saw. dan berkata: Saya terlambat sholat Subuh karena si fulan memperlambat sholatnya saat mengimami kami. Kemudian aku belum pernah melihat Nabi saw. marah dalam memberikan nasehat seperti marahnya beliau (memberikan nasehat) pada hari itu. Beliau bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya di antara engkau ada yang membuat orang lari (jera). Barang siapa di antara kalian menjadi imam, maka hendaklah ia meringkas, sebab di belakangnya ada orang tua, orang lemah dan orang yang punya keperluan. (Shahih Muslim No.713)



• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Nabi saw. bersabda: Apabila salah seorang dari kalian menjadi imam, maka hendaknya ia memperingan sholatnya, karena di antara mereka ada anak kecil, orang tua, orang lemah dan orang sakit. Bila sholat sendirian, maka sholatlah sekehendak hatinya. (Shahih Muslim No.714)

• Hadis riwayat Anas ra.:

Bahwa Nabi saw. meringkas (bacaan) sholat dan menyempurnakannya. (Shahih Muslim No.719)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. pernah mendengar tangis anak kecil bersama ibunya ketika sedang sholat. Maka beliau membaca surat yang ringan atau surat yang pendek. (Shahih Muslim No.722)



30. Keselarasan antara rukun-rukun sholat dan memperingan dengan tetap sempurna

• Hadis riwayat Barra' bin Azib ra., ia berkata:

Aku mengamati sholat Muhammad saw. Aku perhatikan berdirinya, rukuknya, iktidal setelah rukuk, sujudnya, duduk antara dua sujud, sujud kedua, duduk antara salam dan selesai sholat, (aku perhatikan) satu dengan lainnya saling sama. (Shahih Muslim No.724)

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Sungguh, aku tidak akan menambah-nambah, aku akan mengimami sholat kalian seperti aku melihat Rasulullah saw. mengimami sholat kami. Tsabit (salah seorang perawi) berkata: Anas telah melakukan sesuatu yang tidak seperti yang kalian lakukan. Ketika ia bangun dari rukuk, ia berdiri tegak hingga orang berkata: Anas telah lupa, dan ketika bangun dari sujud, ia diam (tidak bergerak) sehingga orang bilang: Anas telah lupa. (Shahih Muslim No.726)



31. Mengikuti imam dan bergerak setelah gerakan imam

• Hadis riwayat Barra' ra.:

Bahwa mereka (para sahabat) sholat di belakang Rasulullah saw. Ketika beliau bangun dari rukuk (dan ingin sujud). aku tidak melihat seorang pun membungkukkan badannya hingga Rasulullah saw. meletakkan dahinya di tanah. Setelah itu para sahabat yang di belakang beliau ikut bersungkur sujud. (Shahih Muslim No.728)



32. Bacaan ketika rukuk dan sujud

• Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

Adalah Rasulullah saw. dalam rukuk dan sujudnya banyak membaca: "Subhaanaka allahumma rabbanaa wa bihamdika, allahummaghfir li" (Maha suci Allah, ya Allah, ya Tuhan kami, dengan segala puji-Mu, ampunilah aku). Beliau menafsirkan perintah Alquran. (Shahih Muslim No.746)



33. Menjelaskan anggota tubuh untuk bersujud, larangan menahan rambut dan pakaian (saat sujud), menjalin rambut ketika sholat

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Nabi saw. diperintahkan untuk sujud dengan tujuh anggota badan dan dilarang menutup dahinya dengan rambut dan pakaian. (Shahih Muslim No.755)



34. Meluruskan badan, meletakkan kedua telapak tangan di atas tanah, mengangkat kedua siku dari lambung dan menjauhkan perut dari kedua paha ketika sujud

• Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Luruslah kalian dalam sujud dan janganlah seorang kalian melunjurkan kedua lengannya seperti anjing melunjurkan kaki depannya. (Shahih Muslim No.762)



35. Menjelaskan suatu hal yang berhubungan dengan cara sholat

• Hadis riwayat Abdullah bin Malik bin Buhainah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. merenggangkan kedua tangannya ketika sholat hingga tampak putihnya ketiak beliau. (Shahih Muslim No.764)



36. Pembatas orang yang sholat

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Bahwa Rasulullah saw., jika keluar untuk sholat hari raya, beliau minta dibawakan tombak pendek yang kemudian beliau letakkan di depannya. Lalu beliau sholat menghadap tombak itu dan para sahabat berada di belakang beliau. Beliau melakukannya saat sedang dalam perjalanan. (Karena itulah kemudian banyak para pemimpin menggunakan tongkat). (Shahih Muslim No.773)

• Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:

Bahwa Nabi saw. biasa menambatkan tunggangan beliau dan beliau sholat menghadap ke arahnya. (Shahih Muslim No.775)

• Hadis riwayat Abu Juhaifah ra., ia berkata:

Aku menemui Nabi saw. di Mekah. Saat itu beliau berada di Abthah (nama tempat) di dalam kemah yang terbuat dari kulit samakan milik beliau. Kemudian Bilal keluar membawa air wudu beliau. Ada orang yang mendapat air itu sedikit dan ada pula yang hanya diperciki oleh lainnya. Nabi saw. keluar dengan memakai pakaian merah, nampaknya aku dapat melihat betis beliau yang putih. Beliau berwudu dan Bilal mengumandangkan azan. Aku memperhatikan mulutnya bergerak kesana kemari ke kanan dan ke kiri, ia membaca: "Hayya `alas shalah, hayya `alal falah", (Marilah mengerjakan sholat, marilah menuju kemenangan). Sebatang tombak pendek ditancapkan untuk Nabi. Beliau melangkah maju dan mengerjakan sholat Zuhur (diqasar) dua rakaat. Keledai dan anjing lewat di depan beliau tanpa dicegah. Selanjutnya beliau mengerjakan sholat Asar (diqasar) dua rakaat. Demikian kemudian beliau tak henti-hentinya mengerjakan sholat dua rakaat hingga kembali ke Madinah. (Shahih Muslim No.777)

• Hadis riwayat Ibnu Abbas ra., ia berkata:

Aku datang dengan naik keledai betina. Saat itu aku hampir usia balig. Rasulullah saw. mengimami sholat para sahabat di Mina, lalu aku lewat di depan barisan, lalu aku pulang dan kubiarkan keledaiku merumput, dan aku masuk ke barisan sholat. Tidak ada seorang pun yang mencela perbuatanku itu. (Shahih Muslim No.780)


37. Melarang orang lewat di depan orang yang sedang sholat

• Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Bila salah seorang di antara kalian sedang sholat, janganlah ia membiarkan seorang pun lewat di depannya, dan hendaklah ia mencegahnya semampunya. Bila ia tidak peduli, perangilah karena sesungguhnya ia adalah setan. (Shahih Muslim No.782 )

• Hadis riwayat Abu Juhaim ra., ia berkata:

Rasulullah saw. bersabda: Seandainya orang yang lewat di depan tempat sholat itu mengetahui betapa besar dosanya, pasti ia berdiri selama lebih baik baginya daripada lewat di depan orang yang sedang sholat Abu Nadher berkata: Aku tidak tahu, apakah ia mengatakan hari atau bulan atau tahun. (Shahih Muslim No.785)



38. Orang yang sholat sebaiknya mendekatkan pembatas

• Hadis riwayat Sahal bin Saad As-Saidi ra., ia berkata:

Jarak tempat sholat Nabi saw. dan dinding seukuran jalan lewat kambing. (Shahih Muslim No.786)

• Hadis riwayat Salamah bin Akwa` ra.:

Bahwa ia memilih tempat mushaf lalu mengerjakan sholat di sana. Ia bercerita bahwa Rasulullah saw. selalu memilih tempat tersebut. Jarak antara mimbar dan kiblat kira-kira cukup untuk lewat kambing. (Shahih Muslim No.787)



39. Melintang di depan orang sholat

• Hadis riwayat Aisyah ra.:

Bahwa Nabi saw. pernah sholat di tengah malam, sedangkan aku tidur melintang di antara beliau dan kiblat seperti melintangnya jenazah. (Shahih Muslim No.791)

• Hadis riwayat Maimunah ra., istri Nabi saw. ia berkata:

Rasulullah saw. pernah sholat dan aku (berada) dekat beliau dalam keadaan haid. Kadang-kadang pakaian beliau mengenai tubuhku saat sujud. (Shahih Muslim No.797)



40. Sholat dengan selembar pakaian dan cara pemakaiannya

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sholat dengan selembar pakaian. Beliau menjawab: Bukankah tiap engkau punya dua lembar pakaian. (Shahih Muslim No.799)

• Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:

Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Janganlah seorang dari kalian mengerjakan sholat dengan memakai selembar pakaian yang tidak sedikit pun menutupi kedua pundaknya. (Shahih Muslim No.801)

• Hadis riwayat Umar bin Abu Salamah ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah sholat di rumah Ummu Salamah dengan satu lembar pakaian untuk menutupi seluruh tubuhnya (seperti selimut), kedua ujungnya diletakkan di atas pundak beliau. (Shahih Muslim No.802)

• Hadis riwayat Jabir ra., ia berkata:

Aku melihat Rasulullah saw. sholat dengan berselimutkan selembar pakaian di tubuh beliau. (Shahih Muslim No.805)



Sumber


Kamis, 15 Agustus 2013

Tata Cara Sujud Sahwi

TATA CARA SUJUD SAHWI


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin



Sujud sahwi adalah suatu istilah untuk dua sujud yang dikerjakan oleh orang yang shalat, fungsinya untuk menambah celah-celah yang kurang dalam shalatnya karena lupa.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang harus mengerjakan sujud sahwi ada tiga macam : penambahan, pengurangan dan ragu-ragu

1. Penambahan
Apabila seorang yang shalat menambah shalatnya, baik menambah berdiri, duduk, rukuk atau sujud secara sengaja, maka shalatnya batal (tidak sah). Jika dia melakukannya karena lupa dan dia tidak ingat bahwa dia telah menambah shalatnya hingga selesai shalat, maka dia tidak terkena beban apa pun kecuali hanya mengerjakan sujud sahwi, sedangkan shalatnya tetap sah. Tetapi jika dia telah menyadari adanya tambahan tersebut di saat dia masih mengerjakan shalat, maka dia wajib kembali kepada posisi yang benar, lalu mengerjakan sujud sahwi, dan shalatnya tetap sah.

Sebagai contoh
Ada seseorang telah mengerjakan shalat dzuhur 5 (lima) rakaat, tetapi dia baru mengingatnya kembali setelah posisi tasyahud (akhir), maka dia harus menyempurnakan tasyahudnya (terlebih dahulu), lalu salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah salam, maka dia harus segera mengerjakan sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia mengingatnya di saat masih mengerjakan rakaat yang ke lima, maka dia harus segera duduk pada saat itu juga, lalu bertasyahud dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya ada hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu [1]

أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الضُّهْرَ خَمْسًا، فَقِيْلَ لَهُ : أَزِيْدَ فِي الصَّلاَةِ؟ فَقَالَ (وَمَا ذَاكَ؟) قَالُوْا : صَلَيْتَ خَمسًا، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ بَعْدَمَا سَلَّمَ. وَفِي رِوَايَةٍ : فَثَنَى رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ القِبْلَةَ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَز (رواه الجماعة)

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat dzuhur 5 (lima) rakaat. Maka ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah shalat sengaja ditambah? Beliau menjawab : “Memangnya apa yang terjadi?” Kemudian mereka (para sahabat) menjawab: “Anda telah mengerjakan shalat (dzuhur) lima rakaat. “Maka beliau langsung sujud dua kali kemudian salam”

Dalam riwayat lain disebutkan : “Maka beliau langsung melipat kedua kakinya dan menghadap kiblat, kemudian sujud dua kali dan salam” [HR Al-Jama’ah] [2]

Salam Sebelum Sempurna Shalat
Salam sebelum sempurna (selesai) shalat, juga termasuk penambahan dalam shalat [3]. Oleh karena itu, apabila seorang yang shalat dengan sengaja salam sebelum selesai shalat, maka shalatnya batal.

Jika dia mengerjakannya karena lupa dan dia baru mengingatnya kembali setelah rentang waktu yang lama, maka dia harus mengulangi shalatnya.

Tetapi jika dia telah mengingatnya kembali hanya dalam rentang waktu beberapa saat saja, seperti dua atau tiga menit, maka dia hanya perlu menyempurnakan shalatnya saja dan salam, kemudian baru sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ أَوِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ، فَخَرَجَ السُّرْ عَانِ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسجِدِ يَقُوْلُوْنَ :قُصِرَتِ الصَّلاَةُ،وَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى خَشَبَة فِي الْمَسْجِدِ فَاتَّكَاَّ عَلَيْهَا كَأَنَّسهُ غَضْبَانٌ، فَقَاْمَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَارَسُوْلَ اللَّهِ، أَنَسِيْتَ أَم قُصِِرَتِ الصَّلاَةُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (لَمْ أَنْسَ وَلَمْ تُقْصَرُ) فَقَالَ الرَّجُلُ : بَلَى قَدْ نَسِيْتَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلصَّحَا بَةِ : (أَحَقُّ مَايَقُوْلُ؟) قَالُوْا : نَعَمْ، فَتَقَدَّمَ النَّبِيْيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّى مَابَقِيَ مِنْ صَلاَ تِهِ ثُمَّ سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَ تَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ. (متفق عليه)

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur atau ashar bersama para sahabatnya. Tetapi baru dua rakaat, beliau telah salam. Maka orang-orangpun bergegas keluar dari pintu-pintu masjid seraya mengatakan : “Shalat telah diqashar (diringkas)”. Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan berjalan mendekati sebatang kayu yang berada di dalam masjid, lalu beliau menyandarkan diri kepadanya seakan-akan beliau sedang marah. (Melihat hal itu), maka ada seorang laki-laki lalu berdiri seraya mengatakan : Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa atau memang sengaja mengqashar shalat? Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan tidak pula berniat mengqasharnya”. Laki-laki tadi menegaskan : “Benar, sungguh Anda telah lupa”. Kemudian beliau menanyakan hal itu kepada para sahabatnya yang lain: “Benarkah apa yang dikatakannya?” Mereka menjawab :benar. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian maju ke depan, lalu beliau menyempurnakan rakaat shalat yang belum dikerjakannya kemudian salam. Selanjutnya beliau sujud dua kali kemudian salam lagi” [Mutafaqun Alaihi] [4]

Apabila seorang imam telah salam sebelum sempurna shalatnya, sedangkan di antara para makmum ada orang-orang yang masbuk (belum mengerjakan beberara raka’at shalatnya), maka mereka harus bangkit untuk menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi. Namun bila kemudian imam tersebut ingat kembali bahwa shalatnya kurang lengkap, lalu dia bangkit untuk menyempurnakan shalatnya, dalam kondisi seperti ini, maka bagi para makmum yang telah menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi diberikan dua pilihan. Dia boleh berasumsi bahwa mereka telah menyempurnakan shalatnya, lalu hanya mengerjakan sujud sahwi atau mereka kembali bersama imam dan mengikutinya lagi. (Jika pilihan kedua ini yang mereka pilih), maka bila imam telah salam lagi, mereka harus kembali lagi menyempurnakan shalatnya yang tertinggal tadi, kemudian setelah salam baru mengerjakan sujud sahwi. Hal ini lebih utama dan lebih berhati-hati

2. Pengurangan
Pengurangan dalam mengerjakan shalat ada beberapa macam, di antaranya adalah sebagai berikut:

A. Kekurangan Rukun-Rukun Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat mengurangi (tidak mengerjakan) salah satu rukun shalat, jika yang kurang tadi adalah takbiratul ihram, maka tidak ada shalat baginya, baik ketika dia meninggalkannya karena sengaja maupun karena lupa, sebab shalatnya belum dianggap dimulai.

Jika yang kurang tadi bukan takbiratul ihram, dia sengaja meninggalkannya, maka shalatnya batal.

Tetapi jika dia meninggalkannya karena lupa, bila dia telah sampai pada rakaat kedua maka dia harus membiarkan rukun shalat yang tertinggal tadi dan mengerjakan rakaat berikutnya sebagaimana posisinya. Tetapi jika dia belum sampai pada rakaat kedua, maka dia wajib mengulangi kembali rukun shalat yang tertinggal tadi, kemudian menyempurnakannya dan rukun-rukun setelahnya. Dalam kedua kondisi ini, maka dia wajib mengerjakan sujud sahwi setelah salam.

Sebagai contoh.
Misalnya seorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya pada saat dia sedang duduk di antara dua sujud pada rakaat kedua, maka dia harus membiarkan rakaat pertama yang telah dikerjakannya tadi lalu melanjutkan rakaat kedua sebagaimana mestinya. Sedangkan rakaat yang telah dia kerjakan tadi, telah dianggap sebagai rakaat pertama dan dia tinggal menyempurnakan shalatnya. Setelah itu salam, dilanjutkan sujud sahwi dan salam lagi.

Kasus lain.
Misalnya seseorang lupa tidak mengerjakan sujud kedua dan duduk sebelum sujud pada rakaat pertama, kemudian dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dari rukuk (I’tidal) pada rakaat kedua, maka dia harus kembali duduk dan sujud, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

B. Adanya Kekurangan Dalam Hal-Hal Yang Diwajibkan Dalam Shalat
Apabila seorang yang shalat dengan sengaja tidak mengerjakan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka shalatnya batal.

Jika dia mengerjakannya karena kelupaan, kemudian dia baru mengingatnya kembali sebelum mengerjakan kewajiban kewajiban shalat yang lainnya, maka dia harus menyempurnakan kewajiban yang kelupaan tadi dan dia tidak terkena beban apapun.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah tidak pada posisinya tetapi belum sampai pada rukun shalat berikutnya, maka dia harus kembali dan mengerjakan kewajiban shalat yang terlupakan tadi, kemudian baru menyempurnakan shalatnya dan salam. Setelah itu hendaknya dia bersujud sahwi dan salam lagi.

Tetapi jika dia baru mengingatnya setelah sampai pada rukun shalat berikutnya, maka gugurlah dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan rakaat yang terlupakan tadi, kemudian dia diharuskan melanjutkan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang langsung bangkit dari sujud kedua pada rakaat kedua untuk mengerjakan rakaat ketiga karena lupa (tidak ingat) tasyahud awal, tetapi kemudian dia mengingatnya sebelum berdiri, maka dia harus tetap duduk dan mengerjakan tasyahud awal, kemudian menyempurnakan shalatnya dan dia tidak terkena beban apapun.

Jika dia baru mengingatnya kembali setelah bangkit, tetapi belum sampai berdiri dengan sempurna, maka dia harus kembali, lalu duduk dan mengerjakan tasyahud, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam. Kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah berdiri dengan sempurna, maka gugurlah kewajiban baginya untuk mengerjakan tasyahud yang terlupakan tadi dan dia tidak boleh kembali untuk mengerjakan tasyahud tersebut. Selanjutnya dia hanya tinggal menyempurnakan shalatnya dan mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan lain-lainnya [5] dari Abdullah bin Buhainah Radhiyallahu a’nhu.

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظُّهْرَ فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُو لَيَيْنِ وَلَم يَجْلِسْ (للِتَّشَهُدِ اْللأَوَّل) فَقَامَ النَّاسَ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسُ فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ ثُمَّ سَلَّمَ

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat zhuhur bersama para sahabat, kemudian beliau langsung berdiri pada rakaat kedua yang pertama dan beliau tidak duduk (yakni tasyahud awal), maka orang-orang pun juga ikut berdiri bersama beliau hingga shalat usai. Kemudian semua orang menunggu-nunggu beliau salam, tetapi beliau bertakbir lagi padahal beliau sedang duduk, kemudian beliau bersujud dua kali sebelum salam, kemudian setelah itu baru beliau salam”

3. Ragu-Ragu
Asy-Syak adalah keraguan antara dua perkara, mana diantara keduanya yang benar.

Ragu-ragu yang tidak perlu dihiraukan dalam semua ibadah adalah dalam tiga kondisi.

1. Apabila keraguan itu hanya berupa angan-angan belaka yang tidak nyata, seperti perasaan was-was.
2. Apabila seseorang sering sekali dihinggapi perasaan ragu-ragu, sehingga setiap kali dia ingin melaksanakan suatu ibadah pasti akan ragu-ragu.
3. Apabila keragu-raguan itu muncul setelah melaksanakan suatu ibadah. Maka dia tidak perlu menghiraukan perasaan ragu-ragu tersebut selama perkaranya belum jelas dan dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang telah mengerjakan shalat zhuhur. Tetapi setelah selesai mengerjakan shalat dia merasa ragu-ragu, apakah dia shalat tiga rakaat atau empat rakaat. Maka dia tidak perlu menggubris perasaan ragu-ragu ini kecuali bila dia telah merasa yakin bahwa dia memang shalat tiga rakaat. Apabila dia tahu bahwa shalatnya tiga rakaat, maka dia harus menyempurnakan shalatnya jika rentang waktu (dengan shalatnya tadi) masih berdekatan, lalu salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Tetapi jika dia baru mengingatnya kembali setelah terpaut waktu yang lama, maka dia harus mengulangi kembali shalatnya.

Sedangkan merasa ragu selain dalam tiga kondisi tersebut, maka perlu dipertimbangkan (diperhatikan).

Ragu-ragu dalam shalat tidak akan terlepas dari dua kondisi dibawah ini.
1. Dia bisa menentukan salah satu yang lebih rajih (kuat/benar) di antara dua perkara, maka dia harus mengerjakan apa yang menurutnya lebih rajih tersebut, kemudian menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Sebagai contoh
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat zhuhur, kemudian dia merasa ragu-ragu dalam salah satu rakaatnya, apakah ia berada di rakaat kedua atau ketiga. Jika perkiraannya lebih condong bahwa itu rakaat ketiga, maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat ketiga dan setelah itu dia tinggal menambah satu rakaat lagi dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi.

Dalilnya adalah sebuah hadits yang disebutkan dalam Ash-Shahahain dan yang lain, dari hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ قِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ فَلْيُتِمَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُسَلِّمْ، ثُمَّ يَسْجُدُ سَجْدَتَيْنِ (هذا لَفظ البخاري)

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya, maka hendaklah dia menentukan sendiri yang menurutnya benar, lalu menyempurnakan dengan pilihannya tadi dan salam, kemudian sujud dua kali” [Ini adalah lafazh Al-Bukhari] [6]

2. Dia tidak bisa menentukan salah satu yang lebih rajih di antara dua perkara tersebut, maka minimal dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya. Kemudian menyempurnakan shalatnya sesuai dengan yang diyakininya tadi, lalu sebelum salam sujud sahwi, kemudian baru salam.

Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat Ashar, kemudian dia merasa ragu dalam salah satu rakaat, apakah itu rakaat kedua atau ketiga dan dia tidak memiliki perkiraan yang paling mungkin, rakaat kedua atau ketiga. Maka dia harus menganggapnya sebagai rakaat kedua, kemudian mengerjakan tasyahud awal, dan setelah itu dia tinggal mengerjakan dua rakaat lagi, kemudian sujud sahwi dan salam.

Dalilnya adalah sebuah hadits yangb diriwayatkan oleh Muslim [7] dari Abu Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda.

إِذَا ثَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلَمِ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أََرْبَعًا؟فَلْيَطْرَحِ الشَّكَ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ ثُمَّ يَسْجُدُ سَجدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، فَإِنْ كَانَ صَلَّى خَمْسًاشَفَعْنَ لَهُ صَلاَتُهُ، وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“Apabila salah seorang di antara kalian merasa ragu dalam shalatnya dan dia tidak tahu berapa rakaat dia shalat, tiga atau empat rakaat, maka hendaknya dia membuang keraguan tersebut dan hendaknya dia mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya, kemudian sujud dua kali sebelum salam. Jika dia ternyata shalat lima rakaat, maka shalatnya tersebut akan menjadi syafaat baginya, sedangkan jika ternyata dia shalat tepat empat rakaat, maka kedua sujudnya bisa membuat marah syetan”.

Sebagai contoh.
Apabila seseorang datang, sedangkan imam baru mengerjakan rukuk, maka dia harus segera mengerjakan takbiratul ihram dan bediri dengan sempurna, kemudian baru rukuk. Pad saat seperti itu, maka dia tidak akan terlepas dari tiga kondisi.

1. Dia benar-benar merasa yakin bahwa dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sebelum imam tersebut bangkit dari rukuknya, sehingga dia dikategorikan telah mendapat satu rakaat dan gugur kewajiban membaca surat al-fatihah.
2. Dia benar-benar merasa yakin bahwa imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia mendapatkannya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan rakaat tersebut
3. Dia merasa ragu-ragu, apakah dia telah mendapatkan rukuk bersama imam sehingga dia dikategorikan telah mendapatkan satu rakaat atau imam tersebut telah bangkit dari rukuknya sebelum dia menjumpainya, sehingga dia dikategorikan tidak mendapatkan satu rakaat. Jika dia bisa menentukan mana yang lebih rajih antara dua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang menurutnya lebih rajah tadi, lalu menyempurnakan shalatnya dan salam, kemudian sujud sahwi dan salam lagi. Kecuali jika dia tidak meninggalkan salah satu dari hal-hal yang diwajibkan dalam shalat, maka dia tidak perlu mengerjakan sujud sahwi.

Jika dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajah antara kedua perkara tersebut, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya (yakni dia tidak mendapatkan rakaat tersebut), lalu dia harus menyempurnakan shalatnya dan sujud sahwi sebelum salam, kemudian baru salam.

Faedah
Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam shalatnya, maka dia harus mengerjakan sesuai dengan apa yang diyakininya atau yang menurutnya lebih rajih sebagaimana yang telah dijelaskan secara mendetail di atas. Namun bila akhirnya dia yakin bahwa apa yang dikerjakannya itu ternyata sesuai dengan kenyataan, tidak menambah ataupun mengurangi, maka menurut pendapat madzhab yang popular dia telah gugur kewajiban (tidak perlu lagi) mengerjakan sujud sahwi karena factor yang mengharuskan dia harus mengerjakan sujud sahwi yaitu keragu-raguan sudah tidak ada lagi.

Tetapi ada pula yang berpendapat bahwa dia belum gugur mengerjakan sujud sahwi untuk membuat syetan marah, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وَإِنْ كَانَ صَلَّى إِتْمَامًالأَِرْبَعٍ كَانَتَا تَرْغِيْمًا لِلشَّيْطَانِ

“.. Sedangkan jika ternyata shalatnya tepat empat rakaat, maka kedua sujud tersebut membuat marah syetan” [8]

Disamping itu, karena ada sebagian dari shalatnya yang dikerjakan dengan perasaan ragu-ragu. Inilah pendapat yang lebih rajih (kuat).

Sebagai contoh.
Misalnya seseorang sedang mengerjakan shalat, kemudian timbullah keraguan dalam salah satu rakaatnya, apakah ia dalam rakaat kedua atau ketiga? Karena dia tidak bisa menentukan mana yang lebih rajih antara kedua perkara tersebut, maka dia menganggapnya sebagai rakaat yang kedua, lalu dia menyempurnakan shalatnya. Namun akhirnya jelaslah baginya bahwa itu memang benar-benar rakaat kedua, maka menurut pendapat madzhab yang popular, dia tidak wajib sujud sahwi, sedangkan menurut pendapat kedua yang menurut kami lebih rajih hendaknya dia mengerjakan sujud sahwi sebelum salam.

[Disalin dari buku Tata Cara Sujud Sahwi, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerjemah Mutsanna Abdul Qohhar, Penerbit Pustaka At-Tibyan. Jl. Kyai Mojo 58, Solo, 57117]
________
Footnote
[1]. HR Mutafaqun Alaih. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam (kitab) As-Shalah, bab : maa ja’a fie al-qiblah, (404) yang redaksionalnya sangat pendek, dan pada hadits (401) redaksionalnya sangat panjang, dalam (kitab) As-Sahwi (1227) dan juga dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam kitab Al-Masajid, bab : As-Sahwi fie Ash-Shalah (91) dan (572).
[2]. Para perawi al-Jama’ah lainnya : Abu Dawud meriwayatkannya dalam (kitab) Ash-Shalah, bab : Idza shalla khamsan, (2019) dan (1020), At-Tirmidzi meriwayatkannya dalam bab : maa ja’a fie sajdatai as-sahwi ba’da as-salam wa al-kalam (392). An-Nasaa-i meriwayatkannya dalam ; As-Sahwi, bab : At-Taharry (III/33), (1242) dan 1243), dan Ibnu Majah dalam Iqamah ash-Shalah, bab : ma ja’a fiiman syakka fie shalatihi (1211).
[3]. Hal ini juga dikategorikan menambah dalam shalat karena ia telah menambah salam pada saat dia masih mengerjakan shalat.
[4]. Al-Bukhari meriwayatkannya dalam : Ash-Shalah, bab : Tasybik al-Ashabi’ fie al-Masjid wa Ghairihi, (482) redaksionalnya sangat pendek, (714) dan (715) dalam : As-Sahwi (1226) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalat (97) dan (573).
[5]. HR Al-Bukhari : Al-Adzan bab : man lam yara at-Tasyahud wajiban..(829), dalam : As-Sahwi (1223,1225) dan dalam pembahasan-pembahasan lainnya. Sedangkan imam Muslim meriwayatkannya dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fii ash-Shalah (85) dan (570)
[6]. HR Al-Bukhari dalam : Ash-Shalah, bab : At-Tawajjuh Nahwa Al-Qiblah (401) dan Muslim dalam Al-Masajid, bab : As-Sahwu fie ash-Shalah (89) dan (572)
[7]. HR Muslim dalam :Al-Masajid, bab As-Sahwu fie ash-Shalah, (88) dan (571).

Sumber

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda