Banyak masyarakat awam yang tidak paham bagaimana menghadapi fenomena
alami ini. Banyak di antara mereka yang mengaitkan kejadian alam ini
dengan mitos-mitos dan keyakinan khurofat yang menyelisihi aqidah yang
benar.
Di antaranya, ada yang meyakini bahwa di saat terjadinya gerhana,
ada sesosok raksasa besar yang sedang berupaya menelan matahari
sehingga wanita yang hamil disuruh bersembunyi di bawah tempat tidur dan
masyarakat menumbuk lesung dan alu untuk mengusir raksasa.
Ada
juga masyarakat yang meyakini bahwa bulan dan matahari adalah sepasang
kekasih, sehingga apabila mereka berdekatan maka akan saling memadu
kasih sehingga timbullah gerhana sebagai bentuk percintaan mereka. Sebagian masyarakat seringkali mengaitkan peristiwa gerhana dengan
kejadian-kejadian tertentu, seperti adanya kematian atau kelahiran, dan
kepercayaan ini dipercaya secara turun temurun sehingga menjadi
keyakinan umum masyarakat.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
membantah keyakinan orang Arab tadi. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya matahari dan
bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana
ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat gerhana tersebut, maka berdo’alah kepada Allah,
bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.” (HR. Bukhari no.
1044)
Memang pada saat terjadinya gerhana matahari, bertepatan
dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama
Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,
كَسَفَتِ
الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ
مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ
إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ
الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ
لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »
”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana
matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan
bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari
dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika
kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR.
Bukhari no. 1043)
Ibrahim adalah anak dari budak Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam yang bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah.
Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim
meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan
begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan
ketika kematian anaknya ini,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ،
وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ،
وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
”Air mata
ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak mengatakan kecuali yang
diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami
bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303) (Lihat Tawdhihul Ahkam min Bulughil
Marom, 2/305, Darul Atsar, cetakan pertama, 1425 H)
Itulah
keyakinan-keyakinan keliru yang seharusnya tidak dimiliki seorang muslim
ketika terjadi fenomena semacam ini. Selanjutnya kami akan menjelaskan
mengenai gerhana, shalat gerhana dan hal-hal yang mesti kita lakukan
ketika itu. Kami tidak ingin berpanjang-panjang lebar mengenai hal ini.
Kami cukup menyampaikan secara ringkas, sehingga pembaca bisa lebih
mudah memahami
Apa yang Dimaksud Dengan Gerhana Matahari?
Kalau dalam pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam yang pernah kita pelajari
dahulu, fenomena gerhana matahari adalah seperti pada gambar ini.
Posisi gerhana matahari adalah bulan berada di tengah-tengah antara
matahari dan bumi. Jadi, bulan ketika itu menghalangi sinar matahari
yang akan sampai ke bumi. Ini gambaran singkat mengenai gerhana
matahari.
Menurut pakar bahasa Arab, mereka mengatakan bahwa
kusuf adalah terhalangnya cahaya matahari atau berkurangnya cahaya
matahari disebabkan bulan yang terletak di antara matahari dan bumi.
Inilah yang dimaksud gerhana matahari. Sedangkan khusuf adalah sebutan
untuk gerhana bulan. (Al Mu’jamul Wasith, hal. 823)
Jadi ada dua
istilah dalam pembahasan gerhana yaitu kusuf dan khusuf. Kusuf adalah
gerhana matahari, sedangkan khusuf adalah gerhana bulan.
Definisi
yang tepat jika kita katakan: Kalau kusuf dan khusuf tidak disebut
berbarengan maka kusuf dan khusuf bermakna satu yaitu gerhana matahari
atau gerhana bulan. Namun kalau kusuf dan khusuf disebut berbarengan,
maka kusuf bermakna gerhana matahari, sedangkan khusuf bermakna gerhana
bulan. (Lihat Syarhul Mumthi’ ’ala Zadil Mustaqni’, 2/424, Dar Ibnul
Haitsam)
Pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin inilah yang akan ditemukan
dalam beberapa hadits. Kadang dalam suatu hadits menggunakan kata
khusuf, namun yang dimaksudkan adalah gerhana matahari atau gerhana
bulan karena khusuf pada saat itu disebutkan tidak berbarengan dengan
kusuf.
Wajib atau Sunnahkah Shalat Gerhana?
Mayoritas
ulama berpendapat bahwa hukum shalat gerhana matahari adalah sunnah
mu’akkad (sunnah yang sangat ditekankan). Namun, menurut Imam Abu
Hanifah, shalat gerhana dihukumi wajib. Imam Malik sendiri menyamakan
shalat gerhana dengan shalat Jum’at. Kalau kita timbang-timbang,
ternyata para ulama yang menilai wajib memiliki dalil yang kuat. Karena
dari hadits-hadits yang menceritakan mengenai shalat gerhana mengandung
kata perintah (jika kalian melihat gerhana tersebut, shalatlah: kalimat
ini mengandung perintah).
Padahal menurut kaedah ushul fiqih, hukum asal
perintah adalah wajib. Pendapat yang menyatakan wajib inilah yang
dipilih oleh Asy Syaukani, Shodiq Khoon, dan Syaikh Al Albani
rahimahumullah.
Para Ulama Berbeda Pendapat Mengenai Hukum Shalat Gerhana Bulan
Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum shalat gerhana bulan adalah
sunnah mu’akkad sebagaimana shalat gerhana matahari (ini bagi yang
menganggap shalat gerhana matahari adalah sunnah mu’akkad, pen) dan
dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Asy
Syafi’i, Ahmad, Daud, dan Ibnu Hazm. Pendapat ini juga dipilih oleh
’Atho’, Al Hasan, An Nakho’i dan Ishaq, bahkan pendapat ini diriwayatkan
pula dari Ibnu ’Abbas.
Pendapat kedua yang menyatakan bahwa
hukum shalat gerhana bulan adalah sunnah seperti shalat sunnah biasa
yaitu dilakukan tanpa ada tambahan ruku’ (lihat penjelasan mengeanai
tata cara shalat gerhana selanjutnya, pen). Menurut pendapat ini, shalat
gerhana bulan tidak perlu dilakukan secara berjama’ah. Inilah pendapat
Abu Hanifah dan Malik.
Manakah yang lebih kuat? Pendapat pertama
dinilai lebih kuat, karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
memerintahkan untuk shalat ketika melihat kedua gerhana tersebut tanpa
beliau bedakan (Lihat pembahasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/432-433,
Al Maktabah At Taufiqiyah). Juga ada dalil yang mendukung pendapat
pertama tadi. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana yaitu gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047)
Kita kembali lagi pada pembahasan di atas. Kami nilai sendiri bahwa
shalat gerhana adalah wajib sebagaimana yang juga dipilih oleh Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’.
Kalau ada
yang mengatakan bahwa shalat yang wajib itu hanyalah shalat lima waktu
saja. Maka para ulama yang menyatakan wajibnya shalat gerhana akan
menyanggah, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyebut shalat lima
waktu itu wajib karena shalat tersebut berulang di setiap waktu dan
tempat (maksudnya: shalat lima waktu adalah shalat yang diwajibkan
setiap saat dan bukan karena sebab, pen). Adapun shalat gerhana dan
tahiyatul masjid (bagi yang menilai hukum shalat tahiyatul masjid adalah
wajib) atau shalat semacam itu, maka shalat-shalat ini wajib karena ada
sebab tertentu. Maka shalat-shalat ini bukan seperti shalat wajib
mutlaq (maksudnya: berbeda dengan shalat lima waktu). Misalnya saja ada
seseorang bernadzar akan menunaikan shalat dua raka’at. Shalat karena
nadzar ini wajib dia kerjakan walaupun shalat tersebut bukan shalat lima
waktu. Shalat ini wajib dikerjakan karena sebab dia bernadzar. Jadi,
shalat yang wajib karena sebab tertentu tidak seperti shalat wajib
muthlaq yang tanpa sebab.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin
mengatakan, ”Inilah pendapat yang kami nilai kuat. Namun sangat
disayangkan orang-orang malah lebih senang melihat fenomena gerhana
matahari atau gerhana bulan dan mereka tidak memperhatikan kewajiban
yang satu ini. Semua hanya sibuk dengan dagangan, hanya berfoya-foya
atau sibuk di ladang. Kami takutkan, mungkin saja gerhana ini adalah
tanda diturunkannya adzab sebagaimana yang Allah takut-takuti melalui
gerhana ini. Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan wajib lebih kuat
daripada yang menyatakan sekedar dianjurkan.” (Lihat penjelasan yang
sangat menarik ini di Syarhul Mumthi’, 2/429)
Jadi bagi siapa
saja yang melihat gerhana, maka dia wajib menunaikan shalat gerhana.
Wallahu a’lam, wal ’ilmu ’indallah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah
untuk melaksanakannya.
Waktu Pelaksanaan Shalat Gerhana
Waktu pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana tersebut hilang.
Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ
يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan
Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau
lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdo’alah pada Allah,
lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari
no. 1060 dan Muslim no. 904)
Shalat gerhana juga boleh dilakukan
pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika gerhana muncul setelah
Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang untuk shalat, maka
shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah
menunaikan shalat.” (HR. Bukhari no. 1047).
Dalam hadits ini tidak
dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk waktu terlarang
untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
-bersambung insya Allah-
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.idhttp://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/seputar-gerhana-matahari.html
0 comments:
Posting Komentar